NovelToon NovelToon

Jodoh Mama Twins

Pengenalan tokoh Elena

Elena, seorang wanita cantik berkulit putih dengan lesung dipipi kanan dan kirinya, ia juga mempunyai postur tubuh yang tinggi. Elena adalah seorang ibu yang mempunyai sepasang anak kembar, Cantika dan Brian. Cantika memiliki paras yang cantik dan juga lucu. Brian juga memiliki paras yang tampan dan mungkin akan membuat orang jatuh cinta saat pertama kali melihatnya, walaupun umurnya baru tiga tahun.

Kehidupan Elena sekarang, tak seindah kehidupannya dahulu sebelum ia menikah dengan Rendra. Rendra adalah suami Elena, ia adalah seorang laki-laki yang diam-diam berhubungan dengan wanita lain selain istrinya. Rendra juga seseorang yang sering melakukan balap motor liar.

Elena sama sekali tak merasa senang menjadi istri Rendra. Rendra pun hanya menggunakan Elena sebatas hubungan antar suami-istri diatas tempat tidurnya. Rendra sama sekali tak mencintai Elena, meskipun Elena merupakan wanita cantik yang mungkin disukai banyak laki-laki diluaran sana.

Rendra juga tak pernah mengajak Elena dan kedua anak kembarnya untuk berjalan-jalan keluar rumah bersama-sama. Rendra hanya sesekali membelikan mainan kepada kedua anak kembarnya itu.

Rendra menafkahi Elena dan kedua anaknya dari hasil ia bekerja di perusahaan milik orang tuanya. Sebenarnya, Rendra tidak memiliki keahlian dalam pekerjaannya. Tapi, mamanya Rendra selalu memanjakan Rendra.

Mamanya Rendra yang tidak tinggal satu atap dengan Rendra, selalu memuji anaknya. Dia merasa jika Rendra sudah berubah menjadi seseorang yang lebih baik setelah menikah. Tapi pada kenyataannya, Rendra masih sering melakukan balap motor liar yang tentunya tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. Hanya Elena lah yang mengetahuinya.

Elena terpaksa menikah dengan Rendra karena desakan dari Ana, mamanya Rendra. Ana menggunakan hutang dari kedua orang tua Elena sebagai ancaman. Ana mengancam akan menaikkan bunga dari hutang tersebut, jika Elena menolak menikah dengan Rendra.

Karena bisnis keluarga Elena yang saat itu sedang bangkrut, keluarga Elena pun tak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya, keluarga Elena terpaksa menerima pernikahan itu. Elena hanya bisa merelakan dirinya, karena ia tak menginginkan masalah yang lebih besar timbul dikeluarganya.

.

.

.

Suatu hari, Elena sedang bersiap bersama kedua anaknya untuk melakukan lari pada pagi hari. Saat mereka akan keluar dari halaman rumah, tiba-tiba datang ibu mertuanya, Ana.

"Mau kemana kamu?" tanya Ana kepada Elena dengan sinis.

"Mau lari pagi, Ma," jawab Elena.

"Kamu ini, suami sedang bekerja malah mau jalan-jalan. Istri macam apa kamu ini!" hardik Ana kepada Elena.

Elena yang mendengar perkataan dari Ana, mendengus kesal. Elena hanya ingin berjalan-jalan bersama dengan kedua anaknya untuk melepas penat.

Elena saat itu tahu, jika Rendra tidak pergi bekerja, melainkan sedang melakukan balap motor liar. Dan ia juga telah mengirim pesan singkat jika dirinya dan kedua anaknya akan pergi lari pagi. Tapi, Elena tak ingin memberitahukannya kepada Ana. Karena Ana tak akan mempercayai perkataan Elena.

"Elena sama anak-anak pamit, Ma. Wassalamu'alaikum." Elena pergi meninggalkan Ana.

