NovelToon NovelToon

Pembalasan Sang Pelakor

Asal Mula

Napas seorang wanita muda tercekat kala mendengar sepasang lelaki dan perempuan tengah merencanakan sebuah rencana pembunuhan terhadap dirinya. Tubuh wanita itu gemetar hebat disertai bulir keringat yang menetes di kening dan pelipis. Telapak tangannya terasa dingin dan lembab, ditambah degup jantung yang memompa lebih cepat dari biasanya.

"Mereka ... merencanakan pembunuhan terhadapku?" gumamnya lirih. Ia menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Tak percaya dengan apa yang didengar olehnya barusan.

Tanpa sadar, mengulurkan tangan ke udara dan mengusap permukaan perut yang terlihat masih rata. "Tidak ... mereka tidak boleh membunuhku dan bayi ini. Ya ... aku harus kabur sebelum mereka berhasil membunuhku," ucapnya lagi setelah sadar dari keterkejutannya. Bertekad melarikan diri agar kedua orang itu tak berhasil menjalankan rencana busuk yang telah disusunya secara apik.

Wanita itu mundur secara perlahan, mengatur agar suara langkah tak menggema memenuhi penjuru ruangan dan menyebabkan kedua orang di depan sana menyadari kehadirannya. Akan tetapi, usahanya itu tetap sia-sia ketika tanpa sengaja ujung sikunya menyenggol vas bunga yang ada di atas meja.

Prang!

"Kurasa ada seseorang yang tengah menguping. Ayo, kita cari tahu siapa orang itu! Jangan sampai dia membocorkan rahasia ini sebelum tujuan kita berhasil." Tanpa membuang waktu, wanita berambut sebahu keluar dari ruangan yang pintunya tak tertutup rapat disusul kekasihnya mengekori di belakang.

"Sial! Pantas saja orang itu bisa menguping, rupanya pintu ini tidak tertutup rapat!" gerutunya kala menyadari daun pintu berwarna coklat itu tak tertutup rapat.

Terus berlari mengejar seseorang yang telah menguping pembicaraan rahasia antara dirinya dan sang kekasih. Melewati setiap lorong gedung perkantoran hingga netra wanita itu dapat melihat seorang wanita muda berlari menuju pintu lift. Mengerahkan segala kemampuan untuk mengejar, tetapi sayang benda persegi terbuat dari besi itu terlanjut tertutup dan mulai membawa seseorang itu turun menuju lantai parkiran basement.

Suasana gedung perkantoran yang sepi, karena para karyawan telah selesai bekerja sehingga tak ada satu orang pun tahu jika nyawa seorang wanita muda tengah terancam.

"Sialan! Sebaiknya kita gunakan tangga darurat, sebelum dia kabur!" seru sang lelaki berpenampilan keren dengan tubuh kekar dan berparas tampan seperti Dewa Yunani saat tangannya terus menekan tombol lift tetapi pintu lift tak mau terbuka.

"Baby, tunggu!" Sang lelaki berteriak, meminta wanita muda itu untuk berhenti. Namun, wanita itu terus berlari menuju parkiran basement.

Terjadi aksi kejar-kejaran antara dua mobil mewah itu di jalanan yang terlihat lenggang. Beberapa kali bunyi klakson terdengar saat mobil yang dikendarai si wanita muda itu menyalip kendaraan roda empat di depannya tanpa memberikan sinyal terlebih dulu.

"Cepat, kejar! Jangan sampai dia kabur!" pekik seorang wanita yang duduk di sebelah kursi kemudi.

Lelaki itu menganggukan kepala sebagai respon atas perintah kekasihnya. Lantas, ia menginjak pedal gas sehingga kendaraan mewah yang dibanderol berharga ratusan juta rupiah memecah jalanan tol ibu kota.

Saat tiba di sebuah jalanan sepi terletak di pinggiran kota Bandung, wanita muda itu turun dari mobil karena bahan bakar kendaraan miliknya habis akibat terus melaju, menghindari kejaran orang-orang jahat itu. Dengan sangat terpaksa, ia berlari menyusuri keheningan hutan belantara yang jarang terjamah oleh siapa pun.

