NovelToon NovelToon

Kilau Bintang Di Moskow

Глава 1

Balai Kota Olympus Palace, St Petersburg.

*Aku adalah marionette*…

Marionette hanyalah boneka kayu yang dikendalikan dengan tali.

Seluruh tubuhku terbuat dari kayu. Tidak merasa, tidak bergerak… hanya menunggu seseorang mengendalikanku.

Dari puncak kepala sampai ke ujung kaki…

Chéri Dutchskova berusaha memusatkan konsentrasinya, tidak mempedulikan sekelilingnya. "Puncak kepala…" ia bergumam pada dirinya sendiri. "Ujung kepala," gumamnya lagi seraya merunduk dengan sebelah tangan terjulur lurus ke depan sejajar dengan kepala dan menghalangi jalan.

"Boleh aku lewat?" Suara datar seorang pria mengejutkannya.

Chéri terperangah dan mendongak dengan kedua mata dan mulut membulat.

Seraut wajah lancip khas boneka migi tertunduk menatapnya dengan ekspresi datar.

Chéri mengerjap dan terbelalak. Tampan sekali, batinnya takjub. Apa dia malaikat?

Wajah pria itu terlihat seperti hasil pahatan seorang maestro. Struktur tulang yang kuat dan garis wajahnya benar-benar mengagumkan---seperti muncul dari mimpi, sebagai perwujudan sosok khayalan setiap wanita. Sepasang alisnya hitam dan tebal dengan bentuk yang elegan. Hidungnya mancung mendongak. Lekuk bibirnya terbentuk dengan sempurna.

Dan yang paling luar biasa dari itu semua, adalah sepasang mata birunya yang mengandung magnet. Tatapannya menusuk dipenuhi misteri.

Tinggi badannya sekitar seratus delapan puluh senti, rambutnya panjang selurus penggaris. Jaket kulit hitam mengkilat melekat pas pada bahunya yang lebar.

Sosok tinggi menjulang berbahu lebar itu melewati Chéri dengan langkah-langkah lebar.

Chéri masih terpaku menatap punggungnya.

"Chéri!" Teriakan ribut seseorang mengalihkan perhatian Chéri. Seorang gadis sebaya dirinya menghambur ke arah Chéri dari perempatan koridor di ujung pelataran balai kota. Gadis itu mengenakan pakaian balet seperti Chéri, bedanya gadis itu memakai atasan hitam yang mirip jas pesulap atau penyihir pria pada abad ke delapan belas tanpa tutu---rok balet. "Aku mencarimu dari tadi," sembur gadis itu terengah-engah. "Kenapa kau belum masuk? Sebentar lagi giliran kita!"

"Maaf, Nina. Aku pasti tampil, kok! Hanya saja aku belum bisa menjiwai peranku sebagai boneka kayu." Chéri menjelaskan.

"Oh, yang benar saja!" Nina mengerang seraya memutar-mutar bola matanya. "Sebelumnya kau terlalu seperti kayu dan akhirnya malah tak bisa menari!"

"Iya, tapi kan… aku bukan manusia," Chéri berkilah.

"Aduh, dalam balet kau tak harus mendalami peran sedalam itu!" sergah Nina tak sabar.

Pria tinggi menjulang berambut panjang tadi tiba-tiba menoleh ke arah mereka sebelum ia berbelok di ujung koridor. Sepasang matanya terpaku menatap Chéri sambil menyimak pembicaraannya.

Chéri menoleh spontan dan beradu pandang dengan pria itu.

"Chéri! Nina!" Suara ribut lainnya mengusik momen mereka. Seorang wanita paruh baya bersetelan resmi meneriaki kedua gadis itu seraya berkacak pinggang. "Cepat! Sebentar lagi giliran kalian."

Kedua gadis itu serentak menghambur ke arah pintu masuk menuju back stage.

Wanita paruh baya tadi mengikuti mereka seraya menggerutu. "Nina! Hapus keringatmu!" sembur wanita itu ketika mereka sampai di belakang panggung. Direnggutnya beberapa lembar tisu dari meja panitia dan memberikannya pada Nina.

