Assalamualaikum pembaca setiaku
Ini novel baru ya mohon dukungannya berupa vote, gift atau like serta komen yang banyak.
Terima kasih
Selamat Membaca
...♥️♥️♥️...
"Ma, aku berangkat dulu," pamit Zidan seraya mencium tangan ibunya.
"Kamu nggak sarapan dulu?" Tanya Raina sang ibu.
Zidan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku sudah telat, Ma. Papa pasti akan marah jika aku datang terlambat ke peresmian hotel baru kita."
"Baiklah, hati-hati," pesan sang ibu. Ia membalas lambaian tangan putranya.
Zidan Putra Juliar adalah pemuda 27 tahun yang membantu ayahnya mengurusi perusahaan turun temurun yang diwariskan sang kakek.
Awalnya Zidan kuliah di bidang psikologi mengikuti jejak sang kakak. Namun, karena suatu hal ia harus pindah ke luar negeri dan memilih kuliah di jurusan bisnis seperti saran sang ayah.
Drrt drrtt drrtt
Ponsel Zidan berdering. Ia hendak mengambil ponsel yang ia letakkan di dashboard mobilnya dengan satu tangan. Sayangnya ponsel itu terjatuh ke bawah. Zidan berusaha mengambil ponselnya tapi tangannya tak sampai.
Karena tidak memperhatikan jalan, ia hampir saja menabrak seorang anak kecil yang melintas di jalan raya. Guna menghindari kecelakaan, Zidan membanting setir ke kiri. Alhasil mobilnya pun menabrak sebuah pohon besar.
"Ah, kepalaku." Zidan memegang kepalanya yang terasa sakit akibat benturan yang keras.
Kepulan asap keluar dari bagian depan mobilnya. Zidan segera melepas sabuk pengaman yang masih terpasang di dadanya lalu keluar secepat mungkin.
Duarr
Mobil Zidan meledak hebat. Semua orang yang berada di sana langsung berkerumun. Tubuhnya tergeletak begitu saja di jalan.
"Tolongin, tolongin!" Seru salah seorang warga.
Lalu mereka menghentikan sebuah mobil agar mau mengantarkan Zidan yang tak sadarkan diri. Warga menggotong tubuh Zidan masuk ke dalam mobil.
"Siapa yang mau menemani?" Tanya salah seorang warga.
Pengasuh anak yang hampir tertabrak itu mendekat. "Pak, biar saya saja yang menemani. Kecelakaan ini terjadi karena anak asuh saya menyeberang sembarangan."
"Baiklah, cepat masuk!"
Wanita itu pun masuk bersama anak kecil yang diasuhnya. Dia duduk di bagian depan dekat pengemudi sedangkan Zidan direbahkan di kursi bagian belakang.
Sesampainya di rumah sakit. Sang pengemudi memanggil para perawat agar menolong laki-laki yang menjadi korban kecelakaan itu.
"Hei, kamu lihat apa sih?" Tanya Selly pada teman satu profesinya.
"Itu, aku lihat anakku sama pengasuhnya. Kenapa mereka di sini?" Gumam Safa.
Safa Kamila adalah seorang janda berusia 29 tahun beranak satu yang berprofesi sebagai dokter bedah plastik di sebuah rumah sakit ternama di kotanya.
Safa pun berjalan lebih cepat menghampiri anaknya dan meninggalkan temannya. "Willa," panggil Safa pada anak perempuan berumur lima tahun yang sedang digendong oleh pengasuhnya.
"Bunda." Willa turun dari gendongan Asih lalu ia berhambur ke pelukan sang ibu.
"Mbak apa yang sebenarnya terjadi, kenapa kalian bisa ada di rumah sakit?" Safa memberondong pertanyaan pada pengasuh Willa.
"Kami mengantar korban kecelakaan yang hampir saja menabrak Willa, Bu. Tapi pengemudi itu memilih banting setir sehingga Willa baik-baik saja," terang Asih.
"Hah? Bagaimana bisa Willa main ke jalanan. Apa kamu tidak menjaganya dengan baik?" Geram Safa saat mendengar anaknya hampir saja mengalami kejadian naas.
Asih terisak karena ia merasa bersalah. "Maafkan saya, Bu."
