NovelToon NovelToon

Silent

Sepasang Kupu-kupu

...Ada kalanya hujan tidak dapat menghapus luka ini....

...Tidak dapat menghapus air mata yang mengalir untukmu....

...Namun hanya satu senyuman, aku ingin tersenyum seperti dedaunan yang menerima tetesan hujan....

Yoka.

Semua orang tersenyum mengambil foto. Tertawa bersama, alunan musik terdengar mengalun indah. Benar-benar pesta yang sempurna, dirinya melangkah, menatap wajah cantik itu sekali lagi.

"Anggeline..." batinnya, kata-kata panggilan yang tidak terucap. Tidak ada suara yang keluar dalam tangisan yang tertahan.

Brak!

Dengan sengaja, seorang pemuda menabraknya menumpahkan red wine ke pakaiannya.

"Maaf, Bisu..." cibiran dari Theo, sahabat dari mempelai pria.

Yoka hanya terdiam, masih terdiam, tersenyum hambar. Cinta memang sebuah pembodohan bukan? Seluruh pesta pernikahan ini menggunakan uang warisan dari almarhum ibunya.

Tidak dapat memiliki apapun, walaupun hanya secuil senyuman Anggeline.

Dari mana semua ini berawal? Anggeline, seorang guru piano yang dicintainya. Berharap dapat menerimanya yang bisu, namun dirinya hanyalah sebuah batu pijakan. Kala gadis itu mengenal Malik, saudara tirinya.

Matanya menelisik, air matanya mengalir. Tertunduk mengepalkan tangannya, membawa kado kotak musik berbentuk piano kecil. Berharap Anggeline dapat mengingatnya, seseorang yang mengasihinya. Seseorang yang membantunya, membuka teater.

Namun, segalanya terasa hambar.

Brak!

Malik melempar kado yang hendak diberikan Yoka, saudara tirinya. Melempar hingga hancur berantakan. Mengapa dapat seperti ini? Sang ayah datang menghampiri. Narendra, itulah namanya, mendekati penuh angkara murka.

"Kenapa kamu datang!? Kamu mau membuat ayah malu karena memiliki putra bisu sepertimu!!" bentak Narendra, menarik jas yang dikenakan Yoka.

Jemari tangan Yoka mengepal air matanya mengalir. Mengapa seperti ini? Malik hanyalah anak sambung Narendra. Mengapa lebih dicintai daripada dirinya yang seorang anak kandung?

Salsa, ibu sambungnya mendekat, tersenyum sinis, kemudian memeluk lengan Narendra.

"Ayah..." panggil Yoka dalam hati, tertunduk seorang diri. Malam dimana ibunya meninggal akibat diperkosa dan dibunuh di depan matanya, malam itu juga yang membuat rasa trauma dalam dirinya. Bibir yang tercekat kesulitan bicara, bahkan setelah belasan tahun, dirinya hanya dapat terdiam menyadari kekurangannya.

Malik hanya tersenyum menyambut kedatangan para tamu. Memiliki segalanya? Itulah Malik, seumuran dengan Yoka. Seorang anak yang dibawa Salsa dari pernikahan sebelumnya. Sebelum menikah dengan Narendra.

"Pergi!! Kembalilah ke villa!! Kamu hanya membuat ayah malu!!" bentak Narendra pada putranya.

Namun, Yoka masih saja berusaha memungut pecahan kotak musik berbentuk piano, sebagai hadiah terakhirnya untuk Anggeline.

Krak!

Jemari tangannya diinjak ayahnya sendiri. Seolah-olah muak dengan dirinya yang bisu. Bisu? Itu bukan keinginannya, mungkin bagaikan sebuah takdir Tuhan untuknya.

Tangan yang terlihat sedikit membengkak, sulit digerakkan. Jemari tangannya masih berusaha memunguti isi kotak kado yang berceceran. Hadiah terakhirnya untuk Anggeline, wanita yang dicintainya.

