Tap...
Tap...
Tap...
Suara nafas saling memburu, seorang wanita berlari menaiki lift dengan cepat menekan tombol.
Lift berhenti tepat di lantai 10, ia terus berlari menghindari pria yang mengejarnya dengan membawa sajam.
Gedung yang tak ada penghuninya, membuat dirinya ketakutan. Ia terus berlari hingga keringat mengucur di dahinya.
Entah, bagaimana pria yang menggunakan topeng kini ada dihadapannya mengacungkan pisau ke arahnya.
Wanita itu berteriak sekencang-kencangnya hingga sebuah tangan menampar wajahnya.
"Talisha, bangun!" Suara keras memekakkan telinga.
Wanita yang kini berusia 24 tahun itu, mengerjapkan matanya lalu dengan cepat ia duduk.
"Kenapa kau berteriak-teriak?" Tanya wanita yang menjadi teman sekamar Talisha.
Masih dengan nafas ngos-ngosan, ia pun mulai bercerita, "Aku bermimpinya lagi."
"Mimpi yang sama setiap hari? Kau tidak sedang membualkan, Lisha?" Bertanya sinis.
"Untuk apa aku berbohong, Dena?"
Wanita menarik sudut bibirnya, "Bisa saja kau melakukannya hanya untuk menarik simpati orang lain."
"Astaga, Dena. Kau menuduhku berbohong, mimpi itu seperti nyata," ujarnya.
"Kau terlalu lelah bekerja sehingga mimpi buruk itu selalu mengganggumu. Lebih baik sekarang kau berusaha membersihkan namamu lagi," ketus Dena.
"Aku tidak melakukannya, untuk apa ku harus repot-repot menggelar jumpa pers?"
"Lisha, kontrak iklan minuman terpaksa dibatalkan karena skandal yang kau buat!"
"Aku tidak melakukannya, Dena. Semua fitnah, mereka hanya tak suka saja kepadaku," ungkap Talisha.
"Aku tak peduli, kau melakukannya atau tidak. Penting saat ini, kita harus mendapatkan kontrak iklan lagi," ujar Dena. Wanita itu pun keluar kamar.
Talisha mengacak rambutnya, "Aaarrrghhh...."
-
Seminggu lalu.....
Di sebuah kafe yang juga menjual minuman keras. Talisha, seorang diri menunggu seseorang yang mengaku sebagai produser film.
"Lisha, untukmu!" Pria tampan berusia 25 tahun menyodorkan minuman.
"Terima kasih," Talisha tak lantas meminumnya.
"Ternyata anda aslinya sungguh cantik," pujinya.
Talisha tersenyum tipis.
"Apa kita bisa mulai membicarakan kontrak pekerjaan?"
"Tunggu sebentar, manajerku belum datang," Talisha melihat jam di ponselnya.
"Kita sudah menunggu setengah jam tetapi dia juga tak datang. Lebih baik anda minum saja dahulu," saran dari pria itu.
Talisha memandangi gelas minuman yang sepertinya sejenis minuman keras.
"Kenapa cuma dipandangi?"
"Aku tidak terbiasa dengan minuman itu!" tolaknya.
"Baiklah, aku akan menggantinya," pria itu berkata dengan lembut.
Tak lama kemudian minuman jus jeruk disajikan, Talisha menenggaknya sampai kandas karena memang sangat kehausan.
Namun, kepalanya mulai pusing, pandangannya begitu gelap setelah itu ia tak tahu apa-apa.
Talisha terbangun keesokan paginya, ia menggeliatkan tubuhnya dan mengedarkan pandangannya. Ia lantas tersentak bangkit melihat pakaian yang dikenakannya sudah berganti.
Pikiran buruk merusak otaknya, Lisha tampak kebingungan. Ia menyibak selimut dan melihat noda darah di ranjang namun tak ada. Ia juga mencoba melangkah mengitari tempat tidur untuk memastikan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya semalam konon katanya kalau kita melakukan hubungan 'spesial' bagian tubuh area sensitif akan terasa sakit.
Talisha bisa bernafas lega dan bersyukur hal buruk itu tidak terjadi padanya.
Ia mendekati meja nakas tampak tas dan kantong kertas berisi pakaian yang ia kenakan semalam. Dengan cepat Lisha mencari ponselnya namun benda tersebut tidak menyala. "Astaga, mati pula lagi!" keluhnya.
