Hafsah adalah seorang pengacara baru di perusahaan Advokat Salman. Dia bekerja padanya dan saat ini sedang menangani sebuah kasus tentang pria asing bernama Tuan Amnesia, orang memanggilnya seperti itu karena saat ditemukan dia tidak ingat siapa namanya.
Polisi menemukanya menabrak seorang pengandara motor di pinggir kota dekat pelabuhan.
Dompet dan semua identitas pria tersebut hilang saat kecelakaan terjadi. Polisi hanya menemukan sebuah kalung dengan leontin berbentuk dua bukit. Polisi lalu menyimpan semua bukti itu dan berharap ada keluarganya yang datang.
Satu tahun berlalu, tapi tidak ada satupun keluarganya yang mencari pria tersebut.
Pria itupun dimasukkan kedalam penjara karena kesalahannya yang menyebabkan kecelakaan. Dan dihukum lima tahun penjara.
Hafsah datang mengunjungi nya didalam penjara dan berbicara padanya, jika dia akan mencari tahu identitas aslinya lalu mengeluarkannya dari penjara.
"Aku berjanji padamu, aku pasti akan mendapatkan identitas mu yang sesungguhnya,"
"Percuma saja. Sudah satu tahun aku ada disini. Dan untuk apa kau peduli padaku? Kita tidak entah bertemu dan saling mengenal," kata Pria Amnesia itu.
"Aku sering datang kemari. Dan kau sangat menarik perhatianku. Lalu aku bertanya pada seseorang kenalanku tentang kasusmu, dan sepertinya aku bisa membantumu," kata Hafsah yang teman dekatnya adalah seorang polisi yang bertugas disana.
"Lebih baik kau menyerah saja. Kau hanya akan membuang waktumu dengan kasus ini," kata Pria amnesia tersebut.
"Baru kali ini aku bertemu orang yang tidak ingin terbebas dari penjara," kata Hafsah meliriknya sebentar.
"Terserah kau saja," akhirnya Pria Amnesia itu menyerah pada tekad Hafsah yang berniat mengembalikan identitas aslinya.
Ini adalah pertemuan pertama mereka. Ke esokan harinya Hafsah datang lagi dengan membawakan sebuah pizza yang beberapa bulan terakhir ini lagi booming.
Pizza ini berasal dari negara Sweden. Dan ternyata karena cita rasanya yang enak, maka disukai oleh masyarakat.
Perusahaan itupun membuat banyak sekali cabang baru di setiap kota. Dan hampir selalu terlihat antrian pembeli di setiap cabangnya.
Hari ini, Hafsah ingin agar Pria Amnesia itu merasakan pizza yang lezat dan menjadi bersemangat untuk terbebas dari penjara.
"Apa yang kau bawa?" Tanya Pria Amnesia saat Hafsah duduk di dekatnya.
Pria ini kebetulan menempati ruang sendirian disebuah kamar yang berukuran tidak terlalu besar.
Hafsah lalu membuka kardus dan bau harumnya membuat Pria Amnesia biru mendekat.
Dia lalu mengambil satu potong pizza dan memakannya.
"Hemmm, lezat sekali, aku sepertinya tidak asing dengan rasa ini. Tapi, dimana aku memakannya, aku lupa," kata Pria Amnesia itu saat pizza ditanganya telah berpindah ke perutnya.
Hafsah membelalakkan matanya dan berharap ini adalah awal yang bagus untuk kasusnya.
"Kau pernah makan? Kau ingat dimana kau memakannya?"
Saat Hafsah bersemangat, pria Amnesia itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Tidak papa. Pelan-pelan saja. Aku senang, kau suka pizza yang aku bawa ini. Lain kali aku akan membawakan ya lagi untukmu," kata Hafsah.
"Boleh aku habiskan?" Tanya pria itu saat tersisa satu potong pizza.
"Tentu saja," Hafsah mengangguk sambil tersenyum senang.
Baginya keceriaan Pria Amnesia ini sedikit banyak membuat peluang baginya untuk menuntaskan kasusnya.
Hafsah menjadi lebih bersemangat saat kembali ke rumah.
Sampai dirumah, Raden adalah nama ayahnya, dan ibunya bernama Santi, mereka sedang menjemur beberapa domba milik mereka setelah dimandikan.
Domba itu memakan rumput yang tumbuh liar disekitar rumah Hafsah. Ayah dan ibunya adalah seorang petani. Dan mereka sehari-hari hidup dari hasil pertanian dan dari beternak ayam serta domba.
