NovelToon NovelToon

Unlimited Love

Bab 1

Seorang gadis muda baru saja keluar dari sebuah bangunan rumah sakit. Ditangannya masih terdapat secarik kertas dengan logo rumah sakit yang baru saja dikunjunginya. Tatapan gadis itu tampak kosong dan jalannya pun terseok-seok. Bagaimana tidak, diusianya yang baru menginjak 20 tahun, dia harus menerima fakta kalau dirinya mengidap penyakit parah yang bisa merenggut nyawanya kapan saja. Terkejut? Tentu saja karena dia tidak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi padanya.

Nama gadis itu Vioni Rosmala. Dia adalah anak kedua pasangan Clifford El-Malik dan Rosa Tanasia. Namun, kehadirannya seakan tak diinginkan karena ayah ibunya memilih untuk menitipkan dia di rumah omnya ketimbang berkumpul bersama kakak dan adik kembarnya.

Ya, Vioni mempunyai saudara kembar bernama Vanila Rismaya. Meskipun mereka terlahir kembar, tapi Vioni tak pernah sekalipun diperlakukan seperti anak kedua keluarga itu. Dia lebih sering diabaikan dan dianggap anak keluarga lain kalaupun Vioni berkunjung ke rumah ayah ibunya.

"Apa yang harus aku katakan pada Om dan Tante?" gumam Vioni sambil menengadah, menatap langit yang mulai mendung. Bahkan rintik airnya pun mulai berjatuhan di atas kepala gadis itu.

Vioni ingin menceritakan apa yang terjadi padanya, tapi hal itu tidak bisa ia lakukan karena om dan tantenya pun belum tentu peduli. Mereka hanya peduli pada uang yang diterimanya dari Clifford dan Rosa tanpa mau repot-repot mengurusinya.

Ya Tuhan ... sekarang apa yang harus aku lakukan? Pantas saja selama ini aku selalu mudah kelelahan dan sakit kepalaku juga tidak pernah bisa ditahan, batinnya saat mengingat gejala-gejala yang selama ini dirasakan.

Awalnya Vioni mengira kalau itu hanyalah penyakit biasa, sampai tiba-tiba dia mimisan dan darah itu tak kunjung berhenti dari hidungnya. Akh, bahkan sebelum ke rumah sakit pun, om dan tantenya pun tidak mau mengantarkannya dan malah menyuruh dia untuk pergi sendiri.

Kini gadis itu memilih duduk di salah satu bangku yang tersedia di sisi trotoar. Jalanan yang dilaluinya saat ini terbilang ramai karena banyak orang yang berlalu lalang di sana. Bahkan tak sedikit diantara mereka juga ada anak-anak yang sedang berlarian dengan tawa lebar di bibirnya.

Vioni tersenyum tipis, entah kapan terakhir kalinya dia mengingat tawanya yang seperti itu. Selama hampir 12 tahun ini Vioni hanya bisa tersenyum tipis, itupun hanya ia lakukan sesekali. Vioni tidak bisa hidup seperti Vanila yang bebas tersenyum dan mengekspresikan diri serta perasaannya. Adik kembarnya itu juga tidak benar-benar sehat. Sejak lahir, Vanila sudah mempunyai daya tahan tubuh yang lemah, itulah sebabnya kenapa ayah dan ibunya lebih memilih untuk mengurusi Vanila dan mempercayakan Vioni pada adiknya.

Setelah puas merenungkan diri, Vioni pun memilih untuk pulang ke rumah om dan tantenya. Ya, sejak bayi dia sudah tinggal di sana karena om dan tantenya itu tidak dikaruniai anak, sehingga saat Rosa dan Clifford menitipkan Vioni kepada mereka, sepasang suami istri itu sangat bahagia dan berjanji akan mengurus serta melimpahkan kasih sayang. Akan tetapi janji tinggal janji, pada kenyataannya mereka sama sekali tidak pernah mengurus Vioni dengan benar.

***

Setelah menempuh perjalanan 15 menit lamanya, akhirnya gadis yang bernama lengkap Vioni Rosmala itu sampai di rumah yang selama ini ia tempati.

"Vio, kenapa kau pergi lama sekali? Bukankah aku sudah memintamu untuk pulang dengan cepat?" tegur Resa. Dia adalah tantenya Vioni, atau adik dari ibunya.