"Hei, kurang ajar kamu! Aku belum selesai bicara!" Ana marah sambil melihat kepergian Elena dan kedua cucunya.

"Menantu kurang ajar! Berani sekali pergi, padahal aku belum selesai berbicara," murka Ana.

Ana berjalan menuju mobilnya, ia menjalankan mobilnya dengan cepat. Ia sangat emosi karena diacuhkan Elena. Ana menjalankan mobilnya menuju ke rumahnya.

Disisi lain. Elena dan kedua anaknya berhenti disebuah taman yang letaknya berada dipinggir jalan raya. Mereka beristirahat sejenak disana, sambil meneguk air mineral yang mereka bawa dari rumah.

"Ma, kenapa nenek Ana jahat sama mama?" tanya Cantika kepada Elena.

"Nenek Ana mungkin sedang ada masalah, Sayang." Elena mengelus puncak kepala Cantika.

Meskipun Ana tidak berkelakuan baik terhadapnya, tapi Elena juga tak ingin menjelekkannya didepan anak-anaknya. Brian hanya diam menyimak obrolan mama dan adiknya. Setelah cukup beristirahat, Elena dan kedua anaknya melanjutkan lari pagi mereka.

Satu minggu kemudian. Siang itu, Elena sedang berbelanja di pasar. Cantika dan Elena sedang berada di rumah kedua orang tuanya. Setelah selesai belanja, ia melajukan motornya untuk pulang.

Sesampainya di rumah, Elena meletakkan barang belanjaannya di meja besar yang terletak di dapur. Tiba-tiba, Elena mendengar suara ******* seorang wanita. Elena yang penasaran, akhirnya mencari sumber suara itu.

Elena begitu terkejut, saat melihat suaminya sedang berhubungan layaknya suami-istri dengan seorang gadis muda di kamarnya. Kedua orang itu hanya terlihat kepalanya saja, sedangkan bagian tubuh lainnya tertutup selimut.

Rendra dan gadis itu pun terkejut melihat kedatangan Elena. Mereka gelagapan karena ketahuan oleh Elena. Elena pun keluar dari kamar itu, Elena memerintahkan Rendra dan gadis itu untuk menemuinya di ruang tamu.

Setelah beberapa saat, Rendra dan gadis itu menemui Elena di ruang tamu. Meskipun Rendra tak mencintai Elena, tapi ia juga belum pernah melakukan perselingkuhan secara terang-terangan sebelumnya.

"Aku mau kita bercerai!" ucap Elena dengan tegas sambil melihat kedatangan Rendra dan gadis itu. Rendra terdiam sejenak mendengar perkataan Elena.

"Baiklah, jika memang itu kemauanmu. Aku akan mengabulkannya dengan senang hati," kata Rendra dengan santai.

"Segera urus proses perceraiannya! Aku mau pergi ke rumah orang tuaku dulu, aku ingin menjemput Cantika dan Brian. Pastikan gadismu sudah pergi dari rumah ini, ketika aku dan anak-anak sampai di rumah!" Elena meninggalkan Rendra dan gadis itu.

.

.

.

Sesampainya di rumah orang tuanya, Elena langsung masuk ke kamarnya setelah mengucap salam. Mamanya Elena, Clarissa, heran dengan sikap putrinya yang tak seperti biasanya.

Clarisaa meminta Brian dan Cantika untuk bermain dahulu di ruang tamu, sementara dirinya akan menghampiri Elena. Clarissa khawatir, ada hal buruk yang sedang menimpa putrinya.

Tok ... tok ... tok ....

Clarissa mengetuk pintu kamar Elena. Elena yang mendengar ketukan dipintu kamarnya, mempersilahkan masuk, karena ia tahu jika itu adalah mamanya. Elena terus mengusap air matanya, ketika Clarissa masuk ke kamar Elena.

"Sayang ... kamu kenapa?" tanya Clarissa. Clarissa terkejut, mendapati putri kesayangan sedang menangis tersedu-sedu.

