Attenshun! 📢
Sebelum membaca cerita ini aku mau bilang, kalau masih ada beberapa part awal yang berantakan. Mohon dimaklumi, karena akan direvisi satu persatu. Dan yang kedua, tolong ikuti alur ceritanya ya, apapun yang ditulis author sudah memikirkan jalan cerita dari awal sampai akhir, jadi kalau ada part yang tidak sesuai ekspetasi mohon maaf.
Author menerima kritik dan saran asal diungkapkan dengan baik ya, karena author masih penulis baru yang sedang mencoba untuk berkembang. Jangan lupa baca ceritaku yang lain ya. Kalau suka like, komen dan kasih hadiah. Terima kasih~
Happy reading guys. ❤️🤗
"Bang Raditttttttt!!!!" Teriak Tasya dari luar pintu. Gadis itu mondar-mandir tidak karuan dan terus memperhatikan jamnya. Abangnya ini sangat sulit diajak kerja sama, padahal dia harus datang tepat waktu ke Sekolah.
"Iya bentar elah, ini abang lagi pake baju," sahut Radit yang berkutat pada bajunya, dia heran adiknya ini begitu cerewet padahal masih pagi buta begini. Bahkan Radit sampai tidak mandi karena Tasya begitu berisik.
"Ihhh abang cepet! Nanti gue telat gimana?!"
Mendengar itu Radit pun segera berlari ke luar dengan membawa kunci motornya. Sebenarnya dia kesal jika harus mengantar Tasya ke Sekolah, terlalu on time, padahal sekarang jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Terlebih jarak rumah dan Sekolah Tasya tidak terlalu jauh.
"Lama banget heran, kalau gue telat lo tanggung jawab ya, Bang!" Dengus Tasya.
"Ini baru jam 6, Dek. Lu mau jadi satpam sekolah yang bukain gerbang tiap pagi?"
"Gue tuh Ketua OSIS, mau gak mau, suka gak suka, harus jadi teladan yang baik buat temen-temennya. Kebayang gak sih kalau gue telat gimana? Mau ditaruh di mana muka gue?"
"Gua juga dulu mantan Ketua OSIS biasa aja, Dek. Lebay."
"Terserah-terserah, buruan kita berangkat."
Radit pun mengeluarkan motornya dari garasi. Apakah semua perempuan seperti adiknya? Padahal dulu Radit jika berangkat Sekolah 10 menit sebelum bell masuk berbunyi. Motor Radit bertengger di depan Tasya, tanpa banyak basa-basi Tasya pun langsung menaiki motor.
"Sapiiii, go!!" Teriak Tasya.
"Parah, abang sendiri dikatain sapi," gerutu Radit saat mendengar penuturan Tasya.
Tasya pun hanya tertawa melihat tingkah abangnya, dia senang mengusili abang satu-satunya itu. Siapa lagi yang bisa diajak bersenda gurau seperti Radit? Meskipun mereka sering bertengkar, tapi Radit adalah teman berbagi segalanya untuk Tasya. Apalagi kebencian Tasya pada Ayah kandungnya membuat dia benar-benar hanya memiliki Radit dalam hidupnya. Sepanjang jalan Tasya tak henti-hentinya mengoceh, sedangkan Radit hanya bisa fokus menyetir dan mendengan ocehan adik semata wayangnya.
"Sampe," ucap Radit yang memberhentikan motornya di depan gerbang.
"Makasih, Bang udah setia jadi ojek langganan gue," ceplos Tasya.
"Jangan lupa bintang 5-nya, Mba," balas Radit.
Mereka berdua pun terkekeh dan ya seperti Radit duga. Sekolah ini masih sepi. Tapi adiknya ini terlalu perfeksionis dalam hal apapun. Jadi dia akan melakukan apa yang dia pikirkan.
"Udah ah gue masuk ya, Bang ..." Tasya pun berlari memasuki gerbang sekolah. Radit memastikan agar Tasya masuk dengan aman. Setelah yakin, Radit pun melajukan motornya dan kembali ke rumah.
SMA Veteran, merupakan sekolah dengan akreditasi yang bagus di Kota Bandung. Seluruh siswanya diwajibkan untuk mentaati peraturan yang dibuat sekolah. Dari mulai berpakaian rapi dengan atribut lengkap, hingga kaos kaki yang hanya boleh berwarna hitam putih. Tak heran jika Tasya mendisiplinkan anggotanya untuk datang lebih awal, karena di sana tugas mereka untuk me-razia murid yang anti aturan.
Tasya dan anggota OSIS lainnya selalu berkeliling kelas untuk memastikan mereka sudah rapi dengan seragam yang baik dan benar.
"Hm gue rasa mereka udah cukup kapok sama semua cara yang gue lakuin buat negur mereka." Tasya berguman dengan bangga, tak sia-sia apa yang sudah dia lakukan membuahkan hasil ternyata.
Jam sudah hampir menunjukan pukul 7 tepat. Jauh di parkiran sana, seorang murid dengan pakaiannya ya khas murid anti aturan datang dengan menggunakan motor sport-nya.
