Di penghujung senja, Fitri menatap dalam pada selembar foto yang selalu ada di dalam buku diary miliknya.
Foto dirinya dengan seorang pria yang sangat dicintai dan disayangi.
Perbedaan tingkat pendidikan membuat takdir memisahkan mereka.
"Maafkan aku, kisah ini harus ku kubur sedalam mungkin. Selamanya kita tak akan bisa bersatu." Fitri merobek lembaran foto yang ada di tangannya.
Gadis itu mulai melangkah menuju pantai yang menghempaskan ombak besar karena angin yang semakin kencang di petang itu.
Fitri membuang kenangan satu-satunya dengan sang mantan kekasih ke air laut.
Perlahan air laut membawa robekan itu ke tengah lautan.
Fitri melangkah meninggalkan pantai itu.
Pantai Padang dengan matahari yang mulai tenggelam menjadi saksi luka hati yang dipendam Fitri.
Satu minggu lagi, Fitri akan menikah dengan anak dari teman kedua orang tuanya yang merupakan senior Fitri di kampus.
Pria yang berstatus Sarjana itu menjadi pilihan kedua orang tua Fitri untuk menjadi pendamping hidupnya.
Fitri pun pasrah menerima keputusan kedua orang tuanya karena saat ini dia tidak bisa membanggakan sosok sang mantan kekasih yang tidak tamat SMP dan kini bekerja serabutan di desanya.
"Fit," lirih seorang pria menghampiri Fitri yang masih melamun di sebuah batu besar di Pantai Padang.
Fitri mendongakkan kepalanya melihat pria satu-satunya yang mengisi relung hatinya.
"Bang Rayhan," lirih Fitri sambil mengusap air matanya yang sempat jatuh membasahi pipinya.
Fitri berdiri berhadapan dengan pria yang terpaksa menjadi mantan kekasihnya karena perjodohan yang harus dijalaninya.
"Aku tahu, semua ini bukanlah kehendak kita. Aku tak sanggup memperjuangkan dirimu, karena aku bukanlah siapa-siapa. Tak ada yang bisa kubanggakan untuk dapat memilikimu," ujar Rayhan dengan nada penuh penyesalan.
Fitri tak sanggup mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Rayhan.
Gadis itu langsung memeluk tubuh kekar pria yang sangat dicintainya.
Rayhan kaget dengan apa yang dilakukan oleh Fitri, selama mereka berpacaran Fitri selalu menolak saat Rayhan ingin menyentuhnya.
Kini Fitri memeluk dirinya tanpa memperdulikan apa yang akan dikatakan orang-orang yang melihat mereka.
"Fit," lirih Rayhan setelah membiarkan Fitri melepaskan beban di hatinya.
Rayhan merapikan jilbab Fitri yang terlihat sangat berantakan.
Dia juga mengusap pipi Fitri yang basah akibat air matanya.
"Sudahlah, kamu tidak perlu lagi menangis. Aku akan pergi jauh, berbahagialah bersama pria yang sudah ditakdirkan Tuhan untukmu. Ikhlaskan semua yang terjadi," pesan Rayhan.
Fitri menghela napas panjang.
"Aku harap kamu mendapatkan pasangan yang lebih baik dariku dan bahagia bersamanya," lirih Fitri.
Rayhan mengangguk dan tersenyum. Rayhan tak dapat menahan diri, dia pun mengecup puncak kepala Fitri.
Bugh.
Tiba-tiba seseorang datang memukul Rayhan hingga membuat pria itu tersungkur.
"Bang Dimas!" pekik Fitri kaget saat melihat calon suaminya berada di sana.
"Berani-beraninya kamu menyentuh calon istriku!" bentak Dimas penuh emosi.
Fitri tak bisa berkutik, saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali diam di tempatnya.
Rayhan mencoba bangkit dan kembali berdiri di hadapan Fitri dan Dimas.
"Semoga kamu bahagia, Fitri," lirih Rayhan.
Rayhan pun membalikkan tubuhnya lalu meninggalkan Fitri tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.
Hati Fitri hancur dan terluka, begitu juga dengan Rayhan. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya pasrah dengan takdir cinta mereka.
****
7 tahun kemudian.
"Bang Rayhan," lirih Fitri.
