*Sebelum baca novel ini disarankan membaca Dijodohkan Dengan Cinta Pertamaku terlebih dahulu ya reader's.
...----------------...
Teriknya matahari yang sangat menyengat membuat malas untuk berlama-lama di luar ruangan. Jam sudah menunjukkan pukul 14.40, namun yang ditunggu-tunggu belum terlihat juga.
Naima beberapa kali melihat ke arah pintu gerbang namun ibunya belum juga nampak. Dia berteduh di bawah pohon yang cukup rindang di halaman sekolahnya.
"Ya ampun, Mimi mana, sih!" gumam Naima sendiri sembari berulang kali melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Tiba-tiba sebuah pengendara motor berhenti tepat di hadapannya.
"Nai, belum dijemput? Aku antar yuk!" ujar Panji menawarkan tumpangan. Dia adalah teman satu kelasnya di kelas XII.
"Eh, Ji nggak usah. Tadi mimiku udah bilang mau jemput, kok. Mungkin masih di jalan," ujar Naima berkata yang sesungguhnya.
"Oh, dijemput. Ya udah kalau gitu gue duluan, ya, Nai?"
"Iya, hati-hati di jalan," ujar Naima sembari tersenyum.
MasyaAllah senyumnya manis banget sih nih cewek! batin Panji seraya membalas senyuman Naima.
Dia memang sejak dulu menyukai Naima namun hanya bisa mengaguminya dalam diam. Dia tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya kepada Naima. Sebab, dia sadar diri jika Naima cukup religius, sehingga murid badung seperti dirinya yang rajin bolos pasti tidak akan mungkin dilirik oleh Naima.
Sepeninggal Panji, Naima kembali duduk pada bangku yang tersedia di bawah pohon tempatnya menunggu. Tak berapa lama terlihat sebuah mobil yang ia kenali tiba di samping gerbang sekolah.
"Alhamdulillah, itu 'kan, Mimi!" gumamnya kemudian segera berlari menuju mobil miminya terparkir.
Naima berdadah-dadah dengan senyum ceria, kemudian masuk ke dalam mobil.
"Assalamu'alaikum, Mi," ujarnya seraya mencium punggung tangan miminya.
"Wa'alaikumussalam. Maaf ya, Sayang. Tadi Mimi berhenti dulu di jalan. Berulang kali ada telepon masuk dari Didi. Mimi jadi kepikiran takut ada yang penting," tutur Mira menjelaskan.
"Terus, Didi bilang apa ditelepon, Mi?" tanya Naima.
"Oma masuk rumah sakit, Sayang," ungkap Mira.
"Innalilahi, Oma kenapa, Mi?" tanya Naima khawatir.
"Mimi juga belum tahu pasti, tapi didi bilang habis jemput kamu Mimi diminta bersiap-siap, dua jam lagi Didi akan jemput Mimi untuk berangkat ke bandara sore ini juga," tutur Mira menjelaskan pesan dari suaminya.
"Terus Naima gimana, Mi? Nai, pengen ikut Mimi sama didi ke Jakarta. Nai, juga pengen tahu keadaan, oma. Tapi, Senin depan Naima ada try out di sekolah, Mi!" ujar Naima dengan sendu.
"InsyaAllah, oma akan baik-baik saja, Sayang! Kamu nggak usah ikut, ya?"
"Terus Nai sama siapa dong? Nai, nggak berani ah, di rumah sendiri." rengek Naima.
Di rumah pembantu hanya diperkerjakan dari pagi sampai sore. Setelah itu malamnya hanya ada keluarga inti yang tinggal di rumah. Jika Mira dan Dipa ke Jakarta otomatis Naima akan sendirian di rumah.
"Oh iya, aduh Mimi belum kepikiran hal itu tadi. Kamu kan penakut!" ujar Mira seraya melirik singkat ke arah putrinya yang penakut dengan kesepian dan sendiri. Sehingga tidak pernah ditinggal lama bahkan sampai menginap di luar ketika malam hari.
