NovelToon NovelToon

Air Mata Pengantin Dan Keluarga Bunglon

Chapter 1 Hadiah Pertunangan

Suasana gedung serbaguna yang cukup mewah terlihat ramai. Orang-orang berpakaian rapi saling bercengkrama dengan satu sama lainnya. Rina dan Toni terlihat tersenyum sambil menunduk menyalami beberapa orang yang mendekati mereka. Ketika orang sudah tidak mengantri untuk menyalami mereka, Rina menghembuskan nafas karena letih. Agus dan Tuti, orang tua Toni memandang bangga pada kedua pasangan tersebut.

“Baru tunangan aja udah rame, ya!” kata Tuti.

“Iya. Banyak karangan bunga juga lagi,” Agus membalas Tuti sambil melihat ke arah karangan bunga yang juga terpajang di dalam gedung.

“Ada orang-orang penting juga Pak!” Tuti menunjuk ke salah satu pejabat yang masuk ke gedung.

“Hus!” Agus melihat ketus ke arah Tuti. “Jangan tunjuk- tunjuk.”

Tuti tersenyum malu ke arah Agus. Agus menggeleng-gelengkan kepalanya. Rina dan Toni kembali menyalami tamu yang berdatangan. Tak lama, pejabat yang tadi dilihat oleh Tuti mendekat pada Rina dan Toni. Toni menyalami pejabat tersebut sambil tersenyum lebar. Pak Barkah, nama pejabat tersebut, membalas senyum lalu beralih menyalami Rina.

“Wah Rina selamat ya. Semoga lancar sampe pernikahannya nanti,” kata Pak Barkah.

“Pak, makasih ya udah nyempetin dateng.”

“Santai. Kamu udah bantu proyek saya kemarin sampe goal masa saya ga bisa dateng di acaramu,” Pak Barkah tersenyum. “Rame juga yang dateng ya Rin. Gimana nikahannya nanti?” Pak Barkah menambahkan.

“Hehe, iya Pak,” Rina tersenyum malu. “Permintaan keluarga buat ngundang kerabat luar kota juga.”

“Kabarin saya nanti kalo perlu bantuan buat gedungnya. Bisa saya usahain nanti buat yang lebih gede lagi,” kata Pak Barkah.

“Makasih ya Pak,” Toni tersenyum pada Pejabat. Pak Barkah menoleh ke arah Toni dan Rina menggaruk kepala, merasa tidak enak.

“Iya, sama-sama. Saya pulang dulu ya,” Pak Barkah pergi meninggalkan Rina dan Toni yang menunduk sambil tersenyum.

“Mas, kok langsung terima-terima aja?” Rina memandang kesal ke arah Toni.

“Hehe, maaf keceplosan,” Toni tersenyum kecil.

“Nanti aku dapet kerjaan kerjaan banyak lagi. Mana proyek kemarin lama banget selesainya,” Rina mengernyitkan dahinya.

“Iya maaf. Nanti kubantu juga deh. Udah kita seneng aja dulu,” kata Toni.

Rina menggaruk kepalanya. Ia lalu melihat ke arah keluarganya. Terlihat Bambang dan Marni, orang tua Rina tersenyum ke arahnya sambil duduk di meja khusus keluarga. Marni lalu memandang ke arah Bambang.

“Pak, kok aku jadi kepikiran nanti gimana ya nikahannya. Banyak gini yang diundang,” kata Marni.

“Iya, Bu. Sampe bulan lalu padahal kita udah sepakat buat sederhana aja dulu biar lebih akrab antar keluarga tapi ini malah jadi mewah,” timpal Bambang.

“Apa gara-gara syutingan Toni udah selesai ya jadi mereka berani buat mewah gini?”

“Keliatannya sih gitu. Keluarganya kan emang gitu,” kata Bambang.

“Jangan gitu Pak. Baru mau besanan udah kita buruk sangkain,” Marni menepuk tangan Bambang.

Bambang menghembuskan nafas, mencoba menerima kemungkinan bakal seperti apa besannya nanti.

“Lha, Ibu yang nanya duluan,” kata Bambang.

“Ya kan kalo mau ke arah situ jangan di sini, Pak. Nanti aja kalo bahas begitu. Di rumah. Nanti kalo kedengaran gimana?” jelas Marni.

Bambang melihat-lihat ke sekitarnya. Ia tidak melihat kerluarga Toni berada di dekat mereka. Keluarga Toni berada di sisi lain meja mereka. Entah kenapa mereka memilih berada terpisah, bukannya berdekatan untuk lebih mengenal satu sama lain.