"Baby, berhenti! Sebaiknya kamu kembali, kita bicarakan masalah ini baik-baik." Lelaki itu berteriak kencang sambil mengejar wanita muda yang tak lain adalah istrinya.

"Tidak mau! Sampai kapan pun, aku tidak akan mau kembali padamu!" balas wanita muda itu. Napasnya tersengal-sengal, merasakan dadanya terasa sesak.

Ia hampir kehabisan oksigen karena terus berlari tanpa henti. Ditambah kondisi tengah berbadan dua, membuatnya mudah terasa lelah. Berharap terlepas dari kejaran suami dan kekasih gelap sang suami, meski tahu harapan itu minim. Tapi setidaknya ia sudah berusaha terlepas dari orang-orang jahat itu.

"Dasar wanita sinting! Usahamu hanya sia-sia, karena pada akhirnya kamu pun akan mati ditangan kami. Jadi, sebaiknya kamu kembali. Kita bicarakan baik-baik. Siapa tahu kamu bisa bebas setelah ada kesepakatan di antara kita berdua." Kekasih gelas dari suami wanita itu ikut membuka suara, membujuk agar aksi kejar-kejaran ini terhenti.

Sejujurnya ia sudah kelelahan karena terus memburu wanita muda itu. Cuaca semakin gelap, ditambah suasana sepi mencekam membuatnya sedikit ketakutan berada di dalam hutan yang jarang terjamah oleh siapa pun.

"Omong kosong! Aku tahu isi kepalamu apa! Kamu itu wanita licik yang tidak mempunyai hati nurani!"

Tidak terima dikatai licik, wanita berambut sebahu itu berkata. "Jal*ng! Awas kamu ya, aku beri pelajaran kalau sudah tertangkap!"

Wanita muda yang dipanggil baby, oleh sang suami menghentikan langkah kala melihat di depan sana sebuah sungai dengan aliran deras menghambat langkahnya untuk bisa melarikan diri dari sepasang kekasih jahat itu. Ia membalikan badan, namun rupanya di hadapan wanita itu sudah berdiri dua sosok manusia berhati iblis yang berniat mencelakainya.

"Kemarilah, Baby. Ayo sini, ikut pulang bersamaku. Kasihan anak kita bila kamu terus berlari menghindariku."

Wanita muda itu menggelengkan kepala dengan cepat seraya berkata, "Tidak mau, Mas! Aku sudah tidak percaya lagi padamu. Kamu dan wanita itu bekerjasama ingin melenyapkanku dari muka bumi ini. Padahal aku ini istrimu, tetapi mengapa kamu tega melakukan itu padaku?" Bibirnya gemetar ketika mengucapkan kalimat itu. Jantungnya terasa seperti ditikam oleh sebilah pisau, menancap hingga menembus ke sumsung tulang yang terdalam.

Lelaki yang sangat dicintai oleh wanita muda itu dengan segenap jiwa dan raga, tega mengkhianatinya. Bermain api dengan sang sekretaris dan berencana melakukan pembunuhan demi merampas harta kekayaan keluarga Wijaya. Ia tak pernah mengira jikalau lelaki yang dinilainya baik, setia dan penuh kasih sayang ternyata menyimpan sebuah rahasia besar dalam hidupnya.

"Heh, seharusnya kamu itu sadar diri, siapa dirimu yang sebenarnya! Tampang pas-pasan, mana selevel jika dibandingkan dengan suamimu ini." Tersenyum mengejek ke arah wanita muda itu. "Kamu dan dia bagai langit dan bumi, sangat jauh berbeda. Suamimu itu tampan, sedangkan kamu?" Tubuh wanita berambut panjang sebahu bergidik, merasa jijik melihat penampilan wanita di hadapannya.

"Kamu itu tidak cantik, bahkan bisa dikatakan sangat jauh dari kesan cantik. Kamu cuma itik buruk rupa, yang bersembunyi di balik semua harta kekayaan milik keluargamu. Jadi, jangan harap suamimu dapat jatuh cinta pada wanita jelek seperti kamu!"