Messy hair, tas yang tergantung sebelah, baju dikeluarkan, dasi yang tak diikat, kaos kaki hitam, dan snikers kebanggaannya. Penggambaran apa yang pantas untuk seorang Viko Narendra?
Bad boy SMA Veteran.
Tasya kembali memutar bola matanya. Lagi-lagi dia kesal karena pria yang ada di hadapannya ini, Viko Narendra.
"Halo? Viko! Lo dengerin gue gak sih dari tadi?" tanya Tasya kesal.
"Ya," singkat Viko.
"Ya, hm, oke, ga! Itu-itu aja bahasa lo. Gue gak mau tau ya, pokoknya sebelum lo masuk kelas, baju lo harus udah dimasukin, sepatu sama kaos kaki lo diganti dan dasi lo harus udah diiket!"
"Terus, lu mau gua ngomong apa?" Viko menatap Tasya dengan tatapan dinginnya. Dia sangat tidak suka diatur. Dia punya prinsip kalau hidup harus dinikmati tanpa adanya peraturan.
"Ya apa kek, pokoknya gue nggak mau tau ya!" Tasya memperingatinya lagi.
"Bawel lu, kayak emak-emak." Viko berlalu meninggalkan Tasya dengan raut wajah kesalnya. Paginya rusak akibat ulah cewek itu. Akhirnya Viko memilih untuk membolos saja dan pergi ke belakang sekolah. Tempat ter-aman untuk bolos kelas.
Viko Narendra. Cowok bad boy SMA Veteran. Sikapnya yang sok cool abis tapi pecicilan membuat Tasya frustrasi dibuatnya. Dari banyaknya murid di Sekolahnya, hanya Viko yang sulit untuk diberi peringatan dalam bentuk apapun. Tasya sampai kehabisan cara untuk membuat Viko mentaati peraturan yang ada.
"Tuh cowok gak ada kapok-kapoknya banget," kesal Tasya saat sampai di kelas. Sarah, Sherli, dan Niken menatap ke arah Tasya. Pemandangan yang sudah tidak asing bagi mereka ketika Tasya mengeluh soal masalah yang dihadapinya setiap pagi.
"Kenapa lagi? Viko?" Tanya Sarah.
"Ya siapa lagi? Lo tau? Gue kena marah lagi kan sama Bu Tanti gara-gara gak berhasil nyuruh si Viko itu masukin bajunya."
"Ya kenapa gak lo masukin aja sendiri, Sya?" Tanya Niken polos.
"Yakali gue masukin bajunya dia."
"Nggak apa-apa ganteng mah bebas," celetuk Sherli.
"Terserah."
"Tumben si Viko belum masuk kelas?" tanya Sarah.
"Gak mau tau dan nggak peduli," ketus Tasya.
Tiba-tiba Andre, ketua kelas XI IPA 1 datang dengan napasnya yang tak beraturan.
"Kata pak Jaya, hari ini bebas. Soalnya gurunya pada rapat." Ya begitu bunyi pengumumannya.
Seluruh siswa bersorak kegirangan, apalagi yang hal yang lebih nikmat jika masuk sekolah, tapi tidak belajar?
Tasya yang mendengar itu langsung membuka ponselnya.
...OSIS SMAVEN (11)...
^^^Kumpul di ruang OSIS sekarang. Rapat!^^^
Viona revana : Oke
Aulia Siti : Oke
Sinta Amanda : Oke
Yudishtira Pateh : Hm
Linda Herlina : Oce
Ariana Ris : Oke cantik
Ivaniel Daniola : Yo
Ayunindya : Oke
Chandra Aditya : Ngapain?
^^^Rapat pak waketu yang terhormat! Lo baca ketikan gue gak sih?^^^
Chandra : O
^^^Y^^^
Tasya sangat kesal pada Chandra. Meskipun mereka partner, tapi tidak pernah akur. Pendapat yang berbeda, sama-sama keras kepala dan parahnya tidak ada yang pernah mau mengalah.
Tasya segera menuju ruangan OSIS. Sepanjang koridor banyak sekali yang menyapanya. Tasya memang dikenal karena keramahannya pada semua orang, parasnya yang lumayan cantik, membuat dia dikagumi banyak orang.
Akhirnya Tasya sampai di depan ruang OSIS. Saat memasuki ruangan, matanya langsung tertuju kepada pria yang sedang bermain bola basket di ruangan itu. Pemandangan yang kerap kali membuat Tasya naik pitam.
"Chandra, Yudhis! Kalian apa-apaan sih, ini ruangan OSIS, bukan lapangan," tegasnya.
"Iya Bu Ketu," Chandra berbicara dengan nada yang meledek.
"Terserah, gue males debat sama lo. Oke kita mulai aja ya. Jadi gini, buat acara camping sekolah, kita sekalian bikin acara LDKO. Nah apa di antara kalian ada yang punya usul?"
"Gue sih bebas, ikut Bu Ketu aja," kata Vio.
"Ya gue juga, tapi nggak usah yang ribet-ribet," sambung Aul.
"Nah gini, kalau kata gue. LDKO sekarang jangan kaya angkatan kemarin," Tasya mengutarakan pendapatnya.
"Maksud lu?" tanya Chandra.