Talisha pun pulang menggunakan taksi yang kebetulan lewat di depan hotel tempat ia menginap.
Sesampainya di apartemen, Dena telah menyambutnya dengan memasang wajah marah. "Dari mana saja kau?" dengan nada tinggi.
"Harusnya aku bertanya padamu, kenapa kau tidak datang ke kafe itu?"
"Mobil mogok dan aku sudah mengirimkan pesan kepada produser untuk melanjutkan pembicaraan kontraknya denganmu!"
"Kenapa dia tidak mengatakan kau tak bisa datang?"
"Aku tidak tahu."
"Benar-benar pria licik!" geramnya.
"Kau bilang apa tadi?"
"Ya, sangat licik. Dia meletakkan obat tidur di minumanku," jawabnya.
"Jadi, kau tidur dengannya?" Dena menatap curiga sahabat sekaligus artisnya.
"Aku tidak tahu, tapi saat ku terbangun sudah berada di dalam kamar hotel," jelasnya.
"Ya sudah, semoga kejadian yang menimpamu itu tak diketahui wartawan," ujar Dena.
Talisha pun pergi ke kamarnya, ia membersihkan diri lalu berdandan dan bersiap untuk menemui klien.
Pukul 12 siang, ia dan Dena tiba di restoran tak jauh dari apartemen miliknya. Kedua wanita itu menunggu seseorang yang menjadi perwakilan perusahaan minuman energi.
Tak lama seorang wanita berusia 30 tahun datang dan tersenyum lalu mengulurkan tangannya. "Selamat siang!"
Dena dan Talisha lantas berdiri lalu menyambut uluran tangan wanita yang dihadapan mereka. "Selamat siang juga, Nona!" ucap Dena.
"Saya sebagai perwakilan perusahaan memohon maaf kepada Nona Talisha Danita karena kami tidak akan mengontrak anda," ujarnya.
Lisha dan Dena tampak terkejut.
"Kenapa?" tanya Dena penasaran.
"Sejam yang lalu kami mendapatkan kabar bahwa Nona Talisha kepergok berciuman dengan seorang pria di kafe," jelasnya.
"Itu tidak benar, Nona. Saya tak pernah melakukannya," Talisha membela diri.
"Bukan hanya itu, Nona. Media online juga memberitakan anda di papah memasuki hotel dengan keadaan mabuk," jelasnya lagi.
"Nona, itu semua tidak benar. Memang kemarin saya bertemu dengan seorang pria dan mengaku sebagai produser film, dia memberikan minuman setelah saya tak tahu apa-apa," ungkap Talisha.
"Apapun alasan Nona Talisha, saya tidak bisa merubah keputusan dari atasan. Karena saya hanya ditugaskan olehnya."
"Nona, coba pikirkan ulang dengan keputusan anda. Ini hanya salah paham saja," Dena juga turut menjelaskan.
"Mohon maaf, Nona. Keputusan perusahaan tidak bisa diganggu gugat, jikapun kami mengajukan kontrak dengan Nona Talisha itu akan berpengaruh dengan produk."
Talisha menyandarkan tubuhnya di kursi lalu menghela nafas pasrah.
"Kalau begitu saya permisi!" wanita itu pun berlalu.
Dena mencecar berbagai pertanyaan setelah wanita dari perusahaan minuman itu pergi.
"Apa kau yakin tidak melakukan apapun dengan pria itu?"
"Sudah berapa kali, ku bilang. Aku tidak melakukannya!"
"Lalu, kenapa kau berganti pakaian saat pulang ke apartemen?"
Talisha mencoba mengatur nafasnya agar tetap tenang.
"Lisha, jawab aku!"
"Kita bicarakan ini di rumah, kau ingin kita dilihatin orang-orang!" Talisha meraih tas kecilnya lalu berjalan ke mobilnya.
*
*
*
Talisha berjalan ke kamar mandi membersihkan dirinya. Hari ini ia akan mencoba bertanya kepada temannya adakah pekerjaan untuknya sebagai bintang tamu di acara talk show.
Bersama dengan Dena, mereka menuju sebuah stasiun televisi. Tepat pukul 10 pagi, keduanya pun tiba. Seorang pria yang menghampirinya di lobi gedung.
"Bagaimana, Andre? Apa ada pekerjaan untukku?" Talisha tampak penuh harap.