Melangkah mendapatkan cibiran dari tamu yang sebagian besar kalangan atas, termasuk beberapa selebriti. Dirinya kasta terendah di tempat tersebut. Hanya seorang pecundang bisu.

Pria yang tidak memiliki apapun lagi, memberikan kotak kado pada mempelai wanita.

Brak!

Kotak itu kembali dibanting, isinya diinjak oleh Anggeline. Benar-benar hancur, sebuah kotak musik, terbuat dari kristal yang dipesannya khusus. Apa terlalu memalukan memiliki anggota keluarga bisu? Bukankah hati yang tulus adalah kemuliaan.

Bukan? Ternyata bukan, cacat tetaplah cacat.

Plak!

Satu tamparan dilayangkan Anggeline, pada pemuda rupawan di hadapannya. Pemuda yang memakai setelan jas berwarna putih, ternoda red wine, menghadiri pernikahan mantan kekasihnya.

"Kamu sengaja mempermalukan Malik dengan hadir disini!?" tanya Anggeline.

Yoka hanya terdiam, ingin menjawab tujuan datang adalah Anggeline. Namun, jemari tangannya gemetaran, merindukan wanita yang meramaikan hari-harinya di villa yang sepi. Seorang wanita yang kini berselimut gaun putih indah bersanding dengan saudara tirinya yang lebih sempurna.

"Kamu bisu!! Karena itulah Malik lebih sempurna darimu!!" suara bentakan yang menggelegar, wanita itu, mendorong tubuh Yoka.

Apa dirinya *njing yang memerlukan belas kasih? Diusir di setiap tempat? Entahlah.

Yoka melangkah pergi, keluarga yang bahagia tanpa kehadirannya. Memakan uang warisan almarhum ibunya. Dirinya tertunduk, meninggalkan ballroom hotel. Hingga hujan turun dengan lebat.

Dengan cepat dirinya berteduh di halte bus. Jemari tangannya menadah air hujan. Mungkin berharap luka di hatinya akan memudar. Walaupun terasa sulit.

Hingga seberkas cahaya membelah awan, menampakan sinar matahari yang indah, dibalik hujan yang turun bagaikan tirai transparan.

Apa akan ada seseorang di hidupnya? Atau dirinya hanya akan seorang diri. Menjalani hidup yang terasa sepi.

Satu persatu kenangannya terbayang, kala dirinya bermain air bersama Anggeline, guru pianonya. Perlahan menyatakan cinta padanya, bermain piano bersama di dalam villa miliknya. Bahkan Yoka meminta pengacara keluarganya membuatkan gedung teater untuk Anggeline.

Namun, kenangan bagaikan luka yang tertancap. Kala Malik mulai hadir merebut satu-satunya cahaya yang ditemuinya.

Kala itulah semuanya berubah, Anggeline pergi hampir setiap hari bersama Malik, melupakan dirinya.

Apa kesalahannya? Dirinya menemukan batu giok indah, kemudian membersihkannya mengukirnya perlahan dengan jemari tangannya yang kotor. Namun semua bagaikan tidak ada artinya kala kata-kata bisu itu terucap. Mungkin jemari tangannya terlalu kotor untuk memakai gelang giok yang disayanginya. Wanita yang dirubahnya dari seorang guru piano dengan gaji kecil, menjadi pemilik gedung teater, menggarap beberapa pertunjukan besar.

Wanita yang juga meninggalkannya, meludahinya kala dapat mengepakkan sayapnya.

Yoka kembali melangkah di tengah derasnya air hujan. Menatap ramainya kendaraan yang melintas. Tidak memiliki keluarga, tidak dapat bicara, bahkan wanita yang dicintainya memilih pria lain.

Air matanya mengalir, bercampur air hujan, membasahi pipi hingga dagunya.