"Maaf, Tan. Tadi di rumah sakitnya harus antri. Banyak dari mereka yang mengalami sakit parah. Jadi aku harus menunggunya lama," jawab Vioni sambil menahan kepalanya yang kini mulai terasa sakit lagi. Dia berusaha untuk tetap tenang agar bibinya tidak mencurigai penyakit yang diidapnya. Kalau tidak, bisa-bisa dia akan dimarahi dan diancam diusir dari rumah itu.

Ya, Resa selalu mengancam Vioni dengan cara menakut-nakutinya akan diusir dari rumah kalau gadis itu tidak menuruti apa yang dia katakan. Sebenarnya Vioni tidak masalah kalau dia harus keluar dari rumah itu, tetapi untuk melakukannya dia harus berpikir dua kali karena hal itu pasti akan sampai ke telinga kedua orang tuanya dan dia akan semakin dimarahi.

"Ck. Alasan saja. Lalu, bagaimana dengan hasil pemeriksaan kesehatanmu? Jangan bilang kamu mengidap penyakit parah! Kamu tahu 'kan, kalau hal itu sampai terjadi, Tuan Max akan membatalkan pertunangannya denganmu dan akan meminta Vanila untuk menggantikanmu?" tanya Bibi Resa. "Ingat Vio, kalau kamu sampai gagal bertunangan dengannya, maka Tuan Max akan membuat usaha orang tuamu bangkrut dan kamu tidak akan bisa hidup bahagia seperti Vanila!" sambung Resa lagi.

Ya, Vioni akan dipersunting oleh seorang pengusaha muda yang bernama Maximilian Green. Siapa yang tidak kenal Max, dia pengusaha muda yang terkenal sebagai penakluk para wanita. Sudah banyak rumor buruk tentangnya yang mengatakan kalau dia adalah pria nakal yang suka bermain dengan wanita. Namun, hal itu tidak berpengaruh pada Resa yang menyarankan Vioni untuk dipersunting oleh Max, Clifford dan Rosa juga langsung menyetujuinya karena pria itu berjanji akan mensejahterakan perusahaannya.

Vioni menundukkan kepalanya, sebenarnya dia merasa keberatan jika harus dipaksa berhubungan dengan seseorang yang tidak dikenal. Apalagi pria itu juga memiliki reputasi yang buruk. Akan tetapi, meskipun Vioni menolak dengan keras, orang tua serta paman dan bibinya pun tidak mau mendengarkan dia. Hingga akhirnya sebuah kesepakatan pun tercipta diantara kedua belah pihak keluarga itu, akhir pekan ini pertunangan akan dilaksanakan. Di saat itu pula Tuan Max akan menggelontorkan dananya untuk perusahaan milik Clifford.

Kenapa aku merasa seperti sedang diperjualbelikan? Tidak bisakah mereka membiarkanku untuk hidup dengan semua keinginanku? tanya Vioni dalam hatinya.

"Hey, Vio! Apa kamu mau mendengar ucapanku?" tanya Resa pada keponakannya karena Vioni tak kunjung memberikan jawabannya.

"M–maaf, Tan. Iya, aku ingat. Penyakitku juga tidak terlalu parah. Jadi, Tante tidak perlu mengkhawatirkan hal itu karena aku akan melakukan apa yang kalian inginkan. Meskipun aku harus mati di tangan kalian, aku rela melakukannya," jawab Vioni sambil tersenyum dan menatap lekat mata Resa. Namun, senyum gadis itu tak sampai di matanya.

Sesaat Resa terpaku ketika melihat senyuman yang diperlihatkan oleh Vioni padanya. Entah kenapa, hatinya tiba-tiba terasa sakit. Dia seperti melihat luka yang ada dalam hati gadis itu. Namun, pikiran seperti itu segera ia singkirkan.

"Baguslah kalau kau mengerti. Jangan sampai membuat masalah untukku dan juga keluargamu. Camkan itu baik-baik!" ucap Resa sebelum dia berlalu dari hadapan Vioni dan kembali ke kamarnya.

Bab 2

Vioni menghela napas panjang setelah Resa meninggalkannya sendirian. Ada rasa sakit dan lega dalam hatinya yang dia rasakan secara bersamaan. Vioni lega karena Resa tidak banyak bertanya tentang penyakit yang dia derita, tapi di sisi lain dia juga merasa sakit karena Resa benar-benar sama sekali tidak memperdulikannya.

Huh, memang apa yang bisa aku harapkan dari Tante? Bukankah sikap seperti ini sudah biasa dia tunjukkan padaku? Kenapa malah aku sendiri yang merasa sakit hati? tanya gadis itu dalam hatinya.