“Itu loh, mereka ada di sana semua,” ujar Bambang sambil menggerakkan kepalanya mengarah ke meja yang ada diseberangnya.

“Yaudah, toh abis dari gedung ini kita ada kumpul lagi sama mereka. Itu liat, banyak gitu keluarga mereka yang dateng malah ribet kalo dijadiin satu,” balas Marni.

Bambang menggelengkan kepalanya lalu meminum jus yang ada di depannya. Bambang memainkan lidahnya mengelilingi gigi lalu mendecak.

“Aku ke luar dulu, Bu. Mau ngerokok."

Marni mendecak kesal ke arah Bambang.

“Jangan lupa makan permen sama cuci tangan abis ngerokok. Ga enak nanti kecium baunya sama tamu,” kata Marni.

Bambang mengangguk tidak antusias lalu meninggalkan Marni menuju bagian luar gedung. Di perjalanannya, ia sudah mengeluarkan rokok dan korek dari kantong celananya. Bambang sampai di luar gedung dengan rokok yang sudah menempel di bibirnya. Ia membakar rokok lalu mulai menghisapnya. Dengan perlahan ia menghembuskan asap sambil memejamkan matanya, lega sudah berhasil keluar dari tempat yang penuh dengan orang asing yang belum tentu disukainya nanti.

...****...

Rina memandang aneh ke gerombolan Ibu-Ibu yang berdiri di dekat keluarga Toni. Mereka memandang sinis ke arah Rina. Rina lalu menepuk pelan ke paha Toni. Toni yang fokus ke Hpnya terkaget lalu melihat ke arah Rina.

“Ada apa?”

“Mereka itu siapa ya, Mas?” ucap Rina.

“Yang mana?” Toni melihat ke sekitarnya.

“Itu, yang ada di deket keluargamu,” ucap Rina mengangguk pelan ke arah keluarga Toni.

“Oh, itu adik-adiknya Ibu. Kenapa?”

“Kok mandangnya gitu ya, Mas?”

“Kayak gimana?” ucap Toni sambil menggaruk kepalanya.

“Kayak sinis gitu ke aku. Julid banget kayanya,” ucap Rina yang terlihat agak kesal.

“Ya, maklumin aja. Mereka mungkin kaget acaranya bisa begini padahal baru tunangan,” bela Toni pada keluarganya.

Rina mendecak kesal mendengar jawaban dari Toni. Tak lama, HP Rina berdering dan membuatnya teralihkan. Rina membuka HP dan mendapat pesan dari Lisa, teman dekatnya dari kantor. Rina tersenyum membaca pesan dari Lisa yang menanyakan apakah ia terlambat padahal acara sudah berjalan setengah jam. Lisa berpesan bahwa ia akan segera datang dan meminta maaf karena hadiah yang ia bawa untuknya baru tersedia. Rina menggelengkan kepalanya lalu membalas Lisa. Rina selesai membalas pesan dari Lisa lalu melihat ke arah pintu keluar yang terbuka lebar.

...****...

Bambang masih merokok di luar gedung. Ia memperhatikan gerombolan bapak-bapak yang tidak dikenalnya membentuk lingkaran di belakang pilar tempatnya bersender. Bambang mengernyitkan dahinya ketika mendengar nama anaknya disebut.

“Toni bisa dapet calon istri yang lebih darinya gitu gimana ya caranya?” ujar salah satu Bapak.

“Iya, Toni kan gak jelas gitu. Emang dia udah kerja beneran?” Bapak lainnya menambahi.

“Masih syuting-syutingan dia. Gak tau juga, mungkin dia juga udah banyak syuting,” terdengar suara lainnya menimpali.

“Gak tau lah. Yang pasti istrinya pasti lebih mapan,” salah satu bapak menyimpulkan.

Bambang menghembuskan nafas berat, mendecak kesal lalu membuang rokoknya. Ketika ia beranjak menuju dalam gedung, ia melihat seorang perempuan muda memasuki gedung sambil membawa tanaman menjalar berbunga pink yang tidak diketahuinya. Bambang mengernyitkan dahinya kebingungan, siapa yang membawa hadiah tanaman hias sebagai hadiah pertunangan.

...****...