Chéri mengintip ke bangku penonton melalui celah sempit di antara dinding dan tepi panggung. Ayah datang tidak, ya? Hatinya bertanya-tanya, sementara pikirannya mulai melayang.

.

.

.

"Ayah, bagiku balet bukan sekedar hobi," katanya pada ayahnya, sehari sebelum pentas. "Aku ingin menekuni balet dengan serius. Jadi, izinkanlah aku masuk sekolah balet di Moskow."

Ayahnya tidak menjawab. Tetap terfokus pada St Petersburg Times yang sedang dibacanya.

"Aku tahu Ayah pasti berpikir kalau hanya balet, di St Petersburg juga bisa," Chéri menambahkan. "Apa lagi aku masih duduk di bangku SMU. Tapi, untuk kali ini saja---kumohon datanglah ke pentas ujian akhirku."

Ayahnya tidak bereaksi.

"Aku tahu Ayah sangat sibuk." Chéri melanjutkan. "Tapi kumohon datanglah. Kalau Ayah berubah pikiran setelah melihat aku menari, di akhir pertunjukan nanti beri aku karangan bunga gardenia…"

Ayahnya mengangkat wajah. Tapi tak mengatakan apa-apa.

Chéri mendesah pendek dan tertunduk. "Kalau Ayah tetap tidak setuju aku sekolah di Moskow, Ayah tak perlu memberiku apa-apa. Karena aku takkan menginginkan yang lainnya," katanya seraya memaksakan senyum.

Ayahnya tetap membisu.

Chéri akhirnya berbalik dan meninggalkan ruang kerja ayahnya tanpa menunggu jawaban.

Aku sudah mengatakannya, pikir Chéri. Ia tahu ayahnya jarang bicara, tapi bukan berarti ayahnya tidak mendengar.

Sikap diam dan wajah masam ayahnya bukan respon antipati atau kebencian. Bukan pula ketidakpedulian. Ayahnya hanya terlalu pendiam, itu saja.

.

.

.

"Ibu, sebentar lagi giliran Kak Chéri!" Adik perempuan Chéri memberitahu ibunya. Mereka sudah berada di bangku penonton sejak setengah jam yang lalu, tapi ayah mereka tidak juga muncul.

"Aduh! Ayah bagaimana, sih?" Ibunya mulai gelisah. "Katanya dia akan pulang satu jam lebih cepat."

Sementara itu di pelataran balai kota Olympus Palace yang luas, Maulana Dutchskovich, ayah Chéri, berlari tergopoh-gopoh untuk mencapai pintu masuk. Keburu tidak, ya? Ia bertanya-tanya dalam hatinya seraya berusaha mempercepat langkahnya.

"Di akhir tahun seperti ini di departemen store-nya pasti sangat sibuk," tutur ibunya di bangku penonton, di bagian dalam gedung itu.

"Chéri memang betul-betul keterlaluan," gerutu ayahnya di depan gerbang, masih berusaha mencapai pintu masuk gedung. "Kenapa dia harus minta bunga yang sulit dicari? Kalau bunga camomile di semua toko bunga juga sudah pasti ada. Anak ini… hah!"

Maulana Dutchskovich terengah-engah. Kemudian menghentikan langkahnya seraya menekuk perutnya. Sebelah tangannya merenggut kerah kemeja dan melonggarkan dasinya, sementara tangan lainnya menenteng karangan bunga gardenia dengan hati-hati.

Beruntung aku mendapatkannya meski sedikit terlambat, pikirnya. Chéri pasti akan senang.

Napasnnya mulai stabil, tapi dadanya masih terasa sesak dan meletup-letup.

Apa yang terjadi?

Maulana Dutchskovich terhuyung ketika ia berusaha meluruskan tubuhnya. Dadanya serasa dihantam godam.

"Tolong!" pekiknya setengah tercekik.

Tepat pada saat itu seseorang baru saja hendak keluar. Tubuh Maulana Dutchskovich tersungkur dan menabraknya. "Are you okay, Sir?"

"Dadaku… da…" ayah Chéri mengerang lemah.

"Sebaiknya Anda jangan bicara dulu," pria muda yang hendak keluar tadi menahan tubuhnya. "Tolong panggilkan ambulans!" teriaknya pada beberapa orang yang sedang melintas.

