NovelToon NovelToon

Pilihan Yang Terbaik

Alur cerita

Aslan.

Perceraian kedua orang tua ku karena perbedaan agama menjadi titik awal dimana aku tidak ingin menaruh cinta pada iman yang berbeda. Hingga aku bertemu dengan Samira Adna Agustine. Office girl yang merangkap sebagai asisten pribadiku di perusahaan yang aku pimpin. Gadis berkerudung yang menjadi titik awal perjuangan ku untuk mencari kesempurnaan hidup.

*

Samira.

Kekacauan dalam hidupku di mulai saat aku mulai memasuki dunia kerja yang baru. Aku bertemu dengan laki-laki yang miliki kitab suci yang berbeda denganku. Tidak sampai di situ saja, seiring berjalannya waktu, masihkah Aslan menerima jawaban atas perasaannya padaku meski Abah selalu menentang hubungan kami.

*

Pagi ini cuaca begitu cerah, secerah hati Samira saat keputusan interview beberapa hari yang lalu baru saja selesai ia baca. Email dari perusahaan yang bergerak di bidang properti dan perhotelan bernama Cemerlang Abadi TBk. Membuatnya berkali-kali mengedipkan matanya.

Samira seakan tidak percaya dengan keajaiban Tuhan yang baru saja ia baca lewat email. Ia menyunggingkan senyum, tangannya menutup layar laptop, langkah kakinya bergegas mencari ayahnya.

"Bah... Abah." panggilnya antusias. 

"Sam, telinga Abah masih bisa mendengar. Tidak perlu berteriak!" Abah menggelengkan kepalanya. Putrinya yang berusia dua puluh lima tahun itu masih terasa kanak-kanak baginya. Senyum manja dan mata teduhnya mengingatkan ia pada mendiang istrinya.

"Abah tebak deh apa yang bikin Sam pagi ini senang sekali?" ucap Samira yang membuat ayahnya justru membalikkan pertanyaan kepada putrinya.

"Apa memangnya, Sam?" 

Ayah samira sedang berada di belakang rumah, tangannya sibuk memberi makan ayam-ayam peliharaan dengan katul dan dedak, sedangkan Samira sibuk mengibaskan tangan untuk mengusir ayam-ayam yang mendekati kakinya.

"Bah, nanti ayamnya eek di kakiku!" omel Samira sambil menggeretakan kakinya berkali-kali. "Abah, di bisa nggak ayamnya di suruh ke kandang dulu."

Ayahnya meringis geli. "Ayamnya gak salah, Sam! Ayam eeknya ya sembarangan, dimana saja!" ucap Abah masih sibuk menabur katul di atas tanah.

"Bah, besok Sam mulai kerja di perusahaan cemerlang abadi!" ucap Samira seketika membuat ayahnya menaruh toples berisi pelet ayam dan menatap Samira penuh was-was.

Samira paham akan tatapan itu. Tatapan keresahan seorang ayah.

"Sam masih tetap pakai hijab, Bah! Jadi Abah cukup mendoakan Samira agar lekas membawa Abah ke tanah suci." ucap Samira lalu tersenyum hangat.

"Samira anak Abah yang paling cantik sejagat raya, kerja di perusahaan itu saingannya banyak, pasti akan membuatmu pusing sendiri dan mempunyai rival, belum lagi di pandang para laki-laki. Tidak bisakah Samira memilih pekerjaan lain?" tanya Abah dengan khawatir.

"Abah..." panggil Samira dengan manja. "Impian Samira terwujud, Abah! Walaupun hanya bekerja di bagian pemasaran." lanjut Samira sambil mengenggam tangan ayahnya, berusaha menghilangkan kekhawatiran di benak sang ayah. "Sam bisa menjaga diri, bah." janjinya dengan yakin.

Sang ayah mengelus kepala Samira yang dibalut kerudung instan berwarna biru dongker.

"Alhamdulillah jika Samira sudah menemukan cita-cita. Abah hanya berpesan, jaga lisan dan jaga diri. Apa yang kamu jaga untuk suamimu nanti."