"Jadi gini, tau kemarin itu yang namanya garing, garrrring banget tegang kan? Nah gue mau nya jangan tegang-tegang amat," ucap Tasya.
"Sya, namanya juga LDKO kalau kita gak bawa suasana tegang gimana mereka mau takut?" Protes Chandra.
"Iya, tapi maksud gue tuh gini, Chan. Acara tegang gitu, kita bangun pas saat-saat diperlukan, kalau udah itu yaudah selesai, kita have fun." Tasya menjelaskan maksudnya dengan rinci.
"Kalau gak mau tegang, itu namanya camping doang bukan LDKO! Gua sih lebih suka cara kemarin. Semua bungkam sampai balik lagi ke sekolah, jadi mereka ada rasa segan dan lebih menghargai seniornya. Susah emang ngomong sama orang yang keras kepala." Chandra pun mulai kesal.
"Apa lo bilang? Gini ya, sekarang gue tanya. Kalian suka sama LDKO tahun kemarin? Ayu, jawab," Tasya menunjuk Ayu berbicara.
"Gini ya, kalau gue pribadi sih bener apa kata Tasya. Mungkin kalau diadain Sharing antar anggota, terus kita buat suasana kekeluargaan dan jangan bikin batasan antara senior dan junior itu lebih enak kalau menurut gue."
"Nah iya, Ay. Jadi kaya kebentuk solidaritas juga antara OSIS junior sama senior," sambung Ivan.
"See? Gini ya, Chan. Coba lo pikir, kalau acara ini jadi, bakalan asik. Acara ini gak akan pernah dilupain sama semua orang," kata Tasya.
"Pokoknya gua gak setuju." Chandra tetap pada pendiriannya.
"Oke, sekarang lo maunya gimana?"
"Gua mau kita full kaya kemarin persis semuanya pas acara nanti. Biar mereka juga ngerasain apa yang kita rasain tahun kemarin. Ini namanya mendidik, Sya mikir!"
"Ini bukan soal lampiasin kaya gitu ya Chan. Ini masalah mendidik kan lo bilang? Liat angkatan kita, didikan keras anggota yang bertahan cuma berapa?"
"Kalau mereka bener-bener serius ya pasti bertahan. Kita butuh kualitas bukan kuantitas."
"Kualitas lo bilang? Apa lo udah berkualitas? Apa dengan kuantitas yang sedikit ini, lo selalu ada? Kita kerja lo kemana? Main basket? Gak ada kuantitas tetep aja organisasi gak akan berjalan. Kita harus seimbang antar kuantitas dan kualitas, Chan."
"Jadi lo bilang gue gak ada kerja, gitu?" kata Chandra yang mulai menunjuk Tasya.
"Emang kenyataannya kaya gitu, 'kan?" Tasya menggebrak meja di hadapannya m.
"Di mananya gua gak kerja hah?" Chandra kini menggebrak mejanya juga.
"Lo gak usah gebrak bisa kan, Chan. Gak usah memperpanas," kata Riana.
"Kalian kebiasaan suka ribut, kita ini satu organisasi. Kalian pemimpin, kalau kalian gak kompak gimana mau arahin kita?" tanya Ayu.
"Males." Chandra keluar ruang OSIS dan memukul papan tulis.
Seperti biasa papan tulis adalah sasaran utamanya. Tak heran jika papan tulis ini banyak yang retak. Sementara itu Tasya masih dia mematung.
"Rapat dilanjut besok aja, maaf buat hari ini," Tasya pergi menahan tangisnya dan menuju ke taman belakang.
...~ • ~...
Entah apa yang Tasya rasakan. Selalu saja ada pertengkaran saat membuat planning. Dia dan Chandra memang tak bisa menjadi partner. Hal pertama yang dia sesalkan adalah, dia menyukai Chandra.
"Kenapa sih, setiap rapat pasti aja gini. Cengeng banget gue, kok bisa orang cengeng kaya gue jadi Ketua OSIS. Kok bisa gue yang–"
"Itu yang gua pingin tanyain, kenapa manusia kaya lu bisa jadi Ketua OSIS." Seseorang mulai bersuara dan memberikan Tasya sapu tangannya.
"Viko? Ngapain lo di sini? Lo ngikutin gue ya?"
"GR lu, ini emang tempat gua. Kenapa? Lu seneng dideketin cogan kayak gua?"
"Palalo seneng, ganggu aja lo, Bye." Tasya memutuskan untuk pergi dari sana. "Eh tapi makasih loh," katanya sambil mengambil sapu tangan Viko.
"Udah marah-marah, sapu tangan gua lu ambil juga. Cewek aneh."
"Heh gue masih bisa denger ya," teriak Tasya.
"Bodo amat."
Tasya berbalik, "Oh iya, jangan lupa masukin baju lo."
"Terserah. Sana lu, pergi nggak jadi mulu."
Tasya kembali berjalan melalui koridor sekolah. Tiba-tiba ....
Brukkkk.
"Awww sa–"
"Sorry," kata Chandra.
"Lo? Erghht." Tasya memilih untuk pergi, namun Chandra menarik tanggannya.
"Sya, tunggu."
"Apa? Mau apa lo?" ucap Tasya dengan nada yang tinggi.