Lisa memasuki gedung dengan membawa tanaman air mata pengantin. Tamu-tamu undangan seketika teralihkan ke Lisa yang mencolok. Belum lagi pakaiannya yang sangat kasual dibandingkan tamu lainnya yang formal. Rina melongo melihat sahabatnya mendekat. Toni tersenyum lebar melihat apa yang dibawa Lisa. Lisa sampai di depan Rina dan Toni lalu menaruh tanaman yang dibawanya. Rina masih melongo kebingungan sedangkan Lisa nyengir puas berhasil membuat sahabatnya kaget. Lisa memeluk Rina penuh bahagia.

“Rin, selamat ya. Semoga lancar sampe hari H nanti,” ucap Lisa sambil mengelus punggung Rina.

“I...iya sama-sama Lis. Makasih ya. Ini kamu bawa apa?” tanya Rina kebingungan.

“Hahaha,” Lisa melepas pelukannya. “Ini Air Mata Pengantin.”

“Hah?” Rina kaget mendengar nama tanaman yang dibawa Lisa. “Wah ngaco kamu, bawa-bawa taneman gini. Mana namanya jelek lagi.”

“Loh jangan salah. Namanya filosofis loh. Biarlah tanaman ini yang menggantikanmu menangis wahai sahabatku.”

Rina bengong mendengar penjelasan dari Lisa. Tidak biasa sahabatnya ini menjadi filsuf.

“Becanda. Selain bisa jadi taneman hias, ini juga bisa jadi obat diabetes. Bisa ngendaliin hama juga buat kebun kalian di halaman depan. Belum lagi rumah kalian ‘kan ada bagian yang gak kealangan tembok tuh. Nah, taneman ini bisa buat nutupin nanti soalnya dia taneman menjalar.

Toni tertawa mendengar penjelasan Lisa. Rina masih kebingungan, tidak percaya.

“Ya bebas lah. Makasih ya udah dateng. Tapi awas loh kalo malah jadi pertanda buruk!” ucap Rina ketus.

“Hahaha, gak mungkin lah. Percaya banget kamu sama gitu-gitu,” balas Lisa santai.

“Makasih ya Lisa. Lucu juga ini buat ide cerita,” ucap Toni.

“Nah, bener itu Ton. Bisa buat ide ceritamu selanjutnya. Laku pasti buat film-film artsy gitu hahaha,” Lisa menyetujui ide Toni. Rina menggelengkan kepalanya, tidak mempercayai hal yang baru didengarnya.

“Ya udah, sana ambil makan dulu Lis. Ngobrol-ngobrol sama yang lainnya, siapa tau dapet kenalan juga,” ucap Rina sambil mengibaskan tangannya ke arah Lisa.

“Bodo mending makan. Bye,” Lisa meninggalkan Rina dan Toni seraya melambaikan tangannya.

Rina tersenyum sambil memperhatikan sahabatnya menuju tempat makan. Toni tidak memperhatikan kepergian Lisa. Ia teralihkan pada sesosok gadis muda yang memasuki gedung dengan anggunnya. Beberapa tamu tertuju perhatiannya pada gadis tersebut. Mereka merasa mengenalinya di suatu kesempatan. Gadis muda tersebut berjalan mendekati Toni dengan penuh senyum lalu menyalaminya.

“Wah Toni selamat ya. Semoga sampe pernikahan nanti dilancarkan & diperbanyak syutingnya hahaha,” ucap Helnina, nama gadis muda tersebut.

“Nina makasih ya udah dateng. Kamu gak ada syuting hari ini?” balas Toni sambil melepas genggaman tangannya.

“Hari ini libur, besok baru mulai lagi. Main-main lah nanti ke set, siapa tau ada proyekan lagi ‘kan?” ucap Helnina.

“Iya nanti kuusahain dateng. Barusan dapet ide juga ini hahaha.”

Rina menepuk tangan Toni. Helnina menoleh ke arah Rina lalu menyalaminya juga.

“Kak Rina selamat ya. Bahagia selalu,” seraya Helnina melepas jabatan tangannya.

“Iya sama-sama. Makasih ya udah dateng.”

Helnina menunduk sambil tersenyum lalu meninggalkan Toni dan Rina. Toni masih memperhatikan Helnina lalu melihat ke arah Rina.

“Tadi nepok tangan kenapa?” tanya Toni.

“Serius hadiah Lisa tadi mau kamu jadiin bahan buat script film nanti?” Rina kebingungan.

“Belum tau sih.” Toni nyengir. “Menarik sih, cuman belum kepikiran bakal gimana.”

Rina menggelengkan kepalanya lalu memperhatikan Helnina yang minum sambil melihat ke arah mereka.