Samira mengangguk dengan nasihat ayahnya, ia tersenyum maklum karena

semenjak kematian ibunya yang sudah menginjak tahun ke tujuh. Abah menjadi laki-laki yang teramat posesif. Abah melarang Samira untuk berdekatan dengan laki-laki, atau jika tidak, Abah akan ikut menunggu saat ada seorang laki-laki berkunjung di rumah minimalis bercat hijau yang terletak di kampung Salakan.

Rumah yang memiliki halaman belakang yang luas menjadi tempat berdirinya kandang ayam. Ayam bangkok peliharaan Abah yang menjadi salah satu penghasilan sampingan selain uang pensiunan. Jelas tidak dipungkiri jika Samira sudah hafal betul bagaimana sifat ayahnya. Segala macam kultum untuk menjaga diri sering Samira dengar, segala macam dosa-dosa yang ditanggungpun tak pernah luput dari ingatan.

"Samira mandi dulu, Bah! Sarapannya juga udah siap di meja. Abah jangan lupa sarapan." teriak Samira sambil lalu.

Kantor Cemerlang Abadi TBk. 

Malam pesta terasa begitu ramai dan menakjubkan. Riuh rendah suara tepuk tangan mengisi keheningan ball room kantor yang terletak di jalan Sudirman. Keberhasilan Aslan memenangkan tender proyek pembangunan mega mall menjadi awal kesuksesan tersendiri untuk Aslan. Berkat kerja kerasnya, ia berada di posisi kedua setelah pemilik perusahaan Cemerlang Abadi TBk yang tak lain adalah kakeknya sendiri. Ahmad Sastrawinata.

"Congrats, bro. Kita mau ngerayain apa lagi setelah ini?" ujar Robby, sekertaris Aslan.

Aslan mendentingkan gelas sampanye yang di ulurkan Robby. Tapi Aslan hanya bungkam, ia tak menjawab apapun, ia hanya menandaskan sampanye di gelasnya. 

"Mau lagi bro?" tawae Robby setelah ia melihat kerutan di dahi Aslan yang begitu kentara.

"Mau bro, aku butuh istri!" kata Aslan tanpa sadar.

"Istri!" Robby terkesiap mendengar permintaan Aslan.

"Istrimu ada disini, Rob?" Aslan bertanya dengan linglung.

Robby berdecak sambil menuangkan sampanye kembali ke gelasnya. Ia menggeleng tak percaya semakin malam Aslan semakin melantur ucapannya.

"Kamu enggak mabuk kan, bro? Apa perlu aku antar pulang ke apartemenmu?"

"Proyek ini benar-benar menyita pikiran ku, Rob!" jelas Aslan yang menghindar dari keramaian pesta.

"Jadi kamu benar-benar menginginkan seorang istri?" Robby seperti mendapat secercah harapan dan kekonyolan. Pasalnya Aslan adalah laki-laki yang tertutup dengan urusan pribadinya semenjak kegagalannya bersama pacarnya yang lama. Namun, tak sedikit karyawan wanita yang mengidolakannya menjadi calon iman masa depan.

"Calon iman darimana, imannya Aslan saja tidak pasti." cibir Robby, namun Aslan tak menggubrisnya sama sekali.

"Bersenang-senanglah dengan gadis, As! Itu akan membuat beban di pangkal pahamu berkurang!" gurau Robby yang langsung membuat Aslan melotot.

"Tidak ada gadis yang menarik di sini!" ucap Aslan.

Robby tersenyum tipis.

"Sebelah sana ada gadis sexy, As. Anak komisaris besar. Badannya cukup sintal, cukup empuk untuk diajak tidur." goda Robby seraya terkekeh. Aslan melemparkan pandangnya pada gadis itu sebelum tersenyum miring.

"Cewek sexy sudah lumrah menjadi incaran banyak orang, dan aku sudah merasa bosan dalam bersaing!" ucap Aslan.

Robby menggeleng sambil mengangkat botol sampanye lagi.

"Sepertinya hanya ini yang membuat kita senang, As. Tidak perlu membicarakan wanita, aku doakan saja kau akan mencair kapan-kapan. Mari kita menikmati masa-masa kejayaan ini dengan minum-minuman sebelum esok kita harus bekerja keras!"

