Di sebuah rumah kecil dan sederhana terdapat dua manusia yang sedang adu mulut.
Dia, dan Ibunya, Bu Ita. Tak mau ada yang mengalah, bukan pertengkaran di antara mereka berdua, melainkan saling adu mulut, bukan tanpa alasan. Setiap Bu Ita menyuruh Dia ke toko, yang di bawa pulang bukan lah sesuai yang di perintah kan oleh Ibunya, tetapi beberapa jajanan lah yang di bawanya. Sehingga membuat Ibunya kesal dan darah tinggi di buatnya.
Dia atau yang di sapa De, gadis berusia 17 tahun, ia tak melanjutkan sekolahnya meski Ibunya memaksa untuk tetap melanjutkan namun. Dia tak mau jadilah hanya tamatan SMP, namun semua itu tak membuatnya malu dalam melakukan semua pekerjaan untuk bisa membantu Ibunya. Dia anak bungsu dari Bu Ita, dan anak sulungnya yang bernama Edo.
Dua saudara namun berbeda karakter, jika Dia pecicilan dan agak somplak, sebaliknya Edo Kakak dari Dia, jarang tersenyum dan cukup sulit di ajak bercanda jika hatinya kekurangan sajen alias sedang tidak cocok dengan lawan bicaranya.
Di dalam rumah.
"Ampun ya, Mak punya anak kek kamu, lama-lama Mak masukin lagi elu ya." Ucap Bu Ita, karena kedua anaknya memanggilnya Mak.
"Elah Mak, emang muat itu jalan, buat masukin De lagi," jawab Dia.
"Kenapa sih Mak harus punya anak kamu, buat darah tinggi saja." Ujar Mak nya Dia.
"Tinggal beli ngapa harus ribet sih," sungut Dia santai.
"Eh buset enak bener mulut mu kalau ngomong, orang di suruh beli gula sama kopi mentah malah yang di bawa pulang kopi sama snack." Ucap Mak Ita geram.
Nah keluar kan taringnya Mak gue.
"Kenapa elu diem, dasar anak somplak. Di otaknya cuma jajan dan jajan mulu, heran Mak, bisa-bisanya punya anak modal gini." Ucap Mak Ita sambil menghela nafas dalam-dalam lalu di keluarkan dan tarik nafas lagi.
"Maaak!" teriak Dia.
"Apa lagi sih kamu. Mau Mak kena setrup,"
"Mak kentut bau comberan."
"Dan satu lagi, bukan setrup tapi setruk." Dia menjelaskan.
"Nah iya itu maksud Mak, orang kentut di ributin. Udah sana kembali ke toko Beliin Mak Gula lagi, awas kamu ya kalau pulang yang kamu bawa bukan gula, melainkan barang lainya. Mak pecat kamu jadi anak terus Mak remet-remet udah gitu Mak masukin lagi," ancam Mak Ita.
Kalah kalau macan mah sama Emak gue, asli garang, hii.
"Ya udah masukin lagi nih, siapa tau entar ada orang kaya nyasar terus ngadopsi De, Mak."
"Buset, bener-bener kamu ya."
"Mak,"
"Apa lagi."
"Bapak dulu meninggal pasti gara-gara Mak," ucap Dia.
"Lha kenapa Mak yang disalahin." Jawab Mak nya De.
"Iya lah, orang Mak garang udah mirip Singa betina, makanya Bapak meninggal karena kagak kuat."
"Diaaaaaaaa, dasar anak durhaka."
Mak ita langsung mengeluarkan taringnya pada Dia, karena Dia yang sudah berlari setelah mengejek Mak nya.
Habis kena omelan Mak nya, Dia berlari ke arah pintu keluar karena tadi Mak nya menyuruhnya untuk kembali ke warung, karena ulahnya yang teringat akan jajanan di toko jadilah dirinya khilaf.
Huh ... Huh ... Huh.
Dengan nafas yang ngos-ngosan Dia menghela nafas lega.
"Syukur, kalau gak lari bisa-bisa patah ini kuping di tarik sama Emak, ngidam apa sih Nenek dulu pas ngelahirin Emak, bisa garang gitu ya mirip singa." Gumam Dia disepanjang jalan dengan sesekali tersenyum karena sukses membuat Emak nya berteriak.