...****...

Chapter 2 Kabar Kehamilan Rina

Empat bulan telah berlalu setelah acara pertunangan Rina dan Toni. Mereka sudah pindah ke rumah mereka sendiri dan memulai kehidupan berkeluarga mereka. Rumah mungil nan elegan khas daerah perkotaan mereka tempati saat ini. Suasananya cukup tenang dan asri, berdekatan dengan tetangga namun tidak terlihat banyak warga sekitar terlihat di siang hari. Khas daerah perkotaan. Kadang terlihat penjaga komplek perumahan berkeliling dengan sepedanya sambil melihat sekitarnya. Sesekali ia tersenyum menyapa anak kecil berseragam yang berjalan menuju rumahnya. Tenang, aman dan nyaman.

Rina dengan mengenakan pakaian santai longgar berjalan pelan sambil membawa secangkir teh yang masih terlihat kebulan asap di atasnya. Rina menuju kursi taman lalu menaruh cangkir teh beserta Hpnya di meja taman. Rina duduk di kursi, melihat ke arah tanaman air mata pengantin yang mulai tumbuh menjalar menutupi bagian kaca kamar yang langsung terlihat menuju depan jalan komplek. Semua berjalan mulus, Rina bahagia dengan keadaannya sekarang terlebih dengan apa yang dialaminya sekarang. Rina tersenyum kecil melihat pemberian sahabatnya tersebut sudah mulai memberikan efek bagi rumahnya. Bukan hanya menjaga privasi keluarga mereka, tanaman tersebut juga memberikan keasrian tersendiri bagi rumahnya. Tidak terbayang jika nanti tanaman tersebut terus tumbuh menjalar menutupi depan kaca. Seketika mungkin bagian rumahnya tersebut akan dikira sebagai percobaan untuk membuat hutan tropis di rumah.

Kupu-kupu terbang mendekati tanaman air mata pengantin lalu hinggap di salah satu bunga berwarna merah muda yang ada tumbuh di sulurnya. Kupu-kupu hinggap agak lama, mencoba mengutak-atik bunga tersebut lalu pindah ke salah satu bunga yang berada di sulur lainnya. Rina mengamati kegiatan kupu-kupu tersebut sambil mengusap perutnya. Usia kandungan Rina memasuki bulan kedua. Kabar tersebut membuat Toni semakin sering di luar dan menghabiskan malam berkutat di ruangannya sendiri untuk membuat skenario terbarunya untuk dipresentasikan pada beberapa produser yang dikenalnya. Rina senang dengan kesibukan Toni untuk mencari penghasilan bahkan di akhir pekan seperti ini tetapi ia juga sadar bahwa dirinya merindukan Toni yang selalu ada di dekatnya sebelum kehamilannya. Rina sadar betul bahwa Toni yang pada saat itu belum ada proyek syuting lagi harus segera memiliki proyek selanjutnya agar kebutuhan mereka terjamin menjelang kelahiran anak mereka. Belum lagi jika mengingat bagaimana ramainya keadaan grup keluarga Toni begitu mereka mendengar kabar kehamilan Rina.

Notifikasi dari HP Rina berbunyi dan menyadarkan Rina dari lamunannya. Rina melihat ke arah HP lalu mengambil HP. Rina mendecak lalu mendengus kesal melihat keramaian yang ada di grup keluarga Toni. Beberapa anggota keluarga mulai membahas masalah syukuran, siraman tujuh bulanan bahkan rumah sakit terbaik yang cocok menjadi tempat kelahiran bagi anggota keluarga baru mereka. Rina menaruh Hpnya kembali di meja dengan agak kencang hingga membuat bunyi “duk” yang cukup nyaring. Beruntung HP Rina dilindungi oleh cover yang cukup tebal. Rina mengatur pernafasan, mencoba menenangkan dirinya setelah melihat isi percakapan tadi.

Tak berapa lama, HP Rina kembali berbunyi dan mengagetkan Rina yang mengatur pernafasan sambil menutup matanya. Rina melihat ke arah HP dan mendapati Ibunya menelpon. Rina mengambil HP lalu menerima telepon dari Marni.

“Halo nak, gimana kabarnya? Sehat? Masih mual-mual?” tanya Marni.

“Halo Bu. Engga kok, udah gak terlalu mual kayak kemarin-kemarin. Ibu gimana kabarnya? Sehat?” balas Rina.

“Sehat kok, ini Bapak juga sehat. Kamu lagi ngapain ini?”