"Pokoknya, Nai nggak mau ya kalau musti di rumah sendirian!" ancam Naima.
"Sebentar, Nai. Kasih Mimi waktu sejenak untuk memikirkan hal itu," ujar Mira.
Suasana di mobil berubah hening dengan pikiran mereka masing-masing.
......................
Sesampainya di rumah Naima segera masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti baju dan bersih-bersih. Begitupun dengan Mira segera masuk ke dalam kamarnya untuk berkemas barang bawaan yang akan dibawa.
Beruntungnya di rumah mama Shinta masih tersedia beberapa baju ganti untuk mereka. Sehingga tidak perlu membawa banyak barang bawaan di pesawat.
Drrrt drrrrrt.
Tiba-tiba terdengar handphone Mira berbunyi tanda ada panggilan masuk. Mila segera menggeser tombol hijau pada layar handphone-nya.
"Assalamu'alaikum. Hallo, Reyn?" ujar Mira saat mengangkat telepon. Rupanya yang menelepon adalah Reyna.
"Wa'alaikumussalam. Hallo, Mir. Apa kabar, Mir?" tanya Reyna dari seberang.
"Alhamdulillah, baik, Reyn. Ada apa, nih?" tanya Mira yang merasa tidak perlu banyak basa-basi karena dia sedang buru-buru berkemas sebelum Dipa datang.
"Mir, aku sekarang lagi di Yogyakarta. Kak Abi mau meresmikan cabang cafenya di Yogya. Nanti malam kita akan mengadakan acara peresmiannya. Kami mengundang kalian sekeluarga untuk datang. Gimana, kalian bisa datang 'kan?" tanya Reyna.
"Aduh ... maaf banget, Reyn. Kita nggak bisa datang, nih. Mama Shinta masuk rumah sakit. Sore ini aku sama Dipa berangkat ke Jakarta. Ini aja aku buru-buru lagi packing bawaan. Eh, tunggu-tunggu!" seru Mira tiba-tiba.
"Kenapa, Mir?" tanya Reyna yang sontak ikut panik dengan kepanikan Mira.
"Alhamdulilah, ya Allah! Emang lo tuh hadir di saat yang tepat, Reyn. Emang sahabat sejati, deh! hihihihi...!" Mira nampak terdengar sangat girang.
"Apa sih kebiasaan deh ketawa dulu sebelum maksudnya tersampaikan! Ada apa sih, Mir?" tanya Reyna antusias. Dia merasa heran karena sampai sudah menjadi ibu-ibu beranak gadis tapi kekonyolan Mira masih tidak hilang.
"Reyn, gue titip anak gue, ya? Naima senin ada try out. Naima aja yang datang ke rumah kamu menghadiri perwsmian, ya? Sekalian nginep, aku nitip dia beberapa hari sampai aku kembali dari Jakarta. Soalnya dia tuh penakut banget. Nggak berani di rumah sendirian. Kebetulan 'kan di sana ada Aleysha. Jadi, Naima ada temannya deh!" tutur Mira panjang lebar.
"Oh, gitu. Oke, Mir anter aja ke rumah aku! Oh, ya semoga tante Shinta segera pulih ya, Mir. Tolong sampaikan salam aku buat tante Shinta. InsyaAllah nanti kalau sudah balik ke Jakarta aku jenguk ke rumah."
"Iya, Reyn. Aamiin. Sebelumnya terima kasih atas bantuannya ya, Reyn? Aku tutup dulu teleponnya, mau bilangin ke Naima buat packing baju dan barang-barang dia buat dibawa nginep di rumah kamu," ujar Mira.
"Oke, Mir. Ya udah semoga perjalannya ke Jakarta lancar ya, Mir? Assalamu'alaikum."
"Iya, Reyn. Wa'alaikumussalam."
Telepon ditutup.
