Rumah itu hanya sebuah rumah pinggiran kota. Lebih sederhana dan tampak asri. tapi bagi yang ada didalamnya dapat memberikan kenyamanan oleh mereka sendiri.
Rumah yang di huni oleh Bu Suci dan kedua anaknya memang terdiri dari rumah utama dan satu kamar sederhana yang dulu di pakai oleh pembantunya yang sekarang sudah meninggal.
Anak pertamanya adalah Ruly, yang sudah bekerja sebagai supir taksi selama lima tahun. Sedang anak keduanya adalah Azka,masih berstatus sebagai pelajar SMA di sebuah SMA negeri yang terkenal elite dikotanya. Azka bisa bersekolah disana karena mendapatkan beasiswa.
Azka mengusulkan untuk menampung 2 orang pengamen jalanan yang sering datang ke rumah mereka. Dan kalau tidak salah tebak salah satunya masih SMP, mereka sering berpindah-pindah tempat tinggal.
Berawal sore itu,seperti biasa dua orang pengamen itu bernyanyi didepan rumah mereka. Tembang Melly Goeslow yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih mengalun dengan merdu dari mulut mereka.
Azka pun langsung keluar rumah dan memanggil mereka untuk masuk dan duduk di teras rumah mereka. Dengan raut muka kebingungan mereka pun duduk didepan Azka.
“ Loh.. kenapa?? Kaget ya aku suruh masuk..?” tebak Azka sembari senyum.
Keduanya hanya mengangguk sembari tersenyum ragu. Banyak tanda tanya besar dikepala mereka saat ini.
“ Assalamu’alaikum....!!” seru suara dari dalam.
Lalu keluar Bu Suci dengan membawa nampan berisi empat gelas minuman.
“ Wa’alaikumsalam....!!!!” jawab mereka bertiga berbarengan.
Kedua pengamen itu nampak makin gelisah dan saling sikut untuk angkat bicara, saat Bu Suci keluar dan duduk didepan Azka. Bu Suci tertawa melihat ekspresi keduanya. Azka jadi ikut tertawa.
“ Kalian kenapa?” tanya Bu Suci tak tahan melihat keduanya makin gelisah saja.
Keduanya menggeleng cepat tapi sedetik kemudian saling menyikut lagi. Membuat Bu Suci dan Azka tersenyum sambil berpandangan. Akhirnya salah seorang dari mereka, yang perempuan angkat bicara.
“ Maaf, Bu.. Maaf, mbak... Kalau kami boleh tahu, kenapa kami di panggil kemari? Apakah kami mengganggu ketenangan Ibu dan Mbak...? kalau memang iya kami berdua minta maaf dan kami tak akan mengulanginya lagi.” Kata perempuan yang sebaya dengan Azka itu.
“ Iya.... kami janji, Mbak.. Bu... iya kan Mbak...” sahut laki-laki disebelahnya, mungkin adiknya.
Bu Suci dan Azka kembali tersenyum.
“Loh yang bilang kalian menggangu kami siapa??” seru Azka geli.
Kedua kakak beradik yang berprofesi sebagai pengamen itupun berpandangan lalu sama-sama mengangkat bahu.
“ Nama kalian sapa?” tanya Bu Suci.
“ Laras, Bu.” Jawab yang perempuan.
“ Saya.. Joe, Bu.” Jawab laki-laki itu saat Bu Suci mengalihkan pandangannya ke arahnya.
“ Wah.. keren namanya...!” celetuk Azka,
Joe pun hanya nyengir kuda.
“ Joni.. sebenarnya Bu.. Cuma gak tau kok pake diplesetin gitu..!” ralat kakaknya sambip memcubit pipi adinya.
Joe berganti manyun. Azka dan Bu suci tertawa dibuatnya. Akhirnya Joe dan Laras ikut tertawa, hingga suasana mulai mencair sekarang.
“ Kalian bersaudara?” tanya Azka setelah tawanya reda.
“ Waduh.. ya iiyalah, Mbak. Mana ada orang tua yang ngerelain anaknya jadi pengamen nemenin saya.. yang ada kan disuruh jauhin kan..?!”
“ Ya, mbak... ini kakak saya tulen looh...!!” seru Joe pasti.
Azka dan Bu Suci berpandangan. Kemudian...
