Seorang wanita berlari meninggalkan apartemen dengan tubuh dipenuhi peluh. Sesekali sapu tangan pink yang ia genggam digunakan untuk membersihkan wajahnya yang mulai basah.
"Aku bisa terlambat jika seperti ini terus," umpatnya di dalam hati. Wanita itu melepas high heels yang ia kenakan sebelum melanjutkan larinya lagi. Di depan sana, persimpangan jalan yang biasa dilalui taksi menjadi targetnya saat ini.
"Rosita! Berhati-hatilah," teriak satpam yang sudah lama bekerja di apartemen tersebut dan sudah lama pula mengenal Rosita. "Kau bisa jatuh jika berlari seperti itu. Jika memang sudah rejeki, pasti akan kau dapatkan. Jangan korbankan keselamatan."
"Sip!" jawabnya sambil terengah-engah. "Terima kasih paman. Aku akan tetap hati-hati."
Rosita memang terlalu bersemangat berlari ketika melihat taksi yang meluncur di seberang jalan. Sampai-sampai dia tidak sadar kalau ada mobil sedan meluncur dengan kecepatan tinggi. Decitan suara rem membuat Rosita kaget hingga akhirnya dia terjatuh. Lututnya berdarah dan rasa perih membuyarkan semuanya. Barang bawaannya berserak di jalanan. Bahkan beberapa lembar dokumen foto copyan ada yang berterbangan terkena angin.
"Kakiku," lirih Rosita. "Aduh, sakit sekali. Kakiku sepertinya putus ini. Aku tidak mau lumpuh. Aku tidak mau kakiku di amputasi," teriaknya. Padahal jelas-jelas lukanya tidak terlalu parah. Hanya lecet yang jika diberi obat antiseptik juga pasti akan cepat kering.
Seorang pria turun dari mobil dengan wajah setengah marah. Ia memandang ke arah Rosita sebelum berhenti. Pria itu mendengus kesal melihat jeritan Rosita yang berlebihan.
"Kenapa aku selalu sial seperti ini. Ini hari apa?" umpat Rosita tanpa memandang pria yang kini berdiri di depannya. Hingga akhirnya pria itu berjongkok memandang Rosita yang duduk di jalan sambil memegang lututnya yang berdarah. Wanita itu terus saja meringis kesakitan tanpa peduli dengan hadirnya pria gagah tersebut. Bibirnya mengoceh kalimat-kalimat tidak jelas.
"Kenapa orang kaya selalu saja berbuat sesuka hati mereka. Apa jalan ini mereka yang bangun?" umpat Rosita. Ia memandang mobil sedan yang ada di depan matanya. Sudah jelas memang kalau yang menabraknya pasti orang berduit.
"Kalau iya, kenapa?" sahut pria tersebut. Pria itu bernama Walter. Ia tadinya tidak mau mempedulikan wanita di depannya. Namun, lama kelamaan ia juga kesal.
Rosita memandang Walter. Ia mematung melihat wajah tampan Walter hingga lupa dengan sakit yang ia derita. Sama halnya dengan Walter. Penampilan Rosita cukup membuat Walter tertarik. Bagaimana tidak. Semua barang yang dikenakan Rosita berwarna pink. Warna yang memang menjadi warna favorit Walter selama ini. Sampai-sampai sapu tangan yang tergeletak di jalanan saja berwarna pink.
"Anda pria yang sudah menabrak saya?" tanya Rosita dengan wajah tidak percaya. Bahkan secara spontan tangannya terangkat ke atas menunjuk ke arah Walter.
"Hemm," jawab Walter malas. Ia mengambil sejumlah uang dan sebuah kartu nama lalu memberikannya kepada Rosita. "Kau bisa berobat ke rumah sakit. Aku tidak bisa mengantarkannya. Jika kurang, kau bisa menghubungi nomorku yang tertera di kartu."