Dia terbangun dari tidurnya, entah mengapa tiba-tiba pria yang sempat ada di dalam hatinya itu kembali hadir dalam bunga tidurnya setelah 7 tahun tidak bertemu.
Fitri melirik ke arah sampingnya. Dia melihat sang suami masih nyenyak tidur sambil memeluk buah hati mereka yang tengah berumur 5 tahun.
"Syukurlah Bang Dimas belum bangun, itu artinya dia tidak mendengar saat aku menyebut nama Bang Rayhan," gumam Fitri di dalam hati.
Fitri bangun dan turun dari tempat tidur, saat baru saja dia melangkah menuju kamar mandi terdengar ponsel miliknya berdering.
Fitri menghentikan langkahnya, dia meraih ponsel miliknya. Terlihat jelas di layar ponselnya terdapat panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya.
Ibu satu anak itu langsung mengangkat panggilan tak di kenal itu.
"Halo," ujar Fitri dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Halo, Dek!" jawab seorang pria dari seberang sana.
Fitri mengernyitkan dahinya bingung. Dia mencoba menerka-nerka siapa pria yang kini tengah menghubungi dirinya.
"Maaf ini siapa?" tanya Fitri pelan.
Fitri mencoba membawa ponselnya ke dapur agar sang suami tidak mendengarkan percakapannya dengan pria asing itu.
"Ini Aku, Dek," ujar pria itu lagi.
"Siapa?" tanya Fitri lagi semakin bingung.
"Masa iya kamu lupa sama aku, Dek. Ini aku lho," ujar sang pria sok akrab dengan Fitri.
Pikiran Fitri di pagi ini yang tertuju pada Rayhan membuat dirinya menebak bahwa pria yang tengah menghubunginya adalah Rayhan.
"Ini kamu, Bang Ray?" tanya Fitri pelan-pelan agar tidak terdengar oleh suami yang masih tidur di kamar.
"Iya, Dek. Ini aku," lirih sang pria.
"Tapi kenapa suaranya beda?" tanya Fitri penasaran.
Dia berusaha mengingat-ingat suara pria yang dulu dicintainya.
Setelah itu, Fitri yakin bahwa yang tengah menghubunginya adalah Rayhan
"Ada apa, Bang? Tumben kamu tiba-tiba menghubungiku?" tanya Fitri heran.
"Begini, Dek. Aku mau minta tolong sama kamu," ujar pria itu.
"Tolong apa?" tanya Fitri bingung.
"Mhm, begini, Dek. Aku ada kerjaan, kerja sama dengan perusahaan yang menjual barang-barang elektronik dengan harga yang murah," ujar si Pria dengan sangat meyakinkan.
"Trus?" Fitri semakin tidak sabar ingin mengetahui tujuan si pria menghubunginya.
"Nah, aku punya pelanggan orang Cina. Dia biasa membeli barang-barang elektronik dengan harga satu juta lima ratus. Jadi ternyata orang gudang sudah menaikan harga barang jadinya aku enggak mungkin menjual dengan harga seperti biasanya. Di sini aku mau minta tolong sama kamu menyamar sebagai orang gudang dan tolong kamu bilang, harganya dua juta lima ratus. Nanti keuntungan yang kita dapat, kita bagi dua ya, Dek. Seandainya laku sepuluh unit, berarti untuk sama kita 5 juta, Dek," si Pria menuntun Fitri untuk melakukan apa yang di mintanya.
"Oh gitu, ya udah, nanti aku bantu ya, Bang. Udah masuk waktu subuh, aku mau shalat subuh dulu," ujar Fitri menghentikan pembicaraan di pagi hari itu.
Fitri merasa senang dengan telpon yang masuk itu, karena dia bisa mendapatkan uang dengan mudah.
"Ya Allah, apakah ini jalan yang Kau berikan untuk kami dalam menjalani kesusahan hidup ini?" gumam Fitri di dalam hati.
Pikiran Fitri terus membayangkan keuntungan besar yang akan dia dapatkan dengan membantu pria yang mengaku dirinya adalah Rayhan itu.
Bersambung...
Usai ibu satu anak itu menunaikan ibadahnya, dia pun melangkah masuk ke dalam kamar kecil di rumah kontrakannya.