“Lagi nyantai aja Bu di taman.” Rina terdiam sejenak. “Bu, mau cerita dong.”

“Iya, ada apa?” tanya Marni.

“Ini keluarganya Mas Toni udah mulai ngeributin masalah syukuran lah, tujuh bulanan lah, lahirannya nanti di mana yang bagus. Pusing aku ngebacanya. Ini baru jalan dua bulan udah segitunya,” jelas Rina.

“Mungkin emang gitu mereka ke tiap anggota keluarga yang hamil?” terka Marni.

“Iya tapi kalo gini kan aku yang risih,” balas Rina.

“Hm, coba kamu omongin ke Toni. Apa emang seperti itu mereka kalo ada yang hamil? Tipe keluarga menanggapi suatu kejadian ‘kan beda-beda,” jawab Marni.

Rina terdiam sejenak mendengar jawaban Ibunya.

“Ini udah jadi hal yang harus kamu hadapin saat berkeluarga. Jawabannya gimana, Ibu sendiri gak bisa ngasih tau. Harus kamu cari tau sendiri gimana mereka sebenarnya. Setelah kamu tau, mungkin Ibu baru bisa ngasih pandangan lebih.”

Rina masih terdiam, tidak menjawab pernyataan dari Ibunya. Dalam diamnya ia mencoba merenungi apa yang mungkin dihadapinya selama berkeluarga dengan Toni.

...****...

Toni duduk di kursi tunggu dengan satu bendel skenario terletak di meja depannya. Resepsionis memperhatikannya dengan seksama lalu meraih telepon di meja resepsionis. Toni sesekali menghentak lantai, terlihat agak gugup dengan apa yang mungkin dihadapinya nanti. Ia mungkin sudah terbiasa dengan bagaimana proses presentasi cerita berjalan, bahkan sudah mengenal siapa yang akan mendengar presentasinya. Toni gugup bagaimana jika nanti ceritanya ditolak. Bagaimana jika nanti ia tidak memiliki biaya untuk persalinan istrinya. Toni melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul setengah tiga. Kantor hanya beroperasi hingga jam tiga pada hari sabtu. Apakah ini cukup untuk presentasi? Hal ini membuat Toni semakin gugup. Toni mengambil HP dari kantong celana lalu mengabari Rina bahwa setengah empat ia akan menjemputnya untuk segera menuju rumah keluarganya.

“Pak Toni, silakan masuk,” ujar Resepsionis.

Toni mengangguk sambil tersenyum, mengambil bendel skenario lalu berjalan menuju pintu ruangan yang ada di sampingnya.

...****...

Toni keluar dari pintu dengan raut wajah kusut. Ia melihat ke arah jam dinding yang ada di atas ruangan resepsionis sudah menunjukkan pukul 15.20. Resepsionis sudah tidak ada di sana. Sepinya ruangan tempat Toni berada hingga membuat detik jam terdengar jelas. Toni menghembuskan nafas, kesal karena hasil yang baru saja didapatnya. Skenarionya ditolak. Toni menggaruk kepalanya sambil mendecak. Toni kembali melihat ke bendel skenario yang sudah dibuatnya, terdiam kecewa. Sekali lagi Toni menghembuskan nafas dengan agak kencang lalu berjalan meninggalkan ruangan.

...****...

Rina duduk rapi di kursi taman menunggu kedatangan Toni. Tas mungil terletak di meja taman. Sesekali ia melihat ke arah jalan tetapi masih belum ada tanda kedatangan Toni meskipun jam di tangannya sudah menunjukkan hampir jam empat. Rina terlihat cemas, sesekali ia mendecak sambil melihat ke arah tanaman air mata pengantin. Entah apa yang ia cemaskan, terlambatnya Toni atau bagaimana ia nanti menghadapi Keluarga Toni. Tak berapa lama, tedengar suara mobil yang ia kenal semakin mendekati arah rumah. Rina menoleh lalu berjalan menuju pintu gerbang bersama tas mungilnya yang terselempang di pundaknya.

...****...

Rina dan Toni duduk di sofa tua yang terlihat masih cukup empuk untk usianya. Rina melihat ke arah dalam rumah, entah apa yang dicarinya. Mungkin ia ingin membantu mertuanya untuk mempersiapkan minuman. Toni, menundukkan kepalanya melihat ke arah lantai. Ia terlihat bingung meskipun sudah berkata bahwa usahanya belum berhasil tetapi ia belum bilang hal ini pada orang tuanya. Agus yang duduk di seberang Rina dan Toni langsung melihat ke arah Rina.