"Asal kamu tahu, suamimu itu menikahimu hanya karena mengincar harta kekayaan keluarga Wijaya bukan karena dia benar-benar tulus mencintaimu. Jadi ... berhentilah merasa kalau dirimu itu sangat berarti di dalam hati kekasihku, karena selamanya dia hanya mencintaiku seorang." Merangkul lengan pria di sebelahnya sambil bergelayut manja, seakan ingin menunjukkan pada wanita muda itu jikalau dirinya lebih segalanya di banding nona muda Wijaya.

"Tidak! Itu tidak mungkin. Suamiku tulus mencintaiku!" pekik histeris nona muda Wijaya. Tak percaya akan semua kata-kata yang terucap dari lidahnya yang tajam setajam silet.

Seringai wanita itu semakin lebar karena sukses membuat nona muda Wijaya terprovokasi. Satu rencananya berjalan lancar, tinggal menjalankan rencana selanjutnya. "Bukan cuma tampang jelek, rupanya otakmu pun tumpul hingga tak dapat melihat bagaimana dirimu di mata kekasihku ini. Kamu ... cuma digunakan sebagai mesin ATM yang 'kan dikeruk uangnya setiap hari hingga seluruh harta kekayaan keluargamu habis tak bersisa."

"Tidak, kamu pasti bohong! Suamiku tulus mencintaiku. Kamu ... cuma ingin mengadu domba antara aku dan suamiku saja, 'kan?"

"Dasar iblis! Pelakor! Tidak tahu malu!" terus memaki kekasih gelap sang suami.

Suara tawa melengking menggema ke sekitar hingga membuat beberapa burung terbang, mencari tempat persembunyian lain. Insting mereka mengatakan kalau tempat ini bukanlah tempat peristirahatan yang cocok bagi mereka kawanan hewan bersayup tersebut.

"Bodoh! Benar-benar, bodoh!" Wanita berambut pendek itu melepaskan rangkulan tangan dari sang kekasih. Melangkah maju secara perlahan, sambil menatap tajam ke arah depan. "Kamu pikir, ucapanku ini hanya isapan jempol biasa. Begitu?"

Menggerakan jari telunjuk ke depan sambil berkata, "No ... no ... no ... aku berkata serius, Nona. Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Aku ... bersungguh-sungguh. Suamimu itu ... tidak pernah mencintaimu."

Melihat wanita berambut panjang itu melangkah maju, maka di saat bersamaan, nona muda Wijaya mundur ke belakang. Perasaan cemas bercampur takut karena wanita gila itu terus mendekatinya. Ia takut jikalau malam ini dirinya akan pergi menyusul mendiang ayahnya yang baru saja meninggal dua bulan lalu.

Kalau itu terjadi, bagaimana dengan nasib dirinya dan juga bayi dalam kandungannya? Mungkinkah ia masih dapat membesarkan anaknya setelah kejadian hari ini? Ataukah ia harus kehilangan bayi itu untuk selama-lamanya?

.

.

.

Let's Enjoy The Show!

"Rapat siang hari ini, kita akhiri sampai di sini. Saya harap, kepada seluruh ketua tim beserta anggotanya mohon kerjasama kalian demi kesuksesan proyek kita bersama," ucap lelaki tampan berusia sekitar tiga puluh tahun yang memimpin rapat pada siang hari itu. Lelaki itu bernama ... Devan Smith.

Devan Smith, merupakan kepala kantor cabang di Surabaya sekaligus putra dari pemilik perusahaan Smith Kontruksi, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Sudah tiga tahun lamanya anak pertama dari Alvin Smith menjabat sebagai kepala kantor cabang di kota Pahlawan, membantu sang papa mengurusi perusahaan tersebut.

Pria itu beserta sang adik yang bernama Clarissa Dianti Jenia Smith diminta oleh Alvin Smith untuk membantu mengurusi perusahaan yang ada di Surabaya, kota kelahiran Belinda Smith--ibunda tercinta yang sudah tiga tahun meninggal dunia.