Memang kelakuan Walter cukup menjengkelkan. Pria itu terlihat sangat sombong. Baginya dengan uang, semua masalah bisa diselesaikan. Tanpa mempedulikan perasaan Rosita saat ini.
"Tampan sekali," puji Rosita di dalam hati.
Rosita hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Ia masih belum sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ketampanan Walter membuatnya kagum dan mematung. Apa lagi kegagahan pria itu. Sungguh pria idaman yang selama ini diimpikan oleh seorang Rosita. Tangannya menadah menerima uang yang diberikan Walter. Bahkan sempat-sempatnya memasukkan uang itu ke dalam tas. Hingga membuat Walter berpikir kalau masalah di antara mereka telah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibahas.
Tanpa mau mengatakan kalimat pamit, Walter segera berdiri dan masuk ke dalam mobil. Ia memundurkan mobilnya sebelum pergi dari sana. Rosita sendiri masih tersenyum sambil membayangkan wajah Walter. Suara klakson yang begitu memekakkan membuat ia tersadar. Entah sudah berapa lama dia melamun, sampai-sampai tidak sadar kalau mobil pria yang sudah menabraknya telah pergi jauh.
"Hei, wanita gila! Menyingkirlah!" umpat supir mobil lainnya. Ketika Rosita sadar, sudah ada lima mobil berbaris dan tidak bisa lewat.
"Maaf," ujar Rosita pelan.
Rosita memandang ke kanan dan ke kiri seperti orang bingung. Ia cepat-cepat berdiri untuk menyingkir. Dengan kaki tertatih-tatih dia berjalan ke pinggiran jalan. Menggenggam tas dan dokumen yang sejak tadi ia bawa.
"Kenapa aku membiarkan pria itu pergi begitu saja?" Rosita membaca kartu nama yang ada di tangannya. "Walter? Apa namanya Walter?" Rosita segera memasukkan kartu nama Walter ke dalam tas. Ia tidak mau sampai terlambat. Walau sebenarnya memang kini dia sudah terlambat 15 menit dari jadwal interview yang telah ditentukan oleh perusahaan.
"Taksi!" teriak Rosita sambil melambaikan tangan. Setelah taksi berhenti, ia segera masuk dan mengatakan alamat perusahaan tempatnya interview.
"Pria tadi. Kenapa dia tampan sekali," pujinya di dalam hati. Rosita melirik sejumlah uang yang diberikan Walter kepadanya. Ada senyum bahagia di bibirnya ketika ia membayangkan kalau biaya pengobatan tidak seberapa.
"Pria tadi pasti orang kaya. Dia memberikan uang sebanyak ini dengan cuma-cuma." Entah kenapa tiba-tiba rencana licik muncul di dalam pikirannya. "Kenapa aku tidak melamar kerja di perusahaan pria ini sana. Sudah pasti dia mau menerimaku. Bukankah dia sudah menabrakku tadi? Aku bilang saja kalau aku di tolak interview karena datang terlambat dan karena kaki terluka."
Rosita mengambil kartu nama yang tadi diberikan Walter. Ia segera meminta supir taksi untuk menuju ke perusahaan tempat Walter bekerja. Ia tidak lagi memiliki niat untuk melanjutkan interview di perusahaan yang sebelumnya dia pilih.
"Tidak. Aku tidak bisa langsung muncul. Dia orang pasti orang sibuk. Sebaiknya aku tunggu di depan perusahaannya saja. Setelah melihat pria ini turun dari mobil, aku akan segera berlari. Jika langsung muncul di perusahaan pasti aku langsung di usir," gumam Rosita lagi di dalam hati.
Rosita segera turun dari taksi setelah membayar ongkos. Wanita itu mendongakkan kepalanya memandang kemegahan perusahaan yang kini ada di hadapannya. Ini pertama kalinya Rosita berani menginjakkan kakinya di perusahaan ternama tersebut. Selama ini dia hanya mendengar nama perusahaan itu dari mulut ke mulut.