"Hafsah, kau terlihat ceria sekali, bagaimana dengan kasus pertamamu? Apakah kau menemukan kesulitan?" Tanya Shanti menyambut putri semata wayangnya yang sudah menjadi seorang sarjana dan sekarang bekerja di kantor Advokat Salman.
"Pria Amnesia itu mulai mau diajak berbicara, tadinya dia hanya menggeleng dan mengangguk saja saat Hafsah datang dan berniat mengembalikan identitas nya," kata Hafsah mengingat setiap pertemuan demi pertemuan dengan pria Amnesia itu.
"Kau harus bekerja lebih keras lagi nak," teriak ayahnya sambil memasukkan semua domba ke kandangnya.
"Tentu yah," teriak Hafsah karena ayahnya berada agak jauh dari mereka.
"Sebentar lagi, ibu akan kekota," kata ibunya.
"Untuk apa Bu?" Tanya Hafsah sambil menaruh tasnya disampingnya.
"Ibu mau mencari penjual lain untuk membeli domba-domba kita. Mereka sudah besar, dan kami ingin mendapatkan penawaran dari beberapa pembeli. Jika hanya mengandalkan pak Hari, maka harganya terlalu murah," kata ibunya.
"Tapi Bu, Bagaimana jika pak Hari nanti marah? Karena kita kan biasanya menjual padanya?" Kata Hafsah.
"Tentu kita bebas menjual pada siapa saja. Kecuali pak Hari jangan membeli terlalu murah," kata ibunya.
"Benar kata ibumu, jika pak Hari membeli terlalu murah, dan kita hanya untuk sedikit, bagaimana kita bisa membayar sewa rumah dan lahan ini padanya," kata ayahnya setelah selesai memasukkan semua domba ke kandang.
Hafsah mengangguk lalu mereka semua masuk kedalam rumah.
Pemandangan dari dalam rumah tampak sangat indah. Dari jauh terlihat dua bukit yang berjejer. Dia bawahnya hamparan rumput hijau begitu luas dan menyejukkan mata.
Hanya saja, mereka tidak punya tetangga, karena tinggal di lahan pertanian yang sekelilingnya adalah hamparan tanah luas dan ada rumah lagi sekitar jarak satu kilo meter.
"Pa, keputusan kita untuk transmigrasi kesini apa sudah benar?" Kata istrinya disela-sela makan malam.
"Dikampung juga hidup begitu sulit Bu, bapak di PHK. Pabrik tempat kita bekerja juga sudah gulung tikar, mau kerja apa lagi?" Kata pak Raden.
"Ya sudah pak, semoga hidup kita berubah dengan keputusan yang sudah kita ambil ini," kata Shanti ibunya Hafsah.
"Untung saja anak kita sudah selesai wisuda, dan sekarang kita tinggal mengumpulkan uang untuk mencari rumah, untuk kita hari tua bu," kata pak Raden pada istrinya.
"Betul pak, kita tidak mungkin mengontrak lahan ini terus, kita harus punya rumah sendiri dan punya lahan untuk hari tua kita nanti,"
"Bapak, ibu, doakan Hafsah, biar kasus ini berhasil, jika berhasil nanti, maka Hafsah bisa menjadi pegawai tetap, dan dapat penghasilan, kalian tidak bekerja terlalu berat lagi," ujar Hafsah yang merasa iba melihat kedua orang tuanya bekerja sangat keras beberapa tahun ini demi biaya kuliah Hafsah.
"Tentu nak, kami selalu berdoa untuk kebahagiaan dan keberhasilan mu. Agar nasibmu lebih baik dari ayah dan ibu,"
"Amin...."
Mereka lalu pergi ke kamar setelah makan malam. Sedangkan Hafsah keluar halaman dan melihat bintang dilangit diantara bukit itu.
Tidak lama kemudian, Hafsah masuk dan duduk didepan komputernya.
Lama memandangi monitor membuat matanya lelah, maka dia lalu menutup laptopnya dan matanya melihat pada sebuah surat kabar yang belum lama dia beli.
Matanya terpaku pada beberapa gambar dan membuatnya teringat pada pria misterius itu.
Hafsah pun tersenyum simpul lalu memasukkan surat kabar itu kedalam tas kerjanya.
Hafsah mengunjungi Pria Amnesia lagi dan membawakan beberapa majalah tentang kabar luar negeri.
"Untuk apa kau memberikan ini padaku?" tanya Pria Amnesia menatap Hafsah.