Saat Dia lagi asik berjalan untuk menuju ke dalam toko tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang.
Bruk..
"Auh, sial amat sih." Gerutunya sambil mengusap kepalanya yang terbentur.
"Hye bocah jalan itu pakai mata. Jangan asal jalan," ucap lelaki yang di perkirakan sekitar umur 30 lebih.
"Hye juga Om, emang ada ya orang jalan itu pake mata, setau ku jalan itu pake ini nih kaki." Jawab Dia sambil menunjuk kakinya.
Pria dewasa itu langsung mendelik kan matanya ke Arah gadis yang berada di hadapannya.
"Awas Om, nanti copot itu bola mata." Dia berucap pada lelaki dewasa tersebut.
"Dasar bocil edan."
"Dasar Bapak-Bapak gak waras," sungut Dia.
"Kapan Saya nikah sama Ibu kamu," tukas pria itu.
"Lha si Bapak lupa ya, kan baru kemaren." Jawab Dia.
Ck ... Ck ... Terlihat raut kesal tercetak di wajah lelaki itu.
"Hye bocah, kamu ya gak ada sopan-sopan nya sama orang yang lebih dewasa," gertak lelaki dewasa itu.
"Bodoh amat, orang Bapak yang salah, eh saya juga yang di marahin."
"Moga entar gak dapat istri model kek ini anak," gumamnya. Namun ucapannya terdengar oleh Dia.
"Hi, amit-amit juga saya punya suami model kek Bapak, saya masih muda mana ada saya suka pria model Bapak."
Wlek..
"Moga sumpah mu jadi nyata, kalau beneran nanti saya remet-remet saya jadiin perkedel terus saya masukin ke mesin cuci, lalu saya berikan sama anjing sa ...."
Stop.
Alhasil Dia pun berlari terbirit-birit dan tidak jadi membeli gula seperti yang di suruh Emak nya, karena membayangkannya saja sudah membuatnya merinding apalagi kalau sampai beneran jadi istrinya pria gesrek itu.
Hii, serem.
"Ih, amit-amit gue punya suami kek dia." Gumam Dia, lantas ia berjalan sambil bergidik ngeri lalu dirinya baru ingat akan sesuatu.
"Astaga, bisa jadi perkedel beneran ini, kalau sampai pulang tak jadi bawa gula." gerutunya.
Jadilah Dia kembali ke toko, dan berharap pria tua itu sudah tak berada di sana.
Huf, syukurlah orang itu udah minggat, gumamnya dalam hati.
Gula yang di pesan Mak nya sudah di beli, dengan bersenandung lirih menyanyikan lagu yang berjudul (Soledad) entah dari mana tiba-tiba saja dirinya meneteskan air mata karena teringat akan Almarhum Bapaknya.
Sesampainya di rumah.
De pun, memberikan kresek berwarna hitam pada Emaknya, dan tak berani menatap orang yang sudah melahirkannya, hanya tertunduk dengan wajah yang basah oleh air mata tanpa di ketahui oleh Emaknya.
"De, apa tokonya sudah pindah, jadi kamu kesasar," ucap Mak Ita.
"Tidak," Dia berkata dengan suara lirih.
"Terus kamu kemana saja, hampir setengah jam Emak menunggu, dasar bocah kalau di suruh musti gak pernah bener."
Tamat lah riwayatmu Dia, terkena semburan maut Emak lu.
Kenapa ini bocah tumben diem kagak jawab, batin Mak Ita.
"Kenapa elu bocah,"
"Huaaa ... Mak,"
Dia pun langsung memeluk emaknya, tapi yang di peluk bukannya membalas pelukannya, malah menggaruk kepalanya yang di rasa tidak gatal, dan sesekali mengerutkan dahinya.
"Assalamualaikum," terdengar suara dari balik pintu luar yang sedang mengucap salam, dan buru-buru Mak Ita melepaskan pelukan Dia.
"Kenapa di lepas sih Mak, orang belum puas juga," kesal De.
"Emang kamu kagak denger ya, ada suara orang mengucap salam." Jawab Mak Ita.