Orang-orang itu menghambur ke arah mereka dan mengerumuni Maulana Dutchskovich.

Pria paruh baya itu mencengkeram lengan pria yang menopangnya dan mengangkat karangan bunga di tangannya dengan gemetar. "To… tolong… gantikan aku… berikan ini pada putriku… kumohon… ini sangat penting baginya…"

BRUK!

Tubuh pria itu ambruk di lantai.

Seketika suasana di sekelilingnya mendadak gaduh. Orang-orang berlarian ke arah mereka dan semakin banyak orang berkerumun.

"Ada yang pingsan!"

"Tolong panggilkan ambulans!"

Orang-orang berteriak bersahut-sahutan.

"Hey, aku kenal dia!" Seseorang berteriak dan menyelinap ke dalam kerumunan. "Dia tuan Dutchskovich, tetanggaku."

"Denyut nadinya… berhenti!" seseorang yang lainnya berteriak.

"Beritahu keluarganya!" teriak yang lainnya.

Pria yang menerima karangan bunga itu terkesiap. Antara bimbang dan terguncang. "Ini penting bagi putriku," kata pria paruh baya itu tadi, pikirnya.

Bagaimana dengan nyawanya?

Mana lebih penting?

Karangan bunga ini jelas lebih penting! Pria itu menyimpulkan.

Глава 2

Program acara nomor 31: Marionette…

Pria muda yang menerima karangan bunga itu tertegun dan berpikir keras tanpa melepaskan pandangannya dari secarik kertas yang terselip pada karangan bunga.

Pria paruh baya itu telah mempertaruhkan hidupnya demi memberikan karangan bunga ini untuk putrinya.

"Ini penting baginya…"

Sebaiknya aku bergegas, katanya dalam hati. Setelah yakin pria paruh baya yang menitipkan karangan bunga itu aman dalam penanganan paramedis dan dibawa masuk ke dalam ambulans, pria itu segera berlari ke arah tangga dan bertanya pada siapa saja yang dilewatinya. "Ada yang tahu program acara Marionette?"

"Pertunjukannya sedang berlangsung di auditorium," jawab seorang wanita berpakaian balet seraya menunjukkan arahnya.

"Terima kasih!"

.

.

.

Marionette adalah judul tarian yang dibawakan berpasangan antara boneka marionette dengan dalangnya—Chéri Dutchskova dan Nina Vavolka.

Ketika sedang dikendalikan oleh sang dalang, marionette tiba-tiba bergerak semaunya hingga dalang dibuat panik dan kebingungan.

Marionette itu bergerak bebas dan berputar-putar dengan kegembiraan yang meluap-luap dan lama kelamaan marionette itu berbalik mendesak dalang dan mempermainkannya.

"Penari marionette itu seperti boneka sungguhan," komentar salah satu penonton di dekat pintu masuk.

Pria pembawa karangan bunga itu berdiri di depan pintu masuk dan mendengarkan seraya memperhatikan pertunjukan.

"Permainannya memang sangat menonjol. Gadis itu menghayati perannya dengan sungguh-sungguh," komentar penonton lainnya.

Pria tadi belum berkedip dan tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya sejak ia memasuki auditorium. Hanya membeku di ambang pintu dan terpaku menonton pertunjukan.

Di tengah pertunjukan, insiden tak terduga tiba-tiba terjadi. Penari yang memerankan dalang tergelincir dan jatuh tertelungkup.

"Nina!" Chéri memekik panik dan menatap temannya.

"Aduh!" Guru mereka, perempuan paruh baya yang bersetelan resmi, menepuk dahinya. "Dia bicara di atas panggung," erangnya.

Nina tidak bisa bangun, Chéri membatin gusar. Apa tadi kepalanya terbentur?

"Dasar bodoh," Nina menggeram jengkel. "Bisa tidak pura-pura tidak tahu," katanya pada Chéri. Lalu beranjak dan menyelinap meninggalkan pertunjukan.

"Nina!" Chéri mulai kebingungan.

Bagaimana ini?

Semuanya sudah berantakan.

"Ayo, Chéri! Kamu juga turun!" Guru tari mereka memberikan isyarat dari sisi panggung.