Dia membangunkan sang suami yang kini masih terlelap sambil memeluk buah hati tercinta.
”Bang, bangun! Udah subuh, shalat dulu, yuk!” ajak Fitri pada sang suami.
Fitri mengguncang tubuh sang suami.
Fitri memang bukan seorang hamba yang taat beribadah, tapi dia salah satu insan yang masih mempercayai adanya Tuhan dan azab neraka.
Di hatinya masih ada nama Tuhan yang harus disembah. Dia hanyalah seorang hamba yang melakukan kewajibannya tidak lebih dan tidak kurang.
“Bang, udah siang,” ujar Fitri lagi.
Dia terus menggoyangkan tubuh sang suami.
Dimas menggeliatkan tubuhnya. Perlahan dia membuka matanya yang masih terasa berat.
“Jam berapa?” tanya Dimas pada sang istri dengan suara serak khas orang bangun tidur.
“Jam setengah enam, Bang,” jawab Fitri.
“Astaghfirullah,” lirih Dimas.
Dimas mengusap wajahnya kasar lalu berusaha bangkit dari posisi berbaring.
Tak berapa lama, Dimas pun melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Berhubung hari ini hari minggu, Fitri membiarkan putrinya masih tertidur dengan lelap.
Tak berapa lama setelah Dimas selesai shalat subuh, ponsel Fitri kembali berdering, Fitri mengambil ponselnya lalu membawanya keluar dari rumah.
Dimas menautkan kedua alisnya saat melihat sang istri menerima panggilan telpon di luar rumah.
“Dek, sekarang yang perlu kamu lakukan adalah menyamar sebagai orang gudang. Tugas kamu nanti Cuma nego dengan pelanggan aku, bilang sama dia harganya naik menjadi 3 juta lima ratus per unit, tidak boleh kurang dari itu. Nah kalau dihitung untung kita 1 juta per unit dalam 10 unit kita sudah untung besar, kita akan bagi dua hasilnya.” Si penelpon menjelaskan apa yang harus dilakukan Fitri.
Fitri mengangguk paham, dia yang memang saat ini dalam kesulitan keuangan tergiur dengan keuntungan-keuntungan yang diiminging-imingi oleh di penelpon.
Setelah itu, Fitri mematikan telponnya. Dia masuk ke dalam rumah, Dimas menatap tajam ke arahnya.
“Telpon dari siapa?” tanya Dimas curiga.
Tak pernah sekali pun Fitri mengangkat panggilan telpon menjauh darinya.
“Mhm, dari teman, Bang. Dia menawarkan kerja sama," jawab Fitri.
"Kerja sama apa?" tanya Dimas penasaran.
"Begini, Bang....---"
Fitri mulai menjelaskan kerja sama yang ditawarkan oleh si penelpon pada sang suami.
"Jika aku berhasil mengajak nego pelanggannya maka aku akan dapat untung besar,” jawab Fitri senang membayangkan uang keuntungan yang akan didapatkannya.
Baru saja Fitri selesai menjelaskan pada Dimas, ponselnya kembali berdering. Fitri pun mengangkat panggilan masuk ke ponselnya.
Dimas hanya diam melihat sang istri yang kembali sibuk dengan ponselnya.
“Halo, ini dengan Ko Asong. Saya pelanggan dari Bapak Rayhan, saya mau tanya, Rayhan bilang harga barang di gudang naik, saya boleh tanya berapa harganya?” tanya seorang penelpon dengan nomor baru lagi.
“Iya, saya dengan Fitri, yang dikatakan Rayhan memang benar,” jawab Fitri dengan mantap.
“Berapa harga barangnya sekarang per unit?” tanya pria yang mengaku sebagai Ko Asiong.
“Harga barang sekarang 3 juta lima ratus,” jawab Fitri melakukan nego sesuai perintah pria yang dikiranya adalah Rayhan.
“Tidak bisa kurang dari tiga juta lima ratus?” tanya Ko Asiong mencoba menawar harga yang sudah ditetapkan.
“Maaf, Ko. Tidak bisa, harga yang kamu tawarkan sudah dari pihak pusat,” jawab Fitri dengan mantap.
“Ya sudah, saya mau ambil beberapa unit barang. Buk Fitri bisa catatkan orderan saya?” pinta Ko Asiong.
