Braakk ..
Suara pintu yang di buka dengan amat keras membuat wanita yang berdiri di belakang si pria terperanjat kaget. Wanita yang baru saja melangsungkan akad pernikahan dengan pria tersebut tampak ketakutan.
Pria yang berdiri satu langkah lebih depan darinya kini membalikan badan dan menghunuskan tatapan tajam padanya.
"PUAS KAMU SEKARANG? PUAS KARENA KAMU BISA MENIKAH DENGANKU?!!"
Wanita itu tersentak, tubuhnya menegang dan napasnya tertahan. Pria yang sebelumnya terlihat sangat baik seketika berubah layaknya seorang monster.
"Mas Hika, apa salah aku, mas?" tanya wanita itu sembari terisak.
"Salah kamu? Salah kamu karena kamu menyetujui pernikahan ini, Qiya! Padahal jelas-jelas kamu tahu aku punya Zahira!" seru Hika membuat air mata Qiya kian menderas.
"Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang yang kamu salahin, mas? Kalau kamu gak mau pernikahan ini terjadi, kenapa gak kamu tolak aja permintaan bunda kamu!" balas Qiya di antara isak tangisnya.
Hika bungkam seketika. Ia bisa saja menolak pernikahan ini, hanya saja ia paling pantang membantah permintaan sang ibu.
"Kenapa kamu diam, mas? Kamu mau nyalahin aku lagi atas pernikahan yang sama-sama kita sepakati?"
"Gak akan ada kata 'kita' di antara aku dan kamu, sampai kapanpun!" ucap Hika sebelum akhirnya memilih pergi.
Qiya tidak dapat berkata-kata lagi. Ia menatap punggung kepergian Hika dengan deraian air mata. Hari yang ia pikir menjadi hari sejarah kebahagiaan terbesar di hidupnya, justru menjadi sebaliknya. Ternyata Hika tidak sebaik yang ia kira, dengan begitu tega Hika mengucapkan kata-kata yang begitu menyikiti hatinya.
***
Usai menata pakaian ke dalam lemari, Qiya membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Sebelumnya ia di beri tahu kamar Hika oleh wanita paruh baya pria itu yang bekerja di rumah tersebut.
Qiya melirik jam dinding yang terdapat di sana, jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Hika belum kunjung kembali. Malam seharusnya menjadi malam yang di tunggu-tunggu oleh sepasang pengantin, justru menjadi malam yang penuh tangis.
Dua jam sudah berlalu, tetapi Hika belum juga menampakkan batang hidungnya. Qiya yang sebelumnya memilih untuk menunggu di ruang tamu kini memutuskan untuk kembali ke kamar.
"Den Hika belum pulang, Non?" tanya bi Iyam, asisten rumah tangga di rumah itu.
Qiya yang sudah berdiri hendak beranjak mengurungkan niatnya.
"Belum, bi," jawab Qiya di sertai gelengan kepala.
"Gak coba di telepon aja?"
Pertanyaan bi Iyam menyadarkan Qiya jika ia tidak memiliki nomer hp pria yang saat ini sudah berstatus sebagai suaminya.
Seolah paham dengan apa yang saat ini ada di dalam pikiran Qiya, bi Iyam segera menyodorkan hp nya memberi tahu nomer Hika.
"Non bisa salin nomer Den Hika."
Qiya mengambil hp bi Iyam dengan segan, lalu menyalin nomer tersebut.
"Makasih, bi," ucap Qiya usai menyalin nomer Hika.
"Sama-sama, Non. Mau bibi temani sebelum Den Hika pulang?" tawar beliau.
"Gak usah, bi. Gak apa-apa. Bibi tidur aja, udah malem."
"Ya sudah kalau begitu bibi pamit ke kamar duluan, Non."
"Iya, bi. Silahkan!"
Sementara bi Iyam pergi ke kamarnya, Qiya mencoba menelepon nomer Hika. Ia berharap pria itu akan menjawab telepon darinya.
"Alhamdulillaah, nyambung," ucapnya.
Beberapa detik kemudian, tulisan berdering di layar berubah menjadi detik tanda telepon sudah di angkat.
"Halo, assalamu'alaikum .. Siapa?"
Qiya yang semula merasa senang dan mulutnya yang sudah terbuka untuk mengucapkan sesuatu kini mengurungkan niat bicaranya setelah mendengar suara perempuan yang menjawab telepon darinya.
