Four Season Hotel.
Kamar 3001.
"Bunuh saja pria itu. Tapi ingat, buat seolah dia mati karena ulah perampokan," titah Leon dengan seringai licik yang terukir di bibirnya.
Senyum itu makin jadi saat merasakan tubuhnya dipeluk oleh seorang wanita dari arah belakang, Samantha.
Leon pun memutus panggilan telepon dengan anak buahnya dan membalas pelukan sang kekasih.
Leon memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Zidane Harwell, CEO perusahaan Harwell Life Ansuran. Leon adalah sahabat Zidane sementara Samantha adalah kekasih Zidane, namun mereka berdua diam-diam memiliki hubungan dan berencana untuk menipu Zidane, lalu mengakuisisi perusahaan Harwell Life Assurance. Namun belum sempat menandatangani kerjasama itu Zidan sudah lebih dulu mengetahui semuanya tentang niat jahat mereka berdua. Tidak ingin rencana mereka gagal, Leon dan Samantha memerintahkan beberapa orang untuk melenyapkan Zidane, membuat seolah pria itu mati dalam tindak perampokan.
"Setelah ini kita akan menikah, pesta pernikahan yang paling mewah," ucap Leon dengan jumawa, sementara Samantha pun tersenyum bahagia. Meskipun selama ini menjalin kasih dengan Zidane, namun dia lebih merasa dicintai oleh Leon, karena itulah dia pun akan melakukan segalanya untuk membuat hubungan ini berhasil.
Tak peduli meski harus menghancurkan Zidane sampai menghabisi nyawanya.
Leon kemudian mencium bibir Samantha dengan sangat rakus, memanjakan wanitanya dengan sentuhan.
Sementara itu ditempat lain, Zidane menahan amarah yang membuncah di dalam dadanya.
Makan malam romantis yang telah dia siapkan untuk melamar sang kekasih seketika jadi rusak, saat dia melihat sebuah pesan mesra dari sang sahabat untuk kekasihnya itu.
Meradang, Zidane pun merebut ponsel Samantha dan akhirnya mengetahui tentang pengkhianatan Leon dan Samantha. Bahkan kedua orang itu berniat menipunya menggunakan kerja sama, padahal itu adalah surat-surat untuk akuisisi perusahaannya.
Dengan amarah yang membuncah, Zidane meninggalkan hotel itu dan segera pergi dari sana. Hatinya makin miris, saat melihat Samantha tak ada sedikit pun niat untuk meminta maaf padanya. Malah mengakui semua perselingkuhan itu.
"****!" maki Zidane, dia mengemudikan mobilnya tanpa arah, tak tau kemana tujuannya.
Dan pria berusia 28 tahun itu pun semakin mengumpat saat tiba-tiba ada sebuah mobil yang menghentikannya dengan paksa. Andai dia tidak berhenti, bisa dipastikan jika mobil mereka akan mengalami tabrakan hebat.
Zidane turun lebih dulu, berniat memberi pelajaran pada pengemudi mobil itu. Namun alangkah terkejutnya dia saat melihat beberapa orang pria membawa tongkat baseball turun dari dalam mobil itu.
Bahkan dengan cepat semua pria itu itu menyerangnya.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Zidane dipukul membabi buta, kepala dan semua anggota tubuhnya telah mendapatkan serangan. Tak butuh waktu lama pria itu terkapar lemah di jalanan.
"Rusak mobilnya dan ambil semua barang, dia akan mati sebentar lagi," ucap seorang pria.
"Rusak yang benar, jangan sampai tuan Leon kecewa dengan hasil kerja kita!"
Di ambang batas kesadarannya, Zidane mampu mendengar satu nama itu.
Leon.
Pria yang dia anggap sahabat tenyata menusuknya dengan sangat kejam dari belakang.
Tidak, aku tidak oleh mati disini. Batin Zidane, dia hanya punya sedikit kekuatan untuk bertahan. Sementara tubuhnya pun sudah bersimbah darah dan remuk.
Di saat semua orang itu sibuk merusak mobilnya, Zidane pun merayap pergi dari sana. Tubuhnya dia paksa bergerak seperti hewan melata.
Jalanan itu sepi, dan Zidane memutuskan untuk bersembunyi di semak.