Vioni pun memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Di sana dia membaringkan tubuhnya di kasur kecil. Ya, Vioni tidak memiliki ruangan kamar seperti milik Vanila di rumah kedua orang tuanya. Bahkan kamar Vioni pun terbilang sederhana di kalangannya karena hanya berisikan kasur berukuran single bed serta meja rias kecil yang merangkap dengan lemari pakaian. Akan tetapi, meskipun seperti itu Vioni tidak pernah protes dan hanya menerima apa yang tante dan omnya berikan.

Langit-langit kamar yang polos serta kipas angin yang menggantung menjadi pemandangannya saat berbaring dalam posisi terlentang. Pikiran gadis itu sedang kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan kedua orang tua kandung serta adik kembarnya. Saat itu dirinya baru berusia delapan tahun, tantenya membawa dia ke sebuah rumah mewah. Di sana Vioni melihat potret seseorang yang sangat mirip dengannya, tetapi dia tidak memiliki tahi lalat di bawah matanya.

"Tante, ini rumah siapa? Kita ada di mana?" tanya Vioni kecil kala itu.

"Kita berada di rumah kedua orang tuamu. Aku mendengar kalau Adik kembarmu sedang sakit parah. Jadi aku memutuskan untuk mengajakmu kemari," jawab Tante Resa tanpa menoleh ke arah di mana Vioni berdiri.

"Orang tua? Apakah aku memiliki orang tua seperti teman-temanku yang lain?" tanya Vioni lagi dengan semangat.

Selama delapan tahun itu, Vioni tidak pernah mengetahui kalau dirinya masih mempunyai orang tua karena baik Clifford maupun Rosa tak pernah ada yang datang ke rumah Resa. Begitu pula dengan Resa yang tidak pernah menjawab pertanyaan Vioni dengan benar kala dia menanyakan di mana keberadaan ayah dan ibunya.

"Iya. Tentu saja kau masih memiliki kedua orang tua. Apa kau pikir mereka sudah mati? Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?"

"Aku tidak pernah berpikir seperti itu, Tante. Bukankah tanpa sendiri yang tidak pernah mengenalkanku pada mereka? Dan ... Tante juga baru mengajakku sekali kemari."

"Ck. Sudahlah. Gadis kecil sepertimu tidak perlu banyak bertanya seperti orang dewasa!"

Saat itu Vioni tidak lagi menjawab ucapan dari sang tante. Dia hanya menunduk sembari memainkan jemari kecilnya di atas pangkuan. Tak lama berselang datanglah kedua orang dewasa yang Vioni ketahui sebagai orang tuanya. Mereka juga membawa seorang anak perempuan yang sangat mirip sekali dengannya.

"Apakah anak ini yang kuberikan dulu padamu?" tanya Rosa saat melihat Vioni yang sedang menatapnya.

"Iya, Kak. Dia anak yang kau titipkan dulu."

Clifford dan Rosa tampak memperhatikan penampilan Vioni. Saat itu penampilan Vioni sangatlah sederhana dan tubuhnya pun tidak terlalu berisi seperti Vanila. Akh, bahkan Vioni sendiri bisa menilai kalau Vanila lebih menggemaskan darinya, padahal mereka saudara identik, tetapi mereka sangat bisa dibedakan.

"Dia terlihat sehat. Baguslah kalau kau bisa merawatnya dengan benar," ucap Clifford kala dia sudah selesai mengamati putri keduanya.

"Iya, Kak. Itu pasti karena aku yang merawatnya dengan benar," jawab Resa. "Oh, ya ... bagaimana kabar keponakanku tersayang ini?" tanyanya lagi sambil membelai pipi Vanila yang berada dalam dekapan ayahnya, Clifford.

"Keadaan vanila sedang tidak baik. Sejak semalam dia mengalami demam dan baru turun tadi pagi. Akhir-akhir ini dia juga sering batuk," jawab prosa sembari mengusap kepala putrinya dengan sayang.

Saat itu Vioni hanya bisa menatap iri perlakuan manis yang ditunjukkan oleh tantenya pada gadis kecil yang dia ketahui sebagai adik kembarnya. Begitu pula dengan kedua orang dewasa yang mengelu-elukan Vanila. Sejak itu pula Vioni selalu dibanding-bandingkan dengan Vanila dan Vioni pembenci hal itu tetapi tidak bisa membantahnya.