"Maaf, Lisha. Tidak ada."
"Bisakah kau tolong ajukan Lisha sebagai salah satu bintang tamu?" mohon Dena.
"Seminggu yang lalu, aku mengusulkan namamu dan mereka setuju. Tetapi, dua hari kemudian mereka membatalkannya dengan alasan beritamu itu," jelas Andre yang bekerja mencari talent.
Lisha harus menelan kekecewaan, gara-gara pria itu ia terpaksa menanggung semuanya. Kontrak dibatalkan dan para fans mulai menjauhinya.
"Kenapa kau tidak bekerja di perusahaan orang tuamu saja?" saran Andre.
"Mereka tidak mengizinkannya," jawabnya.
"Kenapa?" tanya Andre.
"Mereka tak percaya jika aku bekerja di perusahaan yang ada akan membuat bangkrut," jawabnya lagi.
"Semua butuh proses, tak mungkin bisa instan," ujar Andre.
"Lisha sudah tidak dianggap keluarga lagi. Mereka hanya memberikan alasan kalau dia tak mampu menjalankan perusahaan padahal mereka sangat tak menyukainya," tukas Dena.
"Dena, sudah cukup. Jangan berbicara apapun tentang keluargaku!" Lisha tak suka.
"Kau masih saja membela mereka," Dena memilih jalan terlebih dahulu ke parkiran.
"Andre, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu denganku," ujarnya.
"Sama-sama, aku akan mengusahakan kau menjadi bintang tamu," Andre berusaha membuat temannya itu tak terlalu kecewa.
"Sekali lagi, terima kasih. Aku pamit pulang," izinnya.
"Ya, Lisha." Andre tersenyum sekedarnya.
Talisha pun berlalu.
Di dalam mobil Dena masih terlihat ketus, hari ini mereka gagal mendapatkan pekerjaan.
Talisha yang duduk di depan samping Dena menyandarkan pundaknya di kursi.
"Sepertinya aku harus mengganti pekerjaan lain," ujar Talisha.
"Kau mau bekerja apa?" Dena bertanya sembari menyetir.
"Aku akan membuka toko pakaian saja," jawab Talisha asal.
"Kau tidak salah? Lalu kami mau kau kemanakan? Karyawanmu ada delapan orang, kau ingin memecat kami?"
"Jika kalian ingin bekerja bersamaku dengan gaji tak seperti biasanya, tidak masalah bagiku," jawabnya.
"Kau ingin membuka toko, uang dari mana?"
"Aku masih mempunyai tabungan, cukup untuk menyewa ruko, membeli beberapa lusin pakaian dan menggaji kalian bulan ini."
"Lisha, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Entah kenapa tiba-tiba saja karir yang kau bangun hancur seketika dalam seminggu ini?" masih bertanya-bertanya.
"Aku juga tidak tahu, itu semua karena pria licik yang kau tawarkan," celetuk Talisha.
"Aku tidak tahu, jika dia pria jahat. Wajahnya cukup membuat ku yakin kalau dirinya seorang produser," jelas Dena.
"Apa kau masih tahu nomor kontaknya?" tanya Talisha.
"Masih," jawab Dena.
"Berikan padaku?" pintanya.
Dena menyerahkan ponselnya kepada sahabatnya. "Aku memberikan nama kontaknya penipu!"
Talisha pun mencoba menekan nomor pria itu dan menghubunginya.
"Bagaimana?"
"Tak aktif, sepertinya dia mengganti nomor ponselnya," tutur Talisha.
"Sudah ku duga," ujar Dena.
"Awas saja, kalau aku berjumpa dengannya. Dia harus bertanggung jawab!" geramnya.
"Ya, aku akan membantumu menghajarnya.
...----------------...
Seminggu kemudian....
Seluruh tabungan Talisha telah diambil. Ia juga sudah membayar gaji karyawan.
Talisha dan manajernya itu menggelilingi kota mencari ruko untuk memulai usahanya. Tiga jam berputar-putar akhirnya ketemu tempat yang pas dan cocok.
Berbagai jenis pakaian telah Talisha pesan dan siap untuk dijual kembali.
Talisha tersenyum lega, akhirnya sedikit lagi toko yang menjadi harapan dirinya mencari nafkah terealisasikan.
