Mihika sedang berada di Negeri di atas awan Gunung Luhur Banten, mengabadikan pemandangan yang sungguh indah luar biasa. Panorama yang menyajikan pesona keindahan berbeda, membuat kita seakan berada di atas awan dan dikelilingi oleh awan. Telah mengabadikan momen dengan berbagai macam teknik pengambilan gambar untuk mendapatkan hasil sempurna.
Kecintaannya pada dunia fotografi membuatnya sering melakukan perjalanan, bukan hanya mencari spot foto menarik tentang tempat wisata tetapi berbagai macam hal. Bahkan moment ulat bulu yang berjalan dalam selembar daun pun tak luput dari jepretan kamera Mihika.
Latar pendidikan Mihika sebenarnya bukan tentang fotografi, ia lulusan Magister manajemen dan bisnis mengikuti keinginan ayahnya. Sejak kecil sudah ditinggal Ibu, membuat Mihika terbiasa hidup mandiri karena kesibukan sang Ayah.
Aditya Yodha, pengusaha properti yang sudah dikenal. Iniland property adalah salah satu perusahaan miliknya. Aditya tidak pernah lelah menasehati Mihika untuk mau bergabung dengan perusahaan meneruskan perjuangannya. Namun, sepertinya Mihika tidak pernah tertarik untuk memenuhi permintaan Ayahnya.
“Halo.”
“Mihika, dimana kamu?” ucap sang Ayah di ujung sana.
“Suaranya kurang jelas Yah, aku sedang di atas gunung. Besok aku pastikan sudah ada di rumah.” Mihika kemudian mengakhiri panggilan dari ayahnya.
Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kediaman Aditya Yodha.
“Anak ini, kapan mau dengarkan aku. Apa manfaatnya naik turun gunung hanya untuk berfoto. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikirannya.” Aditya bermonolog, duduk pada salah satu kursi di meja makan. Tentu saja hanya sendiri dan merasa kesepian.
“Ujang!” panggilnya pada supir yang biasa menemani kemanapun ia pergi, “ayo berangkat.”
“Tidak sarapan dulu Tuan?”
“Nanti saja di kantor, banyak yang harus kita lakukan hari ini. Semoga Mihika cepat dapat hidayah untuk bantu aku di perusahaan.”
Keesokan hari, berada di kediaman Cakra. Mihika yang sudah pulang sejak semalam tidak menemukan Ayahnya. Karena kondisi tubuhnya yang lelah, dia berfikir Ayahnya sedang banyak pekerjaan jadi masih berada di kantor dan hal itu biasa Aditya lakukan. Bahkan terkadang Aditya tidak pulang, memilih istirahat di kamar pribadi dalam ruang kerjanya.
Dengan masih mengenakan piyama dan rambut yang agak berantakan karena baru saja terbangun. Dia menuju meja makan, berharap asisten rumah tangganya sudah menghidangkan sarapan. Namun melihat meja yang kosong dia melangkahkan kaki menuju dapur mengambil gelas dan mengisi air dari dispenser.
“Ya ampun, Non Mihika, ngagetin bibi aja.”
“Aku diem-diem aja sih, dibilang ngagetin. Kecuali aku mengendap-endap lalu, dorrr... itu namanya ngagetin.”
“Ya sama aja dong, intinya bibi kaget.”
Mihika menggaruk kepalanya, beberapa hari ini dia belum mencuci rambut karena mengejar pemandangan negeri di atas awan. “Bi, kok nggak masak sih, aku lapar. Ayah kemana gitu?”
“Loh, Non Mihika memang belum tau?”
“Tau apa?”
“Semalam ‘kan Bapak masuk Rumah Sakit.”
“Hah, kok aku nggak ada yang kasih kabar ke aku.”
“Bibi pikir Non Mihika pulang untuk ambil perlengkapan Bapak.”
Mihika bergegas meninggalkan dapur, menuju kamarnya. Mengambil ponsel yang ternyata sudah mati entah sejak kapan. “Shitttt, pantes aja.” Lalu melesat menuju kamar mandi sekedar mandi kilat, rencana mencuci rambutnya pun menguap entah kemana.
Masuk ke mobil, namun ia belum tau dimana Ayahnya dirawat. Menghidupkan mesin mobilnya dan mencharger ponsel yang telah mati. Beberapa menit kemudian dia menghidupkan ponselnya yang masih tersambung kabel charger.
“Halo, Om Jo.” Hika menghubungi Johan asisten dan orang kepercayaan Ayahnya.
“Ya.”