“ Eehmm... selama ini kalian tinggal dimana?” tanya Bu Suci.
Senyum langsung hilang di balik wajah Laras dan Joe.
“ Waahh... Ibu ini ketinggalan, masa gak tau kalo rumah kami udah digusur..?”
“ Joe...!! kamu tuh ngomongnya kok kasar gitu sich..!” hardik Laras lirih.
“ Maaf...” ralat Joe.
“ Loh.. Gak apa-apa.. kalo gak gitu, nanti gimana bisa akrab dong. Iya kan nak Joe??”
Joe tiba-tiba terpekur setelah Bu Suci selesai bicara. Azka jadi heran.
“ Kenapa, Joe?? Kok diem sich..” tanya Azka
“ Tadi... Tadi... Aku gak salah denger kan, mbak Laras..??”
Laras hanya tersenyum getir sembari mengangguk.
“ Emang ada apa, Laras?” kali ini Bu Suci yang angkat bicara.
“ Biar Joe ajalah Bu, yang jawab..”
“ Kenapa Joe? Apa Ibu salah bicara tadi? Ya udah Ibu minta maaf ya..”
“ Jangan... Ibu jangan minta maaf, Ibu gak salah kok. Hanya aku yang tadi jadi terharu Ibu bilang itu tadi. Aku yang harusnya minta maaf Bu..”
“ Loh.. Emang Ibu tadi bilang apa, sampe buat kamu terharu nak..??”
“ Nah.. tuh bilang lagi...”
“ Ooo.. Maksudnya ‘ Nak’..” tebak Azka.
“ Iya, Mbak..” jawab Joe sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Bu Suci dan Azka pun jadi ikutan terharu sedang Laras hanya menunduk, entahlah yang tertangkap Azka wajah itu ingin menyembunyikan sesuatu dari dia dan Ibunya.
“ Kalo begitu ya.. Nanti Ibu sering-sering panggil kalian ‘Nak’ dech..”
Laras dan Joe tersenyum lirih. Azka mengangguk haru.
“ Kalian mau kan ...??” seru Azka tiba-tiba hingga membuat Laras dan Joe berpandangan.
“ Mau apanya, mbak?” sahut mereka berbarengan.
“ Looh... Emang aku tadi belum bilang yach?”
“ Bilang apaaan...”
“ Begini loo... rumah samping Ibu ini kan kosong. Kalau kalian gak keberatan, kalian mau gak menempati rumah itu..? itupun kalo orang tua kalian setuju, atau ajak saja mereka sekalian tinggal disana. Gimana menurut kalian?”
Keduanya menoleh kearah yang ditunjukkan Ibu Suci. Rumah itu lebih kecil dibandingkan rumah yang ditempati Azka dan Bu Suci tinggali.
“ Yah.. Rumahnya lebih kecil sich..?”
“ Bukan... Bukan begitu...” seru Laras cepat takut Azka salah faham.
“ Lalu kenapa kok diem”
“ Kami gak bisa bayar sewanya..”
“ Loh.. Emang Ibu tadi bilang kalian harus nyewa?”
Laras menggeleng tapi tidak mengurangi kebingungannya.
“ Maaf, Bu.. Bukan saya mau bersikap lancang. Tapi tolong jelaskan ada apa ini sebenernya. Terus terang saja kami bingung, pertama mbak Azka tiba-tiba menyuruh kami masuk dan duduk disini. Lalu Ibu yang bersedia ngobrol dengan kami, bahkan sampai repot membuatkan minuman. Tolong jelaskan ada apa Bu..” kata Laras penasaran.
Bu suci dan Azka tersenyum.
“ Begini loo... Azka ini sangat menyukai suara duo kalian dan ingin belajar bisa main gitar sama menyanyi seperti yang kalian kuasai. Dan secara kebetulan kan rumah kami sudah gak berpenghuni lagi, jadi Azka mengusulkan agar kalian yang menempati rumah itu. Bagaimana..?” jelas Bu Suci kalem namun tidak mengurangi kewibawaannya.
Laras dan Joe menunduk sebentar kemudian saling berpandangan seolah dari mata itu mereka ingin menyelami perasaan masing-masing.
“ Selain itu.. aku bakalan kesepian. Kan mas Ruly di mutasi ke Jakarta. Kalo ada kalian disini kan aku bisa ada teman ngobrol. Mau yaa...” tambah Azka memastikan.