"Baik, Tuan," sahut seluruh karyawan termasuk Clarissa, adik dari Devan. Lantas, satu per satu dari anggota rapat meninggalkan ruangan yang berada di lantai dasar sebuah gedung berlantai empat di jalan Noveltoon Permai, kota Surabaya.

"Ris, makan siang di luar yuk! Aku malas kalau harus makan makanan di kantin terus setiap hari," ajak Dahlia, sahabat Clarissa.

Clarissa yang saat itu sedang merapikan semua dokumen penting milik perusahaan, melirik sekilas ke arah sahabatnya dan kembali melanjutkan kegiatannya. "Siang ini aku ada janji bertemu dengan seseorang, Li. Maaf ya, tidak bisa menerima ajakanmu."

Clarissa menolak ajakan Dahlia secara halus. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu memang sudah membuat janji dengan seseorang, makan siang di sebuah restoran terkenal di kota Surabaya.

Mendengar jawaban sang sahabat, Dahlia memicingkan mata seraya memperhatikan wajah cantik di hadapannya dengan seksama. Aura kecantikan wanita itu terpancar dari dalam meski hanya mengenakan pulasan make up tipis, tetapi mampu memikat hati para kaum Adam di muka bumi ini.

Tidak ada satu orang pria pun yang tak terpesona akan kecantikan anak bungsu Alvin Smith karena memang Clarissa adalah bidadari tercantik yang ada di perusahaan Smith Konstruksi. Senyuman manis yang diberikan oleh wanita itu mampu memporakporandakan hati siapa saja yang melihatnya. Jadi, tidak heran jikalau banyak lelaki berlomba-lomba mendekati wanita itu.

"Bertemu seseorang? Siapa? Tuan Albert? Tuan Galvin? Atau siapa, Ris?" tanya Dahlia penuh selidik. Terlalu banyak kekasih yang dimiliki Clarissa hingga Dahlia sendiri tak tahu saat ini sahabatnya itu tengah menjalin kasih dengan siapa.

Selama tiga tahun, entah sudah berapa banyak lelaki yang menjadi korban Clarissa akibat diputus cinta secara sepihak. Kebanyakan dari mereka adalah para pria hidung belang yang tukang selingkuh dan suka mempermainkan perasaan pasangannya. Meskipun terkenal sebagai playgirl karena sering gonta ganti pasangan, Clarissa dapat menjaga diri dan tak pernah sekalipun menjajakan tubuhnya untuk dinikmati oleh para mantan kekasihnya. Tetap menjaga kesucian diri hingga tiba saatnya ia memberikan kehormatannya pada seorang pria yang memang berhak atas dirinya.

Clarissa mendengkus kesal kala mendengar nama para mantannya kembali diungkit. Ia sangat membenci mereka karena semua mantan kekasihnya adalah tukang selingkuh yang tega menyakiti perasaan pasangannya dengan berbagai macam alasan.

"Bukan di antara kedua pria itu, Li! Aku dan kedua pria itu sudah lama putus. Kamu sendiri tahu 'kan masalah ini, tapi kenapa masih membahasnya?"

Dahlia menghela napas dalam. "Entahlah, aku sudah melupakannya. Mungkin, karena terlalu banyak pria yang keluar masuk ke dalam hatimu hingga membuatku mendadak jadi amnesia."

Wanita cantik bermata almond dengan bulu mata lentik dan bibir mungil menatap Dahlia dengan tatapan lekat. Tahu betul bahwa saat ini sahabatnya itu tengah menyindirnya secara halus. "Jangan bicara begitu, kalau Tuhan mengabulkan do'amu, bagaimana? Kamu betulan amnesia, lalu Kak Devan didekati wanita lain, kapokmu kapan!"

Refleks, Dahlia mengetuk-ngetukan tulang jari telunjuk ke bagian kening kemudian mengetuk atas meja sambil berkata. "Amit-amit, jabang bayi. Jangan sampai itu terjadi."

