Pukul 07.50
Seorang gadis yang juga merupakan mahasiswi berlari di lorong-lorong kampus sambil sesekali melirik jam tangannya. Tinggal beberapa menit lagi, sampai akhirnya gadis tersebut berhenti sebentar sambil menghela nafas kasar mencoba menetralkan nafasnya yang masih memburu. Sesekali dia tampak menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum mengetuk dan membuka sebuah pintu.
Ya, gadis itu telah sampai di depan ruang dosen, tepat di depan pintu yang menjadi target utamanya terburu-buru tadi.
Beberapa detik kemudian, tangannya yang terulur ingin mengetuk dan membuka pintu tersebut diurungkan karena pintunya telah dibuka lebih dulu dari dalam. Seorang pria berbadan tegap, tinggi, rambut rapi, hidung mancung, alis tebal berdiri disamping pintu dihadapan si gadis. Pria tersebut mengangkat sebelah alisnya seakan bertanya ada keperluan apa. Bagai terhipnotis gadis itu diam selama beberapa detik, tak lama dia pun sadar karena deheman pria di depannya.
“Eh maaf pak,” ucap gadis itu yang bernama Kirana dengan tersenyum malu. Gugup, itulah yang Kirana rasakan saat ini.
Pria di depannya hanya diam dan melihat Kirana, dia menunggu apa yang akan diucapkan Kirana. Pria tersebut dosennya, lebih tepatnya dosen pembimbingnya yang bernama Adam.
“Saya kirana pak, saya tadi yang janjian dengan bapak,” ucap kirana menjelaskan perihal kedatangannya sambil menetralkan rasa gugupnya. Masih tetap di samping pintu, pak Adam tidak merespon apa yang diucapkan kirana. Ekspresi yang ditujukkannya datar.
“Eum, Jadi saya boleh masuk bapak?” tanya kirana, mencairkan suasana yang dari tadi hampa karena tidak direspon oleh pak Adam. Namun hal itu malah membuat Kirana semakin gugup.
“Saya mau keluar, ada acara," sahutnya sambil melangkah keluar menuju mobilnya.
Kirana yang awalnya diam berdiri membiarkan pak Adam lewat di sampingnya, mengejar pak Adam.
"Tunggu pak,” panggilnya sambil menyusul pak Adam. Kirana terus mengikuti langkah pak Adam ingin menanyakan kejelasan bimbingannya.
"Kamu terlambat, saya ada urusan,” Pak Adam langsung berucap to the point yang mana tidak Kirana mengerti, sambil terus berjalan menuju parkiran.
“Terlambat?” tanya Kirana.
Terlambat katanya? pikir Kirana dalam hati. Sambil terus mengikuti langkah dosennya Kirana mengingat-ingat.
Sebelumnya Kirana memang janjian dengan dosennya pukul 08.00. Oleh sebab itu, dia berangkat terburu-buru tadi. Sudah sekuat tenaga dia berlari untuk bertemu sang dosen tepat waktu.
Kirana heran, kenapa sang dosen malah mengatakan terlambat, padahal dia sudah tepat waktu bahkan tiba lebih awal.
"Benar kok aku sudah tepat waktu. Bahkan aku sudah memeriksa jam sebelum mau masuk ke ruangannya dan masih tinggal 5 menit lagi. Darimana terlambatnya coba,” bisik kirana dalam hati.
“Maaf bapak, tapi saya rasa sudah tepat waktu tadi,” ucap kirana pelan. Kirana merasa dirinya tidak terlambat.
“Itu menurut kamu, di jam tangan saya kamu terlambat,”.
Kirana melirik ke arah jam tangan dosennya dan benar saja waktu di jam tangan dosennya berbeda dengan waktu di jam tangan Kirana.
"Apa-apaan dosennya ini, kenapa malah kirana yang disalahkan, bukannya dosennya yang salah," pikir Kirana.
Pak Adam memang mengatur waktu jam tangan yang dipakainya terlalu cepat dari waktu biasanya. Itu sudah menjadi kebiasaan pak Adam agar selalu tepat waktu.