Tok.
Tok.
Tok.
"Kaga budeg kan kamu, noh denger lagi ada suara ketukan, udah sono dasar lebay."
Elah, niat mau nostalgia malah dikatain lebay, nasib elu De, apes.
Ceklek.
"Waalaikumsalam," timpal Mak Ita.
"Kenapa pakai di kunci segala sih Mak, kayak orang takut di tagih utang," sungut Edo, anak sulung Mak Ita, yang sepulang dari kerja.
"Ini pasti kelakuan adikmu yang ngunci," jawab Mak Ita.
"Kampreet!" teriak Edo pada De.
"Apa sih elu Paijo teriak-teriak," sahut De, yang berada di ruang tengah.
"Dateng-dateng kagak bawa makanan malah teriak-teriak udah mirip kek tarsan," ucap Dia lagi.
"Eh dasar elu kampret ya, ngapain pintu pakai di kunci segala," sungut Edo, yang merasa kesal akibat ulah adiknya yang menutup pintu, hingga akhirnya Edo pun harus menggedor nya.
Hehehe.
Yang di tanya hanya tertawa sambil menggaruk kepalanya.
"Idih di tanya bukan jawab malah cengengesan kagak jelas," ucap Edo lagi.
"Habis ke sambet adikmu tadi, makanya bisa begitu," sahut Mak Ita tanpa menoleh.
"Buset Mak! Kira-kira dong, masa cantik-cantik begini di bilang ke sambet," dengan raut wajah yang kesal dan memonyongkan bibirnya seakan Dia, adalah anak kecil yang sedang merajuk.
"Cantik dari hongkong," jawab Emaknya.
"Oh, iya ya. Orang Emaknya modal begini, pantas anaknya jelek," timpal Dia.
"Eits. Gak boleh marah pada dasarnya emang nyatanya seperti itu, ngaca saja noh hidung Emak rata."
Sebelum kena jewer lari ah, batin De.
"Dasar anak durhaka kau ya, awas saja nanti habis itu kuping ya."
"Bener-bener itu anak ya gak ada sopan-sopan nya sama orang tua" gerutunya sambil berjalan ke arah dapur setelah berteriak akibat ulah Dia.
Dan Edo pun hanya menggelengkan kepala dan sesekali berdecak, karena melihat dua wanita yang sudah mirip tom dan jery itu.
Sore telah lenyap dan berganti dengan gelapnya malam, dan saat ini mereka sudah berada di ruang TV, sambil menikmati makan malam, dan mereka bertiga duduk di bawah beralaskan karpet.
"Mak, besok bawain bekal ikan pindang terus di masak sambal ya," ucap De, yang tiba-tiba mengeluarkan suara, karena semenjak tadi mereka hanya terdiam.
"Boleh, tapi kamu harus bantuin Emak." Jawab Mak Ita, pada anaknya.
Setelah itu tak ada obrolan di antara mereka bertiga.
Oh ... Dia ... Dia ... Oh ... Dia ... Dia.
"Woi, lama-lama gue banting juga ponsel elu!" bentak De, pada Kakaknya Edo.
Karena terdengar bunyi Handphone milik Kakaknya membuat Dia kesal.
Bukan karena apa, melainkan nada dering yang membuat Dia jengkel.
"Apaan sih elu kampret, Handphone-handphone gue juga elu yang nyolot." balas Edo.
"Ganti gak nada deringnya!" seru De.
"Ogah, orang gue suka," jawab Edo.
"Dasar kampret,"
"Elu yang kampret"
Elu.
Elu.
"Diamm!" teriak Emaknya pada mereka berdua , karena sedari tadi adu mulut dan tak ada yang mau mengalah di antara Kakak beradik itu.
"Apaan sih Mak," ucap mereka berdua bersamaan.
"Denger suara aneh kagak?" tanya Mak Ita pada kedua anaknya.
"Suara aneh apaan," jawab Edo.
"Suara apaan emang," ucap mereka berdua lagi.
Brutt, tut. Tut.
"Emakkkkk!"
"Berisik."
"Suara kentut Mak, jijik. Kayak orang lagi diare," protes Dia, dan Edo.