"Lihatlah, mungkin bisa sedikit membantu,"
"Kau masih akan meneruskan kasus ini?"
"Tentu saja, sampai kau mengingat identitasmu," kata Hafsah tersenyum.
Pria Amnesia lalu membuka majalah yang dibawa Hafsah. Dan saat melihat sebuah gambar perusahaan Pizza, tiba-tiba membuat kepalanya pusing.
Pria itu segera menutup majalah itu dan menyerahkan nya pada Hafsah.
"Kepalaku pusing,"
"Melihat gambar ini membuat kepalamu pusing? Aneh sekali," ucap Hafsah dan membuka majalah yang terakhir dilihat oleh Pria Amnesia itu.
"Sweden," ucap Hafsah.
"Ini adalah negara kecil namun penduduknya begitu makmur. Dan pizza yang aku bawa kemarin berasal dari negara ini," terang Hafsah.
"Sweden," Pria Amnesia itu mengulang apa yang diucapkan Hafsah.
"Ya, pizza yang aku bawa dari negara itu,"
"Aku seperti teringat sesuatu, tapi, semuanya hanya sepotong-sepoting dan, semuanya hitam abu-abu," jelas Pria Amnesia itu.
"Benarkah? Bisakah kau berusaha lebih keras lagi?" kata Hafsah menatap Pria Misterius itu dari jarak dekat.
Nampak pria misterius itu berusaha menyatukan beberapa potongan bayangan hitam dalam ingatannya. Namun hal itu justru membuatnya pingsan.
Hafsah segera memanggil penjaga penjara dan meminta bantuan.
"Pak, klien saya pingsan, bisa bantu saya ke ruang kesehatan?" kata Hafsah dan beberapa penjaga lalu membawanya ke ruang kesehatan.
Disana seorang kepala polisi berbicara pada Hafsah jika apa yang dia lakukan bisa membahayakan jiwa kliennya, dan meminta pada Hafsah untuk tidak memaksanya dengan keras.
"Sebaiknya anda harus hati-hati menangani kasus ini. Jika membahayakan nyawanya, maka kami tidak bisa mengijinkan anda mengurus kasusnya," polisi itu berbicara lalu pergi.
Hafsah menatap pria misterius itu dengan sedih. Dia merasa bersalah karena hampir saja membahayakan jiwanya.
Hafsah lalu pergi meninggalkan penjara dan pulang kerumahnya dengan langkah gontai.
Ibunya sedang memberi makan ternak saat Hafsah memasuki pelataran rumahnya. Dengan lesu Hafsah menaruh tas kerjanya lalu duduk melihat ke langit. Kemudian tertunduk sedih.
Ibunya yang memperhatikan sejak tadi lalu mendekatinya dan duduk disebelahnya.
"Ada apa? Kau terlihat bersedih?" Ibunya menatap Hafsah dengan penuh kasih sayang.
"Hafsah hampir saja membuat pria misterius itu berada dalam bahaya," terang putrinya.
"Memang apa yang terjadi?"
"Hafsah membawa surat kabar dan memperlihatkan padanya, tiba-tiba dia pingsan saat melihat sebuah Negara penghasil pizza terbesar."
Hafsah memberikan surat kabar itu pada ibunya dan terlihat ibunya membuka isinya.
"Ehm, tidak ada yang aneh dengan semua gambar ini, atau jangan-jangan, dia berasal dari salah satu negara yang dia lihat," kata Santi yang membuat Hafsah menatap ibunya dengan lama.
Hafsah lalu tersenyum dan memeluk ibunya, mencium pipi kanan dan kiri ibunya.
"Oh ya, kenapa Hafsah tidak berfikir sejauh itu, tadi, Hafsah terlalu panik dan hanya memikirkan kesehatannya saja," kata Hafsah lalu mengambil majalah itu dan memasukkanya kedalam tas kerjanya.
"Ya, sudah Bu, Hafsah mau masuk kedalam," kata Hafsah berlari kecil sambil tersenyum ceria seakan pikiranya sedang terbuka untuk sebuah ide baru.
Didalam kamar, Hafsah lalu mempelajari majalah itu dan mencatat beberapa negara yang kemungkinan merupakan asal usul dari pria Amnesia itu.
Sementara didalam penjara, Pria Amnesia mencari sosok Hafsah dengan matanya dan berusaha mengangkat kepalanya yang berat.
"Siapa yang kau cari?" tanya seorang polwan sambil memberikan makanan padanya serta obat yang harus dia minum.