"Maaf buat kejadian tadi."
"Hm." tak ada sepatah kata pun yang Tasya keluarkan.
"Maaf udah bikin lo nangis, gua salah."
"Udah gue maafin, lepas!" Tasya mencoba melepaskan tangannya.
"Gua tau lu masih marah."
"Jadi mau lo apa? Gue capek debat sama lo, Chandra."
"Mau gua itu lo maafin gua," kata Chandra.
"Iya gue maafin, udah kan?"
"Jangan nangis lagi."
"Iya."
"Kita kan partner, bener kata Ayu. Kalau kita gak kompak yang mau mimpin mereka siapa?"
"Hm, gue ke kelas. Jangan lupa pikirin buat besok rapat. Bye Chan," kata Tasya.
"Bye, Sya."
Chandra tersenyum kecil karena Tasya sudah memaafkannya. Sebenarnya Chandra memang menyukai Tasya. Tapi dia takut menyakiti Tasya karena sifatnya yang tempramental.
Tasya langsung membantingkan tubuhnya di sofa. Tanpa melihat, bahwa Radit sedang memperhatikan adiknya dengan tatapan bingung. Bagaimana tidak bingung, wajah kusut yang ditampilkan Tasya membuat orang pasti bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya?
"Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya pria di sebelah Tasya itu.
Tasya hanya menggelengkan kepalanya. Jika sudah badmood dia selalu pusing sampai berdenyut kencang.
"Gak mau cerita sama gua?" Radit menatap adiknya itu, dilihatnya terus menerus sampai Tasya menatapnya juga dengan wajah masam.
Radit dan Tasya memang dekat. Berbeda 2 tahun dari Tasya, membuatnya mengerti akan sikap adik satu-satunya ini. Apalagi jika wajah Tasya sudah tak karuan seperti itu. Membuatnya sedikit gemas ingin mencubit pipi adik kesayangannya.
"Biasa kak, Chandra." Tasya mengucapkannya dengan nada yang dibuat melankolis. Radit mengulum senyumnya, menurut Radit Tasya lucu jika sudah seperti itu.
"Chandra kenapa lagi?" Tanya Radit penuh perhatian, adiknya ini memang suka sekali marah-marah dan Radit paham. Apalagi usianya belum 17 tahun.
"Tadi gue berantem lagi sama dia."
"Masalah apa lagi?"
"Gara-gara masalah buat LDKO nanti. Gue tuh maunya acara yang gak garing gitu loh kak. Semuanya udah setuju, tapi dia gak mau. Dia malah marah-marah sambil bentakin gue, gue kan gak suka dibentak. Lo aja gak pernah bentak gue, tapi dia sering." Tasya melipat tangan di dadanya, dia terlalu kesal jika mengingat kejadian tadi.
"Mungkin maksud dia itu gak gitu." Radit terkekeh dan mengusak rambut adiknya lembut.
"Gak gitu gimana, dia gebrak-gebrak meja gitu ke gue." Tasya menatap tajam ke arah Radit seolah harus berada di pihaknya.
"Lu gebrak meja juga?" Radit mendekatkan wajahnya pada Tasya dan menunggu pengakuan darinya.
"Ya gue duluan sih yang gebrak."
"Udah gua duga, ck." Radit berdecak, dia sudah menduga kalau Tasya pasti terbawa emosi. Sementara Chandra orangnya tempramen.
"Ya harusnya dia nggak usah ikutan gebrak elah gue kan cewek, Bang."
"Sekarang udah maafan?" tanya Radit lagi.
"Udah, tapi tetep aja kesel. Tau nggak, Bang? Papan tulis di ruang OSIS itu baru aja ganti udah retak lagi gara-gara dia tonjok. Nanti gue lagi yang kena marah sama Pak Jaya. Sering banget ruang OSIS minta ganti papan tulis."
Radit pun hanya terkekeh mendengar cerita adiknya itu. Ini sudah hal yang biasa, baik Chandra ataupun Viko sudah menjadi topik hangat pembicaraan mereka setelah Tasya pulang sekolah.
"Kenapa lo ketawa? Gue tuh lagi kesel, Abang!" Kesal Tasya sembari memukul lengan Kakaknya itu.
"Nggak apa-apa, lucu aja. Lama-lama kasian gua sama lu, Dek, ngebatin jadi Ketua OSIS," kata Radit.
"Iya lah, adik lo yang lucu ini paling gak suka dibentak. Gue kesel dan gue nyesel suka sama Chandra. Terus lagi nih si Viko, Bang. Bikin gue kesel terus."
"Viko kenapa lagi?"
"Viko susah banget nurut sama gue. Gue udah tegas, udah marah-marah, tapi tetep aja dia nggak pernah ngikutin ucapan gue buat masukin bajunya dan rapihin seragamnya. Alhasil gue kena marah sama Bu Tanti."
"Kenapa nggak lu masukin aja bajunya dia pake tangan lu?"
"Lo sama aja ya sama Niken. Masa iya gue yang masukin. Otak lo ih, tau ah."
"Dih ngambek."
"Bodo amat gue ga denger."