“Tunggu sebentar, saya ambilkan buku dulu untuk mencatatnya,” ujar Fitri.
Ibu satu orang anak itu pun bergegas mengambil pulpen dan buku. Lalu dia menuliskan pesanan yang diminta pria yang bernama Ko Asiong tersebut.
Hati Fitri semakin senang setelah melihat jumlah barang yang dipesan Ko Asiong sejumlah 50 unit yang artinya keuntungan yang akan Fitri dapatkan sekitar 25 juta rupiah.
Dia mulai berangan-angan untuk membeli sepetak tanah untuk membangun sebuah rumah, karena saat ini mereka masih tinggal di sebuah kontrakan kecil.
Dimas terlihat kesal melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya di pagi hari seperti ini.
Seketika Fitri lupa dengan kewajibannya sebagai seorang ibu dan istri.
Seharusnya pagi ini Fitri sudah sibuk di dapur memasak untuk suami dan anaknya, tapi dia sibuk dengan tawaran bisnis yang diberikan oleh temannya, sedangkan Dimas sendiri tidak tahu siapa teman Fitri yang menghubunginya di pagi hari seperti ini.
Putri kecil Fitri pun sudah bangun dari tidurnya, dia mulai merengek pada ibu mereka.
”Bunda, aku mau minum susu,” rengek Rasya menarik-narik baju daster yang dikenakan dan Bunda..
“Tunggu sebentar ya, Nak. Bunda masih kerja,” ujar Fitri yang masih sibuk dengan panggilan di ponselnya yang tak kunjung berhenti.
Fitri menoleh ke arah suaminya.
“Bang, bisa bantu aku sebentar!” pinta Fitri pada Dimas.
“Apa?” tanya Dimas ketus.
“Tolong buatkan susu untuk Rasya sebentar, aku harus selesaikan urusanku ini terlebih dahulu.” Fitri memelas pada sang suami.
Fitri dan Dimas memang sudah terbiasa saling bekerja sama dalam mengurus segala pekerjaan yang ada di rumah, karena mereka sama-sama bekerja mencari uang untuk kebutuhan hidup mereka yang masih tergolong sulit.
Rasa saling pengertian itulah yang membuat mereka masih mempertahankan rumah tangga mereka walau harus menghadang berbagai masalah kesulitan ekonomi setiap harinya.
Dengan kesal dan hati menggerutu, akhirnya Dimas melangkah ke dapur membuat susu untuk putrinya.
"Bunda, bunda," panggil Rasya yang masih saja mengganggu ibunya.
Fitri menoleh ke arah suaminya yang kini sedang sibuk dengan ponselnya.
"Bang, tolonglah kamu tenangkan Rasya sebentar," pinta Fitri lagi pada sang suami.
Dimas pun membawa putrinya ke rumah orang tuanya yang tidak jauh dari rumah kontrakkan miliknya.
Dimas menitipkan putrinya pada sang ibu yang baru saja selesai memasak.
"Istrimu mana, Dim?" tanya sang ibu heran melihat menantunya tak kelihatan sayang ke rumahnya.
"Katanya ada pekerjaan, Bu," jawab Dimas.
Wajah Dimas semakin kusut mendapat pertanyaan seperti itu dari ibunya.
Seolah-olah, ibunya mengira Fitri menelantarkan anaknya di pagi hari.
Satu jam Dimas duduk di rumah ibunya, bahkan dia pun sudah selesai makan di rumah orang tuanya, tapi Fitri belum juga datang menjemput putrinya.
Dimas pun melangkah menuju rumah kontrakannya, saat sampai di rumah Dimas masuk ke dalam rumah dan duduk di sebuah kursi plastik memperhatikan kegiatan istrinya.
Fitri masih sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Dimas yang sudah ada di dalam rumah.
“Sayang, hentikan aktivitasmu!” pinta Dimas dengan nada sedikit tinggi.
Seketika Fitri menghentikan aktivitasnya.
“Aku mau tanya, siapa temanmu yang menelpon itu?” tanya Dimas penasaran.
“Mhm,” gumam Fitri bingung.
Bersambung...
Fitri bingung harus jujur atau bohong pada sang suami.