Clarissa terkekeh pelan melihat sikap konyol sahabat sekaligus calon kakak iparnya itu. "Maka dari itu, kamu harus pandai menjaga lisan agar tidak mudah mengucapkan kata-kata yang malah akan menjadi boomerang bagimu." Wanita itu meraih sling bag di atas kursi, lalu menyampirkannya di pundak. "Ya sudah, aku pergi dulu. Kalau mau pergi makan, berdua saja dengan Kak Devan. Kalian berdua butuh waktu lebih banyak untuk saling mengenal sebelum akhirnya mengikrarkan janji suci di hadapan penghulu."

Kaki jenjang dibangkus celana bahan berwarna hitam melangkah mendekati kursi Devan. Saat tiba di samping kakak lelakinya, Clarissa membungkukan tubuhnya sedikit, kemudian berbisik. "Ajak calon kakak iparku makan di luar, Kak. Luangkan sedikit waktu untuknya. Urusan pekerjaan bisa ditunda, kalau urusan jodoh tidak. Jangan sampai Dahlia berpaling karena Kakak terlalu sibuk bekerja."

Devan menatap tajam ke arah Clarissa, seakan ia berniat menerkam adiknya itu saat ini juga. Akan tetapi, wanita cantik berusia dua puluh tiga tahun itu bersikap biasa saja, tak merasa terintimidasi.

"Kamu?"

Belum usai Devan menyelesaikan kalimatnya, Clarissa sudah kembali berkata. "Sudahlah, lebih baik aku pergi sekarang. Masih banyak para lelaki hidung belang yang siap kupatahkan hatinya." Telapak tangan wanita itu terangkat ke udara, lalu melambaikannya dengan posisi membelakangi Devan dan Dahlia. "Selamat bersenang-senang Kakak dan calon Kakak Iparku!"

Dengan membawa tumpukan beberapa laporan berkas perusahaan, ia berlenggak lenggok layaknya seorang pragawati yang tengah memeragakan busana di atas runaway. Tersenyum manis saat berpapasan dengan beberapa karyawan di perusahaan milik sang papa. Meskipun ia adalah anak dari pemilik perusahaan, tetapi wanita cantik itu memiliki sifat rendah hati, tak pernah sombong dan selalu menghargai orang lain.

Oleh karenanya, saat kabar burung berembus di kalangan para karyawan yang mengatakan bahwa putri dari pemilik perusahaan kontruksi terkenal di tanah air merupakan seorang pelakor kelas kakap, mereka tidak langsung menelan mentah-mentah berita itu. Karena sepengetahuan mereka selama ini sikap Clarissa biasa saja seperti wanita lain pada umumnya.

Kini, Clarissa sudah berada di dalam mobil mewah berwarna silver miliknya. Duduk manis di balik kemudi, sambil mengirimkan pesan pada seseorang.

[Bagaimana, apakah semuanya sudah kamu atur dengan baik?]

[Sudah, Nona. Semuanya sudah sesuai dengan rencana. Nona bisa menjalankan tugas seperti biasanya.] balas seseorang di seberang sana.

[Oke. Aku percaya padamu. Sebelum pergi, tolong kamu pastikan sekali lagi kalau semuanya telah sesuai dengan rencana. Jangan sampai kali ini gagal, sebab kalau tidak maka nama baik Papa-ku akan tercoreng. Mengerti?]

[Mengerti, Nona.]

Setelah bertukar pesan lewat salah satu aplikasi berwarna hijau, Clarissa memasukan kembali telepon genggam miliknya ke dalam sling bag yang ada di kursi sebelahnya. Ia menatap pantulan dirinya lewat kaca spion yang tergantung di depan. "Let's enjoy the show!" gumamnya disertai seringai penuh makna.

Dasar Pelakor!

"Halo, Mas," sapa Clarissa setelah ia tiba di salah satu restoran yang ada di kota Surabaya.

Siang itu, ia membuat janji temu dengan kekasihnya yang bernama, Hendra. Pria yang usianya terpaut dua puluh tahun dengan sang wanita. Ia dan pria itu sudah tiga bulan berpacaran dan seperti biasa, akan ada drama terjadi sebelum akhirnya si nona muda keluarga Smith memutuskan kekasihnya itu.