"Perusahaan raksasa," pujinya di dalam hati. Alisnya saling bertaut melihat mobil Walter berhenti di depan pintu masuk. Tanpa pikir panjang lagi, Rosita segera berlari agar bisa bertemu dengan Walter.
"Tuan!"
Langkah Walter terhenti ketika mendengar seseorang berteriak. Beberapa sekuriti yang ada di depan pintu masuk segera berlari untuk menghalangi Rosita mendekati Walter.
"Tuan, berhenti!" teriak Rosita lagi hingga berhasil membuat Walter memutar tubuhnya.
"Nona, apa yang anda lakukan di sini? Pergi dari sini atau kami akan mengusir anda dengan cara kami!" ancam salah satu sekuriti sambil menarik paksa tangan Rosita. Namun, Rosita memang sangat keras kepala. Wanita itu terus saja berontak agar tangan sekuriti yang memegangnya bisa terlepas.
Walter mengeryitkan dahinya. Ia memandang Rosita sambil mengingat-ingat. Jelas saja Walter tidak ingat hingga akhirnya memutuskan untuk kembali melangkah masuk ke dalam. Ia menganggap Rosita itu hanya wanita gila.
"Sial! Kenapa pria itu cuek sekali? Aku harus memikirkan cara agar bisa bekerja di perusahaan ini. Apapun itu aku harus berhasil," gumam Rosita di dalam hati.
"Tuan Walter! Saya kehilangan masa depan saya setelah anda menabrak saya!" teriaknya dengan begitu keras. Berharap Walter mau berhenti dan berbicara dengannya.
Kali ini Walter memang tidak lagi bersikap sepele. Pria itu segera memutar tubuhnya dan memandang Rosita lagi dengan saksama. "Siapa kau?"
"Saya wanita yang tadi anda tabrak!" sahut Rosita dengan cepat. Ia masih berjuang keras melepas tangan sekuriti yang kini ingin menyeretnya agar pergi.
Walter menghela napas kasar. "Biarkan dia masuk," ucap Walter sebelum memutar tubuhnya. Beberapa sekurity itu segera melepaskan tangan Rosita setelah mendapat perintah.
"Akhirnya." Rosita tersenyum bahagia. Ia mengejar Walter dan mengikutinya dari belakang.
Walter melirik langkah kaki Rosita yang terlihat begitu lincah. Tidak terlihat tanda-tanda setelah di tabrak mobil.
"Sepertinya kakimu sudah sembuh," ucap Walter sambil menunggu lift terbuka.
Rosita melirik kakinya dan tersadar. Ia memegang kakinya sambil meringis kesakitan. "Tuan, kaki saya sakit sekali. Bahkan dokter saja tidak bisa menyembuhkannya," lirihnya dengan wajah memelas. "Aku harus akting dengan sebaik mungkin," gumamnya di dalam hati.
Walter masuk ke dalam lift. Pria itu memandang Rosita dengan tatapan tajam agar segera masuk ke dalam lift.
"Sepertinya dia memintaku masuk juga. Baguslah kalau begitu," batin Rosita. Dengan kaki tertatih-tatih wanita itu melangkah masuk ke dalam lift dan berdiri di samping Walter.
"Tuan, perusahaan ini sangat besar. Apa saya bisa bekerja di perusahaan ini?" Rosita memang sudah tidak sabar. Ia ingin cepat-cepat mendapat keputusan dari Walter.
Walter masih belum mau menjawab. Pria itu lebih memilih diam sambil memandang ke depan seperti sebuah patung.
Pintu lift terbuka. Pertama kali melangkah ke luar lift, Walter sudah di sambut dengan Vera. Wanita itu mengukir senyum ramah sebelum memandang Rosita. Ekspresi berubah saat itu.
"Tuan, siapa dia?" Vera lagi-lagi memandang fisik. Penampilan wanita itu serba pink dan sangat norak menurut Vera.
"Siapkan ruang rapat," perintah Walter tanpa mau menjawab pertanyaan Vera.