Mira segera bergegas ke luar kamar untuk menyampaikan rencananya bersama Reyna barusan. Dia sangat bersyukur setidaknya Naima bisa dititipkan pada orang yang tepat.
Naima pun setuju dengan ide Mira untuk menginap di rumah Reyna beberapa hari. Sebab, dia bersama orang-orang yang sudah dikenalnya sebelumnya. Sehingga pasti akan nyaman dari pada tinggal di rumah sendirian.
Setibanya Dipa mereka bergegas pergi ke rumah Reyna terlebih dahulu untuk menitipkan Naima. Setelah itu Dipa dan Mira berpamitan dan bergegas ke Bandara karena jam keberangkatan sudah mepet.
"Naima, kamu bisa tidur di kamar ini dengan Alesha, ya? jika perlu sesuatu jangan sungkan-sungkan untuk mengatakannya kepada, Tante!" ujar Reyna pada Naima.
Aleysa dan Naima sebelumnya sudah sering bertemu karena Reyna dan Mira adalah sahabat sedari kuliah. Jarak usia mereka yang hanya dua setengah tahun membuat mereka mudah akrab. Sehingga, Naima tidak akan merasa kesepian berada di rumah Reyna.
..._______Ney-nna_______...
Naima disambut baik oleh keluarga besar Reyna yang saat itu sudah berkumpul di rumah belakang resto. Naima menyalami Oma Maya yang baru datang bersama keluarga kecil Fely. Semuanya berkumpul di rumah itu sebelum berangkat ke acara peresmian.
"MasyaAllah cantiknya. Naima, kelas berapa?" tanya Fely pada Naima yang duduk di sampingnya.
"Kelas XII, Tante," jawab Naima sopan dengan sedikit tersenyum.
"Oh ya? Sama dong dengan anak, Tante. Rasya juga kelas XII. Eh, itu anaknya ...," ujar Fely seraya menunjuk pada Rasya yang baru muncul dari arah pintu utama.
Naima pun menoleh mengikuti arah yang ditunjuk oleh Fely. Nampaklah dua orang pemuda muncul tengah berjalan masuk ke ruang tamu kemudian menyalami Oma Maya dan orang dewasa lainnya.
Kedua pemuda itu menoleh saat Fely melambaikan tangan kepada mereka. "Sini!"
Kedua pemuda itu lantas berjalan mendekat menghampiri Fely.
Pandangan Naima mengarah pada cowok yang berdiri di samping Rasya. Pemuda itu lebih menarik perhatiannya sebab nampak asing baginya. Naima penasaran siapakah gerangan cowok tampan yang berpenampilan keren itu?
"Tante ...," ujar pemuda yang datang bersama Rasya itu lalu menyalami Fely.
"MasyaAllah, tambah ganteng aja sih ponakan Tante yang satu ini!" ujar Fely.
"Tante bisa aja. Tan, aku ke dalam dulu, ya? Mau cari Mama!" ujarnya.
Terlihat pemuda itu menyampirkan sebuah ransel besar di punggungnya.
"Iya, sekalian istirahat dulu, gih!" ujar Fely.
Naima sedikit tercengang saat pemuda itu beranjak pergi begitu saja ketika melewatinya. Bahkan tanpa menyapanya terlebih dahulu. Naima semakin penasaran dengan sosok pemuda tampan itu.
"Tante, yang barusan tadi siapa?" tanya Naima yang tidak sabar untuk memecahkan pertanyaan yang bercokol di benaknya.
"Oh, itu tadi 'kan Reynand, kakaknya Alesha. Kamu nggak ingat?" tutur Fely.
Naima sontak membulatkan mulutnya. Dia tidak menyangka jika pemuda itu adalah Reynand. Sebab, terakhir kali bertemu Reynand memang sudah sangat lama sekali. Yaitu ketika Reynand masih berusia sepuluh tahun, kini dia tumbuh dewasa menjadi laki-laki yang sangat tampan.