“Ayah masuk rumah sakit kok nggak ada yang info ke aku. Aku ini satu-satunya putri Ayah, kalian tega sekali ya.”
“Hmm, siapa sebenarnya yang tega di sini?”
“Yah, Om Johan dong. Buktinya hanya aku yang enggak tau kalau Ayah sakit.”
Terdengar helaan nafas Johan.
“Coba kamu cek ponsel kamu.”
Lalu panggilan berakhir.
“Eh, lama-lama Om Johan itu nyebelin ya, dikasih hati minta jantung kayaknya. Mentang-mentang sudah jadi orang kepercayaan Ayah,’’ ucap Mihika sambil memeriksa ponselnya sesuai arahan Johan.
Dia mengerutkan dahinya melihat banyaknya panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari Johan kalau dilihat waktunya sejak kemarin malam. Membuka pesan paling akhir yang dikirim Johan menyebutkan nama Rumah Sakit tempat Ayahnya dirawat.
“Ya Tuhan, kalimat tentang Om Johan tadi aku tarik lagi deh, Om Johan baik kok.” Lalu meninggalkan rumah menuju Rumah Sakit.
Saat tiba di depan kamar ruang rawat Ayahnya, Johan telah menunggu dengan melipat kedua tangannya di dada. Memasang wajah datar yang sangat sulit ditebak, entah itu sedang marah, kesal, senang atau bahkan biasa saja.
Mihika dengan nafas sedikit terengah karena berlari dari parkiran sampai ke kamar rawat Ayahnya, bertanya pada Johan, “Gimana kondisi Ayah? Kata dokter Ayah sakit apa Om? Aku mau bertemu Ayah.”
“Sebentar, ada hal yang perlu aku tanyakan,” ucap Johan. “Sebenarnya kamu menyayangi Ayahmu tidak?”
Mihika berdecak, “Kalau itu tidak usah ditanya lagi Om, ya pasti aku sayang Ayah.”
“Kamu tau apa yang sedang terjadi dengan perusahaan?”
Mihika menggelengkan kepala.
“Kamu tau beban yang sedang ditanggung oleh Ayahmu?”
“Enggak,” jawab Mihika.
“Kamu tau apa yang Ayahmu inginkan?”
“Enggak juga,” sahut Mihika.
“Lalu, bagaimana kamu mengklaim kalau kamu menyayangi Ayahmu. Kalau semalam Ayahmu meregang nyawa, aku yakin seumur hidup kamu akan menyesal. Aku hanya berharap kamu tidak menyia-nyiakan kasih sayang Ayahmu.”
“Ma-maksudnya gimana Om? Sebenarnya apa yang terjadi?”
\=\=\=\=
Hai,, ketemu lagi 😍😍
“Lalu, bagaimana kamu mengklaim kalau kamu menyayangi Ayahmu. Kalau semalam Ayahmu meregang nyawa, aku yakin seumur hidup kamu akan menyesal. Aku hanya berharap kamu tidak menyia-nyiakan kasih sayang Ayahmu.”
“Ma-maksudnya gimana Om? Sebenarnya apa yang terjadi?”
“Pasien mengalami stroke, karena adanya penyumbatan aliran darah ke otak. Bisa disebabkan karena tekanan darah tingginya juga hal penyebab lainnya. Yang jelas saat ini pasien belum bisa beraktifitas normal seperti sebelumnya. Akan banyak aktifitas yang harus dilakukan menggunakan kursi roda.” Penjelasan dokter membuat hati Mihika perih seakan sesuatu mengiris sebagian hatinya. Menghampiri ranjang tempat Ayahnya terbaring lemah dan duduk pada kursi di samping ranjang tersebut.
“Ayah,” ucap Mihika lirih dan suara parau karena menahan tangis. “Maafkan Mihika. Mihika tidak ada saat Ayah membutuhkan Mihika.”
Membenamkan wajahnya pada salah satu punggung tangan Aditya, sesekali tubuhnya berguncang karena isak tangis. Tidak lama terasa sentuhan lembut di kepalanya, Mihika menoleh dan menatap pada tangan Ayahnya yang mengelus kepalanya.
“Ayah,” Mihika berdiri dan menatap wajah Aditya sambil menggenggam salah satu tangan Aditya.
Johan menceritakan perihal keinginan Aditya yang menginginkan Mihika bergabung pada salah satu perusahaan miliknya yang mengalami masalah dan terancam bangkrut. Karena terus menerus ditolak Mihika akhirnya membuat Aditya semakin sibuk dan lelah menghadapi masalah hingga jatuh sakit.
