Transfusi darah itu hampir usai. Cairan berwarna merah itu mengalir pada tubuh pria kecil yang pipinya mulai berwarna merah. Dia tampak lebih hidup dibanding sebelum menerima transfusi darah.
Tangannya tidak bergetar, ia diam saja kala sang perawat memasangkan jarum untuk melakukan transfusi tadi. Dia tidak takut lagi, baginya tusukan jarum sudah menjadi hal biasa bagi seorang pria sepertinya.
Sementara itu, wanita tua di sampingnya berdiri dengan wajah keriputnya yang semakin terlihat cemas dari waktu ke waktu.
“Nenek, apa ini masih lama?”
Sang nenek hanya tersenyum. “Bersabarlah.” Setelah itu dia keluar dari ruangan tempat transfusi darah dan menemui dua orang yang sedang menungguinya.
“Bagaimana dengan Dylan? Apakah dia bersedia untuk pulang?” tanya wanita tua tersebut pada kedua orang di sana.
“Kami belum berhasil menghubungi Pak Dylan, Bu,” ucap salah satu dari mereka.
“Kalau begitu istrinya, bagaimana?”
Keduanya pun menggeleng menunjukkan jawaban ‘tidak’ atas pertanyaan tersebut.
“Keterlaluan!” umpat sang nenek sambil melirik kondisi cucunya yang berada di dalam.
*
Sementara itu, masih di rumah sakit yang sama. Dari kejauhan, seorang mahasiswi menatap mereka bertiga. Tumpukan buku dalam pelukannya, disertai dengan sebuah tas bahu yang tersangkut di pundak.
Gadis itu cukup cantik, dengan bibir merah yang ranum tanpa perona. Pipi pucat tanpa perias dan bulu mata yang lentik tanpa alis. Wajahnya sangat sempurna bila dilihat.
Dia memberanikan diri untuk berjalan mendekat.
Tentu saja ketiga orang itu mengabaikan karena mereka tak saling mengenal.
Mencoba mencuri pandang, berharap bisa melihat kondisi seorang anak kecil yang berbaring di sana.
Pluk!
Sengaja ia jatuhkan buku. Dengan membungkuk, ia bisa melihat raut wajah nenek tua yang sedang menunduk itu.
Setelah ia mengambil buku tersebut, barulah ia menyadari. Jika sang nenek tak baik-baik saja. Segera ia membenarkan kacamata lalu berlalu dari tempat itu.
Gadis tersebut kemudian bersandar di dinding yang terdekat dari belokan lorong rumah sakit. Dia menepuk dadanya yang terasa sakit karena menahan rasa sedih.
“Jika nenek bersedih, itu artinya Rio tidak baik-baik saja,” gumamnya dengan khawatir.
Kemudian perlahan ia menunduk dan akhirnya berjongkok. Seandainya tak merasa malu, ia sudah menangis tersedu-sedu atau mungkin berlari dan masuk ke dalam kamar tersebut.
Namun apa mau dikata. Perjanjian adalah perjanjian. Dia sudah menandatangani kontrak tersebut saat tiga tahun yang lalu usai ia melahirkan Rio. Uang yang dijanjikan oleh ayah sang anak pun telah ia terima dan ia gunakan. Kini ia bisa berkuliah sambil memiliki pekerjaan yang mapan berkat uang dan juga koneksi yang diberikan oleh pria itu.
Akan tetapi, melepas anak yang telah dikandung dan dilahirkan tidak semudah itu. Ia harus mengendap-endap untuk melihat bagaimana kondisi Rio. Meski terkadang ia harus menyamar menjadi penjual susu kotak atau rela berganti shift dengan pengasuh day care tanpa digaji. Semuanya ia luangkan untuk bertemu dengan Rio, sang buah hati.
“Hubungi Dylan sekali lagi!” terdengar suara sang nenek yang sedang kesal.
Mendengar nama itu, ada yang berdesir dalam hatinya. Namun ia mencoba melupakan semua perasaan yang memang seharusnya tak ada. Pria itu sudah berbahagia bersama wanita yang menjadi istrinya. Sementara itu, dirinya hanyalah seorang wanita yang dipinjam rahimnya untuk dibuahi dan melahirkan anak untuk pasangan itu.