Qiya mengecek layar hp nya, takut ia salah menyalin nomer yang di berikan oleh Bi Iyam. Tapi ia rasa, ia menyalin nomernya dengan benar.
"Halo, siapa, ya?" ulang perempuan dari sebrang sana.
"Ha-halo, iya, waalaikumussalaam .. Maaf bukannya ini nomer mas Hika?" tanya Qiya di atas keraguannya.
"Iya, benar. Saya Zahira, kebetulan Hika lagi main ke rumah saya."
Kalimat wanita yang mengaku bernama Zahira itu berhasil membuat Qiya memupuk cairan bening di pelupuk matanya.
"Maaf, kamu siapa, ya? Ada perlu apa dengan Hika? Biar nanti saya sampaikan!" ucap Zahira lantaran tidak mendengar lagi suara si penelepon.
Qiya tersadar, jika sambungan telepon masih terhubung.
"Boleh minta tolong sampaikan sama mas Hika, tolong telepon balik ke nomer ini nanti?!" pinta Qiya sedikit segan.
"Oh, iya boleh. Nanti saya sampaikan, kebetulan Hika nya sedang di toilet. Ada lagi?"
"Cukup, itu aja. Makasih sebelumnya, assalamu'alaikum ..."
"Sama-sama, waalaikumussalaam .."
Qiya mengakhiri panggilan teleponnya. Kini ia tidak dapat lagi menahan bulir air mata yang berhasil menerobos benteng pertahanan pelupuk matanya.
Rasanya menyakitkan, di momen yang harusnya menjadi malam pertama bagi sepasang pengantin, Hika justru malah sedang bersama perempuan lain.
Qiya jatuh merosot ke lantai, lututnya seakan melemas mendengar kabar tersebut.
"Belum apa-apa, tapi hatiku rasanya sakit sekali, mas," ucap Qiya di sertai Isak tangis.
_Bersambung_
"Hika masih di sini, Za?" tanya pak Ando, Abi nya Zahira.
"Iya, bi," jawab perempuan itu.
Pak Ando menunjuk ke arah jam dinding besar yang terdapat di sana, mengingatkan jika ini sudah larut malam.
"Gak baik, Za. Lebih baik kamu suruh Hika pulang, ya. Besok kan masih bisa datang lagi ke sini."
Zahira mengangguk segan. "Iya, bi. Maaf."
"Ya sudah, kalau begitu Abi balik ke kamar lagi saja, kasihan umi sendiri."
"Iya, abi."
Pak Ando pergi dari sana, meniti anak tangga lantaran kamar beliau terdapat di lantai atas.
Zahira jadi merasa segan terhadap orang tuanya, lagipula tidak biasanya Hika main ke rumah sampai lupa waktu seperti sekarang.
Tidak berapa lama, Hika kembali.
"Abi kamu minta kamu suruh aku pulang?"
Zahira terkejut dengan pertanyaan Hika. "Kamu dengar, Ka?"
"Gak sengaja. Maaf ya kalau kehadiran aku buat keluarga kamu gak nyaman."
"Bukan begitu, Ka. Maksud abi-"
"Iya aku paham, Za," pangkas pria itu. "Kalau begitu aku pulang sekarang, ya," pamitnya.
"Tapi kamu gak marah kan, Ka?"
Melihat ekspresi segan di wajah Zahira membuat Hika mengulas senyum. "Gak kok, Za. Buat apa aku marah?"
Zahira menghembuskan napas lega. Syukurlah jika Hika tidak tersinggung dengan ucapan papanya.
"Ya udah, kalo gitu aku pamit pulang, ya. Assalamu'alaikum .." ucapnya sembari menyambar hp nya yang tergeletak di atas meja.
"Waalaikumussalaam .."
Baru beberapa langkah Hika pergi, tapi Zahira teringat sesuatu.
"Ka, tunggu!"
Hika menghentikan langkahnya kemudian menoleh. "Iya, Za. Ada apa?"
Zahira menghampiri Hika. "Tadi ada telepon masuk ke hp kamu. Aku tadi coba angkat, takutnya penting."
"Siapa?"
"Enggak tahu. Perempuan. Dia minta buat kamu telepon balik."
Alih-alih mengecek riwayat panggilan di hp nya, justru Hika malah memandang perempuan di hadapannya.
