NovelToon NovelToon

Racara

Awal Mula

Seragam biru-putih itu sudah begitu basah dengan keringat. Sementara sang pemilik tidak merasa malu dan risih dengan tatapan dari siswa-siswi yang ia lewati.

Larinya pelan dan sesekali melihat ke belakang. Meskipun larinya sudah dibuat pelan, seorang laki-laki tua berumur sekitar 40-an, tetap saja tidak bisa mengejarnya. "Pak, berhenti aja. Capek saya, Pak," kata Raca dengan nafas yang terengah-engah. Larinya telah berhenti, dipegangi lututnya yang makin lama terasa sakit. Niat untuk menyelesaikan larinya gagal karena Pak Lukman yang masih berlari ke arahnya.

"Udah tua, masih aja suka lari-lari," kata Raca kemudian kembali berlari dengan cepat. Lalu, saat sosok Pak Lukman tak terlihat, Raca berlari ke arah taman Sekolah yang begitu ramai. Mungkin jika dengan keadaan ramai, Pak Lukman tidak akan bisa menemukannya.

"Aduh!!"

Mendengar rintihan suara cewek yang sepertinya karena ia tabrak. Raca pun mengalihkan pandangan kepada cewek yang sedang berusaha untuk berdiri. Belum ada kata maaf dari mulutnya. Raca masih waspada jika dengan tiba-tiba Pak Lukman berlari ke arahnya.

"Sakit tahu," kata cewek itu sambil mengelus tangan kirinya. Tak menggubris keluhan cewek itu, Raca berlari saat melihat Pak Lukman telah menginjak rumput taman Sekolah. "Lo mau ke mana?"

Niatan untuk mengejar cowok itu, Cara urungkan saat suara Pak Lukman yang bertanya kepadanya. "Maaf, apa kamu lihat ada anak cowok yang wajahnya pas-pas an?"

Cara memutar bola matanya, bingung akan pertanyaan Pak Lukman. "Itu banyak anak cowok, Pak. Wajahnya juga pas-pas an."

Pak Lukman memukul keningnya, "seragam yang dia pakai basah. Lihat gak?"

Mendengar pertanyaan Pak Lukman, Cara jadi ingat dengan cowok yang baru saja menabraknya. Ia juga ingat betul, jika seragam cowok yang menabraknya barusan sangatlah basah dan lengan kanan seragamnya telah menjadi korban.

Mengingat jika Pak Lukman adalah guru BK, Cara menebak bahwa cowok yang menabraknya telah melakukan pelanggaran. Awalnya, Cara ingin mengatakan jika cowok yang Pak Lukman maksud telah berlari ke arah parkiran. Sayangnya, Cara ingin dengan cepat memarahi cowok itu. Dengan wajah polosnya, Cara menggeleng, "kayaknya, ke arah belakang Sekolah, Pak."

"Ya sudah, terima kasih," kata Pak Lukman kemudian melangkah menuju belakang Sekolah. Setelah kepergian Pak Lukman, Cara berlari menuju parkiran. Rasanya, ia ingin memarahi cowok tadi dan meminta tanggung jawab.

Sesampainya di parkiran, Cara bisa menangkap cowok sedang bersembunyi di sela-sela sepeda motor. Langkahnya mendekat di belakang cowok itu. Dari jarak 3 langkah kaki, Cara bisa mendengar cowok itu berkata, "Pak, main kejar-kejarannya selesai ya."

"Berdiri lo!"

Raca mengernyit bingung saat mendengar suara cewek di belakangnya. Terkejutnya hilang dan diganti rasa lega saat melihat bukan Pak Lukman yang menemukannya. Dielus dadanya, "syukur alhamdulillah."

"Lo habis nabrak gue gak minta maaf, malah langsung pergi. Gak tahu apa kalau sakit, lengan seragam gue yang kanan jadi bau gara-gara keringet lo dan lihat ini," kata Cara sambil menunjukkan lengan seragamnya yang kiri. Lengan seragam yang terkena kotoran tanah karena dirinya yang terjatuh, tadi.

Raca diam sebentar, dilihatinya wajah cewek di depannya. Terlihat begitu kusam, itulah yang pertama kali keluar dari benak Raca. "Iya, maaf. Gak sengaja."

"Gak sengaja, mangkannya kalau lari tuh lihat ke depan. Masa lalu tuh gak perlu dilihat lagi, mending lo lihat masa depan lo," kata Cara, "tapi, menurut gue, masa depan lo bakal suram."