"Mau lagi," ucap Emak nya dengan tanpa dosa dirinya buang gas beracun dengan seenaknya.
"Kagak mau." Dia pun berdiri, dan tak berapa lama Kakaknya pun ikut berdiri karena harus mengangkat telepon.
"Makan tuh kentut, siapa suruh berantem mulu." gumam Mak Ita, sambil tersenyum karena merasa puas telah memberikan pelajaran untuk anaknya. Itu karena terusik di saat dirinya sedang asik menonton TV dengan acara yang berjudul Azab.
Nah gini kan aman gak ada yang gangguin, Batinnya dalam hati.
Sedangkan Dia yang sudah masuk kamar, kini keluar lagi karena ada yang ketinggalan.
"Mak," panggil Dia pada Emak nya.
"Apa!" jawab Emak nya Dia.
"Hati-hati Mak, nanti Emak kena Azab juga gara-gara kentut sembarangan." Setelah menakut nakuti Emaknya Dia pun kembali ke kamar dan menutup pintunya.
Brak.
Siapa sangka jika Emaknya marah dan melempar sandal kearahnya namun bukan mengenainya malah mengenai pintu.
Jam yang berada di gawai milik Dia, sudah di angka 22:00, namun dirinya sulit untuk memejamkan mata. Sedangkan semua penghuni selain dirinya sudah tak terlihat melainkan sudah berada di kandang masing-masing.
Tak bisa memejamkan mata membuat Dia, keluar kamar untuk membuat secangkir kopi hitam, untuk menemaninya berselancar di dunia maya.
Saat dirinya membuka aplikasi berlogo biru itu, sepertinya ada sosok yang sempet di temui nya tadi siang. Rasa penasaran pun kian menggebu, untuk memastikan jika lelaki dewasa itu memang orang yang sama yang menabraknya siang tadi, akhirnya Dia membuka profilnya.
Dan benar saja akun yang lewat di berandanya ternyata memang lelaki yang berada di toko siang tadi. Terlihat ada postingan baru dengan caption.
[Semoga saat bertemu jodohku untuk yang kedua kalinya, tidak seperti bocah gesrek tadi siang.]
Seperti itulah postingan yang yang di unggah oleh lelaki itu.
Ada limapuluh lebih yang berkomentar, dan bermacam-macam jawaban yang di berikan, hingga Dia berhenti di salah satu orang yang memberikan komentar yang berucap kan doa.
[Kalau aku mah berdoa supaya jadi jodoh kamu, karena yang satu somplak yang satunya gesrek, hahaha..Biar impas, karena yang dulu kan pemalu.]
Maka seperti itulah yang komentar yang di berikan oleh temannya.
"Eh buset, siapa juga yang mau sama ini orang, eh bentar, berarti ini orang pernah nikah dong" gumam Dia.
Sialan ini orang masa gue di bilang bocah gesrek, umpat Dia dalam hati.
"Sepertinya perlu di kasih hadiah orang kek gini. Gak terima gue di bilang gesrek, orang gue waras dan sehat juga" ucap Dia pada diri sendiri.
[Dasar Om-om kagak laku, makanya cari sensasi di sosmed, harusnya yang di bilang gesrek itu situ, bukan saya, kalau mau promo sertakan hastag dan link biar nanti cepet dapat jodohnya, salam dari bocah gesrek tadi siang.]
Setelah itu pesan ku kirimkan di kolom komentar, setelah itu data internet ku, ku matikan. Sekilas ku lirik jam di gawai yang sekarang sudah menunjukkan di angka 00:00.
Lantas aku Segera tidur dan tak ingin esok pagi bangun kesiangan, bisa-bisa suara toa pindah di dalam rumah yang ada.
Samar-samar terdengar suara adzan di kumandangkan, lalu dengan perlahan Dia, membuka matanya dan mengumpulkan seluruh nyawanya terlebih dulu.
"Aaaahh ... Baru juga tidur udah main pagi saja," gerutu Dia setelah itu Dia bergegas keluar kamar untuk berwudhu lalu menjalankan sholat.