“Rin, udah gapapa. Biar Ibu aja yang nyiapin,” ujar Agus.

Rina menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Tak lama, Tuti datang sambil membawa nampan yang berisi empat cangkir teh hangat. Rina bergegas mengambil cangkir miliknya dan Toni lalu menaruhnya di meja. Agus mengambil cangkir teh lalu menyeruput teh yang ada di cangkir. Tuti melihat senang ke arah menantunya.

“Rin, gimana? Masih suka mual-mual?” ujar Tuti.

“Kadang masih Bu, untung mintanya gak macem-macem. Iya gak, Mas?” tanya Rina.

Toni terdiam tidak menjawab Rina. Tuti dan Agus memandang heran ke arah Toni. Rina melirik ke Toni lalu menepuk paha Toni.

“Eh, iya Bu. Masih gampang menuhin ngidamnya,” jawab Toni.

“Malah ngelamun ini loh,” ujar Agus.

“Oh iya Rin, kamu udah mulai siap-siap buat acara tujuh bulanannya belum? Emang sih masih lama, tapi perlu loh disiapin lebih cepet. Biar gak mendadak,” ujar Tuti pada Rina.

Kali ini giliran Rina yang terdiam tidak menjawab pertanyaan Tuti.

“Iya Bu, nanti kami persiapkan. Bude Darjo siap bantu juga ‘kan nanti?” tanya Toni.

Rina melongo mendengar jawaban Toni.

“Loh, justru itu. Makanya Ibu nanya dari jauh-jauh hari biar Bude bisa ikut nyiapin juga,” balas Tuti.

“Mas,” bisik Rina pada Toni.

“Udah gampang, Senin nanti aku coba tanya-tanya ke temenku yang lain. Pasti kuusahain bulan ini udah ada,” bisik Toni pada Rina.

Agus dan Tuti memandang curiga pada Rina dan Toni.

“Malah bisik-bisik ada apa toh?” tanya Agus.

“Gapapa kok Pak. Ada yang kelupaan tadi di rumah,” jawab Toni.

Toni memandang serius ke arah Rina. Rina terdiam sejenak memandang ke arah Toni lalu melihat ke arah Agus dan Tuti.

“Iya Pak. Tadi lupa matiin TV,” ujar Rina.

Agus dan Tuti kebingungan mendengar jawaban Rina. Rina meminum tehnya lalu tersenyum canggung pada mertuanya.

...****...

Rina dan Toni sampai di depan rumah mereka. Toni melirik ke arah Rina yang masih terdiam sedari perjalanan pulang mereka. Toni menunduk lesu lalu mematikan mesin mobil. Toni melihat ke arah Rina.

“Rin, maaf ya. Aku tadi langsung aja bilang gitu tanpa persetujuanmu. Aku gak enak sama Ibu,” jelas Toni pada Rina.

Rina masih diam, tidak menanggapi penjelasan Toni.

“Rin, aku janji Senin nanti bakal ada kabar yang baik buat masalah pekerjaanku,” ujar Toni untuk meyakinkan Rina.

Rina keluar dari mobil lalu membuka pintu pagar rumahnya. Toni memperhatikan Rina yang langsung bergegas menuju dalam rumah. Toni menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Pintu mobil yang dibiarkan terbuka oleh Rina lalu ditutup Toni dan perlahan mobil memasuki garasi rumah.

...****...

Chapter 3 Pekerjaan Toni

Empat bulan berlalu setelah kejadian Rina meninggalkan Toni di dalam mobil. Toni masih tidak memiliki pekerjaan tetap meskipun beberapa pekerjaan berhasil didapatnya. Toni serius mengetik di laptopnya. Terdengar suara televisi menyala di ruang kerjanya, mencoba menemani Toni bekerja. Beberapa kali ia meraih mouse dan mengklik mouse tersebut dengan cepat. Toni memperhatikan ketikannya agak lama, moncoba menganalisa apa yang kurang dari ketikannya. Protagonis sudah melakukan hal yang seharusnya dilakukan agar resiko yang ditempuhnya nanti semakin besar di krisis tetapi ia masih merasa masih ada yang kurang. Toni menggaruk pelipisnya lalu menghembuskan nafas, terlihat kehabisan stamina. Toni memejamkan matanya sejenak lalu terantuk dan menyadarkan dirinya. Jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Ketikannya berisi tentang cerita untuk sebuah iklan absurd produk kecantikan.