"Stop! Ke mana pria itu?!" pekik seseorang yang mampu Zidane dengar dengan jelas.
"Cepat cari!" pekiknya lagi, namun belum sempat mobil itu mencari sudah mulai ada kendaraan yang melintasi mereka. Bahkan dari jarak yang cukup jauh mereka semua mendengar suara sirine polisi.
"Sudah lupakan, pria itu pasti akan segara mati. Kita pergi!"
Zidane memejamkan matanya, seperti siap mati saat itu juga. Sayup-sayup dia mendengar suara mobil pergi dari sana.
“Tidak, aku tidak boleh mati, aku tidak akan mati sebelum membalaskan dendam ini,” batin Zidane.
Dengan sisa tenaga yang dia punya Zidane bangkit, terus berjalan melewati rerumputan itu untuk pergi dari sana. Sedikit pun dia tidak menginjak jalanan.
Sampai akhirnya Zidane melihat sebuah gang sempit di seberang jalan sana. Zidane putuskan untuk ke sana, berlari tertatih sampai akhirnya tiba di rumah yang saling ujung.
Bruk!
Zidane ambruk.
Tepat pukul sembilan malam, Gina turun dari bus yang dia naiki. Malam ini hujan turun dan dia tidak memiliki payung untuk berlindung. Namun menunggu hujan berhenti pun rasanya hanya sia-sia saja, karena tak ada yang tau kapan hujan itu akan reda.
Menggunakan tas kerjanya yang berisi kotak bekal sebagai pelindung, Gina menembus hujan malam itu berlari menuju rumahnya yang berada di ujung gang.
Samar-samar dia melihat ada sesuatu yang tergeletak di teras rumahnya. Dan alangkah terkejutnya dia saat melihat seorang pria terkapar di sana.
"Astaga!" Gina menutup mulutnya yang menganga menggunakan kedua tangan, jantungnya tersentak merasa sangat terkejut dengan keadaan seperti ini.
Seketika ketakutan menguasai tubuh kecil wanita itu. Tubuhnya yang sudah basah bergetar antara takut dan kedinginan.
Sesaat Gina bahkan tergugu, takut jika pria itu sebenarnya adalah mayat yang dibuang sembarangan.
"Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan," gumamnya dengan gigi yang saling beradu.
Gina menoleh ke sana kemari dengan sangat cemas, berharap ada seseorang yang bisa dia mintai bantuan. Namun sayang, tak ada orang lain selain dirinya sendiri di sini.
Gina, lantas coba menyentuh pria itu menggunakan kakinya. Tak ada respon. Gina lantas berjongkok dan membalik pria itu untuk melihat wajahnya, namun alangkah terkejutnya dia saat melihat wajah pria itu babak belur. Gina pun bisa melihat pria itu seolah bernapas dengan susah payah.
"Dia masih hidup," ucap Gina dengan kedua matanya yang melebar. Sontak saja dia langsung mengangkat tubuh pria itu sekuat tenaganya, namun karena tak punya tenaga yang cukup, Gina akhirnya hanya bisa menarik pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya yang sederhana.
"Tidak, aku tidak akan bisa melakukan apa pun, aku harus memanggil Bidan Merlin," gumamnya dengan sangat cemas, dia bahkan langsung berlari keluar kembali menebus hujan dan menuju rumah sang bidan di depan gang.
Untunglah saat itu Bidan Merlin mendengar panggilannya, bahkan bersedia untuk datang ke rumahnya.
Merlin memeriksa keadaan pria asing itu dan sama terkejutnya ketika melihat kondisinya.
"Ini parah, Gi. Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit."
"Tapi, Mbak—" Gina tak bisa melanjutkan ucapannya, karena dia tak punya cukup uang untuk membawa pria itu ke rumah sakit. Untuk hidupnya sendiri saja semuanya pas-pasan. Dia hanyalah seorang office girl di salah satu perusahaan, gajinya pun dia bagi untuk mengirim keluarganya di kampung.
Merlin terdiam, tanpa peduli dijelaskan dia pun tahu apa yang jadi bahan pertimbangan Gina.
"Kalau begitu biar aku obati dengan obat seadanya, ya. Semoga saja besok pria ini bisa sadar dan bisa mengatakan siapa keluarganya, nanti kita bisa antas dia pulang," terang Merlin dan Gina pun menganggukkan kepalanya dengan antusias tanda setuju.