"Baik, Tuan," jawab Vera sembari menundukkan kepalanya.
Walter membawa Rosita ke dalam ruang kerjanya. Sebelum masuk ke dalam ruangan luas itu, Rosita sempat di buat kagum dengan dekorasi yang ada di sana. Kaca besar yang menunjukkan pemandangan kota menjadi icon utama di lantai tersebut.
Saat mendengar Walter berdehem, Rosita segera masuk ke dalam. Wanita itu berdiri di depan meja sambil memperhatikan Walter yang kini sudah mengeluarkan dompet.
"Berapa kurangnya?" tanya Walter tanpa mau banyak basa-basi.
Rosita lagi-lagi terpaku melihat wajah tampan Walter. Jika dalam posisi berhadapan seperti ini, wajah tampan Walter memang terlihat dengan jelas. Namun, ia cepat-cepat menyadarkan dirinya sendiri. "Uang yang anda berikan tidak cukup. Saya sudah ke dokter dan dokter-"
"Berapa kurangnya?" tanya Walter sekali lagi.
Rosita diam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu. "Sebenarnya saya butuh kerjaan. Jika kaki saya sudah cacat seperti ini. Mana ada perusahaan yang mau menerima saya." Ia mengambil sebuah dokumen dari dalam tas dan memberikannya kepada Walter. "Anda bisa baca CV saya. Siapa tahu anda sedang mencari pekerja yang kriterianya sama seperti saya."
Walter menghela napas kasar. Ia tidak suka membuang-buang waktu seperti ini. Tapi, entah kenapa hingga detik ini ia masih meladeni wanita yang ada di hadapannya. Dengan wajah tidak bersemangat Walter mengambil dokumen itu dan membukanya. Ternyata wanita yang berdiri di hadapannya memang wanita yang berprestasi. Ia lulusan perguruan tinggi nomor satu yang ada di negara ini.
"Apa kau pernah bekerja sebelumnya?"
"Belum. Hari ini interview pertamaku. Tetapi, anda telah menghancurkan masa depanku. Kakiku jadi cacat seperti ini," dustanya dengan wajah sedih.
"Kau ingin bekerja menjadi apa?" tawar Walter.
"Anda bertanya pada saya?" Wanita itu menunjuk dirinya sendiri.
"Apa ada orang lain selain kita berdua?"
"Tuan Walter, jika anda tidak keberatan saya ingin bekerja sebagai sekretaris pribadi anda," jawab wanita itu dengan senyuman.
"Baiklah. Di terima," jawab Walter santai.
"Apa? Anda serius? Semudah itu?" Rosita melebarkan kedua matanya. Tentu saja jawaban Walter sangat jauh dari apa yang ia bayangkan. Dia sudah menyiapkan sejuta rayuan untuk membujuk Walter agar mau menerimanya. Tetapi, belum juga satu jurus dikeluarkan, Walter sudah mau menerimanya bekerja.
"Ya, mulai sekarang kau bekerja sebagai sekretaris pribadiku. Namun, ada syarat yang harus kau penuhi selama bekerja di perusahaan ini."
"Apa syaratnya, Tuan?" tanya Rosita bingung. "Jangan bilang syaratnya harus jadi istri simpanan. Aku tidak semurah itu," gumamnya di dalam hati.
"Kau harus bekerja sambil memakai semua barang berwarna pink. Jika besok aku lihat, ada barang yang warnanya berbeda. Kau akan langsung saya pecat!"
"WHAT?" Rosita melebarkan kedua matanya. "Apa ini tidak salah? Memang ada perusahaan yang seperti ini?" gumamnya lagi.
"Kenapa? Ada yang salah?"
Rosita menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur sebelum memejamkan mata. Hari pertama bekerja menjadi sekretaris pribadi Walter memang sangat merepotkan. Di balik sifat Later yang terlihat galak, ternyata pria itu juga teliti. Rosita harus membuang semua barang yang warnanya tidak berwarna pink. Bahkan pulpen warna hitam yang biasa ia gunakan juga harus di ganti warna pink. Kini Rosita merasa seperti sedang di hukum. Walau warna pink memang warna favoritnya. Tetapi Rosita juga masih menyukai warna lain seperti putih dan biru.