“Kenapa Om Johan tidak terlibat langsung untuk mengaudit dan menemukan masalahnya?”
“Dengan cara itu kemungkinan kita tidak akan menemukan pelakunya, harapan satu-satunya kamu bergabung dan selesaikan permasalahan yang ada.”
“Lalu, Om Johan sendiri akan ke mana?”
“Dasar anak bodoh,” jawab Johan sambil menyentil kening Mihika, “kamu pikir usaha Ayahmu hanya satu, aku harus handle yang lain.” Mihika hendak menjawab namun, “Mi-hi-ka,” panggil Aditya.
“Iya, Ayah, aku di sini,” jawab Mihika kembali duduk di samping ranjang Aditya.
“Tolong Ayah, selamatkan perusahaan, bukan untuk kita tapi untuk para pekerja. Ribuan karyawan menggantungkan nasibnya pada perusahaan,” pinta Aditya dengan suara lirih dan pelan.
Dengan segala rasa yang mengarah pada berat hati untuk melaksanakannya, Mihika akhirnya menyanggupi permintaan Aditya, “Baiklah, tapi dengan satu syarat,” ucap Mihika.
“Apa?” tanya Johan.
“Biarkan aku bergabung dan menjalankan misi bukan sebagai Mihika Yodha, tapi berikan aku identitas lain tanpa seorangpun tau.”
Aditya menggelengkan kepala, bertanda dia keberatan, begitu pula dengan Johan, “Ini beresiko, akan lebih aman kalau perusahaan mengetahui kalau kamu penerus Yodha,” ujar Johan.
“Aku tidak akan menemukan pelaku dan mengatasi masalah jika semua karyawan tau identitas aku dan akan memberikan segala kemudahan saat aku bekerja.”
Johan menghela nafasnya, dia akan mengatakan sesuatu namun, “Take it or leave it,” ucap Mihika.
“Okey, as you command.”
...***...
Hika berada di depan gedung Iniland Property, memandang gedung yang berdiri kokoh di hadapannya, dengan tampilan tidak biasa. Rambutnya dicepol seperti penampilan Pramugari, menggunakan kacamata dan setelan kerja yang terlihat ketinggalan jaman.
Memasuki lobby perusahaan dengan percaya diri, tapi kali ini identitasnya bukan sebagai Mihika tapi menyamar sebagai Hika, sebagian pekerja mengetahui Aditya memiliki seorang putri tapi tidak mengenal ataupun pernah melihat langsung wajah Mihika karena memang dia tidak pernah terlibat pada aktivitas ayahnya.
Bugh.
Seseorang menyenggol tubuh Hika saat melewatinya, "Jalan pakai mata, kamu pikir perusahaan ini milik Ayahmu," ucap seorang wanita yang berjalan dengan gaya sombong dan penampilan extraordinary. Dengan wajah full make up dan style pakaian membuatnya terlihat menggoda, bahkan Mihika tau harga pakaian wanita itu dari atas sampai kebawah lumayan mahal karena merknya bukan merk abal-abal.
"What!! Dia yang nabrak aku kenapa dia yang marah," lirih Hika. ‘Siapa sih itu perempuan, gaya bener,’ batin Mihika.
"Namanya Lela," ucap seseorang yang berdiri disamping Hika.
"Maksudnya?"
"Perempuan tadi, yang nabrak kamu tapi malah dia yang marah namanya Lela, Lela Gunawan. Kalau bisa jangan ada urusan sama dia, ribet urusannya," ucapnya lagi. "Karyawan baru?"
Hika mengangguk.
"Aku Dio," ucapnya sambil menjulurkan tangannya. Hika pun menyambut dan mereka bersalaman.
"Hika."
"Bagian apa?" tanya Dio. "Belum tau, ini aku mau ke HRD dulu."
"HRD lantai 3, aku bagian marketing." Hika mengangguk dan tersenyum.
Memang aneh, pertama kalinya menginjakan kaki di perusahaan milik Ayahnya tanpa diketahui jika dia adalah calon pewaris perusahaan tersebut.
"Apa, Asisten pribadi direktur? Nggak salah pak?" tanya Hika pada kepala HRD. "Temui sekretaris direktur kamu akan tau list detail job desk kamu," jawab kepala HRD.
Sebelum menuju ke ruang kerja direktur, Hika menuju ke toilet untuk menghubungi Johan.
"Halo."
"Om Johan, kenapa posisi aku Personal Assistant direktur?"
"Misi kamu nggak akan berhasil kalau cuma jadi office girl atau security. Sebagai asisten pribadi kamu punya akses ke seluruh sistem dan ruangan."