“Mungkin aku lebih baik jujur pada Bang Dimas agar dia tidak curiga padaku,” gumam Fitri di dalam hati menimbang jawaban apa yang akan dilontarkannya.
“Bang, sebenarnya yang menelpon ini Rayhan temanku waktu,--” jawab Fitri hati-hati dengan menggantung ucapannya.
“Apa? Rayhan mantanmu itu?” bentak Dimas seketika.
“I-iya, Bang. Tapi ini hanya sekadar usaha saja kok. Aku cuma membantunya dan itupun aku akan mendapatkan keuntungan yang besar,” jelas Fitri menenangkan sang suami.
Dimas menatap tajam ke arah sang istri, dia mengingat pertengkaran hebat yang terjadi di antara dirinya satu minggu sebelum menikah.
Saat itu Dimas sempat melihat Fitri memeluk pria yang jelas-jelas bukan muhrimnya.
Saat Fitri tengah berusaha menjelaskan situasinya, ponsel ibu satu anak itu kembali berdering.
“Bang, nanti aku jelaskan lagi ya. Aku harus selesaikan dulu masalah ini,” ujar Fitri meminta pengertian sang suami.
Dimas keluar dari rumah kontrakkannya lalu melangkah menuju rumah orang tuanya untuk melihat kedua putrinya.
“Dek, semua bukti transfernya sudah ada sama kamu, kan?” tanya Si penelpon.
“Iya,” lirih Fitri.
Saat ini Fitri tengah merasa tidak enak terhadap suaminya. Pikirannya tidak lagi fokus dalam bisnis yang ditawarkan si penelpon.
“Oke, barang-barang orderan Ko Asiong akan diproses secepatnya. Tolong bilang ke Ko Asiong kalau Barang sudah ready,” ujar Si penelpon.
Fitri pun melakukan perintah si Penelpon dengan hati mendua.
Pikirannya telah bercabang, antara melanjutkan bisnis yang menggiurkan atau mengabaikan bisnis ini.
Lima belas menit Fitri terdiam, tiba-tiba Ko Asiong menelpon lagi.
“Buk Fitri, kenapa barang-barang saya belum bisa dibawa? Istri saya sudah marah-marah karena kelamaan,” protes Ko Asiong tiba-tiba.
“Bentar ya, Ko. Daya coba cek dulu,” ujar Fitri lemah.
Fitri langsung menelpon pria yang mengaku sebagai Rayhan.
“Bang, kenapa belum juga selesai urusannya, mereka sudah protes,” keluh Fitri.
“Bentar, Dek. Ini ATM aku terbatas limit pengiriman. Aku butuh uang untuk transfer ke gudang perusahaan. Kamu bisa carikan uang sekitar 10 juta?” tanya pria itu.
“Uang 10 juta? Aku dapat dari mana, Bang?” tanya Fitri bingung.
“Begini, Dek. Kamu tolong cari pinjaman dulu, nanti kalau uangnya sudah cair kamu kan bisa ganti pake keuntungan yang akan kita dapat,” bujuk pria itu.
“Aku enggak punya uang sebanyak itu, Bang,” keluh Fitri.
“Ya sudah, sekarang kamu punya uang berapa?” tanya pria di seberang sana.
Fitri teringat ada uang simpanannya, tapi dia masih ragu untuk uang itu karena itu adalah simpanan yang susah payah mereka kumpulkan untuk membeli sepetak tanah agar mereka tidak hidup mengontrak lagi.
Saat Fitri masih berpikir. Ko Asiong menelpon lagi.
“Buk, bagaimana orderan saya, kalau dalam 5 menit urusannya belum selesai juga saya akan batalkan orderan saya!” ancam Ko Asiong penuh emosi.
Fitri pun takut dengan ancaman Ko Asiong, akhirnya Fitri memutuskan menggunakan uang simpanannya sebesar 3 juta.
Dia langsung mentransfer uang tersebut tanpa berpikir panjang dan tanpa meminta izin pada Ahmad sebagai suaminya.
Fitri hanya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang banyak karena dia benar-benar membutuhkan uang saat ini.
“Dek, aku sudah coba kasih uang kamu yang 3 juta ke pihak gudang, tapi masih kurang. Kamu bisa cari pinjaman lagi?” tanya pria itu.