Ingin rasanya kirana mengatakan kalau jam dosennya itu terlalu cepat. Namun, Kirana tidak bisa melakukannya. Kirana harus mengalah, tidak boleh berdebat dengan sang dosen. Percuma juga berdebat, yang menang pasti dosennya Setidaknya dia harus berusaha sekarang agar tidak gagal lagi. Kirana berharap agar dosennya ini kasihan kepadanya.
“Mungkin itu hanya beberapa detik saja pak," ucapnya dengan nada memelas berharap belas kasihan dari dosennya.
“Tidak ada toleransi untuk itu," Pak Adam mengatakannya dengan jelas dan tegas.
Kirana dibuat menganga, dosennya ini benar-benar disiplin. Kirana memutar otaknya mencari sebuah solusi. “Jadi, bagaimana bapak? atau saya tunggu saja ya pak?” pinta kirana berusaha negosiasi dengan pak Adam.
“Saya tidak akan kembali,” jawabnya singkat dan begitu lugas. Usaha kirana tidak membuahkan hasil, semuanya menjadi kacau, padahal kirana sudah mengalah, tapi dosennya ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi.
Langkah kirana terhenti bersamaan dengan pak Adam yang masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya mobil melaju sampai tidak terlihat dan kirana masih berdiri melihat kepergian mobil itu.
Kirana menghembuskan nafas lelah.
“Gagal lagi. Bagaimana mau cepat selesai kalau begini terus,” gerutunya. Kirana keluar dari parkiran dan berjalan melangkahkan kakinya ke kursi di depan ruang dosen tadi. Dia duduk sambil menghela nafas berat.
“Kenapa begini amat nasibku,” sesalnya meratapi nasib. Sudah beberapa kali kirana selalu gagal bertemu dosennya karena alasan sang dosen yang kadang mendadak tidak bisa. Baru kali ini dia bisa bertemu, kirana sudah berharap semuanya akan berjalan lancar, tapi kegagalan lagi yang dia dapat.
“Hufft,” helanya lagi.
Beberapa menit berlalu, kirana hanya duduk diam mengamati sekitar. Banyak sekali mahasiswa lain yang lewat dan berlalu lalang di depannya. Entah itu hanya untuk bimbingan dengan dosen, mengikuti perkuliahan dan juga ingin pulang karena sudah selesai jam perkuliahannya. Bahkan, ada yang hanya datang untuk menyapa temannya yang masuk atau melakukan kegiatan lain, anggaplah tidak begitu penting. Semua hal itu sudah kirana lalui sebelumnya, sekarang tinggal aktivitas baru yang harus dia jalani yaitu mengejar sang dosen.
“Mengejar? yang benar saja,” ucap kirana pelan sambil tersenyum kecut.
Ya, mengejar dosen. Kirana harus mengejar dosennya untuk melakukan bimbingan skripsinya bukan untuk mendapatkan hatinya.
Semester tua atau akhir sangatlah berat bagi kirana. Bagi kirana di semester ini bukannya membawa semangat malah membawa masalah. Masalah karena harus bola balik ke kampus, belum lagi nanti revisian dan banyak lagi. Semua Itu akan dilalui kirana selama beberapa bulan kedepan. Memikirkannya kirana jadi pusing, seperti ada beban dikepalanya. “Sungguh tanggung jawab yang harus segera diselesaikan,” pikir kirana.
Diam mengamati menjadi aktivitas yang sangat menyenangkan bagi kirana untuk saat ini, selain meratapi nasibnya. Kadang kirana hampir putus asa. Tapi dia ingat, ini perjuangan terakhirnya di dunia perkuliahan, dia harus terus berusaha sampai semuanya tuntas. Dia yakin masalah sekaligus tanggungannya ini pasti selesai.
“Ayo semangat kirana, kamu pasti bisa”, ucapnya memberi semangat kepada diri sendiri sambil mengepalkan tangannya dan sedikit menundukkan wajahnya.