Bagi Hika, Zahira adalah perempuan yang sangat sempurna. Meski dia lahir di keluarga berada, tapi perempuan itu terlihat sangat sederhana. Hijab yang terpasang di kepala perempuan itu yang membuat Hika betah memandang kecantikannya. Terlebih, selama menjalin hubungan yang hampir dua tahun ini, tidak pernah ada perdebatan di antara mereka. Zahira tidak pernah cemburu terhadap perempuan lain, termasuk seperti sekarang, ada penelepon perempuan yang memintanya untuk menelepon balik pun, Zahira kelihatan sangat tenang.
Ia jadi takut, bagaimana jika nanti Zahira tahu kalau dirinya sudah menjadi suami perempuan lain? Ia terlalu takut mengecewakan Zahira, ia tidak sanggup melihat Zahira sampai menitikkan air mata karenanya.
"Iya, nanti aku coba telepon balik orang itu. Aku pulang, ya."
"Iya, Ka. Hati-hati!"
"Makasih, Za. Aku pasti bakal kasih kamu kabar kalau aku udah sampai rumah."
Zahira mengantar Hika sampai depan, sampai pria itu pergi barulah ia masuk ke dalam rumah.
Sementara di tempat lain, Qiya belum juga bisa tidur. Air matanya mengalir deras di bantal. Mengingat begitu teganya Hika yang pergi ke rumah perempuan lain di malam pertama pernikahannya.
Pertanyaan suaminya sedang apa bersama kekasihnya terus berputar di kepala Qiya. Ia tidak sanggup membayangkan hal-hal yang menyakiti dirinya sendiri.
Sampai ia mendengar suara mobil yang memasuki halaman rumah, Qiya bangun dan segera menyeka air matanya.
Qiya hendak beranjak dari kamar berniat menyambut Hika pulang. Tapi Hika lebih dulu datang dan masuk ke kamar.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Hika dengan nada bicara tidak suka.
"Kata bi Iyam ini kamar kamu, mas. Itu artinya aku juga akan tidur di sini," jawab Qiya berusaha terlihat baik-baik saja.
"Enggak bisa. Kamu tidur di kamar lain aja. Aku gak mau tidur sama kamu. Pernikahan ini udah buat aku merasa sangat mengkhianati Zahira. Dan kamu jangan pernah berharap mendapat sedikit aja sentuhan dari aku, karena aku tidak akan pernah melakukannya demi Zahira!"
Kata-kata Hika begitu dalam menusuk hati Qiya, lagi-lagi Qiya tidak dapat menahan tangisnya. Air matanya mengalir tanpa bisa ia cegah, dadanya merasa sesak karena terlalu sakit.
_Bersambung_
Pagi harinya, Qiya kembali menata pakaian syar'i nya ke dalam lemari yang berbeda dengan kamar yang berbeda pula. Hika melarangnya untuk tidur sekamar.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan muncul Hika dari balik pintu tersebut.
"Iya, Bun. Bunda tenang aja, aku sama Qiya lagi berusaha mengenalkan kepribadian kita masing-masing," ujar Hika pada bundanya lewat telepon.
"Alhamdulillaah kalau begitu. Bunda ikut senang dengarnya. Jadi mana Qiya nya?"
"Ini, Bun." Hika menyerahkan ponselnya pada Qiya. "Bunda mau ngobrol."
Qiya menerima hp tersebut dari tangan Hika. Tatapan yang di layangkan oleh Hika membuat Qiya di tuntut untuk tidak membicarakan keadaan yang sebenarnya.
"Halo, Bun. Bunda apa kabar?" sapa Qiya pada bundanya Hika, namanya Yasmin.
"Alhamdulillaah .. bunda baik. Kamu gimana, Hika baik kan sama kamu?"
Dari suara yang sengaja Hika loadspeaker, tentu saja pria itu bisa mendengar apa yang di tanyakan oleh bundanya pada Qiya. Qiya melirik sekilas pada suaminya, sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan bunda Yasmin.
"Baik, Bun. Mas Hika baik kok sama aku. Bunda tenang aja," jawab Qiya seraya memandang ke arah suaminya.
"Syukurlah kalau begitu. Kalian belum ada rencana honeymoon kah?"
Di beri pertanyaan demikian, Hika segera mengambil alih hp nya dari tangan Qiya.
"Bun, udah dulu, ya. Kebetulan ini aku sama Qiya mau sarapan. Nanti kita sambung lagi."
"Oh, begitu. Iya, gak apa-apa. Assalamu'alaikum .."
"Walaikum salam .."
Hika menutup panggilan teleponnya. Setelah itu itu beranjak dari kamar Qiya, tapi kalimat Qiya berhasil menghentikan langkah Hika yang sudah berada di ambang pintu.