Elena menceritakan kejadian di rumah suaminya. Clarissa yang mendengar perkataan dari Elena pun murka dengan sikap Rendra. Clarissa langsung memeluk erat putrinya.

Elena tak memikirkan suaminya yang berselingkuh, yang ia pikirkan adalah nasib kedua anaknya yang sebentar lagi tak akan mempunyai orang tua yang utuh. Elena khawatir, jika kedua anaknya akan menyalahkan dirinya karena memisahkan mereka dari papa mereka.

Elena terus menangis sambil memikirkan nasib kedua anaknya kelak. Elena benar-benar takut saat itu, jika kedua anaknya akan di-bully teman mereka karena tak memiliki orang tua yang utuh.

"Sayang ... kamu jangan terus menyalahkan diri kamu atas perceraian ini. Mungkin, ini yang terbaik untuk kamu. Mama sebenarnya juga tidak suka dengan Rendra, karena sikap dia ke kamu tidaklah baik. Mengenai anak-anak, kita do'akan bersama agar mereka akan baik-baik saja kelak. Dan beri mereka penjelasan sesuai pemahaman mereka." Clarissa masih memeluk Elena sambil mengelus puncak kepala Elena.

Sidang

Satu minggu kemudian. Pagi hari pukul tujuh, Elena sedang mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan sidang akhir perceraiannya. Sidang akhir perceraiannya akan dilaksanakan pada hari itu pada pukul satu siang.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang keras. Elena pun menghentikan aktivitasnya, dan berjalan menuju pintu utama di rumah itu. Ketika Elena membuka pintu, ia melihat seorang wanita paruh baya bersama seorang gadis yang waktu itu bersama dengan Rendra.

"Kamu istrinya Rendra, ya!" teriak wanita paruh baya itu.

"Sebentar lagi, dia bukan siapa-siapa saya. Silahkan masuk, Bu. Saya akan memanggil orang yang bersangkutan." Elena berbalik arah meninggalkan tamunya. Ia menghampiri kamar Rendra.

"Kamu ada tamu, keluarlah!" tegas Elena didepan kamar Rendra. Semenjak peristiwa itu, Elena dan Rendra tak lagi tinggal satu kamar.

Rendra yang mendengar suara Elena dari balik pintu, segera bangkit dari tidurnya. Saat Rendra keluar dari kamarnya, dia tak melihat keberadaan Elena disana.

Rendra berjalan menuju ruang tamu. Ia sedikit terkejut melihat gadis yang ia bawa kerumahnya saat itu, sedang duduk di ruang tamu bersama seorang wanita paruh baya.

"Susan ...." Rendra memanggil nama gadis itu. Susan yang melihat kedatangan Rendra, tak berani berkata, ia hanya tertunduk dalam diamnya.

"Ooh ... jadi ini orangnya! Kurang ajar!" Wanita paruh baya itu memukuli Rendra dengan sebuah bantal yang terletak di atas sofa.

"Beraninya kamu melecehkan anak saya!" Wanita paruh baya itu masih memeukuli Rendra.

"Bu, kami sama-sama saling suka. Saya akan bertanggung jawab," ucap Rendra. Seketika, ibunya Susan menghentikan aksinya.

"Apa! Bertanggung jawab? Mimpi! Saya akan melaporkan kamu atas kasus pelecehan anak dibawah umur. Tunggulah polisi datang memborgolmu!" Ibunya Susan menggandeng tangan Susan, lalu pergi meninggalkan rumah Rendra.

"Arrgghh ... kenapa jadi seperti ini? Kukira, ibunya Susan akan luluh jika aku menikahi anaknya." Rendra tampak frustrasi dengan keadaan yang ia alami.

*

*

*

Pukul satu siang. Elena dan Rendra telah sampai di pengadilan agama. Sidang berjalan dengan lancar. Elena dan Rendra, kini sudah benar-benar bercerai. Tiba-tiba, terdengar suara Ana mengajukan hak asuh anak jatuh kepada dirinya.