Bahkan ibu mertuanya sendiri yang kini sedang gelisah menunggui sang cucu, tak pernah tahu jika dirinya pernah menjadi menantu.
“Masih tak ada jawaban, Bu,” jawab seorang wanita dengan pakaian putih di sana.
“Apa dia sama sekali tak peduli pada anaknya?” gerutu sang nenek. “Aku benar-benar merasa sakit hati. Entah kenapa rasanya seakan aku dikhianati oleh anak sendiri,” lanjut wanita tua itu.
Pelayan perempuan yang ada di samping sang nenek pun mencoba membantu menenangkan kondisi hati wanita tua itu.
Seorang dokter pun keluar dari ruangan tempat Rio menerima transfusi darah. Dokter tersebut diikuti oleh seorang perawat dan mereka mencoba untuk berbicara dengan wali pasien.
Tentu saja, mahasiswi yang merupakan ibu dari sang anak ini ikut menguping apa yang dikatakan oleh dokter.
“Bu, sebenarnya ada cara untuk menyembuhkan Rio. Cara yang aman dan tidak berisiko, tapi mungkin membutuhkan waktu untuk melakukannya.” Dokter seakan memberikan kabar bahagia pada keluarga tersebut.
“Benarkah?” Wanita tua tersebut langsung menunjukkan antusiasnya. “Katakan, Dok! Saya akan mengikuti prosedurnya. Berapa pun biayanya, akan saya sanggupi. Tolong sembuhkan satu-satunya cucu saya! Saya mohon!” ucap sang nenek sambil memegang tangan sang dokter.
Dokter itu menepuk tangan nenek dengan hangat. “Bukan masalah biaya, Bu. Akan tetapi yang dibutuhkan untuk pengobatan Rio adalah darah dari tali pusat adiknya. Kita akan melakukan terapi sel punca untuk Rio.”
Wanita tua dengan kedua pelayannya itu sedikit melongo dengan ucapan sang dokter.
Kemudian dokter itu menyederhanakan ucapannya lagi agar ketiga orang ini mengerti. “Dengan kata lain, Rio harus memiliki seorang adik dari ayah dan ibu kandungnya, lalu kita menggunakan darah dari tali pusat sang adik untuk dijadikan obat bagi Rio.”
Sang nenek langsung mengangguk. Seakan mengeluarkan sinar dari matanya. Wanita itu benar-benar bahagia dengan kabar yang didengar.
“Cepat hubungi Dylan dan istrinya, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus memberi adik untuk Rio.” Sang nenek menggebu-gebu.
Sementara itu, gadis yang menguping hal tersebut tiba-tiba langsung gemetar sendiri. Seakan ia sedang bersembunyi dan seseorang akan menemukannya.
“Bagaimana ini?” Gadis itu tanpa sadar berjalan mondar-mandir di lorong rumah sakit. Seorang ibu mana yang tak ingin anaknya sembuh? Namun bagaimana mungkin ia memberikan obat yang dibutuhkan oleh Rio? Sementara dirinya sendiri sama sekali tak akur dengan ayah dari anak itu.
Tak lama kemudian, seorang pria datang dengan langkah yang sangat mencuri perhatian. Tubuhnya yang tegap, dadanya yang bidang, wajahnya yang tampan dan aura kesempurnaan yang ia pancarkan.
Wanita itu menoleh dan tatapan mereka bertabrakan.
Pria tersebut menatapnya dengan tajam sambil berlalu dan berpura-pura tak mengenal.
Sementara itu, sang wanita langsung menunduk dan membuang muka berharap pria itu tak kenal dirinya.
“Dylan! Akhirnya kau datang!” Wanita tua di depan ruangan tersebut langsung memanggil putranya yang baru saja datang.
“Kebetulan kau datang di saat yang tepat. Kenapa ponselmu tak bisa kami hubungi? Mana istrimu? Di mana wanita itu?” tanya sang nenek yang menyebut menantunya dengan sebutan ‘wanita itu’. Sebuah panggilan yang menunjukkan hubungan tidak harmonis di antara mereka.
“Ada apa dengan Rio?” tanya Dylan tanpa menjawab satu pun ucapan sang nenek. Wajahnya menatap pada sang ibu dengan begitu dingin. Dia hanya melirik pada anak kecil yang sedang terbaring dalam ruangan.
