Malam itu, Azura Auristella atau yang biasa dipanggil Ella, baru saja selesai sholat magrib. Dia pun bergegas keluar kamar, untuk menyiapkan makan malam seperti biasanya. Sesampinya di depan pintu, Ella mencium wangi makanan yang sangat harum. Perutnya segera memberontak, minta diisi secepatnya.
“Mama masak apa, ya? Wangi banget?” batin Ella.
“Ella, ayo ganti bajumu dengan pakaian yang rapi. Mama sudah menyiapkan sebuah dress berwarna lilac untukmu di dalam lemari,” perintah Ghina Delisia, Ibunda Ella.
“Loh, tumben? Kita mau pergi pesta?” Ella mengerutkan keningnya, hingga kedua alisnya bertaut.
“Nggak, sayang. Kita akan kedatangan tamu spesial malam ini. Ayo cepetan,” kata Ghina.
“Tamu spesial? Siapa, sih? Bibi Sri? Tante Galena?” gumam Ella penasaran.
“Udah, cepetan ganti bajumu. Pokoknya dandan yang rapi. Mama juga mau siap-siap,” ucap Ghina sebelum kembali ke kamarnya.
Ella masih berdiri mematung di depan pintu kamarnya. Dia sama sekali tidak bisa menebak, siapa tamu spesial yang dimaksud sang mama. Mereka jarang sekali kedatangan tamu, kecuali saat hari raya Idul Fitri.
“Ella, sudah ganti baju apa belum? Nanti tamunya keburu datang, lho,” ujar Ghina dari dalam kamar.
“Iya, ini mau ganti baju.” Ella buru-buru kembali ke kamar.
Gadis itu membuka lemari tua peninggalan mendiang papanya. Sebuah dress berwarna lilac, terselip di antara seragam sekolahnya yang digantung dengan rapi. Ella belum pernah melihatnya, sepertinya mama sengaja membelikannya untuk menyambut tamu spesial ini.
Baru saja Ella selesai berdandan, terdengar deru mobil memasuki halaman rumah sederhana mereka. Ella yang penasaran pun mengintip dari jendela. Gadis belia tersebut menyingkap tirai jendelanya, untuk melihat tamu spesial yang disebut oleh sang mama.
“Hah, itu kan Kak Albert? Tumben dia datang? Ada apa, ya?” Ella terlonjak kaget, melihat majikan mamanya bertamu ke rumah mereka. Dia pun semakin penasaran dengan apa yang terjadi.
“Ella, sudah selesai, kan? Ayo keluar,” ucap Ghina.
Dengan hati berdebar, Ella pun melangkahkan kaki ke ruang tamu. Masalahnya tamu mereka adalah seorang pria muda dan tampan, yang selalu membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Namun pria itu tidak pernah merespon perasaannya, lebih dari seorang teman. Hari ini pria itu tidak datang sendirian, dia didampingi seorang wanita cantik paruh baya, yang Ella duga adalah ibunya.
Ella hanya bisa menebak-nebak tujuan mereka datang kemari. Apakah mamanya baru aja bikin kesalahan fatal? Tetapi suasananya tidak terlihat seperti ada masalah besar, bahkan terlihat cukup santai. Selang beberapa menit kemudian, mereka kedatangan tamu lagi. Kali ini adalah Om Ganendra dan Tante Galena.
“Baiklah, karena semua sudah lengkap, saya persilakan untuk tamu penting kita menyampaikan tujuan kedatangannya,” kata Om Ganendra membuka pembicaraan.
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Jadi tanpa basa basi langsung aja saya sampaikan. Kedatangan saya di sini adalah untuk melamar ….”
“Melamar? Tapi aku masih SMA.” Ella memotong pembicaraan pria tampan itu. Semuanya terdiam, dan saling berpandangan. Ella masih belum menyadari kesalahan yang baru saja dia buat.
“Ella, biarkan dia bicara dulu,” tegur Om Ganendra.
“Emm … Maksud saya, akan melamar Saudari Ghina Delisia, sebagai calon istri saya,” lanjut pria itu dengan lancar.