Elena menatap tajam kearah Ana, setelah mendengar gugatan dari Ana. Elena pun membuka suaranya, menceritakan banyak hal yang terjadi dikeluarga suaminya. Setelah mempertimbangkan, hakim pun memutuskan, hak asuh anak akan diberikan kepada Elena.

Suasana sidang yang tadinya memanas, kini telah damai karena keputusan dari hakim. Sidang pun telah usai. Elena memeluk Cantika dan Brian, ia sangat bersyukur karena tak akan kehilangan kedua anaknya. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang memanggil nama Elena dengan cukup keras.

"Elena!" Suara tersebut berasal dari Ana.

Plaakk !

Ana menampar pipi kiri Elena, ia sangat marah karena Elena membicarakan keburukan Rendra dan keluarganya didepan umum. Sebenarnya, Elena juga terpaksa melakukannya demi mendapatkan hak asuh kedua anaknya. Untungnya saja, kedua anaknya berada diluar ruangan sidang, jadi mereka tak akan mendengar keburukan dari papa dan kakek-neneknya.

"Nenek jahat!" Cantika memukul kaki Ana setelah melihat Elena ditampar.

"Sayang, ayo kita pulang ke rumah nenek Clarissa." Elena tak menghiraukan Ana. Elena menggendong Cantika disisi kanan, dan menggandeng tangan Brian disisi kirinya. Elena sebenarnya bisa saja dengan mudah membalas tamparan Ana, tapi ia tidak mau jika kedua anaknya melihat hal itu. Karena bagaimana pun, Ana adalah nenek dari kedua anaknya.

Dua hari kemudian. Rendra ditangkap polisi atas laporan ibunya Susan, Rendra pun kini mendekam didalam penjara. Elena tak memperdulikan masalah Rendra. Elena lebih memilih membersamai kedua anaknya.

Elena kini tak boleh masuk lagi ke rumah Rendra, barang-barang Elena telah dikeluarkan semua oleh Ana. Ana tak mau lagi melihat wajah Elena di rumah Rendra.

Elena dibantu Galang saat memindahkan barang-barangnya dari rumah Rendra ke rumah orang tuanya. Galang adalah kakak kelas Elena sewaktu SMA. Galang sudah menganggap Elena seperti adik kandungnya sendiri. Galang sering membantu Elena saat kesusahan.

"Ooh, jadi begini ya kelakuan kamu! Belum lama bercerai, sudah berduaan dengan seorang laki-laki." hardik Ana kepada Elena.

Elena dan Gilang tak menanggapi perkataan dari Ana. Elena mengajak Gilang masuk kedalam mobilnya Gilang, setelah semua barang selesai dimasukkan kedalam mobil.

Gilang pun langsung melajukan mobilnya. Sebenarnya Gilang geram dengan perkataan Ana, dia ingin menjawab semua perkataan pedas dari Ana. Namun, Elena menjegahnya. Elena tidak mau berdebat dengan Ana.

Ana yang seperti diabaikan pun langsung naik pitam. Ia menendang sebuah pot bunga yang berada disamping ia berdiri. Seketika, isi pot bunga berhamburan kemana-mana.

"Kurang ajar kau, Elena!" teriak Ana. Setelah beberapa saat, Ana masuk kedalam rumah anaknya.

Disisi lain. Elena dan Gilang telah sampai di rumah orang tua Elena. Orang tua dan kedua anak kembar Elena menyambut kedatangan Elena dan Gilang.

"Eh, ada om Gilang ganteng. Om ... mau nggak jadi papanya Cantika dan Kak Brian. Papa Rendra jahat, aku mau ganti aja papanya." Cantika mengingat perlakuan kasar papanya kepada mamanya.

"Eh, kamu kan ada kakek Henry. Kan sama aja kayak papa," ucap Gilang sambil mengusap rambut Cantika.