Laras menghela nafas dalam-dalam kemudian melepaskannya. Seolah ingin membuang semua penat dan beban yang dia rasakan.
“ Sebenernya kami sangat senang bahkan bahagia mungkin lebih tepatnya, karena rizki yang benar-benar tak terduga banget. Tapi.. Maaf.. Apa ini gak terlalu berlebihan? Mengingat kami hanyalah seorang pengamen jalanan yang gak ada hubungan sama sekali dengan kalian.”
“ Kok ngomongnya jadi terkesan kalian rendah diri gitu sich..?” sela Azka tersinggung dengan kata-kata yang diucapkan Laras.
“ Maaf mbak... Bukannya kami gak mau tapi mbak Laras benar. Aku pikir ini terlalu berlebihan untuk tinggal disini dan.. “
“ Pokoknya aku gak mau terima alasan apapun itu...!!” seru Azka sembari menutup kedua telinganya.
Laras memandang Bu Suci untuk meminta pengertiannya. Tapi yang di pandang malah hanya mengangkat bahu sembari tersenyum simpul. Laras mendesah pelan, kemudian menunduk.
“ Apa ada alasan yang lebih logis yang bisa kamu katakan pada Ibu selain yang tadi kalian katakan...?” tanya Bu Suci memecah kebisuan dan kebimbangan Laras dan Joe.
Sejenak mereka menatap Ibu itu, mencoba menerka maksud kalimat Bu suci tadi.
“ Seperti apa maksud Ibu..?” tanya Laras memastikan.
“ Seperti... Karena kalian masih belum bilang ke orang tua kalian misalnya.”
Joe menggeleng cepat dan Laras kembali menunduk dengan sesekali mendesah pelan.
“ Kenapa Joe?” kali ini Azka kembali ikut bersuara setelah mendengar kalimat Ibunya tadi.
“ Orang tua kami kan sudah meninggal mbak. Selama ini kan aku tinggal berdua dengan mbak. Udah 7 tahun lebih mbak ya...”
Bu Suci dan Azka tersentak mendengarnya. Mereka terdiam sesaat.
“ Malah bagus kan..! kalian jadi gak ada alasan lagi untuk menolak. Ya kan, Bu?!” seru Azka senang setelah sanggup menenangkan dirinya sendiri.
Ibunya hanya mengangguk sambil senyum.
“ Kalo aku sich... udah terserah mbak Laras aja.. aku ikut...” timbal Joe.
Yang di sambut senyum Azka dan Ibunya. Meski dilain pihak dia harus mendapatkan tatapan protes dari kakaknya.
“ Laras... Apalagi sich yang menjadi pikiran kamu?” sergah Bu Suci bingung.
Laras mendongak dan menatap wajah teduh didepannya.
Wanita yang memiliki mata yang teduh, wanita yang dipanggil Ibu oleh Azka itu membuatnya teringat Ibunya sendiri yang telah lama meninggal. Ibunya juga memiliki mata yang meneduhkan seperti itu.
“ Maaf, Bu. Jujur, saya sich terserah Joe saja. Saya hanya ingin dia bahagia dimanapun. Tapi.. sekali lagi saya minta maaf. Wajah Ibu, mirip dengan almarhumah Ibu. Saya takut nanti saya malah salah tafsir terhadap perhatian Ibu dan Azka ini.”
Terasa diujung mata Laras nampak ada yang menggenang. Tak disangkanya, Bu Suci malah berdiri dan duduk disamping Laras kemudian mendekap gadis itu seolah mendekap putrinya sendiri. Laras jadi gelagapan dan tumpahlah genangan dimatanya itu.
“ Kamu merindukannya..?” tanya Ibu yang dijawab anggukan oleh Laras.
“ Kalo gitu kenapa gak anggap Ibu ini sebagai Ibu kamu juga?!” sambung Bu Suci.
Mata Laras bertemu dengan Bu Suci kemudian dialihkan pada Azka seolah meminta persetujuan dari Azka lewat matanya.
Beban dihati Laras serasa tumpah melalui air matanya tatkala anggukan nampak dimata Laras ketika memandang Azka. Dengan segera Laras memeluk Bu Suci dan sesenggukkan dipelukan Ibu itu. Mata Azka dan Ibunya pun jadi ikutan basah.