Talisha menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, ia bisa tidur dengan nyenyak setelah 2 minggu yang terlalu besar untuknya.
Baru beberapa jam memejamkan matanya beristirahat di malam hari. Suara ponselnya berdering berulang kali. Ia pun terbangun dan menjawab panggilan tersebut.
"Halo, ada apa?"
"Aku malas untuk meneleponmu kalau bukan Mama yang menyuruhku," jawab seorang gadis dari kejauhan.
"Cepat katakan, jangan terlalu banyak bicara!"
"Kakek kesayanganmu sakit, jadi pulanglah!"
"Apa!" Lisha tampak terkejut.
"Ya, dia selalu memanggil namamu. Aku sungguh bosan mendengarnya," ujarnya.
"Baiklah, nanti pagi aku akan ke sana!" Lisha melihat jam dinding masih di angka 4. Ia lalu menutup panggilan teleponnya.
Karena sudah terbangun, Talisha tak bisa tertidur lagi. Ia membuka sosial media miliknya, berita yang memfitnah dirinya masih berseliweran.
"Aaarrrghhh......." Talisha menjambak rambutnya.
"Brengseeekk......!" melempar gelas ke sembarang arah.
Mendengar suara pecahan gelas, membuat Dena keluar dari kamarnya. Wanita itu berlari mendekati Talisha yang sedang memeluk lututnya dengan rambut acak-acakan.
"Lisha..." panggilnya lirih.
Talisha mendongakkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca menatap sahabatnya.
Dena lantas memeluk Talisha, "Apa yang terjadi?"
"Berita itu masih ada, apa belum puas mereka menyiksaku?" Talisha meneteskan air matanya.
"Aku sudah katakan, jangan pernah membuka media sosialmu lagi!"
"Aku pikir mereka sudah melupakannya," ucapnya terisak.
"Sudah, jangan menangis lagi. Kau pasti kuat menghadapinya," nasehat Dena.
"Kau tidak akan meninggalkanku, kan?"
"Tidak, Lisha. Aku akan tetap bersamamu," jawab Dena.
Lisha melonggarkan pelukannya, menyeka air matanya.
"Kenapa jam segini kau bangun?"
"Ghea menelepon dan mengabarkan kalau kakek sakit keras," jawabnya.
"Kapan kau akan ke sana?"
"Setelah sarapan pagi, ku akan berangkat.
"Apa perlu aku temani?"
"Tidak, kau urus saja toko kita. Dua hari lagi akan dibuka," jawabnya.
"Baiklah, kalau begitu."
...----------------...
Pagi harinya, Talisha mengendarai mobilnya sendiri pergi ke kediaman kakeknya. Begitu sampai rumah berlantai 4 dengan lift di dalamnya, ia melangkah ke kamar pria tua yang kini berusia 70 tahun.
"Kenapa kau baru datang? Dasar cucu nakal!" omelnya terbatuk-batuk.
"Kakek, berhenti memarahiku. Kalau tak ingin aku kabur lagi!" ancam Talisha dengan nada bercanda.
"Baiklah, Kakek tidak akan memarahimu. Bagaimana dengan kehidupanmu di luar sana?"
"Ya, begitulah."
"Lisha, kau adalah cucuku satu-satunya. Perusahaan itu milikmu, kau harus menjalankannya," ujar Kakek.
"Kek, aku tidak mau bertengkar dengan Mama. Setahun ini sudah cukup membuatku tenang tanpa harus mendengarnya marah-marah," Talisha menundukkan kepalanya.
"Lidya itu hanya ibu tiri," ucap Kakek.
Dengan cepat Talisha memotong ucapan, "Tapi, Mama Lidya yang telah merawat dan menyayangiku dari bayi."
"Tapi, sikapnya sejak menikah dengan suami keduanya membuat Kakek tak suka."
"Kek, Mama dan Papa tidak pernah membedakan aku dengan Ghea. Apa yang ku mau selalu mereka berikan, kecuali perusahaan."
"Apa kau tidak curiga dengan mereka?"
Talisha tertawa tipis, "Percuma jika aku yang menjalankan perusahaan, ku tak mengerti tentang bisnis."
"Kamu bisa belajar, Lisha."
"Kek, aku ke sini bukan berbicara mengenai perusahaan jadi berhentilah membicarakannya. Ku hanya ingin menjenguk dan bercerita tentang kondisi Kakek," ujar Talisha.