"Tapi ...." Cantika tak melanjutkan perkataannya. Ia langsung berlari kedalam rumah.

"Kak Gilang, maaf ya soal perkataan Cantika tadi." Elena merasa tidak enak kepada Gilang karena perkataan Cantika.

"Nggak apa-apa, ya sudah ... kita masukin yuk barang-barangnya," ajak Gilang.

"Baik, Kak." Elena dan Gilang menurunkan barang-barang dari dalam mobil.

"Papa bantu juga ya, Nak," ujar papanya Elena, Henry.

"Boleh, Pa. Yang enteng aja ya, Pa." Elena melihat ke arah papanya sambil tersenyum.

"Oh, iya. Nak Gilang, maaf ya atas perkataan Cantika tadi." Henry mengingat perkataan sang cucu saat meminta Gilang untuk menjadi papanya.

"Tidak apa-apa, Om," ucap Gilang sambil tersenyum.

*

*

*

Setengah jam kemudian. Barang-barang telah selesai dimasukkan kedalam rumah. Kini, Elena sedang menyiapkan minum untuk Gilang dan kedua orang tuanya.

"Diminum dulu, Kak. Terima kasih ya sudah bantu aku," ucap Elena sambil tersenyum.

"Iya, aku pasti bantu selagi aku bisa," respon Gilang.

"Gimana kabarnya Lita, Kak? Udah lama aku nggak main ke rumah kakak." Elena mengingat adik dari Gilang, Lita.

"Kabar baik. Kapan-kapan mainlah ke rumah, mama katanya juga kangen sama kamu," ujar Gilang.

"Iya, Kak. Kapan-kapanlah aku main ke rumah kakak. Sekarang, ayo dimakan camilannya, Kak." Elena menyodorkan sebuah wadah berisi cookies.

"Baiklah," respon Gilang.

Satu jam kemudian. Gilang pamit kepada Elena dan kedua orang tuanya. Gilang ingin pamit kepada Cantika dan Brian, tapi ternyata, mereka sedang tidur pulas.

"Nak Gilang, terima kasih ya sudah bantu Elena pindahan," ucap Henry, papanya Elena.

"Iya, Om. Tidak perlu sungkan." Gilang tersenyum ke arah Henry.

"Iya, terima kasih ya Nak Gilang. Kapan-kapan main kesini lagi ya kalau ada waktu luang." Clarissa ikut memberikan suaranya.

"Hati-hati ya, Kak Gilang," ucap Elena.

"Iya, aku pamit ya, Elena. Saya pamit ya Om, Tante. Wassalamu'alaikum." Gilang keluar dari rumah orang tua Elena dan masuk kedalam mobilnya. Gilang pun melajukan mobilnya dan meninggalkan halaman rumah itu.

Menagih hutang

Pagi hari. Elena sedang berada di teras rumah bersama kedua anaknya. Tiba-tiba, ada sebuah mobil yang masuk ke halaman rumah orang tuanya. Elena melihat plat mobil tersebut, seketika ia tahu jika mobil tersebut adalah mobil Ana, mantan mertuanya.

Ana turun dari mobilnya, ia membawa beberapa kertas. Ana langsung menghampiri Elena, tanpa basa-basi, ia mengutarakan maksud kedatangannya.

"Elena, ini adalah rincian kekurangan hutang kedua orang tua kamu. Kamu harus membayarnya! Kalau kamu tidak mampu membayarnya, aku akan menyita rumah ini sebagai gantinya," tegas Ana.

"Siapa yang datang, Nak?" Clarissa keluar bersama Henry, suaminya.

Clarissa dan Henry terkejut melihat keberadaan Ana di rumah mereka. Elena pun menjelaskan kepada kedua orang tuanya. Lalu, Elena meminta Clarissa untuk membawa Cantika dan Brian masuk kedalam rumah.