Vioni langsung sadar dari lamunannya. Mau seperti apapun dia saat ini, ini adalah takdir kehidupan yang harus dijalaninya.

Akh, pertemuan itu sudah terjadi sekitar 12 tahun lamanya. Tetapi kenapa aku masih tidak bisa melupakan hal itu? Kenapa rasa sakitnya masih sama seperti dulu? gumam Vioni yang bertanya pada dirinya sendiri.

Saat Vioni masih sedang mengistirahatkan tubuhnya, tiba-tiba suara dering ponsel miliknya terdengar dari dalam tas yang dia bawa tadi. Dengan gerakan malas gadis itu bangun dan segera menjawab panggilan tersebut tanpa melihat ID sang pemanggil.

"Halo ini siap–"

"Kak Vio, ini aku, Vanila. Bisakah kita bertemu sore ini?"

Ternyata yang menghubungi Vioni adalah adik kembarnya, Vanila. Untuk berkatama kalinya setelah beberapa bulan lalu, adik kembarnya itu menghubungi dia.

"Ada perlu apa? Katakan saja di sini!"

"Tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan Kakak!" pinta gadis itu.

"Apakah kau sudah meminta izin pada kedua orang tuamu? Aku tidak mau sampai mereka salah paham dan mengira aku yang memintamu untuk bertemu untuk lebih dulu."

"Kakak, mereka orang tua kita. Tidak seharusnya kau mengatakan dia hanya orang tuaku!" tegur Vanila yang langsung membuat Vioni tersenyum.

Orang tuaku? Akh, iya ... aku lupa kalau aku juga dilahirkan oleh mereka, batin Vioni. Akhirnya dia lebih memilih untuk diam sambil menanti jawaban yang akan diberikan Vanila. Bukan tanpa dasar Vioni bertanya seperti itu pada adik kembarnya, tapi dia dulu pernah mengalami kejadian di mana Clifford dan Rosa tiba-tiba memarahi dan menyalahkannya karena Vanila pulang ke rumah dengan keadaan demam. Padahal, saat itu adiknya lah yang meminta untuk bertemu.

"Kak, apa kau masih di sana?"

"Ya. Aku masih menunggu jawabanmu!"

"O–oh. Aku ... aku belum izin pada Ayah dan Ibu karena mereka pasti tidak akan memperbolehkanku untuk menemuimu," jawab Vanila dengan gugup.

Sudah bisa ditebak oleh Vioni kalau nggak dikembarnya itu pasti tidak akan membicarakan hal ini pada kedua orang tuanya.

Menghela napas panjang, akhirnya Vioni pun berkata, "Kalau kau tidak meminta izin pada mereka, maka aku tidak akan menyetujui permintaan."

"T–tapi, Kak–"

"Tolong jangan buat aku dalam kesulitan!" ucap Vioni sebelum ia memutuskan sambungan panggilannya secara sepihak. Dia tidak peduli kalau di seberang sana Vanila akan marah terhadapnya.

Gadis itu pun kembali menyimpan ponselnya dengan sembarangan di atas kasur dan menutup matanya dengan sebelah tangan. Hingga sebuah suara tiba-tiba membuatnya terkejut.

"Seperti itukah caramu memperlakukan saudara kembarmu sendiri?"

Bab 3

Sore itu Vioni tidak menyangka kalau percakapannya dengan Vanila akan didengar oleh seseorang. Padahal, selama ini dia tidak pernah sekalipun berbicara ketus di depan orang-orang pada Vanila. Untuk pertama kalinya, Vioni merasa bersalah karena sudah bersikap salah pada adik kembarnya, tapi apa itu murni salah Vioni? Dia juga tentu tidak akan bersikap seperti itu kalau orang-orang memperlakukannya sama. Anggap saja itu sebagai pemberontakan kecil yang dilakukannya.

"O–om? Sejak kapan Om Marvel ada di sana?" tanya Vioni dengan terbata-bata.

"Sejak awal kau menjawab panggilan itu." Marvel yang merupakan suami Resa langsung menghampiri Vioni dan merebut ponsel gadis itu.

"Aku akan menghubungi Vanila dan kau akan menyetujui keinginan adikmu itu! Ini adalah yang terakhir kalinya kau menolak apa yang dia inginkan!" ucap Marvel dengan tegas.

Vioni segera menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia tidak ingin seperti itu karena jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Vanila, dia orang pertama yang akan disalahkan oleh orang tua serta keluarga yang lain.