Kakek pun mengangguk paham, cucunya tidak akan mau berlama-lama membahas perusahaan.
-
Selesai makan siang, Talisha hendak ke toko. Baru saja memegang handle mobil, ponselnya berdering. Ia lantas mengangkat dan menjawabnya.
"Halo, Dena!"
"Lisha, pemilik ruko tiba-tiba membatalkan sewa kita."
"Apa? Bukankah kita sudah membayar lunas untuk setahun ke depan?" tampak terkejut.
"Aku juga tidak mengerti, kemarilah!" pintanya.
"Baiklah, aku akan ke sana."
Mobil melesat ke alamat toko pakaian miliknya.
Dengan langkah tergesa-gesa, ia turun dan menghampiri Dena.
Beberapa pakaian tampak sudah tersusun rapi di gantungan.
Lisha lantas berbicara kepada pemilik ruko. "Tuan, kita sudah melakukan kesepakatan. Kenapa memutuskan pembatalan secara mendadak begini?"
"Maaf, Nona. Ruko ini milik keluarga besar, saya tidak tahu jika tempat ini telah disewakan kepada orang lain oleh kakak saya."
Lisha tampak sangat kecewa. "Kemana lagi saya harus mencari tempat? Kami juga sudah mengecat ulang tembok dan memperbaiki sudut ruangan ini."
"Saya akan mengembalikan uang Nona utuh sekaligus biaya yang telah anda keluarkan untuk ruko ini."
"Bukan masalah uang, tapi kesepakatan yang sudah kita setujui."
"Sekali lagi saya mohon maaf, Nona."
Lisha menarik nafas dalam-dalam lalu ia hembuskan secara kasar.
"Saya akan kirimkan kembali uang Nona," ujar pria itu.
Lisha hanya bisa pasrah, ia lalu memberikan nomor rekening miliknya.
"Tuan, kami minta waktu untuk membereskan barang-barang ini dan mencari tempat baru," ujar Dena.
"Ya, saya akan berikan waktu kalian dua hari."
"Baiklah, tidak masalah. Terima kasih," Lisha memaksakan tersenyum.
Pria itu pun pergi.
Lisha terduduk, tampak wajahnya yang frustasi.
"Lisha yang sabar, ya!" Dena menguatkan.
Lisha mengangguk dan tersenyum tipis.
...****************...
Hai semua, ini karyaku yang kesembilan dan ini lanjutan kisah 'Marsha Milik Bara'.
Semoga kalian suka ...
Selamat Membaca 🌹
Dua hari kemudian....
Talisha menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ketika sampai apartemennya.
Dena datang membawakan minuman air mineral dalam botol kepada sahabatnya.
Talisha membuka tutup botol lalu meminumkannya. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Dena."
"Kau jangan menyerah, Lisha!"
"Kenapa sulit sekali mencari ruko? Sekarang barang-barang terpaksa tertumpuk," ujarnya. Pakaian yang belum sempat terjual diletakkan di kamar kost yang sengaja disewa.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, untuk membantumu," ucap Dena.
"Tidak masalah, yang penting kau ada di dekatku!"
"Aku akan tetap bersamamu," ujar Dena.
"Aku mau beristirahat," Lisha melangkah ke kamarnya.
Melihat temannya pergi, Dena lantas mengirimkan pesan kepada seseorang kemudian tersenyum.
-
Lisha terbangun lalu melihat jam dinding menunjukkan angka 4 sore, alangkah terkejut dirinya ketika menatap benda tersebut. "Astaga, hampir lima jam aku tertidur," gumamnya.
"Pantas saja aku sangat lapar, ternyata sudah lewat jam makan siang," ocehnya.
Lisha berjalan keluar kamar memanggil nama temannya namun wanita tak kunjung menampakkan dirinya. "Kemana dia?" tanyanya.
Lisha memilih membuka isi lemari mana tahu ada lauk atau makanan yang ia bisa disantap ternyata nihil.
Lisha lantas membuka lemari es dan mengambil dua telur, ia mulai meracik bahan makanan tersebut. Sepuluh menit kemudian, omelet telur siap dihidangkan.
Menarik kursi lalu mengambil sendok dan mulai menyantapnya. Ia mengedarkan pandangannya sekelilingnya tampak sepi biasanya akan ramai karyawan lalu lalang.