Toni dipilih untuk mengerjakan karena iklan cerita absurd yang sebelumnya dikerjakan berhasil mendapat respon positif dari masyarakat. Sialnya, yang harus dikerjakan adalah iklan kecantikan. Ia tidak bisa sembarang melucu di skenarionya karena takut mendapat respon negatif dari masyarakat yang sekarang sudah mampu membedakan mana lucu yang benar lucu, mana lucu yang bertendensi melecehkan. Resiko yang besar untuk sebuah bayaran yang tidak seberapa. Belum lagi kali ini pihak klien adalah klien yang baru terjun di bidang kecantikan. Bukan hanya karirnya yang hancur, tetapi kliennya sendiri beresiko seperti itu.

Toni mengambil sebatang rokok yang bungkus rokok yang terletak di meja kerjanya. Tanpa tergesa, ia menyalakan rokoknya mencoba mencari ketenangan. Ia tidak membutuhkan rokok untuk inspirasinya, yang ia perlukan dari sebatang rokok adalah perasaan puas ketika ia menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Itulah kenapa ia tidak merokok ketika tidak menulis skenario. Rina sudah berkali-kali mengingatkan pada Toni untuk menghentikan kebiasaannya itu melihat usia kandungannya semakin menua tetapi akhirnya Rina mengalah dengan syarat Toni membersihkan dirinya setelah bekerja dan mencuci pakaiannya yang dipakai kerja sendiri. Rina tidak tega untuk membuat suaminya langsung meninggalkan kebiasaannya tersebut karena ia sendiri dulu merokok sebelum hamil. Terlebih jika Rina sudah diburu tenggat waktu dari klien dan harus prestasi. Rokok yang dikonsumsinya akan lebih banyak dari Toni. Mungkin Toni belum menemukan waktunya untuk berhenti, pikir Rina.

Toni mematikan rokoknya lalu lanjut mengetik. Sesekali ia menggelengkan kepalanya, mencoba menyadarkan diri dari kantuk yang mulai menyerang. Terdengar suara iklan dari arah televisi, mempromosikan sebuah makanan ringan dengan cara yang absurd diputar di televisi. Toni tersenyum kecil mendengar iklan tersebut. Ia tidak menyangka idenya yang membuat anak kecil menjadi binaragawan setelah mengonsumsi makanan ringan gandum diterima oleh kliennya.

...****...

Rina memasuki rumahnya sambil membawa map di tangan kirinya. Ia melihat-lihat dalam rumahya dan terlihat masih berantakan. Rina memejamkan matanya lalu menghembuskan nafas, kesal karena mengetahui bahwa Toni tidak mengerjakan tugasnya untuk membereskan rumah. Padahal sudah dua jam yang lalu ia mengirimkan pesan untuk dibantu beberes. Jam di rumah menunjukkan pukul 1 siang, rumah masih berantakan dan Toni pun masih belum terlihat ada di mana. Rina menaruh tas kecilnya di sofa lalu berjalan menuju ruang kerja Toni yang ada di dekat ruang keluarga. Terlihat Toni masih tertidur pulas di meja kerjanya. Kepala Toni menghadap ke arah pintu sehingga langsung tersadar karena cahaya dan suara pintu yang kurang dilumasi minyak engselnya. Toni mengusap mukanya lalu melihat ke arah istrinya yang berdiri di depan pintu sambil menutupi hidungnya.

“Dibaca engga pesannya?” tanya Rina.

Toni mengambil HP dan mencoba mengaktifkannya. Toni nyengir pada Rina.

“Maaf abis batre,” jawab Toni.

“Pantesan. Tolong masakin air panas, mas,” pinta Rina.

Toni beranjak meninggalkan Rina di ruang kerjanya. Rina masuk ke dalam lalu menyalakan exhaust untuk membuang udara yang masih tercium asap rokok dalam ruangan. Rina memperhatikan skenario yang dikerjakan Toni di laptopnya. Rina mengernyitkan dahinya. Tak berapa lama, Toni masuk ke dalam ruang kerja.

“Mas, jangan lupa dinyalain exhaustnya kalo mau ngerokok. Biar kebuang di luar asepnya,” ucap Rina.

“Iya maaf, tadi pagi malah jadi dingin jadi tak matiin,” jawab Toni.

Rina menghembuskan nafas kesal mendengar alasan Toni.

“Itu nulis buat apa mas? Dapet proyek lagi?” tanya Rina.