"Gini ya, kalau masalah Chandra. Lu harusnya sebagai cewek bisa lebih lembut sedikit. Udah tau kan dia tempramental, nah lo baikin dia. Jangan sama-sama keras kepala, mau sampai kapan kalian nggak sejalan? Organisasi itu butuh yang namanya saling ngerti, saling ngerangkul, bukan ego yang diperbesar, apalagi posisi lu sebagai ketua, mau dia cowok atau cewek, lu harus lebih bijak."
"Gue selalu coba buat ngalah, buat suasana tegang jadi biasa, tapi dia batu banget, Bang. Gue juga lama-lama kepancing lah. Emang Ketua OSIS nggak boleh marah? Nggak boleh kesel?"
"Boleh, sah-sah aja kalau marah, tapi kembali lagi ke awal, kalau dia gak mau ngalah dan lu juga apa yang bakalan terjadi sama angkatan lu selanjutnya?"
"Paham abang, gue tuh paham. Tapi lo nggak liat apa gue ini kena KDRO." Tasya berbicara dramatis.
"KDRO apaan?" Tanya Radit kebingungan.
"Kekerasan Dalam Ruangan OSIS."
Radit tertawa terbahak-bahak.
"Bisa aja ya lu, Dek. Intinya seperti yang gua bilang, lu coba lembut atau mengalah sama dia. Bijak-bijak aja lah, lu kan Ketua Osis masa nggak paham. Nah, kalau soal Viko juga sama. Lembutin aja dia."
"HAH LEMBUTIN VIKO? OGAH!" jerit Tasya.
"Woy! Jangan teriak juga njerr, ntar tetangga pada ke sini disangkanya kenapa! Gila lu!"
"Ya habis ide lo aneh semua. Lo tau Viko itu super duper nyebelin banget. Pecicilan, sok cool, badung juga. Ah pokoknya dia itu rese."
"Ya lu coba aja kenapa, susah amat buat coba. Kalau lu nggak pernah coba, lu nggak akan pernah tau hasilnya kayak apa."
"Ntar gue coba."
"Yaudah mandi lu, datang-datang udah bikin bau ruangan," kata Radit yang menggoda adik perempuannya itu.
"Heh gue belum mandi juga wangi ya. Emangnya lo, mandi tiap hari tapi bau dugong."
"Emang lu tau dugong baunya kaya apa?"
"Kayak lo," kata Tasya sambil berlari menuju kamarnya.
"Sialan," umpat Radit.
Tasya langsung melemparkan tasnya ke sembarang arah, lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Walaupun sudah diberi nasehat oleh Radit, tapi kekesalannya terhadap kedua pria itu masih dirasakan.
Viko itu susah diatur, itu yang membuat Tasya kesal.
Chandra itu baik, dia ramah dan care. Walaupun keras kepala tapi dia sosok yang dewasa, selalu ada dan mendengarkan keluh kesah Tasya. Itulah alasan mengapa Tasya menyukainya.
Sebenarnya Chandra dan Tasya, dulunya sangat dekat. Tapi karena satu dan lain hal, perubahan Chandra bisa Tasya rasakan setelah pemilihan Ketua OSIS.
Semenjak saat itu Chandra lebih temprament dan egois.
'Gue kangen lo yang dulu, Chan,' batin Tasya.
...~ • ~...
Berbeda dengan Tasya, Viko kini sedang berada di markas kebesaran bersama teman-temannya.
"Kuda kuda apa yang bikin seneng?" tanya Arka sambil melihat ke arah ponselnya. Arka memang seperti bapak-bapak facebook yang suka menongkrong di grup recehan bapak-bapak.
"Kuda poni." Reza menjawab tanpa berpaling dari play stationnya.
"Salah." Arka tertawa, semua otomatis menatap ke arah Arka yang suka kebiasaan tertawa lebih dahulu tanpa menjelaskan apapun.
"Lah terus apa?" Tanya Viko yang penasaran pada lelucon Arka kali ini.
"Kudapatkan cintamu, eaa eaaa eaa eaa," ucap Arka sambil tertawa. Semuanya menatap Arka yang heboh sendiri, padahal menurut mereka itu sangat garing.
"HAHAHA, sumpah, Ka garing." Bagus menggelengkan kepalanya, kenapa dia bisa memiliki teman seperti Arka.
"Lu ketawa napa, Ko," kesal Arka yang melemparkan bantal ke arah Viko.
"Hahaha." Viko tertawa tanpa minat, selera humor Arka memang benar-benar jelek.
"Kurang ngakak," perintah Arka lagi.
"Hahaha kurang ngakak," ucap Viko dengan wajah datarnya.
"Najis malah gua yang ngakak," kata Arka sambil terbahak.
"Sumpah lu receh, Ka." Reza menggelengkan kepalanya karena heran melihat tingkah Arka yang semakin hari semakin gila.
"Ko, muka lu kenapa? Suram amat," tanya Bagus yang sadar akan perubahan Viko hari ini.
"Kesel gua." Viko memutar-mutar ponselnya malas. Baru saja dia melihat postingan Instagram Tasya lewat. Membuatnya teringat kejadian tadi sewaktu dia dikejar-kejar oleh pak Jaya karena melanggar aturan. Al hasil Viko seharian harus bersembunyi di rooftop.