Raca tersedak dengan air liurnya sendiri setelah mendengar perkataan cewek di depannya. "Enak aja kalau ngomong. Gue lihat ke belakang tuh karena dikejar sama Pak Lukman dan lo," kata Raca, jarinya menunjuk tepat di wajah Cara, "gak usah ngeramal masa depan gue nantinya. Karena cuma Tuhan yang tahu."

Cara kesal melihat tingkah cowok di depannya. Terlihat begitu menjengkelkan, itulah yang pertama kali keluar dalam benak Cara. "Sekarang lo harus tanggung jawab. Lengan seragam gue jadi bau dan kotor nih."

Raca mendorong kening cewek itu dengan pelan, "iya-iya gue ganti."

Cara tersenyum senang. Cowok di depannya begitu bertanggung jawab. Tapi, belum saja 1 menit Cara memuji, tingkah cowok itu membuatnya bingung. "Ngapain lo mau buka seragam?"

"Lah, katanya minta diganti, yaudah gue ganti sama seragam gue," kata Raca berhenti membuka kancing seragamnya saat cewek di depannya itu telah melenggang pergi.

"Beneran gak mau diganti? Kalau keringat gue banyak, malah tambah wangi!" teriak Raca. Karena teriakannya, gadis itu menoleh dengan tatapan tajam. Lalu kembali melenggang pergi.

 

~•~

 

Cara tersentak kaget saat sebuah jaket jeans jatuh tepat di wajahnya. Setelah pandangannya tak terhalangi, Cara bisa melihat cowok menyebalkan yang tadi saat istirahat menabraknya ada dilantai 2.

"Pakai jaketnya," kata cowok itu, kemudian kepalanya sudah tak terlihat.

Dalam hati, Cara membatin agar dia tidak sekelas dengan cowok menyebalkan seperti itu.

"Cara!"

Teriakan itu membuat Cara sadar. Kini Kakaknya tengah berdiri diambang pintu sambil melihatinya dengan aneh. "Eh, Kak Randy, ada apa Kak?"

"Lo kenapa ngelihatin jaket itu, sampai gak denger gue panggil," kata Randy curiga dengan adik perempuan satu-satunya.

Cara menyengir dan menggeleng, "gak kenapa-kenapa. Kakak mau makan ya? Cara ambilin ya?"

"Gak, gue cuma lewat aja tadi. Terus lihat lo ngelamun," jawab Randy, "yaudah, jangan ngelamun lagi. Kakak, mau berangkat kerja. Hati-hati di rumah."

"Iya, Kak," kata Cara.

Setelah kepergian Kakaknya, Cara membaringkan tubuhnya. Dipeluknya jaket jeans itu sambil menghirup aroma wangi yang begitu menenangkannya. Entah kenapa dia merasa sesuatu aneh sedang menyelimuti hatinya.

 

~•~

 

Bagian 1

Sedari tadi Raca hanya terfokus dengan handphonenya. Kebiasaan Raca jika ada jam kosong adalah bermain game. Karena kebiasaan Raca itu, gadis disampingnya merasa bosan. Cara hanya bisa diam sambil menopang dagunya. Suara bisik teman-teman sekelasnya ia anggap sebagai nyanyian untuknya. Inilah hal yang sangat dibenci oleh Cara. Hal dimana dia hanya diam.

"Ka, Raca!"

"Apaan sih, Ra?" tanya Raca tanpa mengalihkan pandangan dari handphonenya.

"Jangan main game melulu, gue bosen, dari tadi cuma diem aja."

"Yaudah, lo cerita apaan kek, gue dengerin kok."

Karena geram, Cara merebut handphone dari tangan Raca. Hal itu membuat emosi Raca muncul. "Cara, balikin gak?"

"Gak! Gue bosen didiemin gini."

"Gue juga bosen kalau denger lo cerita. Gak ada titik komanya. Sampai-sampai gue gak bisa balas pertanyaan yang lo lontarkan. Karena lo sendiri yang jawab."

"Jadi, selama ini lo..."

Cara bangkit dari tempat duduknya. Sebelum berjalan pergi, ia melempar handphone Raca. Untung saja sang pemilik dapat menangkapnya. "Buset, kalau hp gue sampai jatuh lo harus tanggung jawab."

"Bodoh," kata Cara lalu berjalan pergi meninggalkan Raca. Hatinya begitu sedih mendengar perkataan Raca barusan. Meskipun mereka baru 6 bulan berteman. Cara sudah menganggap Raca sebagai teman yang baik, selalu ada untuknya. Tapi ternyata, Raca bukan pendengar yang baik.