Aslan mengangkat botolnya, namun ia tenggelam dalam kenikmatannya sendiri.

Pertemuan singkat

Keesokan harinya. Kesibukan sudah terjadi di rumah sederhana bercat hijau itu saat sinar matahari tampak mengintip dari ufuk timur.

Hari ini adalah hari pertama Samira harus pergi ke kantor cabang tempatnya bekerja. Pekerjaan yang mengharuskannya bekerja di lapangan membuatnya enggan menggunakan sepatu hak tinggi, ia memilih menggunakan sneaker wedges yang membuatnya nyaman dalam bergerak dan terlihat lebih tinggi.

"Sam... waktunya sarapan." Abah melongok ke dalam kamar putrinya.

Samira tersenyum manis. "Iya, Bah."

Abah menunggu Samira merapikan bajunya sebelum keluar membawa tas berisi laptop dan air mineral.

"Aihhh... Pagi-pagi makan seblak." Samira berlonjak senang, ia menarik kursi duduknya dan tersenyum hangat melihat semangkok seblak kuah hangat di depannya.

"Makanan kesukaan putri Abah, biar semangat kerja."

Samira dan Abah dengan khidmat berdoa, setelahnya sarapan pagi penuh suka cita mengawali hari pertama Samira pergi bekerja.

Samira menarik tangan Abah dan mencium punggung tangannya. "Abah, Sam pergi dulu!" Abah mengelus kepala Samira yang tertutup jilbab berwarna hitam.

"Sam, ingat pesan Abah. Jangan lupa sholat dan menjaga diri." Samira mengangguk dan mengucap salam.

Samira menggeber Motor Supra kebanggaannya keluar dari jalanan desa. Matahari yang bersinar cerah di langit biru, ditambah sejuknya udara dan hamparan sawah yang menghijau membuat Samira tersenyum.

Setengah jam kemudian ia sampai di kantor cabang tempatnya bekerja. Ia cukup terhenyak melihat wanita-wanita cantik nan seksi dengan baju minimalis, dandanan tebal menggoda, rambut indah bergelombang yang tergerai bebas. Sementara ia sendiri memakai celana span dan blouse wanita yang terlihat kebesaran, wajah yang ia poles dengan make-up seadanya.

"Ini mau fashion show atau mau kerja?" gumam Samira sambil melempar senyum ramah kepada rekan kerjanya. Namun ia dipandang aneh oleh teman barunya.

"Lolos interview juga, Kak?" tanya Samira basa-basi. Baginya di situasi canggung seperti ini mengobrol akan mengurangi rasa groginya. Terlebih teman kerjanya adalah wanita semua.

"Hmm... kita buka teman, kita saingan!" celetuk salah seorang wanita dengan belahan dada yang terbuka.

Samira manggut-manggut seraya tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya. Wanita dengan dada besar itu menggapai tangan Samira. "Shasa." ucapnya genit dan manja.

Selang beberapa menit manager bagian pemasaran sekaligus pengawas kantor cabang datang.

"Bagus-bagus kalian semua tepat waktu." ucapnya sambil tersenyum lebar. "Ayo masuk!"

Mereka berempat berbondong-bondong masuk ke dalam ruangan bernuansa serba putih.

"Shasa, Samira, Ana dan Maryati." ucapnya sambil menunjuk satu persatu. Laki-laki dengan tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu itu menatap tajam ke arah Samira. Matanya terpejam sesaat lalu membuang napas. "Okelah, no problem."

Bramantyo menarik berkas-berkas data diri yang tertumpuk di atas mejanya, ia membacanya satu persatu dengan bibir yang berucap.

"Kerja keras dan tahan banting itulah motto kami sebagai anak cabang. Terserah bagaimana cara kalian mendapat pembeli, mau pakai jilbab oke. Mau pake kemeja dengan belahan dada terbuka boleh, yang penting ada proyek yang bisa kita serahkan ke kantor pusat. Mengerti?"

Ke empat pegawai baru itu saling melempar pandang seraya mengendikkan bahu.

"Maksudnya kami bebas berekspresi? Tidak ada aturan dalam berpakaian?" tanya Shasa. Dadanya langsung naik-turun saat Bramantyo mengangguk setuju.