"Eh iya ... Rasya, kamu ingat nggak sama Naima, anaknya tante Mira," ujar Fely memperkenalkan Naima kepada putranya.
"Hai, Nai?" sapa Rasya seraya mendudukkan diri di samping mamanya.
Naima menganggukkan kepala seraya tersenyum kepada Rasya. "Kami satu sekolah Tante, tapi beda kelas," ujarnya.
"Oalah, jadi kalian sudah kenal? Baguslah kalau begitu, Naima 'kan jadi ada temennya," tutur Fely.
Tiba-tiba datang Alesha membawa sekotak dessert box di tangan. "Nai, cobain deh dessert box buatan Tante Fely yang endulita banget!"
"Wah, Tante Fely pinter bikin kue, ya? kelihatannya enak, nih!" ujar Naima seraya menyendok satu suap dessert box kemudian memasukkan ke dalam mulutnya.
"Gih, cobain, Nai!" ujar Fely.
"Emm, beneran enak banget, Tante!" ujar Naima seraya mengacungkan jari jempol ke hadapannya.
"Makasih, Nai," ujar Fely seraya tersenyum. "Dessert box ini ada historynya lhoh!"
"Oh ya, apa historynya, Tante?" tanya Naima.
"Dari dessert box nancep ke hati, iya kan, Tante?" Alesha menimpali seraya terkekeh.
"Maksudnya?" tanya Naima yang tidak mengerti.
"Seru banget, lagi bahas apa, sih?" Raka ikut bergabung dan mendudukkan dirinya di samping Fely.
"Jadi, dulu tuh berawal dari memakan dessert box buatan Tante, Om Raka mulai jatuh hati sama Tante Fely, Nai. Benarkan, Om?" tutur Alesha.
"Oh iya, bener. Dessert buatan Diajeng emang nyess sampai di hati!" gombal Raka seraya menjawil dagu istrinya.
"Ish, Papa malu ih. Kaya yang remaja bucin aja!" gerutu Rasya jengah. Sebab, dia sudah terlampau sering mendengar kisah dessert box ini diulang-ulang kepada siapa saja yang baru mereka temui.
"Nggak apa-apa, Rasya. Justru aku seneng lhoh dengar kisah cinta mama dan papa kamu yang sweet. Kisah itu pasti memiliki kesan tersendiri buat mereka. Dan setiap orang pasti akan mempunyai kisah indahnya masing-masing. Tak peduli orang lain suka atau tidak mendengarnya, tapi hal itu adalah kenangan indah yang tidak terlupakan bagi mereka," tutur Naima mengemukakan pendapatnya.
"Naima, aduh Tante seneng banget deh sama kata-kata kamu. Tante juga sepemikiran dengan kamu. Rasya tuh, suka sensi aja sama Mama. Belum tau sih rasanya jatuh cinta!" cerocos Fely.
Rasya memutar bola matanya jengah.
"Udah, Diajeng kita bersiap dulu aja yuk! Bentar lagi 'kan mau ke peresmian!" tutur Raka menengahi.
"Oh, iya. Naima, Tante tinggal dulu, yah. Kalian juga buruan bersiap gih!" ujar Fely.
"Iya, Tante."
Satu jam kemudian Naima telah usai bersiap dengan mengenakan gaun sederhana berwarna silver dan juga sudah selesai berdandan dengan make up natural atas bantuan Alesha. Mahasiswi semester lima itu memang pandai berdandan ala anak muda jaman sekarang.
"Kamu tuh kalau didandani kelihatan cantik banget deh, Nai!" ujar Alesha memuji hasil karyanya mendandani Naima.
"Kak Esha'nya aja yang jago dandanin. Lain kali ajarin aku cara pakainya ya, Kak? pulasan make up Kak Esha tuh beda sama caranya Mimi berdandan," tutur Naima seraya berkaca di depan cermin.