Di saat si Pria penelpon tersebut meminta uang lagi, FItri mulai curiga.
“Kamu kan tahu bagaimana hidupku di sini, Bang. Kenapa kamu suruh aku cari uang lagi, aku sudah transfer 3 juta, kamulah yang cari uang buat nutupinya,” ujar Fitri kesal.
“Ayolah, Dek. Kalau tidak kamu bisa dilaporkan ke polisi sama Ko Asiong,” ancam Pria itu.
Jantung Fitri berdegup kencang, dia mulai sadar kalau pria yang menghubunginya bukan Rayhan tapi seorang penipu.
“Kamu menipu aku, Bang?” bentak Fitri penuh amarah.
“Ternyata kamu tidak kasihan sama aku yang hidup susah seperti ini. Sekarang kamu menipu aku, hiks hiks!” bentak Fitri.
Panggilan pun terputus. Seketika itu juga, nomor Fitri diblokir oleh si penelpon.
Fitri meringkuk menangisi kebodohannya yang percaya begitu saja pada orang yang tidak dikenalnya. Rasa cintanya yang masih tertinggal terhadap Rayhan membuat dirinya percaya bahwa pria yang menghubunginya adalah sang mantan kekasih.
Uang yang susah payah dikumpulkannya bersama sang suami lenyap begitu saja. Fitri pun menangis.
“Astaghfirullah, ya Allah, kenapa aku bisa sebodoh ini? Bukannya mendapatkan keuntungan yang aku angan-angankan bahkan uang yang sudah susah payah kami kumpulkan lenyap sudah,” lirih Fitri dalam isakkannya.
Fitri menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya. Saat ini dia bingung harus menyampaikan apa pada sang suami nantinya.
“Bagaimana cara aku menyampaikan musibah ini pada Bang Dimas, dia pasti marah besar padaku,” gumam Fitri di dalam hati.
Tak berapa lama Dimas datang lagi, dia sudah siap untuk berangkat ke kebun. Dimas mengabaikan Fitri yang sedang meringkuk di pojok kamarnya.
Dimas mengambil kunci sepeda motornya lalu pergi tanpa berkata sepatah kata pun pada sang istri.
Fitri berdiri, dan melihat sang suami dari jendela saat mendengar sepeda motor Dimas telah menyala. Sebelum melajukan sepeda motornya, Dimas menoleh ke arah Fitri yang berdiri di jendela.
Dimas mengabaikan Fitri dia masih marah dan emosi karena mengetahui Fitri masih mau berkomunikasi dengan mantan kekasihnya, pria yang sangat dibenci oleh Dimas.
Setelah Dimas pergi ke kebun, Fitri pun mulai melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukannya sejak tadi. Dia berusaha menenangkan dirinya seorang diri.
Penyesalannya saat ini tak ada gunanya, sambil menyelesaikan pekerjaannya Fitri terus mengucap memohon ampun pada Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukannya.
Fitri mencoba menganggap kejadian yang baru u saja menimpanya adalah bentuk teguran dari Allah atas dosa-dosa kecil yang selama ini dilakukannya.
Pada pukul 10.00, Rasya asyik bermain di luar bersama teman-temannya. Semua pekerjaan Fitri sudah selesai, mulai masak hingga membersihkan rumah.
Fitri pun langsung mengambil wudhu’ dan melakukan shalat dhuha diiringinya dengan shalat taubat.
“Ya Allah, hamba tahu iman hamba mulai menipis padamu, hamba mohon ampuni segala dosa hamba. Hamba sadar, mungkin ujian yang engkau berikan pada hamba saat ini adalah teguran dari-Mu.” Fitri berdo’a dan memohon ampun pada sang pemilik alam semesta.
Dengan dzikir dan terus mengucap istighfar, Fitri melewati hari yang naas dengan berat, hingga sore pun datang.
Selesai Fitri memasak untuk makan malam, terdengar suara sepeda motor Dimas yang baru saja pulang dari kebun.
Dimas turun dari sepeda motornya, bergegas Fitri membukakan pintu untuk sang suami.
Saat Dimas berdiri di ambang pintu, Fitri bergegas meraih tangan sang suami.
“Maafkan aku, Bang,” lirih Fitri memohon maaf pada sang suami.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!