 

~•~

 

"Udah jangan ngambek, Ra," kata Raca tiba-tiba yang langsung merangkul leher Cara.

"Siapa yang ngambek?"

"Gue tahu lo marah sama gue, gue tuh tahu semua ekspresi lo kalau lagi ngambek, sedih, senang, betek," kata Raca lalu menyodorkan segelas jeruk hangat kepada Cara.

"Gak mau."

"Beneran?"

"Iya."

"Tapi ini kan minuman ke..."

Perkataan Raca terhenti saat Cara merebut segelas jeruk hangat itu dari tangannya. Raca hanya bisa tertawa dalam hati melihat tingkah Cara yang aneh.

Cara memang sedang marah dengan Raca. Tapi karena jeruk hangat itu, marahnya sedikit hilang. Seandainya Raca tidak tahu jika jeruk hangat adalah minuman kesukaannya, maka ia tidak akan kena malu seperti ini. Dari ujung matanya, Cara bisa melihat ekspresi Raca yang seperti sedang menertawainya.

"Gak usah pakai ketawa. Gue gak minum jeruk hangat lo ya," kata Cara sambil mengembalikan gelas plastik itu kepada Raca.

"Gak minum, tapi kok habis?"

"Bocor kali gelasnya."

Raca tertawa lalu mengacak-ngacak rambut Cara. "Maafin gue, besok-besok lagi gak bakal deh ngediemin lo dan gue bakal jadi pendengar setia lo. Dua puluh empat jam lo cerita tanpa titik sama koma pun gue bakal ngedengerin."

"Ya kali, Ka," kata Cara, "maafin gue yang sering ngambek."

 

~·~

 

Bibir itu sudah maju 3 cm. Sesekali ia menghentakkan kakinya ke tanah begitu kesal dan sedih. Kesal karena Raca yang tidak bisa menemaninya pulang dan sedih karena sinar matahati tertutupi oleh awan. Cara begitu menyukai sinar matahari. Menurutnya, itu begitu indah dan jika dia ber-selfie, maka hasilnya akan cantik. Sementara hujan, dia tidak suka dengan keadaan gelap dan bunyi petir.

Tetesan air mulai terus menyusuri hidung minimalnya, lalu turun ke bibir dan jatuh ke tanah. Cara kembali menghentak kakinya, hujan akan turun. Sementara dirinya masih berada di Sekolah. Apa mungkin Cara harus pergi ke lapangan futsal dan menyuruh Raca untuk menemaninya sampai hujan reda. Ia yakin jika Raca akan menolaknya, secara cowok akan tetap main bola walaupun hujan mengguyur tubuh mereka.

Kini Cara berlari ke arah pos satpam sebelum banyak siswa-siswi yang berteduh di sana. Hujan turun begitu derasnya, membuat beberapa siswa-siswi memilih berteduh. Kini pos satpam sudah penuh, Cara hanya bisa diam bersandar di dinding. Dipejamkan matanya, sambil terus beristighfar. Dia begitu takut jika ada petir yang begitu kencang.

"Makasih ya Mas, uang buat beli makan sore jadi bisa buat uang sekolah anak Bapak."

"Iya, Pak sama-sama."

"Emangnya siapa yang ngasih, Mas? Pacar Mas ya? Kok gak dimakan?"

"Bukan pacar, Pak. Yah, Bapak tahulah, kan banyak siswi sini yang sering ngasih saya surat, coklat, minuman, sama makanan."

"Oh, penggemar Mas. Kenapa kok gak dimakan, mubazir lo Mas."

"Kan udah dimakan Pak Dono, jadi gak mubazir."

Cara merasa perbincangan itu berasal dari dalam pos satpam. Karena ia memiliki rasa penasaran yang besar, diintipnya dari jendela. Terlihat ada Pak Dono dan di depannya ada seorang cowok. Wajahnya tampan dengan alis tebal yang sepertinya pernah Cara lihat.

"Ra, ayo pulang!"

Suara itu membuat Cara terkejut. Saat tahu jika yang mengajaknya pulang adalah Raca, wajah ceria Cara kembali muncul. Diambilnya helm dari tangan Raca. "Lihat apaan sih?"

"Gak lihat apa-apa," jawab Cara sambil menunjuk tali pengikat pada helm. Tahu maksud tunjukan Cara, Raca pun memasang tali pengikat itu.