Ya, sejak seminggu yang lalu karyawannya mulai satu persatu mengundurkan diri hanya Dena tetap bertahan.
Selesai makan, ia mencuci piringnya. Lalu kembali kamar untuk membersihkan diri.
Pukul 9 malam, Dena belum juga menunjukkan batang hidungnya. Lisha berkali-kali menghubunginya namun ponselnya tak aktif.
Lisha menatap siaran televisi dengan memeluk bantal kursi. Tatapannya ke arah benda lebar dan tipis tapi pikirannya entah kemana-mana.
"Kenapa hidupku sepi seperti ini?" merutuki dirinya.
Jam dinding terus berputar, tanda-tanda Dena kembali ke apartemennya pun tak ada. Lisha kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Biasanya jam 12 malam, ia baru pulang dari pekerjaannya sebagai seorang artis namun semuanya kebalik tawaran iklan di sosial media miliknya pun tak ada sama sekali.
....................
Bangun pagi dan sarapan sepotong roti dengan segelas air mineral, Lisha keluar dari apartemennya seorang diri menggunakan hoodie berwarna abu-abu, memakai kacamata hitam, masker dan topi ia menyusuri jalanan dengan berjalan kaki. Ya, mobilnya terpaksa ia tinggalkan di apartemen.
Talisha pergi ke pemakaman kedua orang tua kandungnya menggunakan taksi online.
Sesampainya di sana ia berdiri di depan pusara kedua orang yang ia sayangi. Talisha membuka kacamata dan maskernya lalu tersenyum. "Hai, Ma, Pa, apa kabar?"
"Maaf, aku baru sempat lagi mengunjungi kalian," ujarnya.
"Aku hanya memiliki kakek saja sekarang, dia hartaku satu-satunya di dunia ini. Keluarga Mama, ku tak pernah tahu. Mama Lidya mulai berubah, semakin hari dia membenciku entah apa alasannya. Semoga saja aku kuat menghadapi semua ini," lanjutnya.
Talisha kembali memakai kacamata, "Aku pamit Ma, Pa. Ku sangat merindukan kalian!" ia tersenyum lalu menggunakan maskernya. "Sampai jumpa!" menundukkan kepalanya, ia pun kemudian berlalu.
Talisha berjalan menuju apartemennya, sembari memandangi jalanan sekelilingnya. Langkahnya terhenti kala melihat Dena sedang berbicara dengan seorang pria yang hendak memasuki mobilnya.
Talisha tersenyum dibalik maskernya, ia hendak menyusul sahabatnya dengan menyebrangi jalan. Sebuah klakson kuat membuat ia mengurungkan langkahnya dan membiarkan kendaraan-kendaraan itu lewat.
Ia pun akhirnya bisa menyeberang jalan dengan selamat tetapi temannya itu sudah tak lagi ada di tempat. "Kemana dia?" gumamnya.
Tak ingin menerka-nerka, Talisha melanjutkan perjalanannya ke apartemennya.
Begitu sampai di kediaman sederhananya itu, ia mendapatkan Dena sudah berada di dalamnya.
"Hai, dari mana saja kamu?" Dena bertanya.
"Aku yang harusnya bertanya padamu, kenapa ponselmu sulit sekali di hubungi?" balik tanya.
"Baterai ponselku mati."
"Oh, sangat lama sampai berjam-jam itu ponsel mati. Kau harus menggantinya segera," sindirnya.
"Ya, nanti aku akan menggantinya," ujar Dena.
"Aku tadi melihatmu di dekat kafe depan taman dan berbicara dengan seorang pria. Siapa dia?"
"Kau melihat kami?" Dena tampak terkejut.
"Ya, tapi aku tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu. Ku mencoba menghampiri namun kalian keburu pergi," ungkapnya.
"Huh, syukurlah," Dena berkata lega.
Lisha yang sedang menuangkan air di gelas mengerutkan keningnya. "Memangnya dia siapamu?"
"Bukan siapa-siapa," jawabnya terbata.
"Kenapa kau gugup?"
"Hah, aku tidak gugup hanya perasaanmu saja," Dena berusaha tersenyum.
"Mungkin," Lisha membalasnya dengan senyuman lalu ia menenggak air putih.
"Kau akan kemana hari ini?"
"Mungkin di rumah saja karena aku sekarang pengangguran," Lisha menjawabnya.