"Gadis itu," kata Pria misterius masih menatap pintu berharap Hafsah masih ada disana.
"Dia sudah pulang, waktu berkunjung sudah habis," kata Polwan itu.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku ada disini?" tanya Pria Amnesia yang tidak ingat apa yang terjadi dengan dirinya.
"Kau pingsan, dan mungkin karena tekanan dari gadis itu, ini adalah kasus pertamanya sebagai seorang pengacara. Tentu dia sedang berusaha untuk bisa berhasil dalam tugasnya," kata Polwan dan akan meninggalkan pria Amnesia itu untuk beristirahat.
"Tunggu!" teriak pria Amnesia saat polwan akan keluar dan menutup pintu ruangannya.
"Apa lagi?"
"Apakah dia akan datang lagi?" Pria Amnesia menatap lurus pada manik mata polwan itu.
"Ya, selama dia masih yakin dengan kasusmu. Jika tidak, maka ini mungkin hati terakhirnya dia datang kemari," kata Polwan itu lalu pergi.
Pria Amnesia nampak mendesah berat. Jika ini adalah hari terakhir Hafsah datang, maka dia ingin mengucapkan terimakasih padanya, setidaknya dia sudah berusaha meskipun akhirnya menyerah, itu yang di pikirkan dalam benaknya.
Keesokan harinya....
Hafsah sudah sampai dipenjara dengan ide baru. Dia masuk kedalam ruangan dimana Pria Amnesia suka mengajari beberapa anak untuk main piano.
Hafsah juga baru tahu jika didalam penjara, dia sering mengajar piano pada anak-anak disana.
Hafsah mencari dia diruangan biasanya dan dia tidak ada disana. Rupanya dia sedang ada di aula dan mengajar piano disana.
Melihat Hafsah berdiri dipintu, pria Amnesia berhenti dan tersenyum ke arah Hafsah.
Hafsah pun berjalan mendekat dan berbisik ke telinganya.
"Bisakah aku mengambil gambarmu saat bermain piano," kata Hafsah yang sudah menyiapkan kamera untuk mengambil gambarnya.
"Tenang saja. Aku sudah minta ijin pada pihak terkait, aku tidak akan menggunakan untuk hal yang negatif," kata Hafsah.
Pria itu mengangguk dan bermain piano lagi dengan gerakan jari yang menari indah di atas tuts piano.
Setelah selesai mengambil gambar, Hafsah berdiri mengunggu hingga kegiatan itu selesai. Mereka lalu berjalan kembali ke ruangan Pria Amnesia.
"Aku tidak menyangka kau pandai bermain piano"
"Mungkin aku harus bersyukur, setidaknya aku ingat bagaimana cara memainkannya," sahut pria Amnesia itu.
Hafsah tersenyum manis dan masih terbayang bagaimana kerennya saat pria Amnesia itu memainkannya.
"Aku berulang kali mencobanya, tapi aku lekas bosan, dan memang mungkin itu bukan keahlianku, ibuku yang menginginkannya," kata Hafsah saat mereka mulai terlihat akrab.
"Rupanya kau tidak menyerah dengan kasus ku, aku pikir kau tidak akan datang lagi," Pria Amnesia itu entah kenapa dia merasa senang saat Hafsah datang mengunjunginya.
Mereka lalu duduk dan makan pizza yang dibawa Hafsah.
"Ini rasa jamur, paling diminati saat ini," kata Hafsah dan memberikanya pada Pria Amnesia itu.
"Sangat lezat, aku sungguh beruntung, bertemu gadis yang tertarik dengan kasus ku dan datang membawa pizza selezat ini," kata Pria Amnesia sambil memasukkan potongan pizza kedalam mulutnya.
"Apakah kau sudah punya pacar? Pasti banyak yang menyukaimu, kau sangat baik," kata Pria Amnesia memuji Hafsah.
Pipi Hafsah nampak memerah karena malu.
"Ehm, tidak, aku belum pernah dekat dengan siapapun," kata Hafsah yang memang sudah dipesan benar-benar oleh kedua orang tuanya untuk tidak dekat dengan pria manapun.
"Maka kau harus hati-hati dekat denganku, kau bisa jatuh cinta padaku," bisa Pria Amnesia sambil menghabiskan pizzanya.
Hafsah pun tertegun dan saat dia menyadarinya, entah kenapa saat bertatapan kali ini, dadanya sedikit berdebar.