"Kenapa? Sini cerita sama dedek." kini giliran Reza angkat bicara dan menaruh stik PSnya.
"Najis. Gua kesel sama makhluk astral berupa mak lampir, bikin mumet. Gara-gara si Ketua Osis rese itu gua tadi main kejar-kejaran sama pak Jaya."
"Tasya?" tanya Bagus menyelidik.
"Nah iya itu, sensi amat dia sama gua, marah-marah mulu kerjaannya. Padahal gua gak terlaku banyak melanggar aturan dah. Berpakaian seseorang kan gak bisa diatur, heran."
"Ya tugas dia kan emang gitu. Namanya Ketua OSIS, tapi mayan lu diajak ngobrol sama cewek cantik. Biasanya dia kalau ditanya di kelas aja suka ketus," celetuk Arka.
"Cantik lu bilang? Najis, itu nenek sihir. Berisik suaranya gak nahan. Padahal gua berusaha kalem." kata Viko menatap jijik pada Arka. Selain selera humornya jelek, selera cewek Arka juga jelek.
"Tapi dia emang paling cantik di sekolah loh, lu masa nggak tau?" Bagus meneguk soda miliknya tanpa berpaling dari Viko.
"Bodo amat, gua nggak suka cewek kayak gitu. Tobat dah gua berurusan sama dia, males." Viko melemparkan ponselnya ke sofa.
"Hati-hati Ko, lu gak suka berlebihan sama dia nanti malah lu jadi suka berlebihan sama dia," ucap Bagus menasehati.
"Ogah, mending gua pacaran sama si Mimi penjaga kantin sekolah," kata Viko.
"Nggak sekalian sama Mimi peri, Ko?" tanya Arka.
"Nah mending sama dia juga, daripada sama cewek rese macem dia." Viko bergidik ngeri.
"Suka-suka lu aja Ko, kita liat aja nanti."Arka pun kembali fokus pada ponselnya.
"Liat apanya?"
"Liat lu bakalan suka sama dia atau ga," sahut Reza.
"Jawabannya cuma 1, nggak akan pernah," tegas Viko.
"Bisa jamin lu sama kita-kita?" tanya Bagus.
"Kalau gua suka sama dia, gua bakalan traktir lu semua sepuasnya."
"Seriusan?"
"Kalau perlu gua traktir ke pantai, mantai bareng," kata Viko mantap.
"Serius lu?"
"Ya apa pun lah, karena gua yakin. Nggak akan pernah suka sama cewek kaya dia dah." Viko bergidik ngeri. Mendengar nama Tasya saja dia sudah merinding.
"Gue sumpahin kalian jodoh," celetuk Arka.
"Anjirr, najis lu."
"Sekarang lu najisin, besok lu kejar pasti," ledek Reza.
"Btw, lu gak balik, Ko?" tanya Bagus.
"Males."
"Yaudah gua balik duluan, udah di telfon emak," pamit Arka.
"Yo hati-hati."
Viko pun terdiam, merenungkan kembali perkataan teman-temannya. Benar juga, dia sering mendengar kalau benci bisa berubah menjadi perasaan cinta. Berkali-kali dia menepis semua hal itu.
'jangan sampai gua suka sama dia, dia bukan type gua, jadi nggak akan mungkin gua suka sama cewek bernama Tasya,' bantinnya.
Tasya kembali mengubah posisi duduknya. Kebisingan ini membuatnya tidak konsen membaca novel. Ya, mata pelajaran jam kedua kosong. Tasya memilih untuk membaca novel mengisi kegabutannya. Sementara ketiga temannya sedang sibuk menyalin tugas yang belum mereka kerjakan.
Tasya melirik sinis ke sumber suara yang membuat risih pada indera pendengarannya. Siapa yang membuat kebisingan? Tentu saja Viko dan kawan-kawan. Beatbox adalah kegiatan yang mereka sukai akhir-akhir ini dan membuat bising di kelas.
"Kalian bisa diem gak sih?!" Kesal Tasya yang sekarang dengan posisi berdiri menatap gerombolan Viko. Sementara yang diliat malah sok berlaga sok polos.
"Apa sih Ibu Ketos, marah-marah mulu. Keluar kelas salah, di dalam kelas salah. Salah terosss," protes Viko tak terima.
"Ya gimana gue gak naik pitam, lo sama temen lo itu berisik banget, Viko! Gue tuh gak bisa konsen baca kalau lo berisik. Yang lain juga lagi ngerjain tugas, gak masalah kalau lo berisik waktu jam istirahat." Tasya menarik napasnya kasar.
"Ya nggak usah baca, repot banget hidup lu," jawab Viko santai dan lanjut bermain beatbox.
Tasya yang mulai geram, mendekati bangku Viko yang ada di sebelahnya. Tasya duduk di barisan paling ujung di bangku nomor dua dan Viko di barisan sampingnya.
Tasya menggebrak meja Viko dengan emosi. "Heh Viko, lo mau bikin sekolah banjir sama air liur lo yang dimain-mainin gitu? Mendingan lo diem selayaknya murid yang baik!"