"Tuan Walter sengaja pasti menyuruhku menggunakan barang serba pink agar satu perusahaan menertawakan ku. Sepertinya dia menerimaku bekerja agar aku menjadi badut dan bisa menghibur semua orang. Sekarang aku merasa terjebak. Mana kontrak kerja sudah aku tanda tangani lagi. Mana bisa aku mundur. Bisa-bisa aku di penjara karena tidak bisa ganti rugi."
Rosita menghela napas dan memandang langit-langit kamar. "Semakin di suruh memakai warna serba pink kenapa aku jadi semakin bosan melihat warna pink. Rasanya jadi ingin muntah!" keluh Rosita. Ia duduk dan melepas sepatu pink yang ia kenakan sebelum melepas stokingnya. Rosita ingin memasak sesuatu untuk mengisi perutnya yang lapar.
Masih dengan menggunakan blazer pink dan rok pink, wanita itu berjalan ke lemari pendingin untuk mencari bahan makanan yang bisa di olah untuk makan malam.
Rosita lagi-lagi menghela napas berat ketika melihat stok sayur dan ikan di kulkas telah habis. Ia menutup pintu kulkas dan melipat kedua tangannya.
"Uangku juga sudah habis. Jika aku belanja, besok mana ada uang untuk beli makan siang," ujarnya pelan.
Rosita kembali ingat dengan uang yang diberikan Walter tadi. Wanita itu cepat-cepat berlari ke tempat tidur dan mengambil tasnya. Ia mengukir senyuman ketika melihat segepok uang kini ada di genggamannya. Bukan hanya untuk beli sayur dan ikan saja. Tetapi, uang itu juga masih cukup jika dia ingin membelanjakan baju dan juga tas.
"Uang ini sudah sah jadi milikku. Itu berarti kau tidak perlu takut menggunakannya," gumam Rosita di dalam hati. Ia segera berlari ke lemari untuk ganti baju. T-shirt hitam dan celana panjang menjadi pilihannya. Rosita memandang penampilannya di cermin sebelum pergi.
...***...
Walter melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali ia memandang spion dan memperhatikan beberapa sepeda motor yang mengikutinya di belakang. Mereka semua bersenjata. Mengejar Walter karena mereka memiliki niat jahat terhadap Walter.
Sudah berulang kali Walter mengirim kode bahaya kepada anak buahnya. Sayangnya, tidak juga terkirim karena ada gangguan. Walter tidak mau mengusik Bos Fabio karena dia tahu pasti Fabio sedang bersama Lara.
Kini jalan pintas yang terpikirkan olehnya adalah kota. Walter mengarahkan stir mobilnya ke kota. Walau cukup beresiko, tetapi Walter berharap di kota ia bisa kabur dan bersembunyi agar tidak sampai tertangkap. Karena adu tembak juga tidak akan mungkin bisa menang. Musuh terlalu banyak dan senjata mereka canggih-canggih. Walter sama sekali tidak ada persiapan karena memang baru pulang dari kantor.
Walter tidak bisa fokus dengan laju mobilnya karena musuh semakin dekat. Ketika lampu berubah merah, pria itu tidak lagi sempat memberhentikan mobilnya. Rosita yang berniat untuk menyebrang di buat kaget ketika mobil Walter meluncur dengan begitu cepat. Anginnya sampai membuat debu di jalanan berterbangan.
Satu pengendara motor yang tadi mengejar Walter berhenti. Memang Rosita adalah wanita yang cantik. Penampilannya yang sederhana justru membuat pria tergoda.
Pria itu turun dari motor dan mendekati Rosita. Ia memegang tangan Rosita hingga membuat Rosita ketakutan.