"Kamu bisa aja deh, mujinya, Nai. Ya udah yuk buruan keluar, kelamaan di sini ntar bisa-bisa kita ditinggal!"
"Oh iya, yuk, Kak!" Naima segera menyabet sling bagnya kemudian keluar kamar bersama dengan Alesha.
Rupanya di ruang tengah sudah sepi. Alesha dan Naima bergegas keluar rumah kemudian mengunci pintu. Terlihat Rasya menyender di belakang mobil seraya berkacak pinggang.
"Ya ampun, dasar cewek lama banget sih dandannya, Kak. Kita sampai ditinggalin sama yang lain, lhoh!" gerutu Rasya.
"Iya-iya, maaf keasyikan kalau ada temennya!" jawab Alesha seraya masuk ke dalam mobil bersama Naima. Mereka duduk di bangku belakang sedangkan Rasya duduk di depan bersama Reynand yang sudah siap mengemudi.
Naima, sempat melirik ke arah spion samping kemudi, dan disaat yang sama ternyata Reynand juga tengah melihat ke arahnya dari kaca spion yang sama.
Naima dengan cepat-cepat berpaling ke arah lain. Entah mengapa berada dekat dengan Reynand membuat badannya seketika panas dingin. Sepanjang jalan Naima seringkali mencuri-curi pandang ke arah Reynand. Namun, mereka masih belum saling bertegur sapa.
......................
Sesampainya di lokasi cafe baru rintisan Abiyu mereka semua segera masuk. Para karyawan dan kolega yang diundang juga sudah hadir dalam acara tersebut. Usai melakukan pemotongan pita dan potong tumpeng, semua tamu undangan dipersilakan untuk menikmati hidangan yang sudah tersaji.
Tiba-tiba Reynand merasakan kemerahan di sekujur tubuhnya dan terasa gatal. Reynand segera mencari keberadaan adiknya. "Sha, ayo pulang sekarang! Alergi aku kambuh, nih! pasti di makanan yang aku makan barusan ada seafoodnya!" keluh Reynand seraya gelisah mengusap badannya yang gatal.
Reynand memang memiliki alergi makan seafood seperti almarhum Rangga, ayah kandungnya.
Usai memberitahu Reyna perihal itu, Alesha segera menuju parkiran untuk mengambil mobil. Kini ia yang menyetir menggantikan Reynand. Sedangkan Naima memutuskan ikut pulang bersama mereka meskipun acara belum selesai.
..._______Ney-nna______...
Di dalam mobil Reynand nampak terus gelisah akibat alerginya. Seringkali ia mengusap kulitnya yang memerah karena merasa tidak nyaman. Melihat hal itu, Naima merasa iba. Namun, dia bingung tidak tahu harus berbuat apa karena baru pertama kalinya mengetahuinya.
"Sabar ya, Mas. Bentar lagi nyampe kok!" Tutur Alesha yang tidak tega melihat kakaknya menderita.
"Kak, nggak dibawa ke rumah sakit?" tanya Naima seraya berbisik kepada Alesha.
"Nggak perlu, kok. Dia udah biasa kayak gitu. Nanti habis minum obatnya juga sembuh," tutur Alesha tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan di depannya.
"Oh ...!" Naima mengangguk pelan tanda mengerti. Saat melirik ke arah belakang terlihat Reynand tengah menatap ke arahnya. Hal itu membuat Naima seketika berpaling ke arah depan saking malunya. Dalam hati dia bertanya-tanya mungkinkah Reynand mendengar pembicaraannya dengan Alesha barusan.
Sesampainya di rumah Reynand bergegas turun dari mobil, kemudian membuka pintu. Dia berjalan tergesa-gesa menuju kamarnya. Alesya dan Naima mengikutinya dari belakang.
Reynand nampak merogoh ke dalam tas ranselnya mencari obat alerginya. Usai meneguk dua butir obat alerginya itu Reynad ke luar dari kamarnya dan melewati mereka begitu saja.