"Om, tolong jangan lakukan itu! Aku tidak mau!" tolak gadis itu.

"Kau tidak punya alasan untuk menolak perintah kami dan keinginan Vanila! Kau sendiri tahu 'kan bagaimana kondisi Vanila? Dia tidak sesehat kau."

Suara Vioni seakan tercekat di tenggorokan. Lagi-lagi hanya karena kondisi tubuhnya yang selalu terlihat sehat, dia dibanding-bandingkan dengan Vanila.

Apa aku harus mengatakan tentang penyakitku pada mereka untuk mendapatkan kasih sayangnya? Tapi, bukankah itu hanya akan menarik simpatinya saja? Mereka tidak benar-benar menyayangiku, mereka hanya kasihan padaku! batin Vioni.

"Aku sudah mengirimkan pesan pada Vanila bahwa kau akan menemuinya di tempat yang dia inginkan! Kau tidak boleh membantahku. Mengerti!" ucap Marvel tanpa menggubris penolakan keponakannya. Bagi Marvel dan Resa, keinginan Vanila adalah hal yang harus di laksanakan. Tak ada seorangpun yang berhak membantah keinginan adik kembar Vioni itu.

Vioni langsung tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Marvel yang tegas. Suara yang selalu ia gunakan pada orang-orang yang berusaha membantahnya.

Usai mengatakan hal itu, Marvel pun berlalu dari kamar keponakannya. Sebenarnya dia juga sayang pada Vioni karena walau bagaimanapun gadis itu sudah mengisi kekosongan hari-hari yang tak bisa memiliki buah hati, tapi dia juga mengkhawatirkan keadaan Vanila yang akhir-akhir ini kondisinya semakin melemah. Jadi, dia pun hanya bisa membuat Vioni mengabulkan apa yang diinginkan gadis itu demi membuatnya tetap semangat.

Kembali ke kamar Vioni.

Gadis itu meluruhkan tubuhnya dan terduduk di atas lantai yang dingin. Tatapan gadis yang biasanya selalu terlihat ceria itu kini mulai meredup. Harapannya untuk sembuh semakin berkurang. Orang-orang tak bisa memperlakukannya dengan baik. Bahkan disaat seperti ini pun dia yang harus tetap menghibur orang-orang di sekelilingnya.

Sampai kapan? Sampai kapan aku harus terus mengalah seperti ini? batin Vioni sambil menenggelamkan wajahnya diantara kedua lutut, dia hanya bisa menangis sambil memeluk dirinya sendiri.

***

"Vanila mengajakmu bertemu di restoran Jepang yang berada di jalan Kencana. Temui dia di sana dan hibur dia!" perintah Marvel kala ia sedang berkumpul untuk sarapan. Marvel benar-benar melakukan apa yang dikatakannya sore itu. Dia mengirim pesan pada Vanila kalau kakak kembarnya menyanggupi keinginan untuk bertemu dengannya.

"Tapi, Om .... Aku tidak bisa makan itu. Aku tidak mau!" tolak Vioni.

Bagaimana bisa Vanila mengajaknya bertemu di restoran itu. Padahal Vanila mengetahui kalau kakak kembarnya tidak bisa memakan makanan yang di sajikan di sana.

"Hei, Vio, apa kau lupa aku dan Om–mu ini tidak menerima penolakan apapun darimu?" tanya Resa yang ikut menyahuti perkataan keponakannya.

Marvel mengangguk. "Iya, kami tidak terima penolakan apapun darimu, tahu!"

Vioni berusaha keras menelan salad yang saat ini sedang dikunyahnya. Sampai akhir pun dia tidak bisa menolak perintah om dan tantenya itu.

"Aku sudah selesai sarapan," ucap gadis itu yang memilih untuk pergi dari sana secepatnya. Vioni sudah tidak bisa bernapas dengan benar jika terus dipaksakan berada satu ruangan bersama Marvel dan Resa.

"Jangan lupa untuk menemui Vanila nanti siang!" teriak Resa sebelum keponakannya benar-benar pergi dari ruangan itu.

Vioni hanya menghentikan kakinya sejenak tanpa menoleh. Setelahnya, yang kembali terus berjalan menjauh dengan hati yang sakit. Di saat bersamaan, sakit kepalanya kembali muncul, kali ini disertai dengan mual. Vioni segera mempercepat langkahnya menunju kamar. Bahkan dia pun mengabaikan pelayan yang berpapasan dengannya.

"Nona, apa Anda baik-baik saja?" tanya pelayan itu sambil menghampiri Vioni dan mengikutinya.