Tak lama kemudian, terlihat seseorang melintas tepat dihadapannya. Dia melewati kirana dan berjalan ke arah ruang dosen, lebih tepatnya sedikit berlari. Kirana mendongakkan kepala dan menoleh ke orang itu. Terlihat dia mengetok pintu dan langsung masuk ke dalam. Alis kirana hanya berkerut melihat apa yang dilakukan orang itu.
Hanya beberapa detik, orang itu pun keluar dan bertatapan langsung dengan kirana. Dia berjalan mendekati Kirana.
"Itu...” tunjuknya ke ruang dosen.
“Gak ada orang,” ucap Kirana singkat. Belum sempat orang itu bertanya lagi Kirana langsung bicara.
“Keluar tadi,” ucapnya jelas.
“Astaga kiran, kenapa gak bilang sih kalo dosennya gak ada, tau gitu aku gak lari-larian tadi, gak usah ngetok pintu juga. Kalo gini kan sia-sia. Malu juga. Elah,” omel Odeng sambil sedikit mengatur nafanya. Ya, Orang yang melewati Kirana, yang masuk ke ruang dosen dan berbicara ke Kirana tadi bernama Odeng, teman dekat Kirana.
“Salah kamu juga kali, gak nanya," semprot balik Kirana.
“Lagian kemana si tuh dosen?” tanyanya
“Udah aku bilang keluar. Ada acara katanya," jelas Kirana.
“Lah kok gitu, bukannya udah janjian ya? tadi katanya bisa. Ini kenapa malah pergi, ada acara lagi, mendadak gitu juga. Ya elah,” gerutu Odeng panjang lebar. Kirana hanya mengangkat bahu acuh. “Ya sudahlah yah ditungguin aja,” ucap Odeng lagi sambil duduk di kursi tunggu di dekat Kirana.
“Percuma, orangnya gak bakal balik,” Kirana menghembuskan nafas kasar.
“Kok malah gak balik?” Kirana lagi-lagi hanya mengangkat bahunya acuh.
“terlambat,” Satu kata yang Kirana ucapkan, satu kata yang merubah nasibnya hari ini.
"Ha? terlambat?” tanya Odeng.
“Iya terlambat katanya,” ucap Kirana mengulang kata terlambat. Odeng berusaha mencerna kata dari Kirana. dia mengerti masalahnya sekarang.
“O... gak heran sih, pak Adam kan dosen yang disiplin. Aku juga sudah ngomong sama kamu, sudah peringatin kamu juga jangan sampai terlambat,” Odeng mengatakannya dengan nada santai seakan sudah mengetahui karakter dosennya.
“Eh, aku gak terlambat ya Odeng. Bapaknya aja kali, jam tangannya tuh harus diatur ulang biar gak kecepetan. Kamu juga? Kamu janjian juga kan? Malah baru datang. Gimana sih, telat banget lagi," omel Kirana.
“Rencananya tuh biar kamu duluan yang bimbingan, jadi aku nunggu kamu gitu,” balasnya dengan cengengesan. “Lagian ya, aku tuh udah usaha buat tepat waktu. Tapi apalah daya, nasibnya emang begini,” lanjutnya dengan nada sedikit memelas.
“Ye kamunya aja kali, malah nyalahin nasib. Kalo pak Adam tau, bisa saja kamu gak dibukain pintu, atau malah diusir,” seloroh Kirana dengan gelak tawa di akhir katanya.
“Eh gak gitu ya, lagian aku terlambatnya cuman sekarang. Kemarin-kemarinnya aku tepat waktu malah sebelum jadwal janjian," Odeng menjelaskan, lebih tepatnya membela diri. “Ngomong-ngomong bimbingannya sudah gak jadi kan, terus kamu ngapain masih duduk-duduk disini?” tanyanya.
“Tidak ada, cuman ingin istirahat dan santai aja," jawab Kirana tanpa beban. Yang sebenarnya berbanding terbalik dengan apa yang ada dipikirannya sekarang.