Tidak, tunggu! Seketika Chéri mendapat gagasan. Kalau aku marionette sungguhan…

Chéri berputar dengan gerakan pelan dan kaku, lalu menghadap ke arah penonton dan menggerak-gerakkan tangannya ke atas dan ke bawah menirukan gerakan boneka kayu tanpa kendali, kemudian mengayunkan sebelah tangannya ke samping dan merentangkannya seperti palang kayu, lalu perlahan memiringkan tubuhnya hingga posisi berdiri sedikit miring menyerupai boneka kayu yang tergantung setengah roboh dan terombang-ambing, kemudian tak bergerak lagi.

Para penonton terkesiap dan menahan napas.

"Dia mau jatuh?" Penonton bertanya-tanya.

"Tidak, lihat itu! Dia berdiam diri dengan posisi seperti itu!"

"Sama sekali tidak bergerak seperti boneka kayu sungguhan!"

Aku hanyalah boneka kayu, Chéri berkata dalam hatinya. Mencoba untuk memusatkan konsentrasinya. Jika dalangku mencampakkanku, aku tidak lebih dari seonggok kayu.

Pria pembawa karangan bunga itu masih membeku, terpesona oleh sosok penari yang terkulai menyerupai boneka kayu sungguhan. Hanya dua-tiga gerakan, pikirnya. Tapi dia berhasil merebut hati para penonton.

Luar biasa!

Tapi daripada dia menjadi balerina, ia lebih cocok menjadi…

Tepuk tangan meriah pun menggelegar seiring berakhirnya musik pengiring.

Pria itu kemudian bergegas ke belakang panggung dan menerobos penjagaan para panitia.

"Hey!" Seseorang meneriakinya.

Chéri tengah membungkuk di depan meja rias dengan ekspresi putus asa. Ayah pasti kecewa, pikirnya sedih seraya membayangkan komentar pedas ayahnya.

"Kalau tarianmu seperti itu, Ayah tidak akan mengizinkanmu pergi ke Moskow!"

"Ayah benar-benar tidak datang," keluh adik perempuannya di bangku penonton.

"Ayah hanya terlambat," kata ibunya.

"Kasihan Kak Chéri," kata adik perempuannya yang lain.

"Nyonya Dutchskova," seorang pria berusia tiga puluh tahun menghampiri mereka.

"Ya?" Ibu Chéri menoleh dengan raut wajah bingung. Ia mengenal pria itu sebagai pejabat pemerintah yang bertugas di balai kota itu. Tapi dia tak pernah punya urusan dengan pejabat pemerintah.

"Saya mewakili panitia penyelenggara ingin memberitahukan," kata pria itu sedikit hati-hati. "Barusan ada yang menghubungi kami, katanya suami Anda jatuh di lobi. Sekarang sudah dibawa ambulans ke rumah sakit Palms of Pasadena!"

"Apa?" Ibu dan kedua adik perempuan Chéri memekik bersamaan seraya beranjak dari tempat duduknya masing-masing.

"Chéri!" Dua orang gadis dari panitia penyelenggara menghambur ke ruang ganti, tapi kehadiran pria asing di tempat itu membuat mereka berhenti di depan pintu.

"Siapa dia?" tanya salah satu dari mereka.

"Aku tidak tahu," jawab gadis yang satunya. "Tapi kalau dilihat dari pembawaannya, sepertinya dia sudah terbiasa berada di panggung."

"Kalau dua orang itu disorot lampu, mereka benar-benar kelihatan seperti boneka," komentar seorang penari yang mau keluar dari ruang ganti dan berpapasan dengan kedua panitia tadi.

Chéri belum menyadari situasi di sekelilingnya. Hati dan pikirannya masih gelisah memikirkan reaksi ayahnya.

"Apa kau sedang menunggu karangan bunga ini?" Pertanyaan pria asing itu menyentakkan Chéri dari lamunannya.

Pria itu menyodorkan karangan bunga gardenia yang dititipkan ayahnya di lobi tadi.

Chéri membeku menatap karangan bunga itu dengan ekspresi tak percaya. Tapi begitu ia mendongak menatap wajah pria yang menyodorkannya, ia terkesiap dan berdebar-debar.