“Rio bisa disembuhkan!” ujar sang nenek mengatakan hal tersebut dengan antusias.
“Benarkah itu, Dok?” Pria itu kembali bertanya dengan nada yang datar.
“Benar, Pak Dylan! Rio bisa disembuhkan dengan obat yang diperoleh dari darah tali pusat adiknya. Dengan kata lain, Pak Dylan dan istri harus memiliki seorang bayi lagi demi menyembuhkan Rio,” papa sang dokter yang membuat air muka Dylan berubah.
“Bagaimana, Dylan? Kau dan istrimu masih bisa memberikan adik untuk Rio, kan?” tanya sang nenek penuh harap. Dia sangat menyayangi cucunya yang akan menjadi pewaris keluarga.
Otomatis jika dengan cara ini, maka baginya ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui. Ia mendapat cucu baru dari anaknya sekaligus kesembuhan untuk cucu pertamanya.
“Pak Dylan, Anda tidak keberatan, kan?” tanya dokter menunggu jawaban dari pria tampan tersebut.
Bukannya menjawab dengan ya atau tidak, pria tersebut malah menyebutkan satu nama. “Anyelir!”
Langit sore dengan kemilau jingga. Dalam sebuah gang kecil dengan cahaya kuning dari lampu yang redup. Wanita itu berjalan untuk menuju kontrakannya. Sebuah rumah kecil yang ia sewa untuknya tinggal di ujung gang ini.
Miauw miauw
“Hai, Dydy,” sapanya pada kucing yang berada di tepi jalan.
Dia mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. “Aku sengaja menyisakan dagingnya untukmu, Dydy.”
Kucing yang dipanggil Dydy itu sama sekali tidak menyentuh makanan yang diberikan olehnya.
“Anyelir, kau selalu memberi makan untuk Dydy,” ujar seorang wanita tua yang tinggal di samping rumahnya. Wanita ini merupakan sang pemilik kucing.
“Ah, tidak apa. Aku menyukainya. Ya, aku menyukai Dydy.” Anyelir menahan rona pipinya seakan ada maksud lain dari ucapan itu.
“Dia tidak akan langsung memakan daging pemberianmu sebelum kau pergi. Kucing ini memang benar-benar menunjukkan peribahasa malu-malu kucing.” Wanita tua itu terkekeh lalu pergi.
“Dydy, jika kau sudah makan, ayo masuk ke rumah!” titahnya sambil melangkah.
Sementara itu Anyelir melihat kucing gembul berkelamin jantan yang masih belum menyentuh makanannya. “Baiklah, baik! Kalau begitu aku akan pergi dulu, selamat menikmati makanannya.”
Benar sekali, ketika Anyelir telah pergi, si kucing bernama Dydy itu menghabiskan daging miliknya.
Sepatu pun disimpan dalam rak. Lalu Anyelir segera mencari kunci dari tasnya. Dengan tergesa, dirinya mengeluarkan kunci tersebut dan membuka pintu.
Suara derit pintu diikuti suara langkah kaki pun terdengar.
Ctak!
Dia menekan saklar untuk menyalakan lampu. Cahaya jingga yang masuk melalui jendela, tak bisa membuat penglihatannya sempurna dalam ruangan.
Anyelir berjalan kembali menutup pintu, ia mendengar suara mobil dari belokan menuju ke arah gangnya. Namun dia tak seperti tetangga lain yang selalu penasaran bila mendengar suara mobil.
Wanita itu tak tertarik dan memutuskan untuk mengganti baju.
Sebelum itu, mahasiswi kedokteran tersebut mengambil baju ganti dari lemari. Ia membuka daun pintu lemari miliknya, namun bersamaan dengan suara pintu lemari yang dibuka, dia juga mendengar derit pintu rumahnya terbuka.
“Haa ...!” Menjeritlah wanita itu begitu ia sadar ada seseorang masuk ke dalam kontrakannya tanpa izin.
Seorang pria dengan tinggi melebihi pintu rumahnya masuk begitu saja. Dia membungkukkan badan karena langit-langit itu hampir menyentuh kepalanya.
“Dylan ...?”
Mata Anyelir terpaku dan tubuhnya membeku. Wanita itu terkejut melihat kedatangan pria yang tak diduga akan menginjakkan kaki di rumahnya.