Setelahnya mereka hanya diam dan melihat sekitar. Hal sama yang dilakukan kirana tadi sebelum kedatangan Odeng.
Kirana laraswati nama lengkapnya, sering di sapa kirana. Kiran, sapaan akrab dari teman dekatnya Odeng. Hidupnya sederhana, Kirana bukan dari kalangan orang kaya juga bukan kalangan dari mahasiswa yang mendapatkan beasiswa. Dia masih bisa kuliah karena orang tuanya mampu untuk mengkuliahkannya.
Sedangkan Ode-eng Salima merupakan teman dekat bahkan sahabat dari Kirana. Bukan kalangan orang kaya dan beasiswa juga, hidupnya hampir sama dengan Kirana. Sebenarnya mereka beda prodi dan kelas. Namum, mereka sudah bersahabat waktu SMA. Kebetulan pada waktu yang bersamaan di saat terakhir kuliahnya tepatnya saat pengerjaan skripsi, mereka mendapat pembimbing yang sama. Akhirnya, selama beberapa semester mereka terpisah kini kembali lagi bersama.
Mereka bahkan hampir setiap hari bersama karena kebetulan juga mereka satu kos tetapi beda kamar. Kirana lebih memilih ngekos agar tidak bolak balik dari rumah ke kampus. Perjalanan yang ditempuh Kirana ke kampus itu juga lumayan jauh. Apalagi situasinya sekarang mengharuskan Kirana tepat waktu, tidak boleh terlambat sedikitpun. Dia mencari kosan di dekat kampusnya untuk meminimalisir keadaan yang tidak diinginkan.
Pada saat mereka ditakdirkan bersama lagi, ternyata Odeng sudah beberapa kali melakukan bimbingan kepada dosennya, mendahului Kirana. Odeng yang sudah skripsi meninggalkan Kirana yang masih proposal.
Tak terasa sudah 1 jam mereka diam di tempat. Mereka pun memutuskan untuk pergi mencari makan karena perut mereka sudah lapar..
Tibalah mereka disebuah warung mie bakso yang menjadi langganan favorit mereka. Walaupun tidak sering bersama, selera mereka tetap sama.
“Bang, baksonya dua,“ teriak Odeng sambil mencari tempat duduk yang nyaman dan pas.
“Siap neng,” sahut pak Joko penjual mie bakso dengan senyuman.
“Bisa gak sih ngomongnya gak usah teriak-teriak gitu. Lagian yah si abangnya juga pasti denger kok. Kebiasaan deh, tuh diliatin banyak orang kan,” seru Kirana sambil duduk.
“Yaelah kiran, udah biasa kali aku kayak gitu. Biarin aja kali orang liat, punya mata juga mereka.” Odeng menimpalinya dengan senyuman. Kirana hanya bisa menghela nafas dan memaklumi kelakuan temannya itu. Sudah biasa bagi Kirana menghadapi tingkah Odeng yang seperti ini.
Tak lama, mie bakso yang ditunggu-tunggu pun datang. Mereka langsung menyantap mie bakso yang masih panas sambil sedikit berbincang-bincang.
“Tadi beneran kamu belum sempat bimbingan? di php in lagi gitu? Jadi, belum bimbingan sama sekali dong?” tanya odeng beruntun sambil meniup baksonya.
Namun, hanya anggukan dan deheman yang Kirana berikan.
“Wah, harus itu....” perkataan Odeng setengah-setengah sambil menyuap mie ke dalam mulutnya.
“Harus apa?” tanya kirana penasaran.
“Dikejar lah, harus gerak cepat biar bisa bimbingan. Emang kamu mau begini terus. Aku udah mau ujian juga, tinggal nunggu persetujuan bapak aja," ujar Odeng dengan percaya dirinya. Kirana minum sebentar, kemudian menjawab perkataan Odeng barusan.
“Kamu mau ikut ujian skripsi? emang udah kelar revisinya? gak harus revisi lagi? Gak ada kesalahan lagi gitu?". Kali ini Kirana yang menyakan secara beruntun. Sejenak Odeng menghentikan acara mengunyahnya.