Nampaknya setelah sholat Dia beranjak tidur lagi seperti biasa, karena mereka hidup bertiga jadi tak terlalu repot harus memasak ataupun beberes seperti kebanyakan orang.
Karena didikan yang diberikan Emak Ita begitu keras, sehingga anak-anaknya tak terlalu bergantung kepadanya. Alasannya jika suatu saat Emak nya menyusul sang suami, maka mereka bisa hidup mandiri.
Aduh author kok nyesek ya, ah jadi inget Mak di lain kampung ... Ya udah lha thor ngapa harus mengsedih sih, lanjut ajalah.😇
30 Menit kemudian. Dia telah bangun dan sang mentari rupanya sudah menampakkan diri di atas sana, dan mulai memberikan pancaran sinar matahari pada semua alam semesta.
"De, kamu berangkat jam berapa kerjanya?" tanya Emak nya.
"Jam delapan ngapa Mak, emangnya." Jawab Dia.
"Gak papa."
"Elah Mak, singkat amat. Sakit gigi ya," ucap Dia.
Peletak.
"Auh, sakit Mak!" sambil mengusap kepalanya yang terkena sentil Emak nya, Dia memonyongkan bibirnya.
"Daripada itu mulut bertambah panjang lebih baik nih, pergi ke warung beli cabe sama terasi." titah Emaknya.
Lalu Dia pun mengambil uang sebesar dua puluh ribu di tangan Emak nya, dengan menghentakkan kaki ia berjalan ke arah pintu depan.
"Dasar Emak nyebelin, bisanya nyiksa anaknya doang." Sepanjang jalan dari mulai rumah sampai di warung Dia, tak henti-hentinya mengumpat Emak nya.
Sesampainya di warung.
Dia, memanggil Bude Nah, selaku pemilik warung. Dan tak berapa lama Bude Nah keluar.
"Beli apa De?" tanya Bude Nah pada Dia.
" Cabe Bude," jawab Dia.
Lalu Bude Nah menimbang Cabe yang di pesan oleh Dia, lalu Dia pun mengambil beberapa kue basah sisa dari kembalian cabe barusan.
Tak berapa lama sampailah Dia di rumah dan memberikan cabe yang di suruh Emak nya beli tadi.
"Terus Ini mana kembaliannya De? kok cuma cabe doang yang kamu kasih ke Emak, terasinya mana?" Emak nya pun merasa curiga karena Dia tak memberikan kembaliannya yang seharusnya sisa 10 ribu.
Nah lho, uangnya kemana hayo, kok cuma cabe, terasinya kamu tinggal di mana hayo.
Hehehe. Dia pun tertawa kecil sambil memperlihatkan apa yang di tangannya.
" De belikan ini Mak," ucap Dia dengan senyuman yang tersungging di wajahnya.
"Nih rasain kamu,"
"Aduh, ampun Mak! sakit."
"Biar, biar patah ini kuping."
"Aduh, dasar Emak durhaka anaknya sendiri di siksa," Dia terus saja meronta meminta agar di lepaskan jewerannya.
Tak segampang itu kalau Emaknya singa lagi marah, tamat sudah riwayatmu. Makanya jangan macan, eh ralat ulang maksudnya macam-macam sama Emak Ita, kamu sih De, di suruh beli cabe sama terasi pulang bukannya bawa terasi malah bawa kue, gini kan jadinya. Hehehe.
"Apa kamu bilang! Emak durhaka, adanya kamu yang durhaka sama emak. Heran aku punya anak cewek satu gini amat ya, di suruh beli cabe sama terasi, yang ada pulang bawa jajanan lagi." Emak Ita pagi-pagi udah dapat mangsa saja Hihi.
Huaaaaa...
hap.
Sesaat Dia pun langsung terdiam dan tak bersuara seperti anak kecil lagi, kok bisa? ya bisa lah orang mulutnya disumpal dengan roti goreng.
"Aish, Emak suka banget nyiksa anak, entar kalau patah gimana coba," dengan raut muka yang kusut, Dia terus saja mengajukan protes karena terus saja dianiaya ya sama Emaknya.