Meski asing, ia masih ingat wajah yang terlihat seperti hasil pahatan seorang maestro dengan struktur tulang kuat dan garis wajah yang mengagumkan itu. Pria di koridor tadi, batinnya senang.

Mendapati pria itu berdiri di hadapannya dengan karangan bunga yang disodorkan padanya, tak elak membuat hatinya ikut berbunga-bunga.

Sesaat momen itu terasa seperti adegan romantis sepasang kekasih. Tapi kata-kata pria itu selanjutnya membuat hati Chéri seperti retak secara tiba-tiba.

"Ayahmu memintaku memberikan ini padamu," katanya. Dan perkataan selanjutnya lagi membuat Chéri merasa ditikam telak di ulu hatinya. "Tadi ayahmu jatuh di lobi. Paramedis sudah menanganinya dan sekarang ayahmu sudah dibawa ke rumah sakit Palms of Pasadena."

Chéri tercengang dengan tatapan nanar. Kesadarannya seperti timbul dan tenggelam dalam waktu bersamaan. Tubuhnya mendadak terasa ringan seolah jiwanya sedang berusaha melayang keluar.

"Ini pasti gara-gara aku," desisnya setengah tak sadar. "Gara-gara aku… ayah jadi memaksakan diri…"

"Hey! Are you okay?" Pria tinggi itu menangkap kedua bahunya ketika tubuh Chéri nyaris terjengkang ke belakang.

"Ma---maaf," Chéri tergagap dan menyadari, kemudian melepaskan diri dan berlari keluar tanpa menoleh lagi.

Pria itu memperhatikannya dengan raut wajah prihatin. Lalu menyusulnya keluar. Tapi tidak mengejarnya. Ia berjalan terburu-buru ke area parkir seraya mengeluarkan ponsel dari saku coat-nya dan menghubungi seseorang. "Cari tahu informasi tentang keluarga Dutchskovich di St Petersburg," perintahnya, kemudian mengakhiri panggilan setelah orang di line teleponnya mengatakan sesuatu.

Ia menyelipkan ponselnya kembali ke dalam saku, kemudian menyelinap ke dalam mobilnya dan bergegas meninggalkan balai kota.

Sementara itu, di rumah sakit Palms of Pasadena…

Nyonya Dutchskovich terduduk lemas dengan wajah tertelungkup dan tersengak-sengak di tepi brankar, di sisi tubuh suaminya yang tak bergerak.

Kedua putrinya berdiri di belakangnya sambil terisak dan berpelukan.

BRUAK!

Pintu ruangan terbanting membuka, Chéri menyeruak masuk dengan napas tersengal, kemudian tercekat dengan wajah pucat. Pemandangan di depannya menjelaskan situasi yang tidak diharapkannya.

Глава 3

Sepuluh hari setelah kematian ayahnya…

"Chéri, ada tamu yang mencarimu," kata ibunya ketika Chéri baru saja tiba di depan pintu apartemen keluarganya sepulang sekolah.

Chéri menatap ibunya dengan alis tertaut.

Ibunya menyodorkan karangan bunga gardenia yang secara spontan mengingatkan dirinya pada ayahnya dan pria asing yang ditemuinya di balai kota.

"Dia membawa bunga ini untukmu," kata ibunya lagi. "Katanya dia ingin bicara denganmu."

Seketika pikiran Chéri langsung tertuju pada pria asing yang pernah mengantarkan karangan bunga itu mewakili ayahnya. Pasti dia, pikirnya berbunga-bunga.

Begitu sampai di dalam, imajinasinya langsung menguap.

Seorang pria botak berbadan bulat, lebih tua dari ayahnya, tersenyum dan menyapanya. "Hai, apa kau Chéri?"

Di sampingnya, seorang pria muda berambut ikal bakung berwarna tembaga menatap Chéri dengan ekspresi datar.

"Ya," jawab Chéri seraya memaksakan senyum. "Aku Chéri Dutchskova."

Tentu saja bukan dia, batinnya kecewa. Kenal juga tidak!