“Apa yang kaulakukan pada ibu dan anakku?” Dengan suara yang dingin dan tatapan mata tajam, dia memberi pertanyaan pada Anyelir.
Itu hanya sebuah pertanyaan, namun seakan ada sebuah paku yang menancap begitu dalam mengiringi pertanyaan tersebut.
“Kau pasti mempengaruhi dokter agar mengatakan hal tersebut, kan?” tuduh pria itu secara langsung.
Anyelir menggelengkan kepalanya. “Aku tidak melakukan apa-apa,” jawabnya yang tentu saja tak memuaskan Dylan.
“Aku tadi melihatmu di rumah sakit, kau pasti bekerja sama dengan dokter itu.”
Lagi-lagi, Anyelir menggeleng. “Aku sama sekali tidak menemui mereka. Aku juga tidak mengerti maksudmu,” elaknya.
“Jangan berbohong! Kau pasti mendengar ucapan dokter tadi, kan?” tuduh Dylan. Pria tersebut pun mendorong Anyelir hingga tersudut ke dinding. Kemudian, dirinya meletakkan sebelah tangan tepat di sisi telinga kanan wanita tersebut.
“Kau merencanakan hal ini, bukan?” tuduhnya lagi dengan suara berbisik tepat di samping telinga Anyelir. Suara Dylan yang sudah lama tak ia dengar itu kembali menggetarkan kalbu.
Ketika dulu, pria ini sempat mengisi hatinya. Namun semuanya hanya angan semata. Ia sudah tahu jika Dylan telah menikah, tapi ia tetap mau mengandung anaknya dan menerima benih pria tersebut melalui bayi tabung.
Anyelir spontan menggeleng. Apa pun tentang tuduhan Dylan padanya, wanita ini sama sekali tidak seperti yang pria itu bayangkan.
Tapi sakit hati Anyelir tak sampai hanya pada tuduhan tersebut.
“Baiklah!” Dylan pun berdiri menjauh dari Anyelir. “Selama ibu dan seluruh keluargaku tak tahu tentang Rio dan kelahirannya, aku kini memaafkanmu!”
Anyelir masih menunduk. Matanya berkaca-kaca menahan air mata.
Apa yang diucapkan Dylan?
Memaafkan Anyelir?
Memang apa yang dilakukan oleh wanita itu?
Dylan hanya seorang makhluk egois yang selalu menganggap orang lain salah di matanya. Dan sayangnya, Anyelir terlanjur jatuh cinta padanya, meski ia tahu luasnya samudra dan tinggi gunung, membentang dan menghadang perasaan wanita itu pada Dylan.
“Jika itu memang satu-satunya yang bisa menyembuhkan Rio, maka aku setuju melakukannya. Kita buatkan adik untuk Rio! Kau, kan, mahasiswi kedokteran. Kau pasti lebih paham akan hal itu,” ujar Dylan padanya.
Anyelir masih diam tak menjawab. Hanya karena dirinya adalah mahasiswi kedokteran, dia dituduh menyusun rencana ini untuk penyembuhan Rio.
“Berapa uang yang kau butuh?” tanya Dylan padanya.
Kemudian dia mengeluarkan selembar cek dan melemparnya pada Anyelir.
“Kau isi sesuka hatimu saja. Kali ini, mau kau isi dua kali lipat atau bahkan lima kali lipat dari yang kau minta kemarin pun tak apa. Akan kuberikan untuk ibu yang telah mengandung anak-anakku,” pungkasnya dengan senyum tampan dan lesung di pipi kanannya. Namun itu bukan senyum yang meluluhkan hati, melainkan senyum licik dari seorang pria yang tak pernah memikirkan perasaannya.
“Ah iya, kita mulai programnya dengan konsultasi terlebih dahulu pada dokter kita sebelumnya. Aku pikir kita tidak perlu menikah siri seperti dulu. Kau mau, kan, jika kita langsung saja membuat program bayi tabung anak kedua?” ujar Dylan tanpa seakan beban dan dosa.
Anyelir masih diam dan tak mengambil cek itu sama sekali. Ia biarkan lembaran itu tergeletak di atas lantai menyentuh ibu jari kakinya.
“Kenapa? Kau tidak tertarik?” Dylan mengerutkan kedua alisnya. Ia pun berjongkok dan mengambil cek itu. “Mau aku yang mengisi?”