"Bunda, jangan marahi mbak Asih. Ini salah Willa. Willa nggak mau nurut kata mbak Asih." Willa mencoba membela pengasuhnya.
"Ya sudah. Willa pulang sama mbak Asih dulu, Bunda mau lihat keadaan orang yang mengalami kecelakaan tadi."
"Mbak, ajak putriku pulang pastikan kamu menjaganya dengan baik," ucap Safa memperingatkan. Asih mengangguk patuh.
Asih menggandeng tangan Willa agar berjalan keluar. Willa terlihat melambaikan tangan pada ibunya sambil tersenyum. Safa pun membalas lambaian tangan anaknya.
Safa memasuki ruang UGD. "Bagaimana keadaannya, Dok?" Tanya Safa pada dokter yang menangani.
"Kamu kenal dia?" Tanya Dokter Fahri yang berprofesi sebagai dokter umum di bagian UGD.
Safa menggeleng. "Tidak, tapi dia hampir menabrak anak saya," jawab Safa. Dokter Fahri terkejut mendengarnya.
"Dia kehilangan banyak darah. Kita butuh donor darah selain itu wajahnya rusak parah sepertinya terkena ledakan karena sebagian wajahnya melepuh," terang dokter Fahri.
Safa menelan salivanya dengan susah payah setelah mendengar penjelasan dokter Fahri. "Apa separah itu?" Batin Safa.
Kekhawatiran tumbuh di hatinya. Gara-gara anaknya, nyawa laki-laki itu hampir saja melayang.
"Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Saya yang akan menanggung semua biaya pengobatannya sampai dia sembuh. Selain itu saya akan bantu cari pendonor. Golongan darahnya apa?" Tanya Safa.
"Golongan darahnya A."
"Wah kebetulan sekali, golongan darah saya juga A. Ayo kita lakukan transfusi darah!" Desak Safa. Dokter Fahri pun tak berpikir panjang. Ia segera melakukan transfusi darah.
Meski tidak ada anggota tubuh lainnya yang patah. Namun, cedera di kepalanya cukup parah. Bahkan lima puluh persen wajah Zidan rusak akibat ledakan mobil yang mengenai dirinya.
"Dok, apa aku boleh melakukan bedah plastik?" Tanya Safa meminta izin pada dokter yang merawat Zidan. Ia ingin memastikan agar tidak terjadi kesalahan saat operasi berlangsung.
"Apa kau yakin? Bukankah kamu akan menanggung biaya yang sangat mahal untuk operasi bedah plastik yang akan kamu jalankan untuknya?" Dokter Fahri mengingatkan Safa agar dia tidak salah menyesal di kemudian hari karena telah berkorban demi orang asing yang belum diketahui identitasnya.
Safa mengangguk. "Saya bisa pastikan dia akan syok setelah sadar jika melihat wajahnya yang rusak parah. Saya hanya ingin bertanggung jawab atas kesalahan anak saya yang mengakibatkan kecelakaan yang menimpanya."
Dokter Fahri hanya bisa menghela nafas. "Lakukanlah sesukamu! Jangan menyesal jika dia tidak mampu membalas jasa atas semua yang telah kamu lakukan untuknya." Dokter Fahri meninggalkan Safa setelah memperingatkan dirinya.
Safa menyiapkan meja operasi. Awalnya pihak rumah sakit menentangnya tapi setelah ia berjanji menanggung semua biayanya, mereka mengizinkan Safa melakukan operasi plastik.
Operasi yang dikerjakan oleh Safa berjalan dengan lancar. Ia pun melepas sarung tangan plastik yang melekat di tangannya.
"Bagaimana operasinya?" Tanya Selly pada sahabatnya.
"Alhamdulillah lancar," ucap Safa yang bernafas lega. Akhirnya ia bisa lepas tanggung jawab setelah mengerahkan seluruh kemampuan yang bisa dia lakukan.
Dua hari Zidan dirawat di ruang sakit itu. Selama itu tidak ada keluarga yang mencarinya.
"Dok, pasien sudah siuman," kata suster yang merawatnya.
Lalu Dokter Fahri memeriksa keadaan Zidan. Wajahnya masih terbalut perban yang menutupi seluruh kepalanya lepas operasi.