“ Jadi... “ sela Joe ragu.
Laras melepaskan pelukannya sambil menghapus air matanya.
“ Kami mau tinggal bersama kalian kalo memang kami tidak merepotkan.”
Joe dan Azka secara spontan bersorak. Laras dan Ibunya jadi tertawa.
“ Assalamu’alaikum...!” seru suara laki-laki yang beranjak masuk ke teras rumah.
“ Wa’alaikumsalam...!!” jawab mereka semuanya dengan melihat kearah datangnya suara.
“Mas Ruly. Ayo ikut ngobrol disini Mas.” seru Azka senang.
Ruly hanya tersenyum sembari memberikan tas kerjanya kepada Azka agar dibawah kedalam. Sedang Ruly menggantikan posisi duduk Azka.
“ Ada apa ini, Bu? Kok sepertinya Ibu dan Azka senang sekali.”
“ Itu karena Laras dan Joe mau tinggal disini, Mas.” Jawab Azka yang sudah keluar lagi sambil membawa satu gelas air putih untuk masnya.
Ruly langsung meminumnya, kemudian ikut bicara. Azka duduk disampingnya.
“ Laras dan Joe..??” tanya Ruly bingung kemudian berganti menatap Laras dan Joe kemudian beralih pada Azka untuk memastikan dugaannya tidak keliru.
Dan Azka hanya mengangguk mengiyakan tatapan Ruly. Tampak masnya itu manggut-manggut sambil melihat kearah Joe dan Laras bergantian.
Melihat itu Azka pun jadi ikut-ikutan memandang Laras dan Joe. Tapi saat matanya bertemu dengan Laras, entah kenapa ada sesuatu di mata itu. Seolah mengisyaratkan ketakutan,
‘ Ah.. mungkin risih karena mas Ruly mandanginnya kayak gitu.’ Pikirnya.
“ Lalu udah bilang ke orang tua kalian..?” tanya Ruly buka suara.
“ Orang tua kami udah meninggal mas.” Jawab Joe tenang tapi ada nada kesedihan.
Ruly kembali mengangguk-angguk. Kemudian tersenyum.
“ Ibu... Azka... Kalian sendiri yakin dengan keputusan kalian ini?”
Azka dan Bu Suci berpandangan tak mengerti.
“ Maksud mas ini apa sich..”
“ Yah.. mas kan cuma tanya, kenapa gak dijawab malah balik tanya..”
“ Ya jelas udah yakin dong. Kan tempo hari udah dibicarain tentang hal ini.”
“ Tapi sekarang kenyataannya berbeda dengan prediksi kita tempo hari kan?”
“ Berbeda maksudnya apa,Mas?”
“ Kan mereka bilang orang tuanya udah meninggal..”
“ Lalu.. memangnya kenapa kalo orang tua mereka udah meninggal? Mereka kan bisa menganggap Ibu sebagai Ibu mereka sendiri.” Jawab Bu Suci yang mulai kesal dengan sikap anaknya.
Ruly tersenyum simpul.
“ Eh.. kok malah senyam-senyum bukannya kasih penjelasan ke kita..” protes Azka.
Ruly jadi benar-benar tertawa lalu mengacak-acak rambut adiknya itu. Azka pura-pura manyun.
“ Jadi kami gak boleh tinggal disini ya mas..” kata Joe lirih.
Ruly tersenyum tanpa jawaban pasti, membuat Azka makin manyun.
“ Begini loo adikku sayang... dan Ibuku sayang...” kata Ruly sembari menghabiskan air putihnya yang tadi masih tersisa separuh.
“ Kalo mereka tinggal disini tanpa ada status yang jelas, apa tidak akan jadi fitnah bagi Azka dan Ibu? Tentu saja bagi Laras dan Joe sendiri tentunya.” Sambungnya.
Kata-kata Ruly membuat Azka dan Ibunya menjadi terdiam. Yah... mereka melupakan tentang ini.
“ Lalu.. menurut kamu gimana baiknya, Rul?” tanya Ibu pasrah.
Ruly kembali tersenyum apalagi saat melihat jemari Ibunya berada di tangan Laras. Mengetahui arah pandangan Ruly kearah jemari Ibunya, dengan segera Laras menarik tangannya.