“Gak tau juga sih," balasnya dengan cengiran. “Tapi kan aku udah ketiga kalinya revisi. Kesalahannya juga gak terlalu banyak, jadi yakin aja," lanjutnya. Lalu Odeng menyuap baksonya.
“Aku kira udah beneran mau disetujui. Enak juga ya cepat selesai," kata kirana pelan hampir seperti berbisik.
“Apa? Kamu bilang apa?” Odeng yang sedang khidmat makan bakso tidak mendengar bisikan Kirana.
"Tidak ada. Habisin tuh mie baksonya. Biar cepat pulang kita,” cetus Kirana agar Odeng tidak penasaran.
Beberapa menit berlalu, mie bakso yang mereka pesan sudah habis. Mereka pun bersiap untuk pulang. Sebelumnya mereka membayar terlebih dulu ke abang tukang mie baksonya, lebih tepatnya Odeng yang mewakilkan untuk membayar.
Bukannya langsung membayar, Odeng masih sempat-sempatnya bercanda dengan si abangnya. Kirana yang sedari tadi udah nunggu sambil berdiri menghampiri temannya yang satu itu.
“Benar-benar ini anak. Gak mau pulang apa dia,” gerutunya pelan sambil terus berjalan ke arah Odeng.
“Ayo pulang. Kamu mau nginep disini?" omel Kirana.
“iya, bentar” menolehkan kepalanya ke kirana sebentar, lalu bertatap muka kembali dengan pak Joko, penjual mie bakso. Semua orang memanggilnya dengan sebutan abang. Jadilah Odeng dan Kirana memanggil dia abang.
“Ya udah, kami pulang dulu ya bang," Odeng berpamitan ke abang tukang mie baksonya. Dia memang sudah akrab dengan pak Joko. Tidak ada rasa canggung sama sekali, layaknya teman tapi beda usia. Kebetulan juga Odeng orangnya humble.
“Ya hati-hati neng,” balas si abang penjual.
Kirana langsung menarik tangan odeng dan mereka pun pulang bersama-sama. Mereka masih berbincang-bincang seakan belum puas dan tidak ada waktu bersama lagi. Kenyataannya, mereka bisa berbicara selama 24 jam kalau mau.
Sesampainya di kamar kos, Kirana langsung mandi, membersihkan badannya yang lengket. Setelahnya dia melakukan ritual rutinannya yaitu rebahan untuk menghilangkan rasa lelahnya. Baru saja Kirana memejamkan matanya, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kosnya.
“Siapa sih yang datang?” Kirana langsung berjalan kearah pintu dengan malasnya.
Setelah pintu terbuka tampaklah seseorang yang sangat kirana kenal siapa lagi kalau bukan Odeng. "Boleh masuk kan?”. Dengan cengengesan Odeng langsung masuk ke dalam tanpa menunggu jawaban dari penghuninya. Sungguh menyebalkan kelakuan temannya ini. Untung saja kirana sudah memaklumi sifat dan tingkah lakunya ini.
Dengan malas kirana menyusul Odeng yang duduk manis di kasurnya.
“Mau apa?” Sambil duduk disebelah Odeng.
“Gak ada sih, cuma gabut aja jadi kesini. Lagian ini masih sore, tidak mungkinkan kamu mau tidur,” selorohnya dengan cengiran.
“Eh aku sekalian mau minjem charger dong, daya baterai handphone ku mau habis. Nanti aku bawa pas balik kamar,” lanjutnya sambil merebahkan tubuhnya di kasur.
“bukannya kamu punya ya? dikemanain tuh charger?” Posisi kirana masih sama seperti awal namun menghadap Odeng.
“Mati. Tidak bisa diajak kompromi tuh charger. Maen mati aja.”
“Bukan chargernya yang tidak bisa diajak kompromi, tapi kamu,” cecar kirana sambil mengambil chargernya. “Nih, jangan lupa dikembaliin!” Peringat Kirana, kemudian merebahkan tubuhnya di samping Odeng. Tapi Odeng malah bangun dari rebahannya dan berdiri.