"Aduh, Sya udah deh gak usah lo ladenin," kata Sherli yang menarik tangan Tasya agar kembali duduk di bangkunya. Jika Tasya sudah marah bisa berabe.
"Lo emang seenaknya ya, Vik. Gak tau aturan, urakan, gak mau dengerin orang lain. Liat situasi kalau mau ngapa-ngapain, orang risih atau engga, orang kesel atau gak denger kebisingan. Apalagi sama suara beatbox gak jelas kaya gini!"
"Berisik amat, gua gak mau adu argumen sama orang yang gak kalah berisiknya, yang ganggu kelas itu lu, bukan gua." Viko melipat tangan di dadanya. Dia tidak takut meski harus berhadapan dengan kepala sekolah sekali pun. Dia tidak peduli.
"Heh lo tuh yang berisik dari tadi! Kenapa jadi gue sih? Cape ya emang bicara sama orang yang anti kritik!" kata Tasya membalikkan omongan Viko.
"Galak amat Bu Ketos." Bagus mendadak membuka mulutnya. Meskipun dia tau kalau dia tidak akan didengar. Kedua orang di hadapannya ini sama-sama keras kepala.
"Gue gak bicara sama lo," kata Tasya sambil melotot ke arah Bagus. Bagus menghembuskan napasnya, sudah dia duga pasti dia tidak akan didengar.
"Oh jadi ngomong sama Viko doang? Sama kita enggak, Sya?" kata Arka setengah menggoda Tasya yang malah membuatnya semakin kesal.
"Apaan sih lo, gak jelas!" jawab Tasya kesal.
"Iya iya deh yang keliatan jelas buat Tasya mah cuma Viko," ucap Reza sambil meng-ekhem ekhm kan Tasya.
"Yang pertama, gue ngomong sama Viko doang soalnya dia yang paling berisik di antara kalian. Kedua, bukan kalian gak keliatan tap—"
"Lu diem atau lu gua cium?" Tegas Viko sambil mendekatkan wajahnya ke arah wajah Tasya. Tasya menahan napasnya, orang ini benar-benar menyebalkan.
"Apa-apaan sih lo! Gak lucu!" Bentak Tasya sambil mendorong wajah Viko dengan kedua tangannya.
"Mulut lu satu doang, tapi bunyinya kaya se RT. Bisa diem gak sih? Bisa gak jangan mempermasalahkan hal-hal kecil? Sekolah ini bukan punya lu, semuanya juga bayar."
"Kalau gue gak bisa diem masalah buat lo? Lo tuh udah berisik sekarang malah ngatain orang berisik lah, suara kaya orang se-RT lah. Lo tuh emang gak instrospeksi, merugikan orang lain karena kelakuan yang lo perbuat." Kali ini Tasya memang benar, tak jarang dia kena omel kesiswaan karena dirasa kurang tegas karena masih ada siswa yang melanggar aturan.
Bukan hanya itu, bahkan Viko pernah bermasalah dengan sekolah lain dan yang harus menyelesaikannya adalah Tasya. Dia benar-benar tidak menyukai Viko yang selalu menyusahkan hidupnya.
Tasya membantingkan novel ke mejanya dan berjalan keluar kelas. Tidak akan benar jika dia terus berdebat dengan Viko. Bahkan dia selalu mempunyai alasan dalam setiap hal.
Sherli, Sarah dan Niken hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap Tasya barusan. Pertengkaran dengan Viko sudah menjadi hal yang tak asing bagi mereka. Mereka sama-sama keras kepala dan mempunyai sifat yang bertolak belakang. Susah jika disuruh menyamakan prinsip atau berdamai.
Viko duduk kembali di bangkunya tak peduli, menurutnya dia hanya melakukan apa yang dia suka. Meski sebenarnya ada sedikit rasa menyesal telah membuat Tasya marah dan pergi.
Sambil berjalan Tasya terus saja mengumpat. Entah kenapa jika dia sudah berdebat dengan seorang Viko susah sekali agar tidak badmood. Viko adalah manusia paling aneh dan paling menyebalkan menurut Tasya.
"Kok ada ya cowok macam dia, udah songong, pecicilan, berisik kayak dia. Kalau gue sekelas terus sama dia yang ada gue bisa gila," gerutunya.
Namun, Tasya sadar ini masih di sekolah dia harus bisa menjaga imagenya sebagai Ketua OSIS SMA Veteran.
...~ • ~...
Ruang OSIS adalah tempat yang dianggap rumah kedua oleh Tasya. Karenanya tak heran jika Tasya betah berlama-lama di ruang OSIS. Sepertinya dia juga tidak sadar kalau sekarang sudah memasuki jam istirahat. Dia menyibukan diri dengan memeriksa berbagai proker dan mencoba menyusun ide-ide untuk kegiatan yang akan dilakukan oleh OSIS.
"Sya," panggil seseorang yang mulai memasuki ruangan OSIS. Dia sudah tau kalau Tasya pasti ada di sini. Karena ruang OSIS adalah tempat teraman dan nyaman untuk setiap anggotanya. Tak jarang mereka menginap di sana jika ada kegiatan.