"Gue kira lo udah pulang,"

"Gimana mau pulang, Ka. Gue kan takut kalau ada petir."

"Kenapa tadi gak nyusul ke lapangan?"

"Hujannya udah keburu turun," jawab Cara kemudian menepuk punggung Raca yang menandakan agar menjalankan motor.

Cara menggigit bibir bawahnya. Hujan kembali deras dan keadaan terlihat gelap. Ingin menyuruh Raca untuk mempercepat laju motornya, tapi dia masih sayang dengan nyawanya. "Gue gak bisa ngebut, jalannya licin, Ra!"

"Gapapa, yang penting selamat!"

Tidak lama, mereka telah sampai di depan rumah Cara. "Makasih ya, Ka. Kalau gak ada lo, gue pasti masih di pos satpam," kata Cara sambil memberikan helm kepada Raca. Cowok itu hanya tersenyum dan mengarahkan dagunya yang mengartikan agar Cara cepat masuk ke dalam rumah.

"Gue masuk, ati-ati," kata Cara kemudian berlari menuju teras rumahnya. Bukannya masuk, Cara malah duduk di teras sambil melihati sebuah rumah yang berada di depan rumahnya.

6 tahun sudah ia tidak bertemu lagi dengan anak pemilik rumah itu. Entah kenapa melihat rumah itu, mengingatkan Cara akan kenangannya dulu.

"*Jangan nangis, aku gak bakal pergi lama-lama. Nanti aku balik lagi, buat jagain kamu," kata bocah laki-laki berumur 11 tahun.

Bukannya berhenti menangis, bocah perempuan berumur 9 tahun itu malah menangis dengan kencangnya. "Amel gak boleh nangis. Nanti Kak Ijul bakal dimarahi sama Papa."

"Kak Ijul jahat. Nanti kalau Amel diganggu sama teman Kakak gimana?" tanya bocah perempuan berumur 9 tahun itu sambil terus menangis. Melihat teman kecilnya menangis, bocah laki-laki berumur 11 tahun itu menghapus air mata yang terus turun dari mata kecil itu.

"Kan ada Kak Randy yang bakal jagain Amel. Kak Ijul janji bakal kembali lagi buat jagain Amel."

"Janji?" tanya bocah perempuan berumur 9 tahun itu sambil mengangkat jari kelingking kecilnya. Dengan segera, bocah laki-laki berumur 11 tahun itu melingkarkan jari kelingkingnya di jari kecil itu. Kedua jari itu telah bersatu yang menandakan perjanjian itu harus ditepati*.

Mengingatnya membuat Cara menangis. Dia begitu merindukan teman kecilnya. Ingin sekali Cara melihat wajah teman kecilnya itu seperti apa. Tapi yang membuat Cara takut yaitu, takut jika teman kecilnya itu telah melupakannya. "Cara, kamu ngapain duduk di situ? Seragam kamu basah. Cepet mandi sana!"

Cara menoleh dan mendapati Bapaknya diambang pintu. "Bapak gak ke warung? Ibu sendirian dong."

"Ini mau nyusul," kata Heri sambil berjalan membawa payung, "kamu mandi ya, terus ajak Hafidz makan. Bapak berangkat dulu."

"Iya, Pak," kata Cara sementara Heri telah membawa payung berjalan melawan arah hujan.

Mana janjimu untuk menjagaku kembali?, batin Cara.

 

~·~

 

Bagian 2

"Ka, menurut lo wajah gue makin hari makin bersih gak?" tanya Cara yang sedang becermin di kaca spion motor Raca.

"Sama aja kayak pertama kali gue ketemu lo, kusam," jawab Raca dan langsung mendapat pukulan dilengannya. Cowok itu tertawa lalu berjalan sambil menarik Cara agar berhenti bercermin. Cara merasa risih dengan Raca yang kini merangkul lehernya. Kelakuan teman sebangkunya itu membuat beberapa orang yang sedang asyik duduk di Taman Bungkul memelihati mereka.

Memang, tadi selepas pulang sekolah. Cara mengajak Raca untuk ke Taman Bungkul. Raca telah menolak, tapi gadis berambut kepang itu tetap memaksa. Dengan hati yang mencoba untuk ikhlas, Raca menuruti keinginan teman sebangkunya.

"Kenapa? Biarin aja mereka lihat kita, lagian kita kan gak pacaran. Mana mau gue punya pacar wajahnya kusam kayak begini." Spontan, Cara menyikut tulang rusuk Raca membuat cowok itu mengeluh kesakitan.