"Begini, Chéri…" keong buncit berkepala botak itu membuka pembicaraan setelah Chéri duduk di sofa di seberang meja. "Setelah kami melihat bahwa kematian ayahmu disebabkan oleh terlalu banyak kerja, kami menganggapnya sebagai kecelakaan dalam pekerjaan," tuturnya lugas dan teratur. "Maka Moscovich Corporation, perusahaan induk dari departemen store, tempat ayahmu bekerja, memutuskan untuk memberikan santunan kepada keluarga Dutchskovich."

Chéri berusaha menyimak pembicaraan pria itu, sementara setengah pikirannya masih melayang-layang membayangkan wajah pria berambut panjang yang ditemuinya di balai kota.

"Selain itu, Moscovich Corporation juga menyediakan beasiswa untuk bidang kesenian. Jadi, khusus untukmu Moscovich Corporation bermaksud mendaftarkanmu ke sekolah balet di Moskow."

Chéri tercekat dengan kedua mata terbelalak.

"Kami mohon maaf atas kelancangan kami karena telah menyelidiki informasi mengenai dirimu," lanjut pria tua itu.

Chéri masih membeku dengan mulut terkatup, sementara kedua matanya masih terbelalak.

"Tempat tinggal juga sudah kami sediakan, dan… satu hal lagi," pria itu mengeluarkan saputangan dari saku jasnya dan menyeka keringat pada wajahnya. "Kami sudah mengadakan pembicaraan dengan pihak SMU di Moskow agar kau bisa langsung masuk semester tiga."

Bersamaan dengan itu, ibunya muncul di ambang pintu dengan membawa nampan berisi minuman untuk tamu mereka. "Wah! Hebat, Chéri. Cita-citamu akhirnya bisa terwujud!"

Tiba-tiba, Chéri tertunduk. "Aku tak bisa menerimanya," katanya muram.

Ibunya dan kedua tamu mereka menatap Chéri dengan terkejut.

"Ayah meninggal gara-gara aku," gumam Chéri parau. Bahunya mulai bergetar akibat menahan tangis yang sudah mau meledak. "Gara-gara keegoisanku…" Chéri mulai terisak, kemudian bangkit dan menghambur ke keluar ruangan untuk melarikan tangisannya dari pandangan semua orang.

Aku tidak bisa lari dari kesedihan, ia menyadari.

Bagaimana bisa aku tetap pergi ke Moskow?

Ayah meninggal gara-gara aku!

Ayah pasti takkan memaafkanku, batinnya getir. Lalu berhenti di ujung koridor di teras samping dengan napas tersengal dan tersengak-sengak.

Tangisnya sudah meledak sejak ia melarikan diri dari ruang tamu. Tapi air matanya baru tertumpah setelah ia sampai di ujung koridor dan membenamkan wajahnya di antara lipatan tangannya yang bertumpu pada railing. Menangis sepuas-puasnya.

"Walaupun kau berkata begitu sebetulnya kau ingin pergi ke Moskow kan, Chéri?"

"Hah!" Chéri memekik dan terperanjat. Kemudian menyentakkan wajahnya ke belakang.

Pria muda yang duduk di sebelah pria tua tadi, tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. "Wah, pemandangannya menakjubkan!" Pria itu mendekat ke arah railing di sisi Chéri.

"Kau membuntutiku, ya?" Chéri menggeram tak senang. Lalu menyeka air mata dari pipinya.

Pria berambut pirang tembaga itu tersenyum. Wajahnya sedikit mirip dengan pria yang ditemuinya di balai kota. Sama-sama seperti boneka migi. Tapi wajah pria ini terlihat jauh lebih lembut dan putih bersinar seperti wajah perempuan. Bulu matanya lentik dan lebat seperti hasil extension. Bibir tipisnya berwarna merah seperti dipoles lipstik.

Jika tidak memperhatikan postur tubuhnya, orang-orang pasti akan mengira dia perempuan.

"Namaku Mikail Volkov," pria cantik itu memperkenalkan diri.

Suaranya terdengar lembut sekaligus tegas, tapi bisa dipastikan kalau dia berteriak akan terdengar menggelegar.

Kelihatannya dia pria sejati, pikir Chéri sedikit konyol.