"Tapi ...."
"Take it or leave it."
"What? that's my words."
"Kerja yang benar, jangan bolak-balik hubungi aku."
Hika sudah berada di depan ruang kerja direktur.
"Ini list job desk sebagai aspri silahkan pelajari, kalau ada yang mau ditanyakan silahkan langsung ke Pak Arka," ujar sekretaris Arka.
"Pak Arka?" tanya Hika sambil menerima lembaran berisi apa yang harus ia kerjakan.
"Iya direktur kita, Pak Arka Rocio. Kamu boleh panggil aku May.” Hika membaca papan nama pada meja May “Maemunah,” ucap Hika.
“Pokoknya panggil aku May,” ucapnya, “Eh itu Pak Arka sudah datang."
Hika menoleh ke arah yang Arka yang berjalan ke arahnya, lebih tepat menuju ruang kerjanya. Hika pikir direktur perusahaan Ayahnya adalah pria seumuran dengan Ayahnya, nyatanya masih lumayan muda.
Pria dengan postur tinggi menjulang, sudah pasti tidak kurang dari 180 cm. Tubuh tegapnya terlihat saat dia berjalan dan wajah yang rupawan membuat Hika berlama memandangnya. Suit yang dipakai tidak dapat menyembunyikan otot tubuhnya yang kekar, yang pastinya membuat para wanita ingin sekali meraba dan menyentuhnya.
\=\=\=\=\=\=\=
"Selamat Pagi, Pak,” sapa May.
"Hmm," ucapnya sambil berlalu. Hika tidak dapat berkata apapun, dia masih terkesima dengan Arka.
"Ayo masuk, aku kenalkan kamu dengan Pak Arka,” ajak May pada Hika.
May dan Hika masuk ke dalam ruangan Arka setelah mengetuk pintu, “Permisi Pak, ini Hika yang akan menjadi Aspri Bapak,” ujar May. “Oke, kamu boleh pergi, dia tetap tinggal,” jawab Arka sambil fokus pada layar komputernya.
“Kau tidak duduk atau mau tetap berdiri sampai sore di sana,” tegur Arka menoleh pada Hika yang berdiri di depan meja kerjanya yang disambut Hika dengan segera duduk pada kursi yang ada.
“Baca list yang diberikan oleh Mae, tanyakan padaku jika ada yang kurang jelas.” Hika membaca list dan menandai yang perlu ditanyakan. Arka yang duduk di hadapannya menatap sambil melipat kedua tangannya di dada.
Arka masih menatap Hika yang tengah menunduk membaca jobdesknya, sesekali wajahnya merengut bingung dan terkadang tersenyum.
“Sudah pak, tolong dijelaskan yang saya tandai,” ucap Hika sambil menyerahkan lembaran kertas. Arka mulai membaca, “Memastikan Direktur bangun tepat waktu dan menyiapkan keperluannya pada hari-hari tertentu, kamu harus bangunkan aku, siapkan pakaian dan sarapan untuk waktu-waktu tertentu. Contohnya kalau kita ada rapat atau pekerjaan sampai malam, atau waktu tertentu sesuai arahan aku, atau kalau kita ada perjalanan bisnis mendadak.”
“Kita?” tanya Hika.
“Ya, kita. Aku selaku Direktur dan kamu Personal Assistant,” jawab Arka.
“Jadi, aku harus ikut kemanapun Pak Arka pergi?” tanyanya lagi.
Arka menatap Hika, “Lalu kamu pikir apa tugasmu, apa iya aku harus didampingi security,” ujar Arka.
‘Enggak beres Om Johan, kasih aku posisi begini amat. Gimana aku bisa selidiki masalah kalau harus mengekor orang ini terus,’ ucap Hika dalam hati.
“Ada masalah?”
Hika menggelengkan kepala, “Tidak ada Pak. Silahkan dilanjutkan.”
“Harus siap kapan pun dibutuhkan, termasuk hari libur ataupun malam hari. Ketika hari libur kamu harus siap jika aku membutuhkan sesuatu baik itu urusan pribadi atau berhubungan dengan pekerjaannya,” jelas Arka.
Hika mengangguk.
“Tidak boleh pulang sebelum Direktur pulang atau memperbolehkan pulang. Apa yang tidak jelas dengan hal ini.”
“Jadi, jam kerja saya tidak pasti pak?”
“Hmm.”
“Oke, next,” ucap Hika.