"Ibu..." panggilnya lirih tidak terdengar, mengingat satu-satunya orang yang tulus padanya. Melangkah menunggu lampu penyebrangan berubah merah. Pertanda dirinya ingin mengakhiri segalanya, melangkahkan kakinya. Bersiap tubuhnya akan terpelanting kendaraan, menutup matanya, merelakan jika ini saat untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang telah terlebih dahulu menghadap-Nya.

Kriet!

Suara rem mobil terdengar, tidak ada yang terjadi? Perlahan pemuda itu membuka matanya.

"Minggir!! Kamu sudah gila ya!?" bentak sang supir truk yang hampir menabraknya, mungkin kepala truk hanya berjarak sekitar 15 centimeter dari tubuhnya.

Seorang gadis berambut pendek, memakai masker tiba-tiba datang mendekat.

"Maaf pak ..." ucapnya, menarik tangan Yoka. Perlahan membawanya ke halte bus.

Gadis yang meraih jemari tangannya yang bengkak akibat injakan Narendra. Sedikit luka terlihat disana, perlahan gadis itu mengeluarkan plaster, mengobati luka gores.

"Kamu ingin bunuh diri?" tanyanya. Dengan cepat Yoka mengangguk.

"Karena patah hati?" tanya wanita itu lagi. Pemuda itu kembali mengangguk.

Sang wanita berambut pendek, yang masih memakai masker itu, menekan jemari tangan Yoka, membuatnya meringis.

"Kamu bisu?" tanyanya lagi, dengan cepat Yoka mengangguk kembali.

"Begini, cinta seperti tissue dan sapu tangan. Sesuatu yang terkadang sulit dibedakan. Tapi tissue hanya singgah di hidupmu, dipakai sekali kemudian dibuang. Tapi sapu tangan akan selalu ada untukmu, jika kamu merawat dan mencintai hatinya."

"Jangan mencoba bunuh diri! Karena akan ada sapu tangan menggantikan sehelai tissue bekas. Mungkin kamu akan menemukan orang yang kamu cintai nanti..." lanjut sang gadis.

Yoka mulai dapat tersenyum."Mungkin aku akan menemukan seseorang seperti Anggeline..." batinnya.

Gadis itu mulai mengenakan kerudung yang melekat di sweaternya.

"Aku pergi dulu..." ucapnya berlari di tengah derasnya air hujan.

Perlahan Yoka tertawa dengan suara tertahan.

*

Wanita itu mulai berhenti di dekat tempat penitipan laundry. Mengambil beberapa pakaian. Sedikit membuka maskernya ketika membayar. Sesuatu yang aneh, wajah yang mirip, bahkan menyerupai Anggeline.

"Aku ingin mengambil laundry atas nama Dora..." kata-kata darinya penuh senyuman, rambut pendek dengan poni? Mungkin model rambut mirip tokoh animasi Dora The Explorer. Tapi wajah rupawan tanpa perawatan, wanita penuh semangat, dengan pakaian lusuh.

Sepasang kupu-kupu terbang ditengah hujan diiringi sinar matahari yang turun. Mungkin sebuah pertemuan yang bagaikan suatu keajaiban, tanpa mereka sadari.

Menyerupai

Teng!

Suara uang koin yang terjatuh ke celengan terdengar. Wanita berambut pendek yang tersenyum, menatap ke arah cermin. Sebentar lagi dirinya dapat mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya. Ingin bersanding dengan pria yang dicintainya, Jovan pegawai bank nasional.

Bingkai foto berukuran kecil terlihat menampakan foto dirinya bersama Meira, sahabatnya dan Jovan, kekasihnya. Perlahan gadis itu mengenakan topinya, membawa dua box yang dipenuhi dengan jajanan pasar.

Sebenarnya bukan hanya jajanan pasar, namun juga buah-buahan segar. Itulah profesinya, berjualan keliling, mulai menyalakan motor tuanya.

Benar-benar motor bebek warisan almarhum ayahnya. Suara mesin yang halus, menembus semua medan, termasuk jalanan pedesaan.

Angin menerpa rambutnya menampakan wajah rupawannya.