Hafsah menyebarkan gambar Pria Amnesia ke beberapa media sosial miliknya, berharap ada yang akan menghubunginya dan mengenal pria itu.
Hari ini, Hafsah tidak pergi ke penjara tapi sepanjang hari duduk didepan laptopnya dan matanya terus menatap pada layar monitor.
Ibunya, Shanti datang dengan membawakan minuman dan cemilan untuk putrinya.
"Tumben, seharian dirumah saja. Tidak kekantor?" tanya Shanti lalu duduk didekat putrinya.
"Tidak Bu," Hafsah mengambil cemilan dan matanya nampak terus menatap layar monitor itu.
"Apakah itu pria yang sering kau bicarakan?" tanya Shanti saat melihat gambar di monitor Hafsah.
"Eh, ohh, Iya, kasihan, dia kehilangan identitasnya, dan mungkin keluarganya mengira hal buruk pasti sudah menimpanya setelah sekian lama tidak kembali,"
"Kenapa keluarganya tidak ada yang mencarinya?"
"Entahlah Bu, Hafsah juga bingung, karena kasus ini sudah lebih dari satu tahun," kata Hafsah lalu tiba-tiba ada notifikasi masuk yang mengagetkan ya.
Diapun segera membuka pesan itu dan seorang bernama Daniel mengirimkan pesan padanya.
~Dia adalah teman SMA ku, tapi dia pindah sekolah dan kita tidak pernah ada komunikasi lagi setelah itu~
~Aku butuh bantuanmu Tuan, bisakah kau membantuku?~
Ketik Hafsah dan berharap pria bernama Daniel bisa memberikan sebuah informasi penting tentang keluarga Pria Amnesia itu.
Lama tak ada jawaban dan sepertinya Daniel sedang sibuk saat ini. Maka, Hafsah hanya bisa menunggu sampai dia online kembali.
Namun hingga malam hari, Hafsah tidak menerima pesan apapun dari Daniel. Maka keesokan harinya, dia datang ke penjara dan menemui Pria Amnesia.
Saat itu, Pria Amnesia sedang menghafalkan sebuah lagu yang akan dia nyanyikan pada sebuah acara yang digelar di sana.
"Hai," sapa Hafsah dan Pria Amnesia itu hanya mengangguk lalu kembali menatap sebuah kertas didepannya.
Merasa datang diwaktu yang tidak tepat, membuat Hafsah sedikit kesal. Diapun akan pergi setelah merasa di cuekin oleh Pria Amnesia itu.
Hafsah lalu bangkit dari duduknya dan akan berjalan keluar karena dari tadi dia hanya diam dan kliennya nampak sibuk dengan kertas didepannya.
"Hai, kau mau kemana!?" Pria Amnesia biru terkejut saat Hafsah akan pergi dari ruangannya.
"Aku sepertinya datang diwaktu yang tidak tepat. Kau nampak sedang sibuk," kata Hafsah.
"Hai kemarilah, jangan marah, aku sudah selesai, ayo, duduk kembali, dan kita berbicara,"
"Lain kali saja," kata Hafsah tiba-tiba merasa sedang sensitif.
"Hai, jangan pergi sebelum kita berbicara," namun Hafsah sudah meninggalkanya dan Pria itu hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Entah kenapa Hafsah menjadi agak sensitif kali ini. Mungkin karena dia sedang pms dan merasa seolah segalanya terjadi tidak sesuai dengan harapannya.
Sampai dirumah, Hafsah mendapatkan notifikasi kembali dari pria bernama Daniel.
Dia mengirimkan foto Pria Amnesia saat duduk di bangku sekolah menengah atas bersama teman-temannya.
Hafsah pun mengucapkan terimakasih karena sudah mengirimkan foto itu.
Hafsah lalu keluar jalan-jalan di pelataran rumahnya. Tidak sabar rasanya dia menunggu esok hari untuk bertemu dengan kliennya. Namun tiba-tiba sebuah peluru menyasar kearahnya.
"Dor"
Hafsah pun terkapar dan ibunya berlari kearahnya mendengar suara pistol itu.
"Hafsaaaaahhh!" Ibunya berteriak saat melihat baju Hafsah berlumuran darah.
"Paaaaakkk! Tolooooonggg!" Santi berteriak sekencang-kencangnya dan suaminya yang sedang berbicara dengan pak Hari lalu keluar menolong Hafsah.
"Ayo, segera bawa ke rumah sakit!" Pak Raden nampak panik saat menyaksikan peristiwa itu.