Arka kembali menjelaskan uraian pekerjaan yang harus dilakukan oleh Hika, sesekali Hika menyela untuk bertanya atau menawar agar tugasnya lebih mudah yang sudah pasti ditolak oleh Arka.
Sampai akhirnya Arka melemparkan lembaran kertas tersebut, “Kamu pelajari sendiri, aku banyak pekerjaan tidak ada waktu membacakan hal ini untukmu.”
“Bukan membacakan Pak, tapi menjelaskan,” sahut Hika. Arka berdecak, “Kamu sekolah manajemen tidak mungkin awam masalah ini,” ujar Arka.
“Dari mana Pak Arka tau saya sekolah Manajemen?” tanya Hika. “Kamu pikir bagaimana mungkin HRD mudah menerima kamu sebagai personal assistant aku kalau tidak memiliki background pendidikan yang baik. Satu lagi, berdirilah!” titah Arka.
Hika pun berdiri. “Berputar!”
Hika pun memutar tubuhnya. “Apa penampilan kamu tidak bisa dirubah?” tanya Arka.
“Kenapa harus dirubah Pak? Seingat saya, pakaian yang saya kenakan tidak termasuk tidak boleh dikenakan saat bekerja.”
“Ya memang tidak melanggar, tapi nggak enak dilihat. Tidak menarik dan membosankan,” ungkap Arka menilai penilaian Hika. ‘Memang itu tujuannya, agar tidak ada yang mengenaliku,’ batin Hika. Terdengar pintu diketuk lalu masuklah seorang wanita, wanita yang tadi pagi menabrak Hika.
‘Hah, perempuan ini lagi,’ batin Hika.
“Pagi Pak Arka,” sapa Lela lalu menoleh pada Hika dan berdiri disamping kursi Hika. “Kamu siapa?” tanyanya.
“Saya Hika.”
“Aku tidak tanya nama kamu, tapi siapa kamu ada di ruangan Pak Arka?”
“Dia personal assistant ku yang baru, Hika kamu keluar dulu. Minta Mae tunjukan meja kerja kamu.”
“Oke.” Hika menatap Lela yang juga menatapnya lalu meninggalkan ruangan. Namun, saat sampai pintu, terdengar suara manja Lela. “Pak Arka kenapa sih abaikan telpon aku. Aku 'kan kangen.” Hika sengaja tidak menutup rapat pintu ruangan itu, dia lalu menutup mulutnya dengan kedua tangan saat mendengar suara yang dia tau itu karena beradunya dua mulut manusia, suara decapan.
“May, mereka di dalam ...”
“Sudah, kamu nggak usah ikut campur. Pak Arka itu playboy, kamu harus terbiasa dengan pemandangan tadi,” jelas May sambil fokus pada layar komputernya. “Cukup tutup mata, tutup telinga aja,” tambahnya lagi.
Hika masih berdiri di depan meja May, saat Lela keluar dari ruangan Arka. Dia memperbaiki pakaiannya lalu mengibaskan rambut kemudian berjalan melewati Hika dan May. Tiba-tiba Lela menghentikan langkahnya kemudian berbalik, “May, kasih tau aspri Pak Arka yang baru siapa aku,” ujarnya.
“Memang kamu siapa?” tanya Lela.
Hika terkikik mendengar pertanyaan May, “Heran, sekretaris sama aspri Pak Arka nggak ada yang bener. Sama-sama be*go.”
Hika menuju ruangan kerjanya, meskipun lebih kecil dibandingkan ruang kerja Arka. Di ruang itu Hika bisa melakukan penyelidikan dengan menelusuri sistem perusahaan tanpa khawatir ketahuan oleh orang lain. Seperti saat ini, Hika sedang mempelajari dan mengenal siapa petinggi di perusahaan. “Oh, jadi Lela anaknya Pak Anjay, anjay bener deh,” ujar Hika.
Telepon di meja Hika berdering.
“Hika, Pak Arka manggil lo,” ucap May diujung telepon. “Ngapain ngehubungin May, bukan langsung telepon gue.
Bergegas masuk ke dalam ruangan dan menghampiri Arka yang fokus pada berkas-berkas di mejanya. “Serahkan ini ke bagian marketing,” Arka menyodorkan map dan diterima oleh Hika. Menoleh pada wajah Arka, terlihat noda lipstik yang tertinggal di bibir pria itu. Sepertinya jejak Lela masih tertinggal di wajah Arka.
‘Oh my god, enak bener mereka mesum di perusahaan Ayah. Jangan-jangan orang yang terlibat di balik terpuruknya perusahaan ini adalah....’ batin Hika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!