“Iya, tenang aja,” Sambil berjalan ke arah pintu.
“Eh, mau kemana?” tanya Kirana heran. Berhenti sebentar sebelum membuka pintu sambil berbalik menghadap Kirana yang sedang berbaring.
“Mau balik ke kamar,” Kemudian lanjut membuka pintu.
"Bilang aja kalau cuma mau minjem charger, gak usah pakek alasan gabut pengen kesini,” omel Kirana namun sayang Odeng sudah keluar dan menghilang di balik pintu.
Kirana yang lelah lalu memejamkan matanya, berniat melanjutkan ritual rutinannya tadi untuk tidur sebentar. Tapi, dia harus urungkan lagi karena ulah temannya yang satu itu.
Tanpa mengetuk pintu, Odeng langsung membuka pintunya dan mengagetkan Kirana.
“Eh iya, jangan lupa chat bapak, tanyain besok bisa ditemui apa tidak. Jangan lupa janjian ya,” suruhnya tanpa basa basi.
Belum sempat Kirana merespon, Odeng sudah tidak terlihat. Kirana hanya dibuat melongo.
“Astaga, gini amat ya. Sabar kirana,” Sambil mengambil dan menghembuskan nafasnya. Alhasil kirana tidak jadi tidur lagi. Niatnya untuk tidur sebentar tadi sudah hilang. Akhirnya dia lebih memilih bermain handphonennya.
Keesokan harinya, setelah melewati malam yang panjang, penuh gelisah dan kekhawatiran, akhirnya Kirana kembali menjalankan aktivitas terberatnya. Disinilah Kirana sekarang, di ruang dosen pembimbingnya. Tadi malam Kirana sudah menghubungi dosennya ini dan sepakat untuk bimbingan sekarang. Kirana benar-benar tepat waktu sekarang bahkan dia sampai sebelum waktu yang ditentukan. Dia tidak ingin gagal lagi sama seperti sebelumnya. Dengan rasa percaya diri dan yakin Kirana menghadap pak Adam.
Duduk berhadapan dengan dosennya, ada rasa gugup dalam hati Kirana. Ini pertama kalinya Kirana memandang wajah pak Adam dengan lama dan dalam. Benar-benar dosen pembimbing yang sempurna. Beruntung juga Kirana dapat pembimbing seperti pak Adam ini.
“Apa ini?” Lamunan Kirana buyar seketika karena pertanyaan yang dilontarkan pak Adam. Pak Adam menaruh proposal yang tadi dilihat dan dibacanya di atas meja lalu tangannya bersedekap di dadanya.
“Ini proposal saya pak”. Dengan nada pelan Kirana berucap. Kirana tidak mengerti apa maksud pertanyaan dosennya ini. Sudah jelas kertas yang dilihat dan sempat dibacanya tadi itu proposal. Bahkan kirana sudah mengkonfirmasikan sebelumnya bahwa dia akan bimbingan proposal.
“Iya saya tahu, apa seperti ini bentuk proposal?” Pertanyaan susulan yang semakin membuat Kirana bingung dan gugup.
“Iya pak,” ucapnya tidak yakin.
“Kamu membuat sendiri?” Dengan cepat Kirana menjawab “Iya pak, saya membuat sendiri.” Kirana tidak mau kalau sampai dituduh orang lain yang mengerjakannya.
“Sudah baca buku panduan?” tanya dosennya lagi.
“Buku panduan pak?”, Seakan mendadak hilang ingatan, Kirana lupa apa buku panduan yang dimaksud dosennya.
Sedetik kemudian dia ingat “Ah, iya pak sudah. Saya sudah membacanya sebelum mengerjakan proposal," Kirana mengatakannya dengan senyuman. Namun, dia tetap merasa gugup, karena dia merasa diinterogasi seperti berbuat kesalahan. Seakan tidak puas pak Adam masih lanjut bertanya yang mana malah membuat Kirana gugup tak berkesudahan.