Kali ini Clarissa akan membuat sebuah pertunjukan yang sangat luar biasa. Mampu menguras emosi dan tentunya membuat wanita itu merasa puas karena berhasil memberikan pelajaran kepada para suami yang hobi berselingkuh di belakang pasangannya.

"Halo juga, Baby. Tumben sekali kamu datang terlambat. Mampir kemana dulu sih!" dengkus Hendra kesal, karena cukup lama menunggu kekasih pujaan hati. Sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Clarissa, wanita yang selalu hadir di setiap malam-malamnya dan selalu menjadi objek saat pria itu sedang melakukan penyatuan dengan sang istri.

Clarissa melingkarkan tangannya di lengan Hendra, lalu menyadarkan kapala di pundak kekasihnya. "Iih ... kamu kok bertanya begitu sih, Mas. Kamu curiga ya, kepadaku?" Berbicara dengan nada merajuk, berharap agar Hendra tidak marah dan acara makan siang yang telah disusun rapi berjalan dengan lancar.

Mendengar suara merdu nan menggoda iman, akhirnya Hendra luluh dan emosi dalam diri perlahan mulai mereda. "Bukan begitu. Hanya saja, aku sudah tidak tahan ingin segera bertemu denganmu, Baby. Sehari saja tak bertemu denganmu, rasanya seperti satu abad kita tidak berjumpa. Mas ... kangen sekali sama kamu, Cla." Mengusap lembut wajah mulus sang kekasih dengan penuh cinta.

Wanita cantik berambut pirang kecoklatan terkekeh pelan mendengar perkataan sang kekasih. "Ululu ... ternyata kekasihku ini sudah rindu berat ya, kepadaku."

Dasar tua bangka! Sudah tua bukannya tobat malah semakin menjadi-jadi! batin Clarissa.

Mengulum senyum di wajah, tetapi di dalam hati ia merutuki pria yang saat ini menjadi kekasihnya. Andai saja bukan demi membalas dendam, sudah pasti saat ini ia melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah pria itu karena telah lancang menyentuh tubuhnya dengan tangan kotor itu. Mencongkel penglihatannya karena berani-beraninya menatap ia dengan tatapan penuh hawa napsu.

"Ya sudah, bagaimana kalau kita makan saja! Cla sudah lapar, Mas," ucap Clarissa mencoba mengalihkan pembicaraan. Terlalu lama merangkul suami orang dan mencium aroma parfum pria itu, perut Clarissa terasa mual dan ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam perutnya.

Restoran itu cukup besar. Lukisan gunung Fuji dengan bunga sakura yang sedang bermekaran menjadi pemandangan pertama saat memasuki restoran tersebut. Terdapat beberapa meja kursi yang dapat dipilih bagi para pengunjung untuk menyantap hidangan khas negeri Sakura. Bukan hanya itu saja, pihak restoran pun mengenakan pakaian adat Jepang saat pelayani customer sehingga suasana terasa seperti berada di negeri Sakura betulan.

Seorang pelayan wanita mengenakan kimono datang menghampiri Clarissa dan Hendra. Tangan kanannya membawa buku menu, dan buku catatan. Sedangkan tangan kirinya memegang pena.

"Selamat siang, Tuan dan Nyonya. Ini adalah buku menu di restoran kami. Anda bisa melihat-lihatnya terlebih dulu sebelum memesan." Pelayan berpakaian kimono menggeser dua buah buku menu ke hadapan Clarissa. Sesekali melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum samar.

Clarissa pun tersenyum samar, nyaris tak terlihat oleh siapa pun. "Mas, kamu mau makan apa?" tanyanya kepada pria yang duduk di sebelahnya.

Hendra membaca menu hidangan yang ada di restoran itu, lalu berkata. "Bawakan aku Chef Donburi, Niku Miso Goma dan ice lemon tea."

"Kalau aku pesan Ohimesama, beef ramen dan ice ocha," ujar Clarissa.

Pelayan berpakaian adat Jepang bergegas mencatat semua pesanan Clarissa dan kekasihnya di kertas. "Ada lagi yang ingin dipesan?" tanyanya sebelum meninggalkan kedua customernya.