"Baik, katakan nomor rekening Anda." Elena menunggu Ana menyebutkan nomor rekeningnya.

"Cih! Sombong sekali! Kamu bicara seperti itu, seperti kamu punya uang saja! Kamu itu kan tidak bekerja, dapat uang dari mana kamu? Jangan-jangan ... kamu diam-diam menjadi simpenan om-om ya? Dan kamu mendapatkan uang karena melayani mereka," ucap Ana.

Plaakk !

Sebuah tamparan mendarat sempurna dipipi kanan Ana. Kemudian, datang tamparan kedua dipipi kiri Ana. Henry murka mendengar anaknya difitnah. Henry tak rela anaknya difitnah seperti itu.

Sebenarnya, Elena mempunyai sebuah bisnis online dan offline. Namun, Rendra dan kedua orang tuanya memang tidak mengetahui hal tersebut. Selama Elena menjadi istri Rendra, Elena menyerahkan usahanya kepada beberapa karyawan yang ia percayai untuk mengurus usahanya. Elena mungkin akan mengecek sesekali jika dibutuhkan.

"Kurang ajar! Berani sekali menamparku!" teriak Ana.

"Kau yang kurang ajar! Berani sekali memfitnah putriku," ucap Henry geram.

"Sudah, Pa. Aku akan segera melunasi hutang itu, agar orang ini tidak datang lagi ke sini. Mana nomor rekening Anda?" tanya Elena kepada Ana.

Ana pun memberikan nomor rekeningnya. Beberapa saat kemudian, sejumlah uang telah masuk ke rekening Ana. Elena menegaskan kepada Ana, agar dia tidak mengganggu Elena dan kedua orang tuanya, termasuk Cantika dan Brian.

Ya, Ana sebenarnya tidak menyayangi kedua cucunya. Ana hanya ingin membuat Elena hancur dengan cara merebut hak asuh anak kala itu. Sebenarnya, Ana tidak sudi mempunyai cucu dari kalangan rendahan.

Setelah mendapatkan uangnya, Ana langsung pergi meninggalkan kediaman Henry. Ana tak mau berlama-lama ditempat itu. Ana melajukan mobilnya dengan kencang.

Disisi lain. Elena dan kedua orang tuanya merasa lega, karena sudah terbebas dari hutang itu. Henry sebagai papanya sangat merasa bersalah, karena hutang itu adalah hutangnya. Tapi, yang melunasi hutangnya bukan dirinya sendiri, melainkan Elena.

"Elena, papa ingin berterima kasih sama kamu, karena telah membantu papa melunasi hutang itu. Tapi, seharusnya papa lah yang melunasi hutang itu. Papa minta maaf, Nak. Papa hanya bisa membebani hidup kamu." Henry tertunduk lesu sambil mengusap air mata yang mengalir dipipinya.

"Pa, Papa jangan bicara seperti itu. Kita ini kan keluarga, sudah semestinya saling membantu," ucap Elena sambil tersenyum.

"Terima kasih, Nak." Henry memeluk Elena sambil terisak.

"Mama ... Kakek ... aku datang." Cantika berlari ke arah Elena.

"Eh, kakek kenapa? Kok nangis?" tanya Cantika penasaran.

"Nggak apa-apa kok, Cantika. Kamu dari mana sama nenek, sama Kak Brian?" Henry mengalihkan pembicaraan.

"Aku habis jajan di warung, ini aku jajan banyak." Cantika memperlihatkan isi kantong yang ia bawa.

"Waah ... banyak sekali jajanannya. Kakek boleh minta satu, kah?" tanya Henry kepada cucu perempuannya.

"Boleh dong, Kek. Ini buat kakek." Cantika memberi satu bungkus kecil permen kepada kakeknya.

"Terima kasih, Cantika," ucap Henry sambil tersenyum.

"Sama-sama, Kek. Cantika sayang sama kakek." Cantika memeluk erat badan Henry.