"Kak, Mas Reynand mau ke mana?" Tanya Naima.
"Oh, paling ngambil air minum," ujar Alesha.
Naima beralih melihat-lihat ke dalam kamar Reynand. Kamar khas cowok yang cukup rapi dan terdapat beberapa foto yang diatur secara epik pada bagian dindingnya.
"Kak Esha, itu bukannya foto kita waktu kecil ya?" tanya Naima saat melihat sebuah bingkai foto yang lebih besar dari foto yang iain. Bingkai foto itu terpajang pada bagian tengah dinding.
"Oh iya bener, kamu lucu banget sih, Nai?" ujar Alesha sembari terkekeh. Dalam foto itu Reynand nampak menjahili Naima dengan memegangi rambut Naima yang dikuncir dua. Di dalam foto itu nampak Naima tersenyum dan terlihat gigi depannya yang ompong.
"Sekarang juga masih lucu kok, Kak!" Ujar Naima menimpali.
"Iya deh, iya!" Mereka berdua pun terkekeh.
Naima mengeluarkan handphonenya kemudian memotret foto tersebut agar bisa menjadi kenang-kenangan juga baginya. Lalu dia melihat pada foto-foto yang lain yang merupakan foto Reynand semasa kuliah.
"Yuk ah ganti baju dulu, udah gerah nih pake gaun beginian!" tutur Alesha kemudian keluar dari kamar itu. Naima bergegas mengikutinya dari belakang.
Mereka kemudian masuk ke dalam kamar Alesha. Mereka bergantian untuk membersihkan diri di kamar mandi. Dan, tak lupa Naima mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat isya karena tadi belum sempat salat.
Sedangkan Alesha yang sedang berhalangan memutuskan untuk tidur lebih cepat. "Nay, sebelum tidur jangan lupa kecilin lampunya, ya!" perintah alesha.
"Oke siap, Kak!" Jawab Naima kemudian segera mendirikan salat.
Usai salat Naima berniat menelepon orang tuanya. Dia ingin tahu bagaimana keadaan Omanya saat ini. Tapi, iya lupa menaruh handphonenya di mana. Naima celingukan ke sana ke sini mencari handphonenya. Namun, ia tidak juga menemukan keberadaan handphonenya itu di kamar Alesha.
"Aduh handphone aku di mana nih?" gumamnya bingung.
Setelah beberapa saat mencoba mengingat-ingat tentang terakhir kali menggunakan handphone, akhirnya ia teringat jika tadi sempat memotret foto di kamar Reynand. Ia teringat telah meletakkan handphonenya di atas meja belajar Reynand saat melihat foto-foto.
Naima lalu beranjak keluar dari kamar Alesha dan menuju ke kamar Reynand untuk mengambil handphonenya.
Nampak pintu kamar Reynand terbuka lebar-lebar. Namun tidak terlihat sang empunya kamar berada di sana. Naima menoleh ke arah pintu samping rumah yang terbuka, rupanya Reynand tengah duduk di teras taman sambil berbicara di telepon.
Naima mencoba menunggunya di luar kamar. Dia hendak meminta ijin terlebih dahulu untuk mengambil handphonenya, namun Reynand masih nampak asyik berbicara di telepon.
Setelah beberapa saat berdiri di depan pintu kamar Reynand, akhirnya Naima mulai kelelahan. Ia pun memutuskan untuk masuk saja ke dalam kamar itu tanpa ijin yang empunya kamar. Toh cuma sebentar untuk mengambil handphone, pikirnya.
Tak butuh waktu lama Naima langsung menemukan handphonenya yang masih bertengger di atas nakas. Naima segera mengambilnya dan memasukkan handphone itu ke dalam kantong baju piamanya.