"Bagaimana kalau hari ini kita menemui seseorang?"
"Apa dia orangnya jelas?"
"Maksudnya?"
"Ya, aku tidak mau bertemu dengan orang yang sudah membuat karirku hancur seketika seperti pria itu," jelasnya.
"Kau akan sangat tertarik padanya, kitaa akan pergi bersama-sama menemuinya," ujar Dena.
"Baiklah, kita akan ke sana. Semoga saja ada pekerjaan," harapnya.
"Kau pasti tidak akan menyesal," ucap Dena penuh yakin.
"Kita lihat saja!" Lisha pergi ke kamarnya.
-
-
Menjelang sore hari, Lisha dan Dena pergi ke sebuah restoran mewah dengan pemandangan kota yang sangat menakjubkan karena tempat pertemuan mereka berada di lantai gedung tertinggi.
Dena berdiri saat seorang pria muda dengan tinggi 180 centimeter menghampirinya. Ia tersenyum lalu keduanya saling berjabatan tangan. "Selamat sore, Tuan."
Pria itu tak membalas ucapannya.
Talisha juga mengikuti cara yang dilakukan sahabatnya. Namun, ia tak mengucapkan kata sapaan.
"Tak perlu berbasa-basi, tolong jelaskan kepada temanmu!" titah pria itu pada Dena.
Talisha masih menatap pria yang ada dihadapannya, ia lantas berdiri dan menarik kerah jas. "Kau pria brengsek!" desisnya.
Dena yang kaget menarik tangan sahabatnya itu. "Lisha, apa yang kau lakukan padanya?" bertanya dengan merapatkan giginya sembari melirik para tamu sekitarnya.
Pria itu tampak santai dan tersenyum.
"Dia pria itu, Dena!"
"Kau salah orang!" ujarnya.
Talisha melepaskan cengkeramannya. "Aku tidak salah, dia persis pria itu!"
"Pria mana?"
"Maaf, Tuan Ezaz. Dia pikir anda lelaki yang ia temui beberapa minggu lalu," jawab Dena.
"Oh, pria yang ada diberita itu?"
Talisha kembali duduk dengan wajah kesal, ia tak peduli pandangan orang kepadanya.
"Apa dia pikir kalau aku pria yang ada di hotel bersamanya waktu itu?" Ezaz melirik Lisha.
"Ya, Tuan!" jawab Dena.
"Itu artinya...."
Talisha kini pandangannya tertuju pada Ezaz. "Aku tidak melakukan apapun dengannya!" berkata tegas.
"Benarkah?" tanyanya.
"Ya," jawab Lisha tegas.
"Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli dengan berita itu. Cepat katakan pada temanmu ini," perintahnya pada Dena. "Jangan membuang waktuku!" lanjutnya.
"Baiklah, Tuan. Saya akan memberitahunya sekarang," ujar Dena.
Talisha kini menatap temannya.
"Lisha, Tuan Ezaz menawarkan kerja sama denganmu. Dia berjanji akan membersihkan nama baik dirimu dan merekrutmu sebagai bintang iklan di perusahaannya," jelas Dena.
Talisha bersemangat mendengarnya.
"Apa kau mau dengan tawaran ini?" tanya Dena.
"Mau."
"Tapi ada syaratnya," ujar Dena.
"Apa syaratnya?" tanyanya penasaran.
"Kau harus menikah dengannya!" jawab Dena.
"Apa!" Tampak wajah terkejut.
"Ya, Lisha."
"Aku tidak mau!" tolaknya secara tegas.
"Aku tidak suka penolakan!" Ezaz menyahut.
Kini tatapan ke arah pria itu, "Kau pikir siapa? Tidak suka penolakan, aku tak mau dengan syarat yang kau berikan!" berkata tegas.
Ezaz tersenyum sinis, "Kau harus menerima tawaran ini atau kau ingin perusahaan kedua orang tuamu hancur dan karirmu akan semakin jatuh." Berbicara dengan nada santai.
"Kenapa harus ada pernikahan?" tanya Talisha.
"Ya, karena dengan kita menikah. Aku bisa mengawasi dirimu," jawabnya.
Talisha sejenak berpikir.
"Cepat jawab, aku tidak memiliki banyak waktu!" pinta Ezaz.
"Terima saja!" paksa Dena.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!