"Cantika sayang juga nggak sama nenek?" tanya Clarissa kepada Cantika.

"Sayang juga dong." Cantika beralih memeluk neneknya.

"Eh, Brian. Kamu jajan apa?" tanya Henry kepada Brian.

"Aku jajan roti, Kek. Kakek mau?" Brian menyodorkan sebungkus roti kepada kakeknya.

"Buat kamu aja, kakek habis makan." Henry tersenyum sambil mengangkat tubuh Brian dan meletakkan Brian diatas pangkuannya.

"Kakek, Brian sudah besar. Brian malu jika masih dipangku seperti bayi," protes Brian kepada kakeknya.

"Kamu itu baru tiga tahun, masih kecil." Henry memeluk Brian yang berada dipangkuannya.

"Kakek ... aku sudah besar!" Brian cemberut mendengar ucapan kakeknya.

"Iya deh, Brian sudah besar. Ya sudah, sekarang Brian duduk sendiri ya." Henry menurunkan Brian dari pangkuannya.

"Gitu dong, Kek." Brian berjalan menuju kursi kosong yang berada disana.

"Cucu nenek yang satu ini memang top banget. Sudah tampan, baik hati, mandiri, suka menabung lagi." Clarissa mencium pipi kanan Brian.

"Nenek, kalau di luar rumah, jangan cium Brian sembarangan ya! Brian nggak mau, nanti orang yang lihat pengen ikut-ikutan cium Brian."

Brian mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat dirinya dan Clarissa sedang bermain di taman umum. Clarissa berfoto sambil mencium pipi Brian, seseorang yang tak jauh duduk dari tempat duduk Brian, ingin mencium Brian juga. Clarissa waktu itu menyetujui, karena seseorang itu sedang hamil dan ngidam pengen cium wajah tampan Brian.

"Eh, benarkah? Kok mama nggak tahu, ya?" Elena terkejut mendengar penuturan Brian.

"Nenek, besok lagi jangan dibolehin ya kalau orang asing cium sembarangan anak-anak mama Elena," ucap Elena pelan kepada Clarissa.

"Baik, nenek salah. Nenek minta maaf ya," ucap Clarissa merasa bersalah.

"Ya sudah, Nek. Yang sudah ya sudah, kedepannya jangan sampai terulang lagi ya," respon Elena.

"Iya, mama Elena sayang," ucap Clarissa lagi.

*

*

*

Hari-hari Elena lewati dengan kesibukan bisnis online dan offline-nya. Ya, Elena memiliki sebuah toko yang menjual berbagai produk, dari pakaian maupun barang yang diperlukan sehari-hari.

Elena mulai membangun bisnisnya ketika ia masih duduk dikelas tiga sekolah menengah atas. Waktu itu, usaha Henry masih berjaya. Elena pun sering diberi uang bulanan yang banyak.

Clarissa dan Henry sangat menyayangi putrinya, karena Elena adalah anak mereka satu-satunya. Walaupun orang tua Elena memanjakan Elena dulu, tapi Elena tumbuh menjadi gadis yang cermat dan tak boros dengan uang yang ia punya. Semua itu tak luput dari bimbingan kakeknya Elena.

Selain mengajarkan ilmu silat kepada Elena, kakeknya Elena juga mengajarkan perilaku-perilaku yang baik. Kakeknya Elena juga berpesan, agar Elena menggunakan ilmu silatnya untuk melindungi diri dari bahaya, bukan untuk pamer.

Elena selalu mengingat pesan sang kakek. Elena pun menabung uang-uang yang diberikan Henry kepadanya. Elena hanya menggunakan untuk hal yang penting saja.

Dari uang tabungannya, Elena dapat memulai bisnis online-nya. Suatu ketika, bisnis online-nya mendapat keuntungan besar, Elena pun menggunakan keuntungan itu untuk menyewa sebuah toko untuk toko offline-nya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!