"Hm," sahut Tasya sambil tak bergerak dari posisinya dan fokus pada planner book yang sengaja Tasya simpan di mejanya kalau-kalau dia membutuhkan buku itu.
ya dia adalah Chandra. Chandra tidak menemukan Tasya di kelasnya dan dia tau pasti kalau Tasya berada di ruang OSIS.
"Lo kenapa?" Tanya Chandra sambil duduk di hadapan Tasya. Chandra melihat wajah masam Tasya, sepertinya dia sedang badmood atau PMS.
"Gak apa," jawab Tasya singkat, jujur dia malas menjelaskan sesuatu jika sedang badmood.
"Gak istirahat?" Tanya Chandra lagi.
"Males." Tasya menatap ke arah Chandra yang sedang menatapnya. Manusia yang ada di hadapannya ini memang berubah-ubah.
"Nih," ucap Chandra sambil meletakan susu kotak dan sebungkus roti di meja Tasya.
"Buat gue?" Tanya Tasya sambil mengambil susu kotak yang diberikan Chandra padanya.
"Hm." Chandra mengangguk, dia tau kalau Tasya pasti belum memakan apapun sejak bel berbunyi.
"Kenapa?" Tanya Tasya spontan, karena dia benar tidak bisa memahami sifat Chandra yang sekarang.
"Kenapa apa?"
"Kenapa lo baik sama gue? Kenapa lo datang kesini? Kenapa lo-"
"Gak apa." Chandra terdiam, kenapa Tasya bisa bertanya demi kian?
"Kenapa lo berubah?" Tasya menatap Chandra dalam, dia benar-benar merindukan sosok Chandra yang hangat, yang selalu ada untuknya.
Chandra tak menjawab pertanyaan Tasya. Entah kenapa setiap Tasya menanyakan hal yang sama dia selalu tak bisa menjawabnya.
"Lo tau kenapa gue milih lo sebagai wakil gue? Lo tau kenapa gue maunya lo yang jadi wakil gue? Karena,
"Karena dulu lo gak kaya gini. Lo inget? Gimana cemburunya anak-anak OSIS karena gue lebih deket sama lo? Gara-gara gue cerita apa pun lebih dulu ke lo. Terus-" Tasya menggantungkan omongannya.
"Lo jahat tau gak," lanjutnya. Tasya benar-benar tak lepas menatap Chandra. Dia ingin jawaban Chandra yang sekarang benar-benar beda 180° dari yang dia kenal dulu.
"Maaf," ucap Chandra.
"Lo maaf-maaf mulu tapi besoknya gitu lagi. Semua cowok emang kaya gitu ya?"
Chandra tak mengeluarkan sepatah kata pun, dia hanya terdiam memikirkan kata-kata Tasya.
"Kenapa lo diem aja, Chan? Gue gak salah nanya kan? Jujur semenjak pemilihan lo berubah. Apa lo gak suka gue jadi Ketua OSIS? Apa lo gak mau kalah waktu itu? Kalau gitu kita tukeran aja, gak apa. Gue juga gak mau jabatan ini kok, sampai sekarang ngejalanin pun karena gue inget tanggung jawab doang. Gue gak apa kok, asal lo balik kaya dulu," pinta Tasya.
"Gua gak bisa jelasin, tapi ini bukan salah lo. Salah gua sepenuhnya," ucap Chandra yang menundukkan kepalanya.
"Gue gak minta apa pun kok, gue cuma minta lo kaya dulu aja. Lo sama gue partner, simpel kan permintaan gue?"
Tiba-tiba ....
"Pacaran di ruang OSIS, wah gak bener emang. Jangan-jangan kalian ada skandal ya?" Viko berteriak dari luar ruangan OSIS.
Tasya yang geram pun keluar dari ruang OSIS menemui Viko. Viko merusak suasana saja, padahal untuk membicarakan hal ini Tasya sudah bersusah payah menurunkan egonya.
"Apa sih lo? Gak cukup bikin gue kesel tadi?" Ucap Tasya sewot.
"Yee gua kan cuma berpendapat, kata pak Jaya kita ini hidup di zaman demokrasi. Setiap warga negara berhak menyuarakan pendapatnya," ujar Viko sok bijak.
"Ter-se-rah! Gue males berdebat sama lo, dasar sableng!"
"Kalau gua sableng terus lu? Gila?"
"Sekata-kata ya lo ngomong. Males ngomong sama orang sableng," ucap Tasya penuh kekesalan.
"Ketua OSIS gila," cetus Viko sambil pergi menuju kantin.Muka yang tidak merasa bersalah itu membuat Tasya semakin kesal dibuatnya. Tasya berjanji tidak akan melepaskan Viko begitu saja besok saat razia.
"Pulang sekolah rapat, gue ke kelas dulu," kata Tasya pada Chandra. Dia sudah tidak bisa melanjutkan pembicaraan itu lagi bersama Chandra.
"Sip."
Tasya pergi meninggalkan Chandra. Chandra masih menatap punggung yang semakin menjauh itu. Benar apa kata Tasya, pemilihan ketua OSIS lah yang membuatnya berubah. Chandra memang type orang yang tak menerima kekalahan, apalagi oleh wanita.
"Maafin gua, Sya," lirihnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!