Naima kemudian segera berbalik hendak keluar dari kamar itu. Namun, langkahnya terhenti saat menubruk sesuatu di depannya. Betapa terkejutnya dia saat melihat Reynand sudah berada tepat di hadapannya. Dan barusan yang ia tubruk adalah tubuh Reynand.
"Eh, Mas. I-ini a-aku ...." Naima nampak gugup saat kepergok oleh Reynand hingga sulit berkata-kata.
"Ngapain kamu ada di kamar aku?" tanya Reynand seraya melangkahkan kaki ke depan. Ia merasa gemas melihat tingkah lucu Naima yang seperti kucing yang tengah ketahuan mencuri ikan. Tiba-tiba terbersit sebuah ide untuk menjahilinya.
"A-aku cuma ...."
"Cuma apa?" Cecar Reynand dengan cepat untuk mengintimidasi Naima.
Reynand terus maju selangkah demi selangkah, sedangkan Naima turut memundurkan langkahnya seiring langkah Reynand. Hal itu ia lakukan demi menjaga jaraknya dengan Reynand. Hingga ia tersudut karena sudah mentok dengan dinding kamar itu.
Naima meremass horden jendela yang ada di sampingnya saking gugupnya. Dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Reynand. Meski rasanya badannya sudah panas dingin tak karuan.
"Ha-pe aku ketinggalan di sini, Mas. Barusan mau ijin Mas Reynand tapi Mas masih sibuk bertelepon di luar. Ini hapenya udah aku ambil, saya permisi, Mas!" ujar Naima seraya menunduk menyembunyikan wajahnya.
Reynand membuka jalan dengan bergeser ke samping. " Oke, diampuni. Kalau mau mengobrol dulu juga boleh kok, tapi kalau mau keluar juga silakan!" Tuturnya seraya bersedekap.
"Makasih, Mas. Permisi!" Pamitnya lagi.
Srakk!
"Eh ...!" Langkah Naima terhenti tatkala ada sesuatu yang menahan tangannya.
Naima segera menoleh ke belakang untuk memastikan apa yang terjadi. Rupanya gelang yang dipakainya nyangkut pada horden jendela.
Naima segera kembali ke posisi semula dan berusaha untuk mengurai kain horden yang tersangkut. Namun, ia kesulitan karena hanya bisa menggunakan satu tangan.
Menyadari hal itu Reynand berniat membantu. Ia mendekat ke arah Naima lalu mengambil alih untuk mencoba mengurai horden yang tersangkut itu. Ternyata cukup rumit. Hingga Reynand sedikit kesulitan. Jarak yang terlalu dekat membuat Reynand dapat mengendus bau wangi dari aroma tubuh Naima.
Reynand tergoda untuk menoleh ke arah samping pada wajah Naima yang berada cukup dekat dari dirinya.
Merasa diperhatikan Naima mendongak ke atas pada wajah Reynand. Entah ada bisikan setan dari mana Reynand tertarik untuk mengecup bibir ranum Naima yang masih nampak polos.
Perlahan Reynand memajukan wajahnya hingga jarak antara keduanya semakin dekat.
Naima yang masih polos tiba-tiba merasa tubuhnya seolah membeku sulit untuk digerakkan tatkala wajah Reynand semakin dekat hingga memutus jarak antara mereka. Reynand berhasil mendaratkan bibirnya pada bibir Naima.
"Reynand!" seru Reyna dengan suara lantang. Ia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya ketika hendak mengecek keadaan Reynand usai pulang dari peresmian.
Saking terkejutnya Naima reflek mendorong tubuh Reynand hingga terjungkal ke belakang. Tepat di saat itu gelang Naima terputus.
"Naima, kembali ke kamar Alesha!" ujar Reyna dengan suara bergetar menahan amarah.
Naima menurut dengan perintah Reyna. Dia tidak berani menjelaskan saat melihat amarah di mata Reyna. Sekuat hati Naima menahan air matanya yang hendak jatuh dan bergegas keluar dari kamar Reynand.
..._______Ney-nna_______...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!