“ Kalo Ibu memang ingin mereka menganggap Ibu sebagai Ibu mereka sendiri, saya sich setuju saja, Bu. Dan saya yakin Azka pun demikian. Karena itu kenapa tidak kita legalkan saja.”
“ Maksud kamu dengan melegalkan gimana toh Rul..?”
“ Maksud Ruly yah.. Ibu menjadi orang tua angkat mereka gitu Bu."
“ Dengan kata lain.. Ibu mengadopsi mereka. Begitu mas?”
Ruly mengangguk. Bu suci pun demikian, Azka tersenyum senang.
“ Lalu kapan kita urus hal itu mas?”
“ Yah... lebih cepat lebih baik. Toh Laras dan Joe juga mulai tinggal dirumah kita hari ini kan”
Azka mengangguk pasti.
“ Kalian berdua tahu dimana wali kalian tinggal?”
Joe menggeleng.
“ setahu kami, selama kami disini gak pernah ada orang yang perduli.”
“ Sebenernya... Ada mas.. Ha.. Hanya saja saya lupa ru.. rumahnya dimana.”
Azka semakin penasaran dengan sikap Laras, kenapa bisa gugup didepan mas Ruly. Ada apa sebenernya.
“Oh iya..?! Wah sayang sekali. Punya hubungan apa dengan kalian?”
“ Pa.. Pa... Paman...”
“ Ya sudahlah kalo memang lupa. Nanti aku tanyakan temanku gimana prosedur lengkapnya.”
Laras mengangguk tanpa menatap Ruly.
Adzan maghrib berkumandang, kidung-kidung senja mulai berdatangan.
“ Sudah maghrib.. Kita lanjutin ngobrolnya setelah makan malam nanti ya..” kata Ruly sambil mulai beranjak, tapi sebelum dia melewati pintu depan Ruly menoleh lagi.
“ Kalian ambil baju-bajunya nanti saja, biar aku dan Azka bantuin packing.” Lalu berlalu.
Sepeninggal Ruly, Azka dan Bu Suci mulai beranjak.
“ Untuk sementara Laras tidur dikamar Azka dulu ya.. Joe, kamu tidur dikamar masmu ya.. Karena rumahnya belum dibersihkan."
“ Ayo.. Aku tunjukkin kamarnya.” Ajak Azka senang sambil menggamit lengan Laras tapi d tepisnya.
" Kotor, Ka." elaknya.
"Apaan sih. Biarin. " protesnya seraya menggamit lengan itu lagi.
" Kan belum mandi. "
" Sama dong. "
" Trus aku pakai baju apa nanti ? "
" Kan bisa pake bajuku dulu. Udah gih sana kamu mandi dulu. "
" Laras. Ini handuk kamu. Joe tadi juga udah Ibu beri handuk dan baju ganti Masmu dulu. sementara kamu pake baju Azka dulu ya. "
" Siaaapp Bu. " seru Azka.
" Udah sana buruan gantian mandi. pinjami mukena juga. Jangan lama - lama. Udah di tunggu Masmu di mushola. "
" Iya Bu. Terima kasih. " ucap Laras.
"Makasi mulu. Kapan mandinya nih. " sindir Azka.
Laras segera menghambur pergi ke kamar mandi setelah Joe keluar dari sana.
Yah,, rumah itu hanya ada satu kamar mandi. satu kamar utama yang di tempati Ibu. 2 kamar yang ditempati Azka dan Mas Ruly.
Sedangkan rumah petak yang di sebelahnya. Mempunyai 2 kamar yang nantinya akan di tempati Laras dan Joe.
Makan malam telah selesai setengah jam yang lalu. Mereka kini telah ngobrol di ruang keluarga, ditempat dimana biasanya Bu Suci, Azka dan Ruly menonton tv sambil ngobrol.
“ Joe.. “ panggil Ruly
“ Ya mas..” sahut Joe sambil menatap Ruly.
Azka mengecilkan volume tv, sebelum akhirnya memutuskan untuk mematikannya.
“ Kamu kalo sekolah, sekarang harusnya kelas berapa?”
“ Kelas satu SMP mas.”
Ruly mengangguk-angguk.
“ Kalo kamu Laras..?”
“ Sa... Saya satu SMA mas..”