“Aku tidak sudi!” jawab Anyelir dengan lantang tanpa menatap pria tersebut.
Dylan langsung menatap pada Anyelir yang sedang menunduk. Pria itu pun langsung berdiri dan melepas jasnya. “Apa ini yang kau inginkan?” tanyanya sambil tersenyum miring.
Ia berjalan ke arah pintu untuk menutup dan menguncinya. Kemudian ia longgarkan dasi dan melepasnya.
“Anyelir, apa tujuanmu mengajukan ide tersebut selain uang? Aku sungguh bodoh tak bisa mengiranya.” Pria itu pun menyentuh kedua pundak Anyelir dan menekannya semakin ke dinding.
“Apa yang kau lakukan?” tolak Anyelir sambil meronta.
Dylan tak mendengar apa yang dikatakan Anyelir. Ia terus mencoba menyerang pipi wanita itu dengan ciuman. Namun Anyelir menghadang hal itu dengan kedua tangannya. “Hentikan!” jeritnya.
“Kalau bukan ini lalu apa lagi yang kau inginkan?” Tangan Dylan berusaha menurunkan bahu Anyelir untuk menyentuh lehernya.
Namun yang terjadi, malah sebuah tamparan keras mendarat ke pipinya.
Plak!
Rasa panas menjalar dari pipinya. Matanya menatap nanar pada gadis yang baru saja menampar dirinya.
“Pergi!” usir Anyelir pada Dylan. Meski ia tak percaya dengan kedua tangan yang baru saja menampar pipi pria tersebut, namun kali ini ia masih berani mengusirnya.
Dia memang pria yang ia suka. Namun terlalu banyak duri yang telah ditancapkan dalam hatinya.
Sesampainya di rumah, Dylan bahkan masih memikirkan apa yang baru saja dilakukan oleh Anyelir padanya. Pria itu mengusap pipinya yang masih terasa perih dan memerah.
“Berani juga dia!” ujarnya sambil bercermin.
“Kau sudah pulang ternyata,” ucap seorang wanita yang baru saja masuk ke kamar. Wanita itu dengan santainya melepas sepatu dan mengangkat gaun yang ia kenakan.
Dylan menoleh untuk melihat wanita itu. “Justru aku yang harusnya bertanya, bukankah kau pulang terlalu sore?”
Wanita itu tersenyum dan mengambil bathrobe. “Aku gerah, aku mandi dulu!” pamitnya tanpa peduli dengan pertanyaan Dylan.
Merasa diabaikan, maka Dylan tak akan tinggal diam begitu saja. Ia pun menahan pintu kamar mandi dan menghalangi sang istri untuk masuk ke dalam kamar mandi.
“Kau mau apa?” tanya wanita itu dengan santai.
“Andin, aku juga belum mandi. Apakah kau tidak mau jika kita melakukannya bersama?” Dylan tersenyum nakal pada sang istri dan mencoba membuka bathrobe wanita itu hingga pundaknya terlihat.
Wanita itu melirik ke arah tangan suaminya yang hendak nakal di sana. Namun dengan sigap ia menggerakkan bahunya hingga kain handuk itu menutup pundaknya lagi. “Kalau kau sudah sangat gerah, kau boleh mandi terlebih dahulu. Aku akan mencari udara segar di luar rumah.”
Andin berbalik meninggalkan Dylan yang masih berdiri di depan pintu.
Pria itu bukannya mandi terlebih dahulu, ia malah mengikuti istrinya untuk berjalan ke arah balkon kamar dan sama-sama berdiri di sana.
“Apa yang terjadi di tempat kerjamu?” tanya Dylan sambil memeluk Andin dari belakang. Dia bisa menerka jika istrinya seperti ini, maka artinya sedang ada sesuatu yang terjadi di tempat kerjanya.
Andin diam saja tak membalas pelukan dari suaminya. “Dylan, aku dengar ada cara untuk menyembuhkan Rio. Apa itu benar?” tanya wanita itu sambil berusaha melepaskan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya.
“Ya, benar. Kau tak perlu khawatir dengan itu.” Pria tersebut tak berusaha memberitahu cara apa yang perlu digunakan untuk menyembuhkan Rio.