"Gue cuci muka sehari dua puluh kali tahu."

"Tapi wajah lo tetep aja."

"Terserah," kata Cara sambil menyingkirkan tangan Raca dari pundaknya. Setelah lolos, gadis itu berlari ke tengah taman dan duduk di sana.

Raca membatin di dalam hatinya. Teman sebangkunya itu aneh, katanya mau putih tapi malah suka panas-panasan. "Gimana mau putih kalau lo aja suka panas-panasan."

Cara tidak merespon dan terus mengambil foto dirinya. Dia begitu senang melihat wajahnya yang makin hari makin terlihat cantik dan putih. Apalagi sinar matahari membuat efek bagus di hasil selfienya. Sementara Raca hanya berdiri menunggu temannya itu selesai berselfie. Namun, tak sengaja pandangan Raca melihat sebuah foto di belakang handphone Cara. "Itu foto siapa?"

Dibaliknya handphone itu dan menampilkan sebuah foto terdiri dari 3 anak kecil. "Ini gue, Kak Randy, sama tetangga gue dulu."

"Oh, kenapa tiba-tiba lo taruh di hp lo?"

Cara tersenyum menunjukkan giginya yang putih, "kangen aja."

"Udah lama gak ketemu?" Cara hanya mengangguk kemudian menarik paksa Raca untuk pulang. Cowok itu hanya bisa menuruti keinginan Cara walaupuh masih ada satu hal yang ingin ia tanyakan.

~·~

Gia hanya bisa membatin. Semua yang dilakukan sahabatnya begitu membuatnya sedikit kesal. Walaupun begitu, sahabatnya itu selalu bisa membuatnya tertawa hingga lupa akan masalah. "Gi, ngepangnya yang bener dong."

Ditariknya rambut itu dengan pelan membuat sang pemilik mengadu kesakitan. "Lagian, lo sih. Udah dikepangin masih protes aja. Gue kuncir kuda aja ya?"

"Jangan!" jawab Cara cepat dan keras.

"Kenapa sih, lo suka dikepang dan harus pakai gelang karet ini?" tanya Gia.

"Kepo, tugas lo tuh cuma ngepang rambut gue."

"Iya, iya. Gue tahu."

Keduanya kembali terdiam. Beberapa menit lagi bel masuk akan berbunyi. Cara melirik ke arah Raca yang sedang asyik bermain game. Diamatinya wajah Raca itu dan mengingat bagaimana kerennya cowok itu saat wajahnya dibanjiri keringat.

"Ayo semuanya keluar! Pak Wahyu udah nunggu di lapangan!" teriak Ilham. Karena teriakan ketua kelas itu, semua siswa-siswi kelas X IPA-1 keluar dari kelas.

Sesampainya di lapangan. Pak Wahyu menyuruh untuk pemanasan selama 15 menit. Semuanya mengikuti dengan lancar. Setelah pemanasan, kini waktunya untuk berolahraga bebas. Para kaum adam bermain bola dan para kaum hawa memilih bermain basket. "Gi, gue bolos olahraga ya, males gue."

"Tapi, ntar lo kena hukuman Pak Wahyu."

"Masalahnya, gue lagi ada tamu dan gak bisa main basket dengan nyaman."

"Izin sana," kata Gia. Tetapi sahabatnya itu malah memilih meninggalkan lapangan tanpa izin terlebih dahulu kepada Pak Wahyu.

"Cara! Kamu mau bolos pelajaran!" teriak Pak Wahyu saat melihat muridnya itu berjalan ke arah kantin. Mendengar Pak Wahyu meneriakinya, Cara menoleh. Tidak mungkin jika Cara langsung kabur, bisa-bisa guru olahraganya itu, mengadukannya ke Pak Lukman. Dengan langkah pelan dan malu karena dilihati teman-temannya, Cara mendekat ke lapangan. Dia tersenyum kepada Pak Wahyu dan menggeleng. Kemudian duduk di tepi lapangan, melihati temannya bermain.

"Kenapa gak main basket, lo kan jagonya." Cara menoleh dan mendapati Raca kini duduk di sebelahnya. Digelengkan kepalaya, "gue lagi anu, jadi gak enak buat main basket."

"Oh, sakit perut gak?"

"Ha?"

"Bukannya kalau perempuan lagi anu, perutnya pasti sakit."

"Sedikit, mangkannya tadi gue mau ke kantin."