“lalu, kenapa jadi seperti ini?” Sambil memegang proposal Kirana dan menunjukkan pada Kirana.
Pak Adam melihat lagi proposal Kirana, dibukanya lagi satu persatu. Suasana di dalam ruangan dosennya sudah sangat panas, Kirana merasa sangat gerah padahal AC nya menyala. Jika boleh memilih, Kirana benar-benar ingin keluar sekarang. Dia merasa tidak kuat menahan rasa gerahnya.
Gugup, gelisah, khawatir bercapur menjadi satu, ditambah dospemnya yang dari tadi tidak ada senyumannya walau hanya sedikit. Benar-benar profesional, bahkan bikin orang tertekan, seakan sedang mengintimidasi lawannya, padahal Kirana hanya anak buahnya yang perlu dibimbing.
Kirana berdoa semoga pak Adam melepaskannya, Kirana benar-benar ingin keluar dari ruangan dosennya ini. Akan tetapi doanya tidak terkabul.
"Atas dasar apa kamu membuat ini?" Pertanyaan lagi yang terlontar dan kali ini semakin membuat bingung Kirana.
"Aduh, pertanyaan lagi. Kapan aku keluar," batin Kirana. Tak ada jawaban dari Kirana, hanya keheningan.
Beberapa menit kemudian pak Adam memegang bolpen dan mencoret isi proposal Kirana. Kirana hanya melihatnya dalam diam.
“Revisi yang saya coret” Sambil menaruh bolpennya. Kirana yang sudah mendadak buntu, tidak bisa berpikir hanya mengangguk saja. Kemudian dia pamit untuk keluar, tak lupa mengucapkan terimakasih kepada dospemnya. Kirana terburu-buru keluar dari ruangan dospemnya, seakan dia akan kehabisan nafas jika tidak segera keluar.
Kirana menutup pintu dengan menghembuskan nafas lega. Lalu Kirana melangkahkan kakinya ke kursi yang sudah tersedia di depan ruangan itu. Akhirnya keinginannya terkabulkan juga.
“Kenapa seperti berada di penjara ya,” Sambil duduk tidak hentinya dia bernafas lega. "Kenapa di dalam panas ya tadi,".
Kemudian kirana memeriksa proposal skripsinya yang masih dipegangnya.
"Huftt, banyak banget yang dicoret," Dibuka satu persatu kertas proposalnya dengan raut wajah sedih. Kirana benar-benar merasa sedih sekarang karena isi proposalnya banyak yang dicoret, bahkan hampir semua yang dicoret. Di sela-sela kesedihannya, ada seorang yang menghampiri kirana dan duduk didekatnya.
"Gimana? Udah kelar?" Tanyanya tanpa basa basi. Kirana langsung menjulurkan proposalnya ke orang tersebut tanpa menjawab. Sambil duduk orang tadi mengambil proposal yang dijulurkan Kirana. Dia membuka dan melihat isinya.
"Wah banyak juga ya revisinya," ucapnya sedikit kaget.
Kirana menganggukkan kepalanya. "Bukan cuma banyak tapi hampir tidak ada yang benar," Diam sejenak menghembuskan nafas "Padahal aku berharap langsung disetujui di" lanjutnya lagi dengan nada lemas.
"Ya gak gitu juga kali kiran, gak mungkin langsung disetujui, masih bimbingan pertama juga. Memangnya kamu profesor yang langsung benar semua, tanpa direvisi," ujar Diah panjang lebar.
Diah merupakan teman Kirana selain Odeng. Kirana dan Diah juga sudah sangat akrab. Mereka ada di prodi yang sama dan juga satu kelas. Dari awal semester sampai akhir semester mereka terus bersama. Sifat Diah yang baik dan penyabar membuat Kirana nyaman. Walaupun beda dosen pembimbing, mereka tetap bersama. Bahkan mereka juga gantian menunggu jika salah satunya bimbingan. Mereka juga tak segan saling membantu jika kesulitan dalam mengerjakan proposalnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!