"Dora!" Suara panggilan terdengar, dirinya menghentikan laju motornya yang lumayan pelan. Menurunkan box-nya di teras rumah seorang ibu rumah tangga.

Bersamaan dengan itu, ibu-ibu lainnya mendekat. Membeli berbagai dagangan yang dibawanya. Profesi rendah? Tidak, dirinya berbeda dengan penjaja jajanan pasar lainnya.

Tidak membuatnya sendiri, dirinya bagi hasil dengan beberapa nenek yang tinggal di dekat rumahnya. Dua box? Mungkin delapan box dapat dihabiskannya dalam satu hari. Lima box buah kiloan dan tiga box jajanan pasar.

Dengan moto utamanya, buatan tangan seorang nenek memang lebih enak.

"Dora kamu cantik, sudah punya pacar belum? Anak ibu juga masih bujang, siapa tau—" kata-kata Bu RT disela.

"Hus! Dora sudah punya pacar, namanya Jovan. Dibantu Dora biaya kuliahnya, sampai jadi pegawai bank sekarang," ucap Bu Ratmi.

Dora, tersenyum menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Keberhasilan pacarnya, keberhasilannya juga, ‘kan?

"Aku memang keren, punya pacar pegawai bank nasional," batinnya ingin rasanya dipuji lebih banyak.

"Iya, sudah cantik, rajin, pintar lagi." Bertambah lagi pujian Bu RT.

"Tapi sayangnya lulusan SMU." Ibu dari sahabatnya Meira datang menyela, membuat semua pujian bagaikan menghilang.

"Anak saya Meira, lulusan S2 sekarang kerja jadi manager di perusahaan semen," lanjutnya.

Kata-kata pujian terus berlanjut, hanya menjatuhkan mental Dora. Wanita yang menghela napas kasar, memberi kembalian pada ibu-ibu yang membayar.

Selalu seperti ini, namun dirinya bersyukur. Memiliki kekasih setia seperti Jovan dan sahabat yang cantik serta pintar seperti Meira.

*

Motor kembali dilajukannya melewati jalanan menuju bangunan terbesar di kampungnya. Security dan para pelayan menjadi langganan tetapnya.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, dagangannya benar-benar diserbu, bahkan hampir tanpa sisa. Hingga dirinya hendak menaikan satu box kosong. Memasukan satu buah jeruk kecil ke sakunya untuk dimakan nanti.

Suara itu mulai terdengar.

Suara piano klasik. Suara yang sering didengarnya dari dalam villa, namun entah siapa yang memainkannya. Wajah Dora tersenyum, selalu terhibur mendengar setiap melodi indah yang terasa.

*

Yoka terdiam, masih tidak bicara. Memainkan pianonya, nada-nada indah perlahan terdengar, mengantar kerinduannya pada Anggeline. Air matanya menetes.

Mengapa dirinya tidak dapat bicara? Ini terlalu sulit baginya, memilih terdiam dalam kebisuan. Dirinya yang kala itu berusia 11 tahun menyaksikan ibunya dilecehkan dan dibunuh. Trauma psikologis yang seharusnya berjalan sementara, namun mengapa hingga kini dirinya masih tidak dapat bicara?

Inilah alasannya, dirinya tidak ingin bicara. Tidak ingin mengumpat dan berucap dalang pembunuhan ibunya adalah ayahnya sendiri. Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, sang ayah mengatakan pada selingkuhannya telah melenyapkan nyawa istrinya.

Yoka memilih tidak bicara, berhenti berucap, hingga suaranya bagaikan menghilang. Menyimpan luka hati seorang diri, memilih hidup menyepi ditemani suara piano. Menjauh dari ayah yang dahulu menyayanginya.

Air matanya kembali mengalir, semua yang dimilikinya telah direbut oleh Malik. Menghibur diri dalam tangisan tidak bersuara.