"Bagaimana perasaan anda?" Tanya Dokter Fahri untuk memastikan kesadaran pasiennya.
Zidan hanya terdiam seperti orang linglung. "Aku dimana?" Ucapnya lirih. Dokter Fahri mengerutkan keningnya. Ia curiga pasiennya itu mengalami amnesia karena benturan yang keras di kepalanya.
"Apa anda tidak ingat mengenai kecelakaan yang menimpa anda?" Tanya Dokter Fahri. Zidan menggelengkan kepalanya.
"Berapa usia anda? Apa anda ingat siapa nama anda?" Cecar Dokter Fahri.
Zidan memegangi kepalanya yang terasa sakit. Lalu perawat memberikan obat yang disuntikkan melalui selang infus. Setelah itu Zidan tertidur.
Dokter Fahri menemui Dokter Safa. "Dokter Safa, bisa kita bicara sebentar?" Dokter Fahri nampak serius.
"Ada apa, Dok?"
"Pasien itu mengalami amnesia," ungkap Dokter Fahri.
Jeduaarr
Safa rasanya ingin pingsan. Lalu apa yang akan dilakukan pada laki-laki itu. Safa menghela nafas berat. "Apa aku juga harus menampungnya?" Batin Safa.
Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, Safa membawa pulang Zidan ke rumahnya.
"Mulai hari ini kamu bisa tinggal di sini. Tapi ada satu syarat kamu harus bekerja padaku. Aku tidak bermaksud memanfaatkan kamu tapi aku hanya menghindari fitnah di luaran sana karena aku seorang janda beranak satu. Aku harap kamu bisa mengerti." Zidan mengangguk paham.
"Oh ya aku akan memanggil kamu Roni. Itu hanya nama sementara karena kamu tidak mengingat namamu sendiri. Jadi akan lebih memudahkan bagiku memanggil kamu. Apa kamu keberatan?" Safa meminta pendapat pada Roni.
Roni menggeleng. "Tidak, nama itu sepertinya cocok untukku," jawabnya.
"Baiklah, aku akan tunjukkan kamarmu." Safa berjalan lebih dulu. Kemudian Roni mengikuti di belakangnya.
"Ini kamar kamu, selama kamu bekerja di sini aku akan menggajimu. Kamu bisa tinggal sampai ingatanmu pulih," ucap Safa dengan ramah. Entah kenapa Safa terus melindungi Roni.
Roni mengangguk. "Baiklah, aku tinggal dulu. Kau bisa beristirahat. Mulai besok pagi jam setengah tujuh kau harus sudah siap untuk mengantarkan Willa ke sekolah." Safa mengingatkan.
Saat Safa akan menaiki tangga, tiba-tiba Asih memanggil dirinya. "Lho Mbak Asih mau kemana?" Tanya Safa. Ia melihat Asih membawa sebuah tas besar yang sedang ia pegang.
Asih menundukkan kepalanya. "Saya ingin mengundurkan diri, Bu." Safa terkejut mendengar penuturan pengasuh anaknya. Ia menuruni tangga.
"Apa gaji yang saya berikan kurang?" Tanya Safa dengan lembut. Ia tidak mau menakuti pegawainya.
Asih menggeleng. "Saya merasa tidak pantas menjaga Non Willa. Karena kelalaian saya, non Willa hampir saja tertabrak," jawab Asih dengan jujur. Ia sangat gugup saat ini takut kalau Safa marah padanya.
"Mbak Asih tersinggung ya saat saya membentak kamu waktu itu?" Tanya Safa memastikan. Asih menggeleng. Kepalanya masih tertunduk.
"Mbak, saya masih membutuhkan Mbak Asih. Bisakah Mbak Asih bekerja lagi dengan saya?" Safa meminta dukungan pada Asih.
Asih menangis sesenggukan. "Ibu sangat baik pada saya tapi maaf saya tidak bisa menerima kebaikan ibu," tolaknya.
"Baiklah, tunggu sebentar ya." Safa naik ke lantai atas lalu turun kembali. "Ini gaji kamu bulan ini. Saya juga tambahkan uang sebagai pesangon kamu." Safa memegang sebelah tangan Asih lalu menyerahkan sebuah amplop coklat berisi uang.
"Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu saya pamit," ucap Asih untuk terakhir kalinya. Lalu ia keluar dari rumah Safa.
Safa menghela nafas berat. Sementara menunggu orang yang akan melamar sebagai pengasuh, Safa meminta Roni untuk menjadi pengasuh sementara untuk Willa.
Keesokan harinya Safa bangun lebih pagi dari biasanya karena ia harus menyiapkan segala keperluan Willa sebelum berangkat ke sekolah. Biasanya ada Asih yang menyiapkannya tapi kini ia harus menyiapkan sendiri keperluan anaknya.
"Sayang, ayo bangun. Sudah waktunya berangkat ke sekolah." Safa membangunkan anaknya pada pukul setengah enam pagi.
"Emm Willa masih ngantuk," kata Willa masih dalam keadaan mata terpejam.
Mau tak mau Safa menggendong anaknya lalu ia membawanya ke kamar mandi. "Maaf ya mama terpaksa mandiin kamu dalam keadaan tidur."
Perlahan Safa mulai mengguyur air hangat yang telah ia siapkan untuk Willa. Willa terkejut lalu ia menangis. Safa panik. "Ya ampun sayang nangisnya jangan kencang-kencang!" Larang Safa tapi tangis Willa semakin kencang.
Roni berlari ke sumber suara. "Ada apa?" Tanyanya di ambang pintu.
Safa mendongak. "Ah tidak ada apa-apa. Willa hanya terkejut ketika kumandikan," jawab Safa.
Setelah itu ia mengeringkan badan Willa dengan handuk. Ia ingin menggendongnya tapi ia tidak kuat, badan Willa terlalu gembul untuk ukuran anak lima tahun.
"Biar saya saja yang menggendong." Roni meminta izin. Ia terlihat tenang menghadapi Willa. Willa terlihat manja ketika digendong oleh Roni. Ia menyukai laki-laki asing itu.
Safa menyiapkan baju seragam anaknya lalu memakaikannya. "Ayo pakai sayang!" Perintah Safa pada putrinya tapi Willa benar-benar menguras emosi Safa pagi-pagi.
"Nggak mau sekolah," rengeknya. Safa menghela nafasnya berat.
"Willa jangan begitu, kasian mamanya." Willa seolah tersihir oleh ucapan lembut yang keluar dari mulut Roni. Safa menjadi takjub pada laki-laki amnesia itu.
Willa pun akhirnya menurut pada ibunya. "Kalau begitu saya tunggu di luar, Bu." Mulut Roni agak kelu saat memanggil Safa dengan sebutan Bu. Karena sekilas usianya tak jauh berbeda dengannya. Tapi mengingat kini ia dipekerjakan oleh Safa di rumahnya, mau tak mau ia harus memanggil wanita itu dengan sebutan yang sopan.
Safa selesai mendandani anaknya. Lalu mereka menuju ke meja makan. "Aku nggak mau sarapan," tolak Willa ketika Safa menyodorkan sesendok nasi ke mulutnya.
Safa melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ya sudah buat bekal saja!"
Lalu ia mengantar Willa ke depan. "Bawa mobilnya hati-hati ya," pesan Safa pada sopir barunya. Tak lupa ia mengulas senyum ramah. Roni mengangguk paham. Ia segera mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Safa. Kalau boleh jujur jantung Roni berdebar ketika melihat senyum indah janda beranak satu itu.
Setelah itu, Roni melajukan mobilnya ke sekolah Willa. Ini untuk pertama kali Roni mengantar Willa ke sekolahnya. Ia hanya diberi petunjuk oleh Safa dibantu Willa yang memberikan arahan pada sopir barunya. Meski ia masih kecil tapi ingatannya sangat kuat.
Di hari pertama Roni mengantarkan Willa tak begitu buruk. Ia bisa sampai di depan sekolah Willa tepat waktu.
Roni turun dari mobil lalu semua orang memperhatikannya. Karena wajahnya yang rupawan membuat semua orang kagum dan tidak bosan memandang wajah tampan itu.
Safa berhasil mengembalikan ketampanan Zidan dalam bentuk yang berbeda setelah Zidan menjalani operasi plastik.
"Willa, itu siapa?" Tanya salah seorang wali murid dari teman sekolah Willa. "Omnya ya?" Imbuhnya.