“ Berarti kamu sebaya dengan Azka ya.”
Laras mengangguk.
Jam dinding berdentang delapan kali, waktu menunjukan jam delapan malam.
“ Ayo... kita ambil baju-baju kalian. Mas siapin taksi mas dulu.”
“ Kita naik taksi mas...?” tanya Joe gak percaya.
“ Iya, memangnya kenapa?”
"Kan saya sama Mbak Laras cuma beberapa baju saja. Kenapa harus nsik taksi, Mas. "
" Biar kami jalan kaki saja, Mas. " sahut Laras lirih.
" iya Mas. Deket kok. Naik taksi ongkosnya mahal, Mas."
" Kata siapa mahal? " gurau Ruly.
Azka dan Ibu hanya terkekeh melihat Ruly tengah menggoda adik - adik barunya.
" Kan hanya orang kaya yang naik taksi Mas. Iya kan Mbak Laras. "
Laras mengangguk mengiyakan. Membuat ketiga orang itu tertawa.
" Itu kalo mereka orang kaya yang naik. Kalo buat adik - adik mas. Gratis deh. "
" Lohh kok gitu ? " protes Joe masih belum mengerti.
" Kan Mas mu memang supir taksi, Joe. " jawab ibu suci.
Joe menepuk keningnya cepat sambil meringis. Membuat Azka dan Ruly tertawa.
" Ya udah buruan berangkat. Keburu malam. "
" Iya, Bu."
Jam setengah sepuluh, Azka, Ruly, Joe dan Laras datang. Mereka langsung membawa barang-barang yang hanya berupa baju-baju yang jumlahnya tidak seberapa itu di rumah petak.
" Kok lama sekali. " tanya ibu khawatir saat mereka sampai dirumahnya.
" Maaf, Bu. Tadi mereka aku suruh tunggu di cafe bentar. " jawab Ruly.
" Loh memangnya ada apa ? "
" Ditempat Laras tadi ada ibu yang mau melahirkan. Jam segini mau nyari angkot juga susah kan Bu. Jadi Ruly antarkan ibu itu ke rumah sakit dulu baru jemput mereka untuk pulang. "
" Ya Allah. Tapi ibu itu tidak apa - apa kan. "
" Ruly tidak tahu, Bu. tapi waktu sampai di RS. petugas medis langsung menangani. "
" Syukur alhamdulillah. "
" Sementara kalian taruh di kamar Mas dan Azka. Besok aku akan membongkar dinding pembatas itu biar bisa menyatu dengan rumah ini. "
" Kamu besok gak kerja, Rul? "
" Kebetulan libur Bu. Tapi besok pagi saya mau kembalikan taksi dulu. Sekarang kemalaman."
" Saya bantuin, Mas. " seru Joe.
" Loooo ya harus dong. Kan kamu pengganti Mas kalo nanti Mas berangkat ke Jakarta. Harus jagain mereka. melindungi mereka. Jadi, harus kuat. "
" Berarti kita juga libur ngamennya mbak Laras."
" Mulai detik ini juga. Mas melarang kalian untuk ngamen lagi. Mas mau kalian fokus menata masa depan kalian. "
" Kalian gak sendirian lagi. Sekarang udah jadi keluarga kami. Jadi aku harap kalian bisa untuk menjaga kehormmatan keluarga kami. Berhati - hati menempatkan posisi kalian di tengah - tengah masyarakat. Apa kalian mengerti ? "
" Iya Mas. " jawab Laras dan Joe berbarengan.
Mereka hanya menunduk takzim. Meskipun tidak ada kesan marah saat Ruly mengatakannya. Tapi di pikiran mereka ssaat ini. Sudah sangat bersyukur sudah diberikan kesempatan untuk memiliki satu keluarga.
" Sudah. Kalian istirahat dulu. Besok bantu Mas dan Ibu. Azka juga besok harus sekolah. Nanti kesiangan. "
Mereka beranjak menuju kamar masing - masing untuk istirahat. Ibu menyempatkan untuk mengunci pintu rumah mereka.
Dua hari lagi mereka baru diijinkan Bu Suci untuk menempati rumah itu. Karena rencanya Ruly akan merenovasi sedikit rumah itu. membongkar dinding pembatas antara rumah ibunya dan rumah petak. jadi tetap jadi 1 rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!