Jemari yang bergerak cepat, berubah menjadi nada bagaikan kegelisahan. Menahan perasaan sesak di dadanya. Bagaikan sebuah simpul rumit yang tidak dapat dibukanya.

Hingga pada akhirnya gerakan jemari tangannya terhenti. Kala terdengar suara tepukan tangan seseorang.

"Kenapa berhenti?" Suara seorang wanita terasa asing di telinganya.

Pemuda yang mengenakan kemeja putih itu menengok ke arah belakang. Wajah yang benar-benar dikenalinya, Anggeline telah kembali. Anggeline tidak membuangnya.

Dora terdiam sejenak, pemuda yang mencoba bunuh diri di dekat halte bis beberapa hari yang lalu?

Tidak ada yang dikatakan sang pemuda rupawan, melangkah dengan cepat memeluk tubuhnya. Dora terdiam, terpaku sejenak, tubuhnya bagaikan sedikit terangkat oleh pemuda yang lebih tinggi darinya.

Tangan yang berselimut kemeja mendekapnya. Tangan lebar yang benar-benar terasa hangat.

Tidak ada kata yang mereka ucapkan, sedetik, dua detik, hingga detik ketiga. Kesadaran Dora mulai kembali.

"Kamu siapa?!" teriaknya, mendorong tubuh pemuda di hadapannya.

Yoka masih terdiam, membelai pipi Dora. Inilah Anggeline, begitulah dalam hatinya saat ini.

Tapi berbeda dengan Dora, wanita yang sudah dari tadi menahan kesabarannya.

"Kamu bisu kan?" tanyanya mengingat pemuda di halte bus.

Yoka diam tertegun, menurunkan jemari tangannya dari pipi Dora. Anggeline benar-benar tidak menginginkannya yang bisu?

Tapi tidak, Anggeline adalah miliknya. Jemari tangannya mengepal, menarik Dora dalam pelukannya, mengarahkan mata mereka bertemu sesaat. Tengkuk Dora ditahannya.

Ciuman pertama? Itulah yang diberikan Yoka, tidak mengerti caranya sama sekali. Namun jantungnya berdegup cepat kala bersentuhan dengan bibir wanita ini. Wanita yang masih dianggapnya sebagai Anggeline.

"Lepas—" kata yang hendak terucap dari bibir Dora, namun malah membuka akses bagi lidah Yoka yang bergerak secara alami, ke dalam mulutnya.

Dora terdiam, ini benar-benar ciuman pertamanya. Pemuda yang terus bergerak, entah kenapa keseimbangan Dora bagaikan menghilang. Jantungnya ikut berdegup cepat, perasaan yang coba ditentangnya, namun bagaikan narkotika. Dua orang yang terlanjur mencicipinya, memejamkan matanya, membalas perlahan.

Apa ini? Mengapa dapat seperti ini? Hingga napas mereka benar-benar habis, menghirup udara dengan serakah.

"Apa ini cinta? Akhirnya, aku berciuman dengan Anggeline," batin Yoka penuh senyuman, mengatur napasnya. Menahan debaran di hatinya.

Hubungan apa yang dulu Yoka dan Anggeline jalani? Tidak pernah berciuman? Tentu saja, Anggeline tidak ingin memiliki hubungan dengan pemuda bisu. Hanya sekedar menjalin hubungan untuk mendapatkan uang dan segala fasilitas.

"Ciuman pertamaku ..." gumam Dora menyentuh bibirnya, menyesali semuanya.

Yoka mengenyitkan keningnya, meraih papan putih dan spidol yang berada di atas pianonya.

‘Ciuman pertama? Bagaimana bisa?’ Itulah yang ditulisnya, mengingat Anggeline beberapa kali berciuman dengan Malik di hadapannya.

Dora membaca tulisan yang ditunjukkan Yoka. Mengenyitkan keningnya benar-benar murka, dirinya bagaikan dianggap sebagai wanita murahan.

"Aku Dora! Tidak pernah berciuman dengan siapa pun!" teriaknya, menendang tulang kering Yoka. Kemudian pergi meninggalkannya.