Samira apalagi, ia senang mengingat lagi menjadi sales girl identik dengan rambut panjang terurai, body bahenol ditambah riasan wajah yang menor.

"Tapi ingat, TARGET! Itu yang paling penting." Bramantyo mengeluarkan surat perjanjian kontrak kerja. "Baca baik-baik surat perjanjian kontrak kerja. Jika setuju, besok pagi datang lagi kesini dengan tanda tangan di atas materai!" jelas Bramantyo sebelum membagikan satu persatu surat perjanjian itu.

Samira menariknya, dengan seksama ia membaca satu persatu perjanjian yang tertulis dalam dua lembar kertas.

"Jadi harus resign kalau tidak mendapatkan target proyek pembangunan?" gumam Samira. Ia

harap-harap cemas, ia yang tak mau gegabah akhirnya memilih meninggalkan kantor cabang. Ia mengendarai motornya dengan perasaan gelisah, ia takut tidak bisa mencapai target, belum juga denda yang menghantuinya.

*

Apartemen Sudirman.

"Inem..!!!" teriak Aslan saat mendapati dirinya sudah terlambat masuk kerja. Sangat terlambat kerja.

Inem yang baru mencuci piring terpogoh-pogoh dari arah dapur menuju kamar Aslan.

"Mas Aslan sudah bangun?" tanya Inem dengan khawatir.

Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, harusnya jam segini raganya sudah berada di kantor atau tempat kontruksi untuk melihat jalannya persiapan mega proyek yang di kerjakan perusahaannya.

"Aku terlambat kerja gara-gara kamu, Nem!" sungut Aslan yang di rundung kepanikan, kepalanya begitu pening akibat mabuk semalam. Ia termangu sembari memegangi kepalanya di tepi ranjang.

Inem yang merasa tak melakukan tuduhan yang Aslan katakan,

melempar serbet ke arah majikannya.

"Sudah saya bilang Tuan Aslan yang terhormat! Cari istri biar ada yang membangunkan tidurmu! Jangan Mbok Inem terus..." Inem mengembuskan napas, dalam benaknya ia takut juga di pecat Aslan karena kurang ajar.

"Siapkan baju kerja!" Aslan tak acuh dengan perkataan Inem soal mencari istri, baginya mencari istri adalah urusan nanti ketika ia sudah menemukan siapa Tuhan-nya.

"Warna apa?" tanya Inem.

Pembantu rumah tangga yang sudah dua tahun bekerja dengan Aslan tahu betul bagaimana model berpakaian Aslan dan selera makannya. Juga bagi Aslan keberadaan Inem di apartemennya sudah cukup membantu kebutuhannya.

"Apa saja, Nem! Jangan lupa kopi hitam!" Aslan gegas masuk ke kamar mandi, ia benar-benar sudah terlambat. Inem pun bergerak cepat, beberapa pakaian sudah ia siapkan diatas meja, bukan hanya pakaian kerja, pakaian dalam pun Inem siapkan.

"Kenapa yang ini, Nem. Karetnya udah molor!" teriak Aslan lagi sehabis mandi.

Inem menggerutu kesal sembari masuk lagi ke kamar Aslan, ia mengambil beberapa celana pengaman milik Aslan yang tidak molor karetnya.

"Ada yang mas Aslan butuhkan lagi?" tanya Inem, menahan jengkel.

"Keluar!!!" bentak Aslan.

Inem nyaris menarik handuk yang melilit di pinggang Aslan jika saja ia kurang ajar. Sayang ia dan Aslan sudah seperti ibu dan anak.

Sepuluh menit berkemas, Aslan menyaut tas kerjanya dan kunci mobilnya sebelum bergegas melupakan kopi hitam yang Inem buat.

Inem membuang napas panjang.

"Terpaksa ngopi lagi... Melek lagi...!" gumam Inem seraya meminum kopi hitam buatannya sendiri.

***

Dalam perjalanan menuju kantor, Aslan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Dari arah yang sama, Aslan memaki sambil menekan pedal rem dengan cepat tak kala melihat pengendara motor oleng di depan mobilnya. Samira hilang kendali. Pikirannya yang kalut membuatnya tidak fokus hingga berada di lajur kendaraan roda empat.