Willa menatap laki-laki yang tersenyum padanya itu. "Bukan, dia papaku," jawab Willa sekenanya. Roni jadi terkejut mendengarnya.
Willa tidak suka Roni menjadi pusat perhatian ibu-ibu itu. Entah kenapa Willa merasa cemburu.
"Om Roni tunggu di sini aja, jangan masuk. Nanti digodain ibu-ibu itu." Willa menoleh sekilas ke arah ibu-ibu itu lalu beralih ke Roni.
"Oh ya, besok pakai pakaian yang rapi. Kalau mau jadi papaku nggak boleh berpenampilan jelek," seloroh Willa. Lalu ia melenggang masuk ke dalam kelasnya.
Roni agak bingung dengan omongan anak kecil itu. Tapi ia tak ambil pusing. Roni menunggu di mobil. Sambil menghabiskan waktu, ia tidur di mobil sampai jam pelajaran Willa selesai.
Waktu pun berlalu.
Tok tok tok
Suara ketukan itu mengagetkan Roni. Ia melihat anak majikannya sudah berada di depan mobil. Ia pun bergegas membukakan pintu. "Maaf om ketiduran," ucapnya membela diri.
Semenjak itu Roni selalu mengantar jemput Willa. Selain itu, ia bersedia menjadi pengasuh sementara Willa sampai Safa menemukan pengasuh yang baru. Willa juga menyukai Roni. Ia seolah menemukan papa baru.
Suatu hari ketika mantan suami Safa akan main ke rumahnya untuk menemui Willa, ia tak sengaja melihat seorang laki-laki asing bermain dengan putrinya di halaman. "Siapa laki-laki itu?" Gumam Willy, mantan suami Safa sambil mengepalkan tangannya.
Ia tak suka ketika melihat anaknya akrab dengan laki-laki lain. "Apa Safa sedang menjalin hubungan dengan laki-laki itu?" Batinnya.
Padahal menurut informannya, Safa tidak sedang dekat dengan laki-laki manapun. "Lalu siapa dia?" Pikir Willy.
...♥️♥️♥️...
Mampir ke novel temen aku ya
Sudah tiga bulan Zidan mengalami amnesia tapi dia seolah menikmati kehidupannya yang sekarang. Makan dan tempat tinggal semua ditanggung Safa. Bahkan Roni mendapatkan gaji lebih karena dia bekerja menjadi sopir sekaligus pengasuh Willa.
Willa anak usia lima tahun yang cerdas dan lincah. Jika di mata pengasuhnya yang dulu dia anak yang rewel dan sulit diatur tapi semenjak dia dekat dengan Roni, Willa jadi anak yang penurut dan manis. Semua yang dikatakan Roni dituruti anak itu begitu saja. Seolah mulut Roni mengandung madu yang manis.
Safa saja yang ibunya tak sepandai itu mengambil hati putri kecilnya, Willa. Karena sehari-hari Willa diasuh oleh baby sister. Sebagai dokter bedah plastik dan kecantikan, sebagian besar waktu Safa dihabiskan di klinik dan rumah sakit tempat dia bekerja.
Pagi ini seperti biasanya Roni mengantarkan Willa ke sekolahnya. Sebelum anak itu berangkat Willa mencium tangan Safa. Sesuai ajaran Roni sebagai anak harus menghormati orang tuanya.
"Willa berangkat, Bun," pamit anak kecil itu. Safa mengangguk. Ia merasa terharu selama ini dia tak sempat mengurus Willa. Namun, semenjak pengasuhnya berhenti, Safa menjadi sibuk mengurusi Willa setiap pagi.
"Ayo, non," ajak Roni. Willa berlari ke arahnya.
Setelah memastikan Willa naik ke dalam mobil, Roni mengangguk pada Safa. Sudah menjadi kegemarannya melihat wajah cantik Safa di pagi hari. Entah sejak kapan rasa itu muncul, tapi Roni merasa ia memiliki perasaan yang berbeda ketika berdekatan dengan janda beranak satu itu.
Brak
Terdengar suara tabrakan ketika mereka sudah setengah jalan menuju ke sekolahan Willa. Roni melihat sebuah motor yang ditabrak oleh mobil bak di depannya. Tiba-tiba kepala Roni terasa pusing. Kejadian masa lalu yang pernah ia alami seolah-olah berputar di kepalanya.