"Kenapa harus berbohong, mas?"
Hika membalikan badan, menatap perempuan yang saat ini sudah berstatus sebagai istrinya.
"Terus kamu pikir aku bakal ngomong yang sebenarnya?" tanya balik Hika.
"Kalau kamu yakin Zahira itu layak jadi istri kamu, kenapa kamu gak menolak perjodohan kita dengan cara menyakinkan Zahira sama bunda? Kenapa kamu gak melakukannya, mas?"
"Aku bilang aku gak bisa membantah permintaan bunda. Terus kenapa gak kamu aja yang menolak? Dengan kamu yang menolak, pernikahan ini pasti gak akan pernah terjadi dan seharusnya yang saat ini jadi istri aku itu Zahira, bukan kamu!"
Cairan bening kembali memupuk dan menggenang di pelupuk mata Qiya. Terlalu menyakitkan setiap mendengar kata yang keluar dari mulut Hika.
"Kenapa diam? Karena kamu sengaja memanfaatkan keadaan ini kan ?!!" seru Hika membuat tubuh Qiya tersentak di buatnya.
Cairan putih bening itu kini lolos menembus benteng pertahanan pelupuk mata Qiya.
"Cukup, Qiya! Gak usah drama dan gak usah merasa paling tersakiti di sini! Karena yang paling tersakiti di sini itu bukan kamu, tapi pernikahan ini yang memisahkan aku dengan orang yang aku cintai selama hampir dua tahun. Dua tahun, Qiya!"
Hika sengaja menekankan akhir kalimatnya, hal itu tentu saja membuat Qiya semakin salah di mata Hika.
Tanpa rasa iba, Hika berlalu dari sana. Meninggalkan Qiya yang kian terisak.
"Kenapa kamu sampai setega ini sama aku, mas Hika? Kenapa?" ujar Qiya di antara Isak tangisnya.
***
Hika memarkirkan mobilnya di parkiran taman biasa tempat ketemuan dengan Zahira. Tadi pagi ia mendapat pesan singkat dari Zahira, kalau perempuan itu mengajaknya bertemu di sana.
Dari kejauhan, Hika tersenyum saat melihat sang kekasih tengah menunggunya di sana. Di bawah pohon rindang dan di bangku besi putih muat untuk dua orang Zahira duduk di sana.
"Assalamu'alaikum, Za .." sapa Hika, Zahira pun menoleh.
"Walaikumussalam, Ka," jawab Zahira dengan senyum manis menyambut kedatangan Hika.
"Udah lama nunggu?"
"Enggak, kok. Baru Lima menit."
"Oh."
Hika pun duduk di samping Zahira dengan jarak dua jengkal. Ia menatap wajah Zahira yang seperti sedang menyimpan sesuatu.
"Kenapa, Za?"
"Hm?" Zahira mendongak. "Enggak, Ka. Gak apa-apa."
"Terus, kok tumben ajak aku ketemuan? Biasanya kalo kamu ngajak ketemuan kayak gini, pasti ada hal penting."
Zahira menganggukan kepalanya. "Iya, Ka. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan sama kamu."
"Apa?" tanya Hika penasaran.
Kedua wajah mereka berubah serius, terlebih Zahira kelihatan sekali kurang enak untuk menyampaikan sesuatu itu.
"Jadi gini, Ka. Kita kan pacaran sudah hampir dua tahun. Karena semalam Abi kurang suka kalau kamu main sampai larut, makanya Abi minta aku untuk menanyakan kepastian sama kamu," ucap Zahira seraya meremas jemarinya yang dingin.
"Maksudnya?"
"Maksudnya, kalau kamu beneran serius sama aku, Abi mau kita segera menunaikan ibadah terpanjang kita, yaitu menikah," jelas Zahira.
Deg.
Seketika sekujur tubuh Hika menegang. Pasalnya Zahira tidak tahu apa yang sudah terjadi pada dirinya saat ini.
"Kenapa mendadak, Za?"
"Sebenarnya gak mendadak sih, Ka. Sebenarnya udah dari jauh-jauh hari Abi nanyain kepastian hubungan kita. Cuma aku masih ingin melihat keseriusan kamu, Ka. Dan sekarang, aku rasa ini waktu yang pas buat aku nanyain kepastian dari kamu."
Hika terdiam, ia tidak bisa memberikan jawaban apapun pada Zahira.
_Bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!