"Allahuakbar!" Samira tersenyak kaget saat bunyi klakson mobil terus menerornya. Kesadaran kembali menghinggapinya, ia mengerem motornya dengan kepanikan yang menyala-nyala.

"Punya mata nggak, Lo." teriak Aslan dari dalam mobil.

Aslan memukul stir mobilnya dengan keras, ada-ada saja pemicu amarah di pagi yang masih menyisakan rasa pening di benaknya.

Samira menoleh, ia mengatupkan kedua tangannya saat tatapannya bertemu dengan mata galak Aslan.

"Maaf, kak."

"Untung gak nabrak, kalau iya! Makin ribet urusannya!" gerutu Aslan kembali melajukan mobilnya. Sejenak dari kaca spion ia melihat Samira sudah kembali ke lajur kiri.

"Ya Allah..., hampir saja aku mati dengan takdir yang aku putuskan sendiri."

Berkali-kali Samira mengucapkan istighfar. Degub jantungnya terus berdetak kencang, hingga Samira memilih untuk berhenti di tepi jalan menenangkan dirinya. Ia mengeluarkan air mineral dari dalam tasnya.

"Mungkin aku kurang minum, jadi nggak fokus!" Samira meneguk air minumnya. Berkali-kali ia mengatur napas sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah. Ia ingin meminta pendapat Abah mengenai kontrak kerjanya.

"Aku yakin, pasti Abah juga nggak setuju."

Tawaran lain

Berbekal keyakinan dan ceramah sang Abah. Pagi ini Samira bertekad untuk kembali ke kantor cabang untuk mengembalikan surat perjanjian. Ia mengambil keputusan untuk tidak menerima perjanjian kontrak yang di ajukan pihak perusahaan Cemerlang abadi Tbk.

Dengan menggunakan jilbab pashmina berwarna coklat muda dan balutan pakaian sederhana namun menawan, ia mulai berkendara di jalanan kota.

Niatnya kerja sudah pupus, tapi doa dari sang Abah tercinta tak akan pernah tahu kapan diijabah-Nya. Bisa nanti, lusa atau kapan-kapan jika sang pencipta mengizinkannya.

***

Pukul tujuh lewat setengah jam.

Kantor cabang terlihat ramai dari biasanya. Banyak mobil-mobil mewah terparkir di depannya. Motor Supra kebanggaan Samira jadi terlihat seperti ekor kuda lumping yang nyempil di sana.

"Terlihat buruk rupa, tapi bagiku kamu istimewa!" gumam Samira menyemangati motornya, sedangkan motornya sudah protes ingin di service.

"Assalamualaikum."

Kehadiran Samira yang terlihat biasa saja justru mencolok perhatian atasan-atasan perusahaan termasuk Aslan. Aslan mengamatinya dengan seksama seraya menggeleng cepat.

"Nggak mungkin itu cewek lagi, nggak!"

Hari ini dia sedang melakukan sidang dadakan di kantor cabangnya. Kantor cabang yang tidak pernah memberi proyek, sekalipun proyek pembangunan mini market ataupun kapling 49m².

"Bos... Perkenalkan dia Samira. Pegawai baru di kantor ini!" Bramantyo menarik tangan Samira, sontak saja Samira langsung menepis tangannya.

"Maaf, pak Bram! Saya kesini ingin mengembalikan surat perjanjian kemarin. Saya membatalkan diri untuk bekerja di sini, saya tidak sanggup!" urainya terang-terangan.

Buru-buru Samira mengambil surat perjanjian dari dalam tasnya, sementara Bramantyo jadi tersenyum pilu.

"Lupa gue, anjir. Belum terima kontrak."

Aslan memperhatikan penampilan Samira dari atas ke bawah. Perhatiannya terpusat pada tas yang di bawa Samira.

"Aku ingat!" seru Aslan tiba-tiba.

Semua manusia dan makhluk astral mungkin langsung menoleh ke arahnya.

"Ingat apa, Bro? Ingat tanggungan perusahaan?" seloroh Robby. Sekretaris Aslan yang tidak pernah menganggap Aslan atasannya itu kontan cengengesan.