Roni terus memegangi kepalanya. "Om, om kenapa?" Willa panik melihat laki-laki di depannya itu kesakitan. Ia bahkan sampai menangis.
Mendengar panggilan Willa, Roni menjadi tersadar. Tiba-tiba sakit kepalanya menghilang. "Tapi dimana aku?" Batin Zidan.
Tin tin tin
Suara klakson dan teriakan orang-orang di luar sana menyuruh mobil Roni agar segera jalan. "Om Roni tidak apa-apa?" Tanya Willa memastikan.
"Roni? Ah aku ingat dokter itu memberiku nama Roni. Dan sekarang aku bekerja sebagai SOPIR?" batin Zidan. Ia nampak terkejut.
"Ayo om jalan!" Perintah Willa.
"Ah aku akan cari tahu nanti." Roni pun menurut pada Willa.
Tak lama kemudian mereka sampai di depan sekolah Willa. Willa turun dan meraih tangan Zidan. Zidan tersentak kaget. Ia hampir saja melupakan sesuatu kalau selama ini ia tinggal di rumah Safa sebagai pengasuh Willa.
Willa tersenyum pada Zidan membuat hati Zidan meleleh melihat senyum tulus anak lima tahun itu.
Setelah memastikan Willa masuk ke sekolahnya, Roni hendak masuk lagi ke dalam mobil. Namun, saat ia tak sengaja melihat ke arah spion mobilnya, Zidan lagi-lagi terkejut. Ia meraba wajahnya.
"Wajahku, kenapa berubah seperti ini?" Ia tampak frustasi. Bagaimana ia akan kembali dengan wajah yang berbeda. Keluarganya pasti tidak kan percaya.
"Mas Roni," panggil seorang ibu-ibu yang mengenalnya. Roni alias Zidan pun menoleh.
"Jangan ngaca terus, saya tahu mas Roni ganteng. Apa mas Roni takut gantengnya hilang ya?" Ledek ibu-ibu itu.
Roni hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah absurb ibu-ibu bertubuh gempal itu. Tak menghiraukan omongannya, Roni masuk ke dalam mobil. Ia mencoba mengingat-ingat kembali tapi tidak bisa walau dipaksakan.
"Sial, apa yang terjadi padaku." Zidan yang kesal memukul kemudi mobil."
"Ah, ponsel dan dompetku, apa mereka menyimpannya?" Gumam Zidan di dalam mobil. Lalu ia menyalakan mesin mobil menuju ke suatu tempat.
Zidan menghentikan mobil tak jauh dari lokasi hotel yang tak lain adalah milik ayahnya. Tak lama kemudian, Zidan melihat orang yang sangat dia kenal keluar dari hotel lalu memasuki mobilnya.
Zidan tampak berkaca-kaca. "Ayah," panggilnya lirih. "Sementara ini aku tidak bisa membuktikan kalau aku ini Zidan. Tunggu saja, Yah. Aku pasti akan kembali."
Setelah itu ia kembali ke sekolah Willa. Ternyata Willa sudah ada di depan gerbang sedang menunggu Roni.
Tapi saat ia baru melepas sabuk pengamannya, Roni melihat seorang laki-laki mendekati Willa.
"Willa, pulang bareng Ayah mau nggak?" Willy mencoba mengambil hati anaknya.
Willa membuang muka dan menyilangkan tangannya. "Nggak mau," tolaknya.
Willy habis kesabaran. Ia pun menarik tangan Willa dengan kasar. "Ayo ikut!" Paksanya. Lalu Roni menghalangi langkah Willy.
"Lepaskan dia!" Bentak Roni pada laki-laki yang tidak pernah ia temui sebelumnya itu.
Willa berlari ke belakang Roni saat Willy lengah. Willy tersenyum kecut. "Biarkan dia ikut denganku," ucap Willy dengan penuh penekanan.
Roni melihat ke arah Willa. Anak kecil itu menggeleng. "Tidak bisa," bantah Roni tak mau kalah.
"Kamu tahu siapa aku sehingga berani membawa Willa?" Tanya Willy. "Aku ayahnya," imbuh laki-laki yang berlagak angkuh tersebut.