Namun, Vioni segera menutup pintu kamarnya sehingga tak memberikan kesempatan pada pelayan itu untuk mengetahui kondisinya. Setelah Vioni mengunci kamar, ia pun bergegas menuju kamar mandi untuk mengeluarkan semua makanan yang disantapnya pagi ini. Vioni memijat tengkuknya sendirian, berharap rasa mual itu hilang dengan segera.

Ya Tuhan ... kenapa efeknya seperti ini? Bukankah kemarin kondisiku masih baik-baik saja? gumamnya dalam hati.

Setelah hampir seperempat jam berlalu, akhirnya Vioni pun keluar dari kamar mandi. Wajah gadis itu tampak pucat dengan kedua matanya yang sayu.

"Ya Tuhan ... penampilanku benar-benar berantakan," ucap gadis itu saat dirinya melewati cermin yang tertempel di pintu lemarinya.

Vioni pun segera menyiapkan pakaian yang akan ia kenakan untuk bertemu dengan adik kembarnya. Dia juga harus merias wajahnya dengan make up tebal supaya Vanila tidak mencurigai wajah pucatnya.

Sebelum bertemu dengan Vanila, Vioni bermaksud untuk pergi ke rumah sakit terlebih dulu. Dia harus meminta resep obat penahan rasa sakit serta mual yang dideritanya pada dokter. Maka dari itu dia sudah bersiap sepagi ini.

"Kau mau ke mana dengan penampilan seperti itu, Vio? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menemani Vanila siang ini?" tanya Resa yang sedang duduk di ruang keluarga. Dia duduk sendirian karena sepertinya Marvel sudah berangkat ke kantor lebih dulu.

"Iya, Tante. Aku akan menemui Vanila seperti yang kalian inginkan siang ini, tetapi sebelum itu aku ingin ke suatu tempat lebih dulu," jawab Vioni.

"Oh, ya sudah. Awas aja kalau sampai kau bohong! Aku akan mengurungmu sampai acara pertunanganmu dan Tuan Max dilaksanakan!" ancam Resa yang hanya diangguki samar oleh Vioni.

Setelah pamitan singkat itu selesai, Vioni pun segera pergi dari rumah itu. Dia berjalan menuju jalan raya untuk menyetop taksi di sana. Om dan tantenya bukan tidak mempunyai kendaraan, tetapi mereka tak pernah sekalipun membiarkan keponakannya itu untuk mengendarainya sendiri. Bahkan kalaupun ada sopir, sopir itu selalu disuruh untuk menolak permintaan Vioni dan beralasan tidak bisa mengantarnya. Maka dari itu Vioni lebih memilih menaiki taksi atau transportasi umum lainnya ketimbang memakai mobil yang ada di rumah.

Setelah menempuh perjalanan 15 menit lamanya, akhirnya Vioni pun sampai di rumah sakit tempat kemarin dia memeriksakan diri. Sebelumnya Vioni sudah menghubungi dokter yang menanganinya kemarin. Dokter itu pula yang menawarkan diri untuk bertanggung jawab merawatnya.

"Dok, bisakah aku mendapatkan obat penahan rasa sakit dan penghilang mual? Sepertinya aku tidak akan bisa makan dengan benar kalau rasa mual itu terus-menerus menghampiriku!" pinta Vioni pada Dokter Brayan.

"Apa mual yang kau alami itu sering?" tanya Dokter Bryan yang tidak bisa memberikan sembarang obat pada Vioni.

"Iya, Dok. Maka dari itu aku meminta resep obat."

Dokter Bryan pun mengangguk mengerti dan segera meresepkan obat yang diminta oleh pasiennya. Setelah selesai semua, Vioni pun pamit karena hari mulai siang dan dia harus menempuh perjalanan selama satu jam ke lokasi di mana Vanila mengajaknya bertemu.

Tepat di pelataran rumah sakit, Vioni tidak sengaja ditabrak seseorang yang sedang terburu-buru ke arah ruang UGD hingga membuatnya terjatuh ke lantai dengan lumayan keras.

'Bruk'

Tanpa meminta maaf, orang itu langsung pergi meninggalkan Vioni yang sedang terduduk sendirian. Meskipun banyak orang yang melihat hal itu, tak ada seorang pun yang menolongnya. Hingga tiba-tiba sebuah uluran tangan berada tepat di depan wajahnya.

"Apa Anda baik-baik saja, Nona?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!