"Kamu yang hampir bikin kita kecelakaan kemarin kan?" tuduh Aslan sambil menunjuk Samira.

Samira terpanah, harusnya urusan dengan kantor cabang usai hari ini, kini ia malah dipertemukan dengan laki-laki yang melotot dan memakinya kemarin.

Kok bisa ketemu lagi sih, deg-degan lagi kan.

"Saya? Kenapa bisa begitu?" elak Samira sambil menunduk saat Aslan meneliti wajahnya. "Jangan melihat saya seperti itu!" sentaknya galak.

"Kenapa emangnya?" tanya Aslan tetap memandangi Samira.

"Karena anda haram bagi saya!" sungut Samira. Aslan semakin bingung. "Kalo haram, berarti bisa di halalkan dong?" sahut Aslan sambil tersenyum miring.

"Bisa asal nikah dulu!" lanjut Samira masih dalam keadaan menunduk.

"Kode keras, Bro!" timpal Robby.

Aslan berdecih, ia duduk di kursi kehormatannya. Bramantyo yang sudah kalang kabut akhirnya duduk bersimpuh di hadapan Aslan.

"Beri aku kesempatan lagi bos." Bramantyo mengatupkan kedua tangannya. Berharap.

"Bukannya aku sudah bilang, Bram. Jika tidak ada proyek yang kamu dapatkan bersama karyawanmu, terpaksa kantor ini aku tutup!"

Pemandangan itu tak lepas dari mata Samira yang meliriknya diam-diam. Hati Samira seakan tersentuh saat Bramantyo benar-benar tersudutkan karena tuntutan para petinggi perusahaan.

"Saya mau kerja di sini, tapi tidak mau di denda!" ucap Samira lugas. Entah apa yang merasuki jiwa kemanusiaannya saat tahu kantor ini akan di tutup karena tidak ada karyawan yang menghasilkan suatu kemajuan.

"Dewi Fortuna!" ucap Bramantyo, ia berdiri lantas membersihkan lutut celananya.

"Tidak bisa begitu, Bram." Robby tersenyum iblis. "Kehadiran kami di sini memang bertujuan untuk menutup kantor ini, iya atau tidak dengan proyek kerja " ucap Robby serius.

Kening Bramantyo berkerut. "Maksudnya, saya tidak dipecat?"

Aslan tertawa. Entah kenapa keadaan ini seperti mempermainkan hati Samira. Samira jadi sensi sendiri.

"Assalamualaikum!" ucap Samira sinis dan bergegas keluar dari ruangan Bramantyo, ia berpapasan dengan Shasa yang berada di luar ruangan.

"Sha... kantor ini mau ditutup!" gurau Samira. Shasa yang menggunakan pakaian terbaiknya protes-protes tidak terima. "Tapi bohong!" , Samira jadi terkekeh geli saat bisa mengajak orang lain kena tipu Aslan dan antek-anteknya.

Aslan, Robby dan Bramantyo keluar dari ruangan.

Robby yang melihat bodi Shasa bak gitar spanyol menyenggol lengan Aslan.

"Dua pilihan, Bro! Mau yang mana? Menjaga hati dan tubuhnya, atau yang aduhai atas bawah?" bisik Robby ditelinga Aslan. Aslan melirik tak acuh.

"Shasa? Bagaimana?" tanya Bramantyo.

Dengan sensual ia mengambil surat perjanjian dari dalam tas jinjingnya.

"Ready to work, Pak!"

"Bravo, Shasa kamu diterima! Dan untuk kamu Samira, kamu juga akan bekerja dengan kami!" kata Bramantyo lengkap dengan senyum semringah penuh tanda tanya. "Tidak ada denda, tapi itu artinya kamu bisa bekerja di kantor pusat sebagai cleaning servis."

Cleaning servis?

Samira mendesis. "Harus di ralat, pak Bram! Saya tidak jadi mengajukan diri, lebih baik saya jadi penjual ayam goreng seperti Mail!"

Aslan bergeming dengan tatapan yang kembali mengamati Samira. Samira yang di tatap membuang muka.

"Jual mahal!" cibir Aslan.