Yoka hanya meringis menahan rasa sakit. Namun memang terasa berbeda dengan wajah yang sama. Itu bukan Anggeline? Entahlah, tapi rupa yang sama. Seperti kata gadis di halte yang menolongnya. Sapu tangan dan tissue. Mungkin wanita bernama Dora ini dapat menggantikan Anggeline.

Wajah yang tersenyum, menggigit bagian bawah bibirnya sendiri. Ciuman bagaikan narkotika untuknya. Dirinya menginginkannya lagi. Apa karena wajah yang sama dengan Anggeline?

*

Di tempat lain Dora terisak bagikan seorang gadis yang direnggut kesuciannya. Padahal seorang gadis yang direbut ciuman pertamanya.

"Bisu br*ngesek!!" teriak Dora menendang-nendang udara kesal, menyikat giginya berkali-kali.

Aku Akan Membantumu

Alunan suara biola terdengar, pemuda itu tersenyum-senyum sendiri, kondisi mentalnya benar-benar terlihat baik hari ini. Alunan suara biola yang membuat kagum siapa saja. Siapa yang menyangka orang yang memainkannya, seorang pria bisu.

Seorang pria paruh baya mendekatinya, memakai pakaian formal dengan kacamata yang menambah kesan dewasanya.

"Tuan Muda," ucapnya tertunduk memberi hormat. Selaku kepala pelayan senior yang telah menemani Yoka dari almarhum ibunya masih hidup.

Yoka menghentikan permainan biolanya, menatap ke arah pelayannya. Tersenyum bagaikan menahan tawanya, sesekali meraba bibirnya sendiri.

"Kami menyiapkan, club sandwich siang ini, chicken teriaki, juga escargot," ucap sang kepala pelayan.

Pemuda yang hanya tersenyum, selera makan Yoka yang buruk membuat Arsen, sang kepala pelayan, menyiapkan hidangan dari berbagai negara setiap harinya. Benar-benar pemuda yang sensitif. Tapi tidak dengan hari ini.

Bagikan anak baik, pemuda itu melangkah menuju meja makan. Meraih sumpit memakan chicken teriaki lengkap dengan nasi hangat. Sesekali tersenyum sendiri.

Sang kepala pelayan mengenyitkan keningnya. Bahkan ketika Anggeline dahulu mengatakan mencintainya, bersedia menerima kekurangan Yoka yang bisu, pemuda itu tidak separah ini.

"Maaf, apa Tuan Muda belakangan ini merasa tertekan?" tanyanya.

Yoka menggeleng dengan cepat, meletakkan sumpitnya meraih spidol dan papan putih kecil yang selalu ada di dekatnya.

'Aku mencium seorang wanita. Dia mirip dengan Anggeline. Mungkin aku—', kalimat terakhir tidak selesai, Yoka ragu untuk menulisnya.

Sang kepala pelayan menghela napas kasar. Dirinya telah menganggap Yoka bagaikan putranya sendiri, untuk pertama kalinya pemuda itu tersenyum setulus ini setelah kematian ibunya.

"Tuan Muda, Anggeline pergi dari Anda karena anda tidak mengikatnya dengan kuat. Jika Anda menemukan wanita yang Anda sukai lagi, ikat dia dengan kuat di sisi Anda. Jangan biarkan dia pergi untuk alasan apa pun." Kata-kata dari mulut Arsen, penuh provokasi.

Membenci Anggeline? Tentu saja, Arsen membenci Anggeline yang hanya memanfaatkan kekayaannya sebagai tuan muda saja. Menjadikan Yoka sebagai batu pijakan untuk menikah dengan Malik.

Benar-benar satu keluarga tidak tahu diri. Sebagian harta yang mereka nikmati adalah milik almarhum Nyonya Besar, ibu kandung dari Yoka. Seandainya dia tidak bisu, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi, Arsen akan membantunya kembali ke perusahaan keluarga.