"Kau datang ke sini untuk membujukku, ya?" Chéri menatap curiga.

Pria itu meliriknya sekilas, kemudian menerawang ke seberang pekarangan. "Kalau tak salah ingat, kau lahir tanggal tujuh bulan tujuh…"

Chéri memekik terkejut. "Kalian menyelidiki informasiku sampai sejauh itu?"

Pria itu tersenyum tipis, tapi tidak mengalihkan pandangannya dari pemandangan di seberang pekarangan. "Moscovich Corporation mendata semua informasi keluarga karyawan untuk tunjangan kesejahteraan," katanya datar.

Chéri terdiam.

"Apa kau percaya ramalan zodiak?" Mikail bertanya seraya menoleh.

"Ya…" Chéri menjawab ragu—tak yakin ke mana arah pembicaraan pria itu sebenarnya.

"Menurut teori numerologi, orang-orang yang terlahir pada tanggal tujuh akan menjadi bintang besar yang gemerlap," pria itu menjelaskan. "Tapi selalu ada harga mahal yang harus dibayar."

Chéri mengerutkan keningnya.

"Butuh pengorbanan seseorang untuk setiap tingkat ketenaran."

Chéri mengerjap dan beradu pandang dengan pria itu.

Pria itu tidak berkedip.

Dia tidak bercanda, Chéri menyimpulkan.

"Jika seseorang yang dikorbankan adalah pusat duniamu, maka kau akan menjadi pusat dunia!"

Chéri membekap mulutnya dengan telapak tangan.

Pria itu tetap bergeming dengan raut wajah serius. Masih menatap ke dalam matanya tanpa berkedip. Tidak ada keraguan, tidak ada getaran kecemasan.

"Ibumu bilang, kau meminta karangan bunga gardenia sebagai jawaban apakah kau boleh pergi ke Moskow."

"Tapi karena keinginanku itu…" Chéri menyela.

"Ayahmu meninggalkan bunga gardenia sebagai pesan terakhirnya," pria itu menimpali. "Bunga gardenia yang mengatakan, pergilah ke Moskow!"

Chéri kehilangan kata-katanya sekarang. Pria itu sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk berkilah.

"Apa kau tahu arti simbol bunga gardenia?"

Chéri tetap bergeming.

"Indah, kuat dan sempurna!" Pria itu menjawabnya untuk Chéri.

Chéri tertunduk menghindari tatapan pria itu.

Pria itu melangkah mendekatinya. "Pada hari kau menarikan marionette di hari kematian ayahmu…"

Chéri menelan ludah.

"Ada seseorang yang terkesan pada bakatmu. Namanya Rafaél Moscovich." Pria itu bercerita. "Dia adalah putra dari pemilik Moscovich Corporation. Dialah yang mencari informasi tentang dirimu karena berharap dapat melakukan sesuatu untuk menolongmu. Berkat campur tangannya di klan Moscovich, santunan dan bea siswamu dapat diturunkan dengan begitu mudah. Aku datang padamu atas permintaannya. Aku datang padamu sebagai pelindung sekaligus takdir yang tak dapat dibantah."

Chéri memekik ketika tangan pria itu tiba-tiba mencengkeram kedua bahunya. Lembut, tapi mengejutkan. Seperti metode hipnotis yang tak terelakkan.

"Chéri… ikutlah ke Moskow!" Pria itu menandaskan.

Chéri tergagap dengan mata dan mulut membulat.

Dua jam kemudian…

Chéri sudah berada di pesawat Aeroflot dan mendarat di Bandara Internasional Domodedovo tiga jam kemudian.

"Itu sekolah baletmu," Mikail Volkov memberitahu ketika mereka melewati gedung Royal Academy.

"Wah!" Chéri berseru gembira seolah tidak pernah terjadi sesuatu beberapa jam yang lalu. "Kita lihat-lihat sebentar, yuk!"

"Tidak bisa," sergah Mikail. "Sekarang sedang liburan tahun baru. Lagi pula Rafaél sudah menunggumu," jelasnya.

Pada saat itu mereka sedang berada di dalam taksi menuju kediaman Rafaél Moscovich.

Chéri bergeming. Malaikat penolongku, katanya dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!