"Saya memang mahal!" sergah Samira cepat.

"Berapa harga paha ayammu?"

Hati Samira bergemuruh tidak terima, pertanyaan itu seperti mencemoohnya, Samira mendekat dan menatap tajam ke arah Aslan.

"Kalau saya tanya balik, berapa harga paha perusahaanmu? Anda bisa menjawab apa!" Suara Samira meninggi.

"Seharga dirimu!" jawab Aslan santai.

Samira membuang napas.

"Anda sopan saya segan!" sungut Samira sebelum keluar dengan mulut yang ngomel-ngomel.

Robby, Bramantyo dan Shasa terpukau melihat drama yang baru saja terjadi.

"Luar biasa. Benar-benar ******* yang optimal!"

Prok... Prok... Prok...

Robby bertepuk tangan, ia mengikuti langkah Aslan yang bergegas keluar dari kantor.

"Mulai siapkan pemindahan, besok kantor ini akan dijadikan tempat rescue anjing dan kucing terlantar!" teriak Aslan kepada Bramantyo.

Sebagai anak cabang ia hanya mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Akhirnya kerja di kantor pusat!" gumamnya sambil menatap drama yang terjadi di parkiran.

Motor Samira yang menghalangi mobil Aslan membuat Robby melongok keluar dari jendela mobil.

"Woyyy..., motor siapa nih. Ketabrak jangan minta ganti!" teriak Robby.

Ada kilau geli di mata Aslan sewaktu Samira meminggirkan motornya sambil

berdecak kesal.

"Kalau saja aku punya tongkat sihir, sudah ku sulap mereka menjadi pangeran kodok!" batin Samira kesal.

Mobil keluar dari lahan parkir dengan gelak tawa Robby dan Aslan. Mereka meninggalkan ketiga karyawan yang sibuk membereskan berkas-berkas penting. Samira terketuk hatinya dan memilih membantu Bramantyo dan Shasa.

"Sudah cantik, kerjanya di suruh beres-beres!" omel Shasa pada dirinya sendiri.

"Shasa besok kamu kerja di kantor pusat." kata Samira, ikut sibuk membereskan apapun itu ke dalam kontainer.

"Di kantor pusat banyak mangsa dan saingan!" timpal Shasa. "Pak Bram. Maryati dan Ana tidak kesini?" tanya Shasa.

Bramantyo mengangguk.

"Jadi cuma berdua saja dari kantor cabang. Karyawan yang lain gimana?" Shasa penasaran karena tidak terlihat adanya karyawan lain di kantor ini.

"Jam segini udah pada keliling. Nanti siang baru akan di adakan brifing pemindahan karyawan ke kantor pusat!" jelas Bramantyo. "Bagaimana denganmu, Sam! Mau jadi cleaning servis gak?"

Samira mengangkat bahu. "Samira tanya Abah dulu, boleh?"

Bramantyo tersenyum maklum. "Dasar anak Abah!" guraunya yang membuat Samira tersipu malu.

"Ya iyalah anak Abah! Anak siapa lagi? Anak tetangga?" balas Samira. Gelak tawa jadi terdengar kemudian.

***

Di dalam mobil yang melesat ke arah kantor. Aslan dan Robby masih terkekeh membicarakan motor butut Samira.

"Gila tuh cewek. Besar juga nyalinya nantangin kamu tadi, As." seru Robby.

Aslan tersenyum tipis. "Justru cewek-cewek yang begitu yang punya pendirian tinggi, Rob."

Terdengar nada kagum dari penuturan Aslan.

Robby yang sangat memahami temannya itu menghela napas, ia ingin bermain tebak-tebakan dengan Aslan untuk menerka bagaimana reaksi Aslan mengenai Samira.

"Jadi kalau menurutmu, dia mau jadi cleaning servis gak?" tanya Robby.

Aslan mengendikkan bahu, ia tidak tahu karena memang ia tidak berharap banyak dari wanita yang memakai jilbab tadi untuk hadir di perusahaannya.

"Lihat aja besok, kalo datang, siapkan suprise untuknya."

Aslan melipat kedua tangan di depan dada sambil tersenyum penuh arti.

"Lihat saja!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!