Malam itu Zidane hanya mendapatkan pengobatan seadanya. Napasnya memang masih tertinggal di raga, namun rasanya dia sudah di ambang batas nyawa. Tubuhnya remuk redam, rasanya tak sanggup lagi untuk bertahan. Bahkan malam itu dia tetap menggunakan bajunya yang berlumur darah sampai akhirnya pagi datang.
Zidane mengerjapkan matanya, hanya dua manik hitam itu saja yang bisa bergerak ke sana kemari menatap sekeliling rumah ini. Sementara tubuhnya teramat sakit untuk digerakkan.
Zidane tidak tahu dia di mana, tidak tahu kenapa tubuhnya penuh luka, bahkan tidak tahu dia siapa.
"Kamu sudah sadar? Oh astaga, baguslah, aku senang sekali," ucap Gina, menghampiri sofa dengan raut wajahnya yang berseri. Senang sekali melihat pria ini akhirnya sadarkan diri. Karena tidak punya cukup ruang di rumah ini akhirnya Gina membaringkan pria itu di kursi sofanya semalaman, sofa yang sudah tidak begitu empuk.
Sementara Zidane hanya termenung, menatap wanita asing ini dengan tatapan yang bingung, bertanya-tanya siapa wanita itu.
"Kamu bisa bangun? Ayo duduk. Oh tidak, aku akan panggil Bidan Merlin lebih dulu," ucap Gina, masih bicara dengan antusias dan buru-buru.
Saat itu juga dia bahkan langsung menghubungi Merlin dan meminta sang bidan datang ke sini.
Sepuluh menit kemudian Merlin telah datang, kembali memeriksa keadaan pria itu.
"Masih demam, setelah makan nanti obatnya diminum lagi. Maaf sebelumnya, nama Tuan siapa? Apa ada alamat keluarga anda yang bisa saya hubungi?" tanya Merlin.
Namun Zidane tak menjawab apa pun, dia malah menatap wanita bertubuh kecil yang berdiri di samping dokter ini. Menatap Gina dengan tatapan kebingungan.
Bukannya tidak mau menjawab pertanyaan Merlin, namun Zidane tidak tahu harus menjawab apa.
"Nama Anda siapa?" tanya Gina pula.
Dan Zidane malah menggelengkan kepalanya kecil sebagai jawaban.
"Nama Anda siapa?" tanya Gina lagi, lebih menuntut.
Dan akhirnya Zidane pun buka suara.
"Aku tidak tahu," jawanya lirih dengan sorot kedua mata yang kosong.
Mendengar itu Gina menggelengkan kepalanya, seolah tidak terima dengan jawaban yang diberikan oleh pria asing ini. Bagaimana seseorang bisa melupakan namanya sendiri.
"Jangan bercanda, nama Anda siapa?" tuntut Gina, namun kemudian Merlin menyentuh lengan Gina untuk tenang.
"Cukup, Gi. Dia lupa ingatan, Amnesia."
Ha? Gina tercengang.
"Lupa ingatan?" ulang Gina dan Merlin mengangguk.
Seketika itu juga raut bahagia yang sempat terukir di wajah Gina atas kesadaran pria ini kini jadi perlahan menghilang.
Pria itu telah sadar namun malah kehilangan ingatannya, mengartikan bahwa pria itu akan tetap berada di sini setidaknya hingga pulih.
Gina tergugu, hidupnya sudah teramat sulit. Dan kini dia mendapatkan beban yang baru.
Gina menatap pria itu dan Zidane pun membalasnya. Saling menatap seperti garis lurus.
"Bukan mau dia untuk lupa ingatan, Gi. Mungkin dia pun korban kejahatan. Cobalah untuk membantu dia sembuh. Bayangakan jika kamu jadi dia dan tak ada yang menolongmu," ucap Merlin.
Setelah mengatakan itu Merlin pergi.
Di rumah ini kini hanya ada Gina dan pria asing yang entah siapa namanya. Dalam ketidakberdayaan, Zidane menatap Gina dengan bingung. Kehilangan ingatannya membuat Zidane merasa frustrasi, tak tau apa-apa dan bangun dalam keadaan mengenaskan seperti ini.