Andin memang sudah tahu siapa ibu kandung Rio. Ia juga sudah tahu mengenai kesepakatan antara Anyelir dan suaminya. Semua itu terjadi karena keinginannya juga.
Namun untuk hal ini, Dylan tak ingin Andin tahu.
Untuk mendapatkan Rio, Dylan sudah terpaksa menyakiti hati istrinya. Maka tak mungkin ia akan menyakiti hati wanita ini untuk kedua kalinya.
“Apa yang akan kau lakukan? Melakukan hal yang sama seperti yang sebelumnya?” tanya Andin sambil menatap pria di depannya.
“Apa maksudmu?”
“Ibumu sudah memberitahu semuanya padaku,” jawab Andin sambil tersenyum miring.
Dari nada ucapan Andin, kini Dylan tahu, jika yang memperburuk suasana hati istrinya bukanlah masalah pekerjaan. Melainkan itu adalah ucapan sang ibu yang selama ini tak menyukai sang istri. Dylan tahu pasti tentang hal ini.
“Ah, begitu.”
“Kau sudah membuat kesepakatan dengan wanita itu lagi? Tanpa persetujuanku?” terka Andin langsung tanpa basa-basi.
Dylan terkejut seakan tertangkap basah. Padahal ia tidak selingkuh.
“Aku belum membuat kesepakatan apa-apa. Aku bersumpah.” Untung saja perjanjian tadi tidak disetujui oleh Anyelir, sehingga sumpahnya kali ini bukanlah sebuah kebohongan.
“Kau tak perlu segugup itu.” Andin meletakkan kedua telapak tangan di depan dada suaminya.
“Dylan, aku sudah memutuskan,” ucap Andin lagi.
Entah mengapa, Dylan yang mendengar hal ini merasakan pertanda tidak baik.
“Nikahi saja perempuan itu, akui semuanya di depan ibumu. Aku lelah!” ujar Andin dengan kalimat yang tak terduga. Namun sedikit pun wanita itu tidak menunjukkan raut wajah marah. Ia terlihat baik-baik saja.
“Ndin, apa maksudmu? Jangan sembarangan bicara,” tolak Dylan pada ide yang diutarakan Andin.
Apa dia sudah gila harus menceraikan istri yang ia cintai?
Selama bertahun-tahun pria itu mencari cara untuk tetap menikahi Andin dan menuruti keinginan ibunya. Saat itu Andin bersikukuh tak ingin melahirkan, sementara ibunya sangat menginginkan pewaris dalam keluarga.
Jalan keluar yang ia dapatkan melalui Anyelir adalah satu-satunya cara. Ia pikir, mereka telah melalui semuanya dengan sempurna, namun ternyata ada hal tak terduga.
Rio sakit dan satu-satunya penyembuhan adalah dengan mengulang semuanya. Kembali bersama Anyelir.
Akankah kerja sama terbentuk lagi dengan wanita itu?
Namun sepertinya Anyelir sendiri malah muak dengan pria berperilaku buruk seperti Dylan.
*
Makan malam di keluarga itu terasa berbeda. Seorang anak yang lebih ceria dari sebelumnya dan seorang nenek dengan tatapan penuh harapan.
Meski pasangan suami istri di depan mereka justru terlihat suram, namun tak ada yang menyadari itu karena mereka kini sedang merasa bahagia akan kabar dari rumah sakit tadi.
“Jadi ... bagaimana, Dylan? Kalian sudah berunding mengenai hal yang kita bicarakan di rumah sakit tadi?” ujar sang nenek membuka percakapan.
Selain suara alat makan, suara percakapan mereka kini juga meramaikan ruangan.
“Apa itu artinya aku akan memiliki adik?” tanya Rio kecil yang terlihat antusias membicarakannya.
"Dylan? Kau akan lebih memilih Rio daripada harus menunda kehamilan lagi, kan?” tawar wanita tua itu.
Dia sangat tahu jika menantunya ini tak ingin hamil karena takut proporsi tubuhnya berubah, sementara dirinya adalah model profesional yang harus selalu menjaga bentuk ideal tubuh.
Maka dari itu, sejujurnya wanita tua itu cukup syok begitu mendengar Andin hamil saat itu. Namun Dylan menyembunyikan hal tersebut dengan membawa istrinya untuk tinggal di luar negeri dan mereka kembali setelah bayi Anyelir lahir. Mereka bersandiwara seakan Rio adalah anak kandung dari Andin yang lahir dari rahimnya.