"Apa yang ingin anda lakukan? Lepaskan saya!"
"Ikut dengan saya cantik," ajak pria itu dengan paksa.
Rosita terus berontak. Bahkan ia berusaha meminta pertolongan orang-orang di sana. Namun sepertinya tidak ada yang berani. Mereka semua tidak mau ikut terlibat. Rosita memukul pria itu dengan tas. Namun, memang pukulan Rosita tidak ada apa-apanya. Pria itu justru terlihat gemas dengan Rosita hingga ingin menciumnya.
Di detik yang sama, Walter menarik jaket pria itu dan menghajarnya. Rosita mundur dan hampir saja terjungkal ke belakang. Walter menarik tangan Rosita dengan tangan kiri sebelum menariknya. Beberapa detik mereka saling memandang sebelum akhirnya Walter melepas Rosita dan kembali mengahajar musuh yang telah berkumpul.
"Tuan Walter? Apa dia Tuan Walter? Dia muncul untuk menolongku?" gumam Rosita. Ia mengukir senyuman dengan rasa bangga yang begitu tinggi. "Tuan Walter benar-benar pria sempurna. Dia sudah tampan, kaya, jago berantem lagi."
Walter memukul satu persatu musuh yang ingin menembaknya. Kini senjata api musuh adalah target utama Walter agar dia tidak sampai tertembak.
"Tuan, berjuanglah! Saya ada di sini mendukung anda!" teriak Rosita.
Walter berhenti sejenak dan memandang Rosita. Pria itu mendengus melihat Rosita berdiri seperti suporter bola. "Apa dia pikir ini permainan?" umpatnya di dalam hati.
Seorang pria yang merasa tidak mau kalah segera menarik senjata apinya ketika Walter tengah asyik memukul rekan pria itu. Rosita melihat pria yang ingin menembak Walter. Wanita itu menggeleng ketakutan.
"Tuan, awas. Di samping anda!"
Walter memutar tubuhnya. Namun sayangnya tembakan itu sudah lebih dulu meluncur. Tangan kanan Walter harus berdarah ketika peluru itu mendarat. Rosita memejamkan matanya karena ketakutan.
Di detik yang sama, terdengar suara sirine polisi. Hal itu membuat musuh Walter kabur. Mereka cepat-cepat menghidupkan sepeda motor mereka dan pergi. Walter yang tidak mau ribet ketika berurusan dengan polisi juga memutuskan untuk pergi. Ia menarik tangan Rosita dan membawa wanita itu pergi menuju ke sebuah gang gelap. Walter sengaja tidak naik mobil karena dia tidak mau musuhnya mengikutinya lagi.
"Tuan, tangan anda," ucap Rosita sambil menunjuk tangan Walter yang berdarah.
Walter hanya diam saja sambil fokus ke jalan depan. Genggaman tangannya tidak juga dilepaskan. Pria itu seperti tidak mau sampai Rosita celaka apa lagi sampai berada dalam bahaya.
Karena Walter menarik tangan Rosita dan melangkah cepat, Rosita tidak bisa mengimbanginya. Hingga akhirnya wanita itu tersandung.
Walter menahan tubuh Rosita dan menatap wanita itu dengan tajam. Rosita sendiri hanya bisa membisu sambil terpaku menatap ketampanan Walter dari tempat yang temaram tersebut.
"Tu Tuan. Kita mau ke mana?"
Walter memandang ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan tempat itu sunyi, pria itu melepas Rosita dan duduk di sebuah kursi yang ada di sana. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau keluar sendirian saat sudah malam?"
"Saya mau belanja. Apartemen saya ada di sana," jawab Rosita sembari menunjuk gedung apartemen yang bisa di lihat jelas dari posisinya berdiri saat ini.
Walter mengeryitkan dahinya sebelum beranjak. "Ayo kita ke sana."
"Ke sana? Ke sana mana?" tanya Rosita bingung.
Walter menahan langkah kakinya sebelum menatap Rosita. "Apartemen!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!