Mereka bertiga membawa Hafsah kerumah sakit terdekat. Hafsah dalam kondisi pingsan saat dibawa ke rumah sakit.
Sementara, seseorang dengan sweater hitam dan topi hitam masuk kedalam rumahnya dan nampak melihat ke kanan serta ke kiri.
Karena rumah mereka jauh dari rumah warga lainnya maka tidak ada siapapun yang melihat peristiwa itu.
Seorang pria masuk dan langsung mencari kamar Hafsah. Sampai disana dia membuka tas kerja Hafsah dengan tangan yang di bungkus sarung tangan.
Lalu dia juga membuka setiap laci dan mencari sesuatu.
Dan sepertinya dia tidak mendapatkan apapun, maka dia membuka laptop Hafsah, dia sepertinya sudah berpengalaman dan bisa membuka sandinya, maka dia tersenyum kecut saat melihat sebuah foto lama.
Dia segera menghapus foto yang di kirim Daniel dan menutup laptop itu kembali.
Setelah itu dia keluar dan tidak lama dia kembali lagi.
Dia membuka lemari baju, namun karena tidak menemukan apapun, dia lalu pergi.
Dirumah sakit, Santi sangat sedih saat Hafsah dimasukkan kedalam ruang operasi untuk mendapatkan penanganan langsung dari dokter.
Peluru itu masih bersarang ditubuhnya, maka dokter sedang melakukan operasi untuk mengeluarkannya.
"Pak, kenapa bisa terjadi seperti ini?" Santi nampak panik dan sesudah serta ketakutan.
"Tenang Bu, kita akan mencari tahu nanti setelah putri kita baik-baik saja," jawab pak Raden dan menatap pada pak Hari.
Pak Hari nampak mengangguk dan memberi dukungan pada Pak Raden.
"Saya akan mencari tahu siapa yang sudah melakukan ini," kata Pak Hari lalu berpamitan pulang.
"Terimakasih," kata Pak Raden.
Pak Hari lalu pulang dan melihat-lihat lokasi kejadian. Dia juga melaporkan kejadian itu pada pihak berwajib.
Maka tidak lama kemudian beberapa polisi datang dan memeriksa lokasi kejadian. Polisi juga melihat kondisi rumah yang berantakan, terutama dikamar Hafsah.
Maka polisi segera memasang garis kuning disekitar lokasi kejadian dan menemukan jejak kaki.
Namun tidak ada sidik jari yang ditemukan karena kemungkinan penjahat itu memakai sarung tangan.
Pak Hari lalu pulang kerumahnya.
Saat dia pulang, anak laki-laki nya sedang duduk dimeja makan dengan baju hitam dan makan dengan sangat lahap.
"Hafsah, anaknya pak Raden ditembak oleh seseorang. Dan sekarang ada dirumah sakit, sebaiknya kau kesana untuk melihatnya besok," kata Pak Hari pada putranya bernama Roy.
"Ya," jawab Roy singkat.
"Belum pernah sebelumnya terjadi hal seperti ini di peternakan. Bapak heran, kenapa orang itu juga masuk ke kamar Hafsah. Apa yang dia cari?"
"Sudahlah pak, lebih baik bapak jangan ikut campur, bahaya," kata Roy sambil terus makan.
"Oh ya pak, aku butuh uang pak, ngga banyak, cuma dua juta," kata Roy pada bapaknya.
"Untuk apa lagi? Kemarin kau baru minta satu juta? Sekarang minta lagi dua juta? Apakah bapakmu ini mesin pencetak uang?"
"Sudahlah pak, jangan terus mengeluh setiap kali aku minta uang. Bengkel ku sedang sepi, jadi aku butuh uang untuk beli beberapa barang," kata Roy yang membuka usaha perbengkelan di perbatasan kota dan desa.
"Jika tidak menghasilkan, lebih baik ditutup saja. Dan jadi peternak seperti bapak," kata Bapaknya kesal menatap wajah putra satu-satunya.
"Jika hanya akan jadi peternak, kenapa Roy harus sekolah tinggi pak,"
"Ah, kau ini banyak bicara. Ini uangnya," bapaknya lalu memberikan sejumlah uang pada Roy.
Mereka hanya hidup berdua saja sejak ibunya meninggal. Dan memang sejak kecil, pak Hari sangat memanjakan Roy. Segala keinginannya selalu dipenuhi, dan tanpa sadar, hal itu terbawa hingga dia dewasa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!