Yoka menghela napas kasar, untuk kemudian tersenyum sendiri mengingat wajah yang benar-benar mirip dengan Anggeline, hanya model rambut, suara, dan sifat yang berbeda.

Menjadikannya pelayan pribadi, membuatnya perlahan mencintainya, menjadikan Dora pengganti Anggeline kini adalah tujuannya. Jemari tangannya mulai menulis lagi di papan putih.

'Ada seorang wanita bernama Dora yang berani memasuki area belakang villa kemarin siang. Berikan semua informasi tentangnya. Aku akan mengurungnya di villa ini,' itulah tulisan tegas yang terlihat di papan putih.

"Baik, Tuan Muda." Arsen tertunduk memberi hormat, mulai tersenyum. Ambisi? Untuk pertama kalinya Yoka memiliki ambisi dalam hidupnya.

Perkembangan yang tidak diduga oleh Arsen dipicu oleh wanita bernama Dora. Jemari tangan Arsen meraih phonecell di sakunya, mencari informasi dasar tentang selebriti atau anak pejabat yang bernama Dora. Serta memiliki rupa yang mirip dengan Anggeline.

Hingga tombol pencarian di tekanannya. Gambar Dora terlihat, tokoh animasi dengan monyet kecil putih di sampingnya. Arsen mengenyitkan keningnya, melirik ke arah tuan mudanya.

"Apa dia manusia atau tokoh animasi?" tanya Arsen dengan lugunya, menunjukkan gambar tokoh animasi dengan model rambut pendek.

Yoka mengenyitkan keningnya kesal, meraih papan putihnya, kemudian menulis dengan cepat.

'Dia manusia!'

*

Di tempat lain, angin menerpa rambut pendek sebahu dengan poni di bagian dahinya. Gadis yang sesekali merapikan penampilannya, membawa kue ulang tahun untuk kekasihnya yang tinggal di kota. Hendak memberikan kejutan.

Di dalam bus tua yang melaju, bebauan keringat orang-orang tercium. Bercampur bau amis ikan, bahkan ada bau kentut yang menyengat. Entah siapa yang mengeluarkan gas mematikan tidak berwujud itu.

Dora masih setia tersenyum, mulai menutup hidungnya, menahan rasa mual. Mungkin tidak cuma dirinya, seorang penumpang bahkan berlari turun dari bus muntah-muntah.

Bus yang benar-benar padat tidak menyurutkan niatnya. Sudah 7 tahun menjalani hubungan. Satu tahun ketika SMU, dan hubungan jarak jauh kala Jovan kuliah, kemudian bekerja di bank nasional.

Dirinya membantu Jovan membiayai kuliahnya di kota. Membeli motor baru untuk berjualan? Dirinya mengurungkan niatnya, masa depannya dan Jovan lebih penting.

Kini kekasihnya menjadi karyawan bank nasional. Bangga? Tentu saja, Dora tersipu saat membayangkan Jovan akan menyambutnya dengan pelukan. Mereka lantas akan memakan kue bersama seperti kebiasaan mereka. Saling menyuapi dengan kata aku mencintaimu.

Dora terlalu percaya diri, menganggap hal yang akan terjadi nanti sesuai dengan perkiraannya. Namun sungguh, tidak ada seorang pun manusia yang mengetahui takdir. Tidak perlu waktu bertahun-tahun, bahkan dalam hitungan detik saja, hidup seseorang bisa terbalik hancur.

*

Meira, itulah nama sahabat Dora bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan semen. Berjalan seorang diri menelusuri lorong, menuju tempat kost-kostan elite.

Tempat kost, namun memiliki fasilitas AC, bath tub, dapur kecil, bahkan shower.

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu diketuk terdengar, perlahan Jovan yang baru usai membersikan diri membukanya. Wajahnya tersenyum cerah, menyambut Meira dalam dekapannya.