Dengan gerakan cepat Clarissa menggeleng. "Tidak ada."

"Sudah sana, segera buatkan makanan untuk kami! Jangan sampai membuat kekasihku semakin kelaparan!" seru Hendra.

Pelayan itu mengangguk, beranjak dari tempatnya dan melangkah menuju dapur. Namun, sebelum pergi, ia memastikan lagi pesanan kedua pelanggannya.

Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit, pelayan tadi membawakan nampan berisi macam-macam hidangan yang dipesan oleh Clarissan dan kekasihnya. Mata sang wanita berbinar, menatap makanan kesukaannya terhidang di atas meja.

"Silakan dinikmati, Tuan dan Nyonya. Apabila membutuhkan sesuatu, Anda bisa memanggil saya." Usai mengucapkan kalimat itu, ia pun bergegas undur diri dan melanjutkan pekerjaannya.

Hendra menyantap makanan berupa wagyu, telur ikan salmon, dan ikan sidat khas Jepang yang diletakkan di atas nasi. Olahan makanan itu terkenal dengan istilah Chef Donburi, salah satu makanan termahal yang ada di restoran tersebut. Sesekali mencuri pandang ke arah Clarissa yang sedang sibuk menyuapkan ramen kesukaannya ke dalam mulut.

"Cla ... Cla ... kamu itu sudah dewasa tetapi makan seperti anak kecil!" Tangan Hendra terulur ke depan, mengambil beberapa lembar tisu kemudian mengusap sudut bibir kekasihnya. Membersihkan cipratan mie yang menempel di sudut bibir.

Terlalu menikmati makanan kesukaannya, Clarissa sampai tak menyadari jikalau ada sedikit cipratan mengenai sudut bibirnya.

Tersenyum lebar sambil terus menyuapkan kuah ramen panas dengan tingkat kepedasan tiga ke dalam mulut, menikmati setiap tegukan yang masuk ke dalam tenggorokan. "Maklumlah, Mas, kalau sudah makan ramen maka aku akan lupa dengan segalanya. Ya ... rasanya hanya ada aku dan ramen ini saja di dunia ini."

Alih-alih tersenyum, Hendra mencebikkan bibir. Rasa cemburu dalam diri pria itu kembali bangkit, tidak terima jikalau Clarissa melupakan dirinya hanya karena semangkuk mie ramen pedas yang ada di hadapan wanita itu.

Dengan nada sinis pria itu berujar, "Berarti kamu pun akan melupakan aku, begitu? Seharusnya tadi aku buang saja ramen itu agar di dalam pikiranmu hanya ada aku seorang!"

"Astaga, Mas. Kamu ingin kenapa sih! Merasa cemburu pada makanan yang tak bisa melakukan apa pun. Dasar aneh!"

"Wajar saja cemburu. Kamu itu kekasihku dan aku tidak mau kalau sampai dirimu lebih memikirkan hal lain dibanding aku!"

Kumat deh, penyakit si Tua Bangka ini!

Mencoba tersenyum walau dalam hati sudah tidak tahan menghadapi sikap posesif dalam diri Hendra.

Clarissa meletakkan sumpit dan sendok di atas piring kecil, beringsut mendekati kursi sang kekasih. "Sudah ah, jangan marah-marah terus. Nanti, aura ketampananmu hilang loh." Kembali berucap dengan nada manja agar ia dapat menikmati hidangan yang telah dipesannya.

Lagi dan lagi Hendra luluh setiap kali mendengar suara merdu Clarissa. Bagi pria itu, suara kekasihnya seperti ada mantra sihir yang langsung membuat dirinya menuruti semua perintah wanita itu.

"Baiklah. Tapi ... janji, jangan berucap seperti itu lagi. Aku tidak suka. Mengerti?" Clarissa hanya menganggukan kepala sebagai jawaban.

Kemudian, dua insan manusia itu kembali menyantap hidangan mereka. Di saat tengah menikmati semua hidangan itu, tiba-tiba saja ....

"Dasar pel@kor!" teriak seseorang.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!