“Iya, produk kecantikan. Tapi bayarannya gak seberapa sih. Buat portofolio aja,” jawab Toni.

“Terus udah ada kabar buat proyek syutingan lagi?” Rina kembali bertanya pada Toni.

“Belum,” jawab Toni.

Suasana ruang kerja hening. Toni menunduk tidak berani menghadap Rina. Rina memberikan map yang tadi dibawanya pada Toni. Toni melihat map pemberian Rina yang adalah map hasil USG Rina. Toni membuka map pemberian Rina dan mengernyitkan dahinya.

“Kayanya bakal susah kalo mau lahiran biasa,” ucap Rina.

Toni terdiam, ia memikirkan langkah yang mungkin bisa dilakukannya. Rina menunduk sedih karena keadaan seperti ini mungkin akan memakan biaya yang sangat banyak. Terdengar suara ketel air memecah keheningan ruangan kerja. Rina beranjak meninggalkan ruangan kerja. Toni bangkit sambil memegang Hpnya lalu mengisi daya dari HP tersebut. Ia terdiam sejenak sambil mengernyitkan dahinya serius. Tak berapa lama ia sibuk dengan HPnya, entah menghubungi siapa.

...****...

Di kamarnya, Rina merendam kakinya di ember yang berisi air panas. Keset yang cukup tebal terletak di samping kiri ember. Terlihat Rina merasa lega karena rasa sakitnya mulai mereda. Kaki Rina saling mengusap satu sama lainnya karena sudah tidak bisa dijangkau lagi. Rina memejamkan matanya, mencoba lebih relaks lagi. Ia mencoba tenang, tidak mau memikirkan persalinannya nanti bagaimana. Ia berhak untuk tenang setelah kabar yang didapatnya tadi. Ketukan pintu dari arah luar membangunkan Rina. Terdengar suara yang pernah ia dengar sebelumnya. Ia mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat suara siapa itu. Perlahan Rina bangkit menjejak keset, mengeringkan kakinya lalu berjalan menuju ruang keluarga sambil masih mencoba mengingat siapa orang yang memiliki suara lembut dan ramah tersebut.

Sesampainya di ruang keluarga, Rina melihat Toni duduk bersama Helnina. Orang yang tadi coba diingatnya selama perjalanan menuju ruang keluarga. Perhatian Toni dan Helnina teralihkan pada kedatangan Rina.

“Eh, Kak Rin,” ujar Helnina.

Helnina bangkit mendekati Rina dan memeluknya. Rina lalu berjalan pelan menuju sofa yang diduduki Toni.

“Gimana persiapannya Kak? Udah deket ya tanggalnya?” tanya Helnina.

“Iya, udah enam bulan ini,” jawab Rina.

“Semoga lancar ya nanti Kak,” ujar Helnina.

Rina tersenyum canggung pada Helnina. Rina melihat ke arah meja lalu memandang ketus ke arah Toni.

“Mas, kok gak disediain minum?” tanya Rina.

“Gak usah, gak usah. Aku cuma mau mampir bentar Kak. Tadi aku dihubungin masalah kerjaan sama Toni. Nah, aku mau nawarin sekalian,” ujar Helnina.

Rina memperhatikan Helnina dengan serius.

“Emang ini film pendek sih. Tapi kalo hasilnya bagus, kita bisa tembusin ke Produser juga. Jadi kayak pancingan gitu buat versi film panjangnya,” jelas Helnina.

“Butuh buat kapan ini?” tanya Toni.

“Kalo bisa bulan depan udah ada draft satunya. Buat film pendeknya ini nanti juga ada fee-nya. Aku kan juga nyoba Produserin di film pendek ini, masa baru nyoba udah gak ngasih fee?” ujaar Helnina.

Rina memandangi Toni yang terdiam mempertimbangkan tawaran ini.

“Tapi ini peluang buat tembus ke proyek selanjutnya gede?” tanya Toni.

“Aku usahain. Dulu aku pernah nerima potongan fee sama Produser ini. Nah mau kucoba rayu-rayu juga. Itung-itung balas budi yang kemarin gitu hehe,” jawab Helnina.

Toni menganggukkan kepalanya.

“Makanya bikin cerita yang unik. Arthouse-arthouse gitu gapapa deh,” ujar Helnina.

Rina masih memandangi Toni yang mengernyitkan dahinya, terlihat fokus.

“Gimana? Mau gak?” tanya Helnina.

...****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!