"Lagian itu bukan salah Emak, siapa suruh beli jajanan padahal tadi Emak mau minta tolong buat beli garam lagi, lha ini malah pulang bawa kue," sungut Mak Ita, karena lagi-lagi Dia khilaf dan tak bisa melupakan yang namanya jajan.
"Tadi aja marah-marah uangnya di pakai buat beli kue, lha ini. Dari tadi yang ngabisin kue nya Emak pula," gumam Dia sambil menggigit kue yang disumpal pada mulutnya tadi.
"Kamu bilang apa barusan," tegur Emaknya.
"Emak, makin cantik, iya makin cantik, ngomong-ngomong pakai bedak apaan Mak," basa-basi Dia, karena sudah terpergok oleh Emaknya dan tak ingin dirinya pagi-pagi sudah di jadiin perkedel.
Tua-tua tajem juga itu telinga, batin Dia dalam hati.
"Awas kamu ya, kalau berani mengatai Emak, Emak cincang pakai ini,"
"Enggak Mak, mana berani De ngomongin Emak." Ucap Dia.
.
.
.
.
.
.
.
Tak terasa jam begitu sangat cepat, kini Dia sudah berada di tempat kerjanya dengan mengendarai motor maticnya.
Dia bekerja di rumah makan, karena hanya tempat ini lah yang mau menampung seseorang sepertinya, karena tak perlu menggunakan ijasah tinggi. Hanya butuh kelihaian dan cekatan dalam meladeni para pengunjung dan tentunya cekatan dalam bekerja.
Dengan gaji 1,7 juta yang ia terima, dirinya mampu menyisihkan sebagian uang, dan sebagian di berikan pada Emaknya.
"Mbak!" teriak seseorang pengunjung dan pastinya, semua karyawan harus siap meladeni pembeli meski dirinya pun sedang beristirahat untuk makan.
"Ya sudah kamu duluan saja, aku mau meladeni pembeli dulu," ucap Dia pada temannya.
"Ok." Lalu temannya berjalan ke arah dapur, sedangkan Dia menghampiri seseorang yang memanggil.
"Iya Pak, mau pesan apa?" kata Dia kepada pembeli itu.
"Saya mau lalapan geprek ya Mbak." kata si pembeli itu.
Kenapa suara ini kagak asing di telinga gue ya, gumam Dia dalam hatinya.
Kenapa suara ini serasa pernah dengar ya, ah mungkin saja hanya mirip, batin pembeli itu lagi.
Dan keduanya sama-sama mendongakkan kepala lalu tatapan mereka saling beradu.
"Kamu!" ucap mereka berbarengan.
"Kamu ngapain di sini," lagi-lagi mereka berkata dengan cara bersamaan.
"Bapak gak lihat ya kalau sekarang saya lagi pakai celemek," suara ketus Dia, mampu membuat lelaki itu hanya mampu menatapnya.
Iya juga ya, kagak mungkin ini bocah renang sambil pakai celemek, ah dasar bodoh kamu. Umpat lelaki itu pada dirinya sendiri.
"Hye Pak, Bapak gak lagi ketempelan kuntilaki kan, tiba-tiba senyum-senyum kagak jelas." Ujar Dia pada lelaki berumur itu.
Sesaat lelaki itu pun langsung terdiam karena kata-kata yang di ucapkan oleh bocah yang berada di depannya serasa ada yang aneh.
"Mana ada kuntilaki, yang saya tau kan cuma kuntilanak," ucap lelaki itu.
"Coba Bapak praktekin suara kuntilanak." titah Dia.
Seperti terhipnotis oleh perkataan Dia, lelaki itu pun menurutinya dan menirukan suara kuntilanak.
Ihihihi..Ihihihi.
"Nah itu baru suara kuntilanak, emang Bapak tadi tertawa apa tersenyum?" tanya Dia.
"Tersenyum," jawab lelaki itu.
"Nah berarti bener dong kata saya, Bapak lagi ketempelan kuntilaki, karena gengsi mau ketawa, beda sama kuntilanak yang gak punya malu" Yang di beri penjelasan hanya terdiam sambil menggaruk tengkuknya.
"Tunggu-tunggu jadi maksud kamu," lelaki itupun berpikir keras hingga akhirnya.
"Bocahhh!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!