Roni menarik ujung bibirnya. "Tapi saya yang lebih memiliki kewenangan menjaga Willa," ucapnya percaya diri.
"Memangnya apa hubunganmu dengan mantan istriku? Apa kau menyukainya?" Tebak Willy.
"Bukan, saya hanya seorang sopir dan pengasuh Willa," sanggah Roni. Ia berbalik dan mengajak Willa masuk ke dalam mobil tanpa memperdulikan Willy.
Willy mengepalkan tangannya. Dia juga meninju udara karena kesal pada Roni. "Tunggu saja aku akan cari tahu siapa kamu sebenarnya?" Gumam Willy dengan seringai licik.
Sesampainya di rumah rupanya Safa sudah pulang lebih dulu. "Bunda," Willa berhambur ke pelukan ibunya.
Safa menjadi kaget. Lalu ia menoleh ke arah Roni dan meminta penjelasan dalam diam.
"Tadi Willa bertemu dengan ayahnya di sekolah," jawab Roni. Safa membelalakkan matanya.
Safa berjongkok menyamakan tingginya dengan Willa. "Kamu masuk ke kamar dulu ya, taruh tasnya lalu buka sepatunya sendiri. Anak Bunda bisa kan?" Tanya Safa pada Willa. Willa hanya mengangguk.
Setelah memastikan Willa masuk ke dalam kamar, Safa berbicara pada Roni. "Lain kali jangan biarkan Willy mendekati putriku." Safa memberi peringatan.
"Tunggu, apa aku boleh bertanya?" Tanya Roni. Safa heran karena laki-laki itu tiba-tiba berbicara dengan nada yang berbeda.
"Ya, silakan!" Safa memberikan kesempatan pada Roni.
"Ap anda tahu kenapa wajahku berbeda?" Pertanyaan Roni membuat Safa terkejut.
"Apa kau sudah mengingat semua?" Tanya Safa pada Roni. Safa reflek mendekat tapi Roni memundurkan langkahnya.
"Ah tidak, saya hanya ingat waktu itu wajah saya rusak dan penuh luka," kilahnya.
Safa mengembuskan nafasnya kasar. Ia mengira ingatan laki-laki itu sudah kembali. "Waktu itu wajahmu rusak sebagian tapi cukup parah. Aku tidak mau waktu kau bangun, kau merasa frustasi ketika mendapati wajahmu yang tak berbentuk. Menurut informasi waktu itu mobilmu meledak setelah menabrak pohon ketika kau menghindari Willa yang menyeberang sembarangan. Aku merasa bersalah jika tidak menolongmu. Maafkan aku yang tidak meminta izin padamu saat mengoperasi plastik wajahmu."
Zidan memperhatikan wajah Safa. "Sepertinya dia berkata jujur," batin Zidan.
"Saya berterima kasih karena sudah menolong saya dan menampung saya di sini," ucap Roni.
"Tidak masalah, kamu juga berguna untukku. Kamu bersedia menjadi sopir dan pengasuh untuk Willa. Aku sangat berterima kasih," ucap Safa dengan tulus.
*
*
*
Willy kembali ke kantor.
Brak
Mantan suami Safa itu menggebrak meja karena kesal mengingat dia tidak bisa mengambil hati Willa. Terlebih ada laki-laki yang selalu di dekat anaknya.
Lalu ia menyalakan televisi. Ia mengganti Chanel yang berbeda-beda. Saat itu ia tak sengaja melihat tayangan televisi yang menyiarkan kabar tentang seseorang yang hilang.
Lalu ia mencocokkan berita tersebut dengan informasi yang didapat mengenai Roni dari orang suruhannya. "Kemungkinan besar sopir Safa itu adalah orang yang mereka cari. Tapi tunggu dulu wajahnya berbeda apa Safa mengubahnya?" tebak Willy karena ia tahu betul pekerjaan mantan istrinya itu. Ia menyeringai licik.
Tak buang waktu Willy pun mendatangi rumah orang yang diduga keluarga Roni. "Apa benar dia berasal dari keluarga kaya? Ah tidak masalah darimana dia berasal asal di menjauh dari anak dan mantan istriku," gumam Willy yang masih berada di dalam mobil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!