Pintu ditutupnya tanpa dikunci. Dua insan yang mulai melakukan perbuatan dosa. Mengkhianati hubungan yang terjalin bertahun-tahun, foto Meira, Jovan dan Dora yang tersenyum masih terlihat disana. Bagaikan menyaksikan bagaimana akhir hubungan persahabatan yang terjalin bagaikan saudara. Hancur dalam sebuah pengkhianatan dan dosa yang terikat oleh napsu.

Sahabat? Apa inikah sebuah persahabatan dan hubungan kasih selama 7 tujuh tahun? Semua yang dilakukan Dora hanya lelucon bagi mereka.

Adakah rasa bersalah dalam diri mereka? Tentu saja tidak, kala sepasang tubuh telah kelelahan sesaat, berbaring di atas tempat tidur. Pasangan yang menatap penuh senyuman, tidak menyadari pintu yang semulanya tertutup kini sedikit terbuka. Seorang gadis yang membawa kue kecil, dengan lilin yang menyala. Menghentikan tangannya yang hendak membuka handle pintu. Mendengar suara Meira di sana.

"Kapan kita akan menikah?" tanya Jovan pada wanita dalam dekapannya.

"Saat kamu sudah naik jabatan, kita akan membuat pesta pernikahan yang besar, menyewa gedung hotel," jawab Meira, menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan.

Tangan Dora yang memegang handle pintu gemetaran. Wajahnya terlihat pucat pasi.

"Jovan," batinnya enggan membuka pintu. Sakit? Benar-benar menyakitkan, segalanya bagaikan tidak ada artinya. Wanita yang menahan segalanya.

Kaki Dora lemas, jatuh lunglai ke atas lantai marmer. Air matanya mengalir, menutup mulutnya sendiri. Menahan suara isakan yang hendak keluar.

Kue diletakkannya di depan pintu, berusaha untuk bangkit. Berjalan lunglai seakan kehilangan pijakannya.

Tidak memiliki tempat yang berarti lagi, air matanya mengalir.

*

Angin kembali menerpa rambutnya, seakan mengiringi perjalanannya kembali ke desa. Banyak hal yang ada di pikirannya, memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.

Sahabat? Persahabatannya dan Meira terjalin dari sekolah dasar. Dirinya bertemu dengan Jovan ketika SMU, berjuang di kala susah dan senang bersama-sama.

Namun hanya dirinya yang ditinggalkan. Mengapa? Dua makhluk itu memang lebih sempurna darinya. Air matanya mengalir tidak dapat dihentikan olehnya.

Sepanjang jalan, hanya kenangan memori masa lalu yang terasa, kala Jovan memeluknya, mengacak-acak rambutnya, bahkan melumuri wajahnya dengan krim kue penuh senyuman.

Semua hanya dusta dan kebohongan. Berjalan dengan tatapan kosong menuju ke rumahnya. Hingga sepasang sepatu pria terlihat di hadapannya, lengkap dengan pemiliknya.

Pemuda tidak dikenal, membawa sebuah papan putih kecil dan spidol. Pemuda yang mengganggunya, tiba-tiba saja memeluknya seakan mengatakan agar tidak menangis.

Entah kenapa tangannya gemetar, membalas pelukan hangat itu. Tinggal jauh dari ibunya yang telah menikah lagi, tidak memiliki sanak keluarga mungkin membuatnya lebih rapuh.

Yoka melonggarkan pelukannya, menghapus air mata Dora yang masih terisak, tidak memiliki teman atau kekasih untuk menghapus kesedihannya.

Sang pemuda yang kemudian menuliskan sesuatu di papan putihnya.

'Maukah kamu menjadi pelayan pribadiku? Tinggal di villa milikku. Aku akan membalas orang yang membuatmu menangis,' itulah isi tulisan yang di tunjukkan oleh Yoka.

Pemuda yang sejatinya memiliki niatan buruk, mengurung Dora dalam villa miliknya. Seringai jahat yang tertutup senyuman cerah dari seorang pemuda bisu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!