"Apa yang terjadi?" tanya Zidane, menuntut penjelasan.
"Aku tidak tahu, semalam kamu tidak sadarkan diri di teras rumahku," balas Gina pula, apa adanya. Semakin dia tatap pria ini semakin Gina pun merasa iba.
"Apa aku suamimu?"
"Bukan," jawab Gina singkat. Tiap pertanyaan yang keluar dari pria itu semakin membuat Gina tak kuasa untuk mengusirnya.
Seberapa pun beratnya hidup yang dia jalani, Gina tidak ingin jadi orang jahat. Dia sudah putuskan untuk menolong pria malang ini. Menampungnya hingga di bisa pergi dalam keadaan yang baik.
"Namamu adalah Alden," ucap Gina, mencoba berdamai dengan keadaan ini dan memberikan nama yang baru.
"Apa itu nama asliku?"
"Bukan, aku asal menyebut saja. Di baju dan celana mu tidak ada satu pun kartu pengenal. Sepertinya kamu habis dirampok dan dipukuli, lalu dibuang ke rumahku."
"Apa benar seperti itu?"
"Aku tidak tahu," balas Gina, di sama putus asanya. Sama-sama sedang berusaha menerima keadaan ini.
Pagi itu Gina membantu Alden makan, lalu meminum obatnya. Tahu akan lama tinggal di sini, Alden lalu pindah tidur di kasur, namun kasur lantai. Tapi cukup nyaman daripada sofa itu.
Sementara Gina harus pergi untuk bekerja.
"Kamu akan meninggalkan aku sendirian?"
"Iya, aku pulang sekitar jam enam sore. Nanti bidan Merlin akan datang ke sini saat siang."
"Tidak bisakah kamu tinggal?"
"Kalau aku tidak bekerja nanti dapat uang dari mana?"
Alden terdiam, diantara ketidaktahuannya dia pun menyayangkan keadaan ini. Mereka hidup dalam kemiskinan.
"Berjanjilah untuk pulang, jangan tinggalkan aku sendirian," ucap Alden lirih dan Gina jadi semakin iba melihat pria itu.
Alden pasti merasa takut, merasa bingung dengan semua yang terjadi. Entah apa yang kini ada di dalam pikirannya.
Tubuh pria itu masih sakit semua, bahkan semua lukanya pun masih terlihat basah, namun Gina sekali pun tidak melihat pria itu merintih kesakitan.
Gina lantas mendekati Alden, duduk di lantai dan bersebelahan dengan Alden yang tengah berbaring.
"Aku janji akan kembali, ini rumah kita," ucap Gina, saat mengatakan itu dia menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking miliki Alden, seolah mereka sedang membuat janji yang tak boleh diingkari.
"Aku pergi dulu."
Gina bangkit dan siap melangkah keluar, namun kemudian kembali urung saat Alden kembali memanggil namanya.
"Gi," panggil Alden dan Gina pun menoleh.
"Setelah aku sembuh, aku yang akan bekerja untukmu."
Mendengar ucapan itu Gina pun akhirnya tersenyum juga, senyum yang sempat hilang karena dia harus dihadapkan dalam keadaan sulit ini.
Gina mengangguk, mengiyakan ucapan Alden.
Entah apa yang terjadi nanti setelah Alden pulih, tapi yang jelas kini, Gina hanya ingin membantu pria itu. Memberikan tumpangan hidup dan mengobatinya hingga pulih.
Pukul tujuh lewat, Gina telah tiba di perusahaannya tempat bekerja.
Harwell Life Assurance.
Gina masuk ke gedung sepuluh lantai itu dan siap menjalankan tugasnya. Namun kemudian niatnya urung, ketika mendengar sebuah pengumuman untuk seluruh karyawan.
Telah terjadi peristiwa buruk yang menimpa perusahaan, sang CEO dari perusahaan itu dinyatakan hilang setelah mobilnya ditemukan mengalami perampokan. Gina yang adalah karyawan office girl baru di perusahaan itu tak tau banyak cerita. Tapi hari itu semua karyawan diminta untuk pulang lebih cepat.
"Kasian sekali Tuan Zidane. Semoga dia masih selamat di mana pun berada," ucap Rachel, teman sesama OG di perusahaan ini.
Gina pun menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Rachel itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!