Karena keduanya terdiam, ibu dari Dylan itu lagi-lagi bertanya. “Apa jangan-jangan Andin sudah mensteril kandungannya?” tanya wanita tua tersebut.
Prang!
Seketika Andin membanting sendoknya ke atas piring. “Maaf,” ucapnya dengan enteng.
Namun hal tersebut justru memancing perhatian yang lain.
“Apa perkataanku benar, Ndin?” tanya sang mertua.
“Ibu!” ucap Andin dengan tegas sambil menatap mata mertuanya. “Saya akan bercerai dengan Dylan.”
“ANDIN!” sentak Dylan di depan anaknya.
Rio seketika langsung turun dari kursi dan mendekat pada neneknya.
“Aku sungguh-sungguh. Biar Dylan yang menyelesaikan masalah ini, termasuk ... obat untuk Rio,” ucapnya sambil melirik pada anak kecil yang tengah bersembunyi itu.
Wanita itu pun langsung meninggalkan ruang makan.
“Apa-apaan kau, Ndin?” ujar Dylan sambil mengikuti langkah Andin.
Tak hanya Dylan, wanita tua itu juga terkejut atas ucapan menantunya. Seketika wanita itu diam mematung dan tak mampu berkata-kata. Apa ia baru saja merusak rumah tangga putranya?
Wanita tua itu pun menitipkan Rio pada sang asisten rumah tangga. Kemudian dia diam-diam mengejar putranya yang sedang berbicara dengan sang istri.
“Kenapa, Dylan? Kau takut ibumu marah?” tanya Andin begitu mereka sampai di kamar.
“Andin, tapi bukan begini caranya. Kita tidak boleh bercerai, tidak!” tolak Dylan karena ia masih sangat mencintai wanita itu.
“Dia sudah marah sebelum kita jujur tentang Rio itu anak siapa? Jadi untuk apa ditutupi? Kita terus terang saja,” ucap Andin yang sudah mulai tak terkontrol.
“Aku lelah hidup seperti ini, Dylan. Hubungan berpasangan yang menjadi impianku bukan begini. Aku salah memilihmu, karena keluargamu sangat menuntut anak dan pernikahan. Seharusnya aku memilih pria yang bersedia menjalani hubungan tanpa pernikahan,” sesal Andin di depan sang suami.
Sementara itu, Dylan masih saja menggelengkan kepala. “Aku tidak akan pernah menceraikan dirimu. Ke ujung dunia pun akan kukejar kamu! Sekali lagi saja, aku mohon.”
“Tidak ada sekali lagi. Aku tak mau melihat suamiku memedulikan kehamilan wanita lain. Ya, meski nantinya bayi itu akan menjadi milikku. Namun bohong jika aku berkata tidak cemburu. Tidak, Dylan! Terima kasih.”
“Andin, aku mohon!”
Wanita itu tak mendengarkan dan sibuk menurunkan koper untuk kemudian menata isinya.
“Biarkan Anyelir mengandung adik untuk Rio. Aku berjanji tidak akan memedulikan dia sama sekali!”
Andin menutup koper dan menatap pada pria tersebut dengan wajah serius. “Jujurlah pada ibumu, jika Rio adalah anakmu dengan Anyelir. Sementara aku bukan ibu kandungnya!”
Wanita itu meninggalkan Dylan yang berdiri di kamarnya dan segera keluar dari rumah.
Kejadian itu dilihat oleh para pegawai di rumah tersebut, lalu ... yang paling fatal, Nyonya Lastri, sekaligus ibu dari Dylan juga mendengar itu semua.
Saat Dylan hendak berlari mengejar istrinya, wanita tua dengan rambut penuh uban namun tubuh yang masih tegap itu menghadangnya.
Dylan hendak menerobos saja sang ibu, namun Nyonya Lastri memberikan tatapan tajam pada dirinya. Ingin sekali dia tidak menurut, hanya saja saham miliknya masih berada di bawah kekuasaan wanita tua itu.
“Ibu ... aku mau ....” Dylan hendak berpamitan namun wanita tua itu terlihat tak peduli.
Bukannya mengizinkan ataupun melarang, wanita itu malah bertanya pada Dylan. “Siapa Anyelir?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!