"Emangnya di kantin ada obatnya?" Cara mengangkat pundaknya tanda tidak tahu. Raca mengusap sebentar puncak kepala Cara. Kemudian berjalan ke arah Pak Wahyu. Cara hanya bisa diam mengamati temannya itu yang sedang berbincang dengan Pak Wahyu.

~·~

Raca mengamati wajah Cara yang sedang asyik makan bakso. Kini, wajah Cara terlihat sedikit putih dari dulu. Tentang perkataannya kemarin saat di Taman Bungkul itu hanya untuk membuat Cara kesal saja. "Ngapain lo lihat-lihat gue? Ntar naksir gue yang rugi."

"Ihh kepedean. Kenapa lo yang rugi?"

"Rugilah, wajah gue yang cantik kayak gini ditaksir sama cowok pas-pasan kayak lo."

"Sok cantik."

"Lo sok ganteng."

Raca menyentil kening Cara membuat gadis itu mengadu kesakitan. "Apaan sih lo, sakit tahu." Bukannya menjawab, Raca malah menyingkirkan sambal saat Cara ingin menambah beberapa sendok lagi. Tapi, gadis itu tetap ingin merebutnya. Menurut Cara, makan tanpa sambal itu rasanya hambar.

"Lo itu lagi anu, gue izin ke Pak Wahyu biar lo bisa makan bakso dulu. Bukannya makan sambal," kata Raca.

Cara mencibir dalam hatinya. "Iya, makasih udah izinin gue ke Pak Wahyu. Tapi sambelnya kurang dua sendok, Ka."

Raca menggeleng. Karena tidak ingin cek-cok, Cara pun memakan bakso itu kembali. Tapi, jika difikir-fikir, Raca hanya ingin menasehatinya. Cowok itu juga ada benarnya, jika ia makan sambal banyak, maka perutnya akan sakit. "Makasih, Ka."

"Buat?"

"Lo yang selalu nasehatin gue."

~·~

Pulang sekolah kali ini, Cara dijemput oleh sang Kakak. Raca sudah pulang karena ada acara keluarga, cowok itu terlihat buru-buru tadi. Sementara Gia masih setia di samping Cara. Bukan karena ingin menemani sahabatnya, tapi ingin menemui Kakak sahabatnya. "Ra, Kak Randy mana? Lama banget."

"Lo pulang sana, rumah lo kan deket." Gia meringis sambil memukul lengan Cara. Melihat tingkah sahabatnya membuat Cara tahu tujuannya. "Kakak gue udah punya pacar."

"Bohong. Kak Randy mah setia sama gue."

Cara tertawa mendengar perkataan Gia, "emang lo pernah chat atau telpon sama Kakak gue?"

"Dik, ayo pulang!"

Mendengar suara Randy, Gia langsung menghampiri cowok dengan vespa biru laut itu. "Hai, Kak Randy."

Randy hanya tersenyum tanpa membalas. Lalu tangannya menyerahkan helm. "Loh, Kakak kan mau jemput Cara. Aku jalan kaki kok, Kak."

"Buat Cara maksudnya," kata Randy membuat Gia menoleh ke belakang. Mulutnya maju saat Cara menertawainya. "Kakak gue mana mau sama lo," bisik Cara dan mendapatkan injakan di kakinya yang sebenarnya tidak sakit.

Cara tertawa lalu naik ke motor Randy. Dipakainya helm yang diserahkan oleh Randy. Sebelum motor Kakaknya melaju, Cara melambaikan tangan kepada Gia sambil menjulurkan lidahnya. Gia yang melihat itu hanya bisa membatin.

Sebuah tepukan di pundak, membuat Gia menoleh. Gadis itu mengernyit kebingungan melihat seorang cowok dengan alis tebal dan wajah tampan dibawah ketampanan Kak Randy, menurut Gia. "Siapa ya?"

Gia menyambut uluran tangan cowok itu. "Zul."

"Gia."

Zul menarik kembali tangannya. "Maaf, gue mau tanya, tadi yang naik ke motor itu namanya siapa?"

Gia melihat Zul dengan tatapan curiga. Apa maksudnya dengan menanyakan nama Cara? Apa mungkin cowok itu menyukai Cara? Atau cowok itu ingin menculik Cara?

"Namanya Cara, emang kenapa?" tanya Gia dengan nada ketus. Zul hanya menggeleng lalu berkata terima kasih dan melenggang pergi. Gia yang melihat tingkah Zul merasa ada yang aneh.

Disaat aku yakin itu kamu, ternyata fakta menghancurkan keyakinanku, batin Zul.

~·~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!