Ella menatap tajam sang ibunda. Dia menantikan jawaban yang berputar-putar di kepalanya saat ini. “Ma, lelucon apa ini? Mama baru aja dilamar? Sama bocah ingusan ini?” ucap Ella penuh emosi. Gadis belia itu malu setengah mati, karena dia tadi terlalu kepedean. Dia mengira pria itu datang untuk melamarnya.
“Nak, kok bicara seperti itu? Dengarkan Mama dulu. Kamu kan tahu, Albert bukan bocah ingusan. Dia sudah cukup umur untuk menikah,” ucap Ghina.
“Tapi untuk menjadi pasangan Mama, dia itu masih bocah. Mama nggak malu menikah sama berondong? Ingat umur, Ma. Dia lebih pantas jadi anak Mama,” balas Ella dengan nada tinggi. Ella benar-benar marah. Hatinya tidak bisa menerima lamaran ini.
Suasana menjadi tegang. Albert ingin sekali menyela kalimat Ella, tetapi dicegah oleh Om Ganendra.
“Ella, jaga bahasamu,” tegur Om Ganendra. “Nggak ada salahnya ‘kan mama kamu di lamar? Mama kamu sudah lama hidup sendiri,” lanjut adik ipar Ghina tersebut.
“Benar, Ella. Berikan mama kamu waktu untuk menjawabnya. Kamu juga ingin mamamu hidup bahagia, kan?” imbuh Tante Galena, adik kandung Ghina.
“Sigh! Sudah nggak waras semua! Kenapa Om dan Tante nggak protes, sih? Ini kan masalah tabu. Apa di sini cuma aku, yang baru tahu rencana ini?” Ella semakin emosi.
“Astaghfirullah, Ella. Kamu tahu sopan santun, kan? Turunkan suaramu dan jaga bicaramu,” marah Ghina.
“Sopan santun apanya? Justru kalian yang aneh. Memangnya pantas wanita tua seperti mama, menikahi cowok yang jauh lebih muda? Apa kata orang nanti? Akhirnya cuma bikin malu keluarga kita aja,” sahut Ella tidak mau kalah. Gadis itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Ghina.
“Ella! Jangan membentak mamamu seperti itu! Bersikaplah lebih sopan. Ayo minta maaf pada mama,” perintah Om Ganendra.
“Ella, maaf kalau kamu tidak bisa menerimanya. Tetapi ini bukan salah mamamu. Aku yang duluan menyukai Ghina dan ingin meminangnya,” ucap Albert dengan lembut.
“Tapi Mama nggak menolak dan membantahnya, kan? Harusnya Mama tahu diri,” jawab Ella dengan ketus.
“Ella, mama kamu berhak bahagia. Biarkan dia membuat keputusan dengan hati dan pikiran yang tenang,” nasehat Tante Galena.
“Iya, aku juga mau mama bahagia. Tapi bukan dengan berondong kayak dia. Itu aib namanya.” Ella terus menolak lamaran tersebut. “Emangnya nggak ada laki-laki lain, selain dia? Yang usianya lebih pantas menjadi papa baru aku.” Ella mengacungkan jari telunjuknya ke arah Albert.
“Saat ini aku yang menyayangi mamamu. Tidak ada salahnya, kan?” kata Albert. “Jadi biarkan mamamu yang menentukan jawabannya. Aku nggak memaksa,” lanjut pria muda itu.
“Ya tapi aku tetap menolaknya. Aku nggak butuh papa baru, kalau kamu orangnya,” pungkas Ella dengan ketus.
“Ella …” Ghina menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Dia sedih melihat reaksi putri tunggalnya yang sangat arogan tersebut.
“Mama nunggu apa lagi? Ayo tolak aja sekarang,” desak Ella. Dia sama sekali tidak mendengarkan nasehat dan teguran dari semua orang di sana.
“Nggak bisa begitu, Nak. Biarkan mamamu berpikir dulu,” wanita paruh baya yang duduk di samping Albert akhirnya bicara untuk menengahi keadaan.
“Kenapa nggak bisa? Atau jangan-jangan ada hal lain yang nggak aku ketahui?” tanya Ella.
“Maksudnya?” tanya Ghina dan Albert bersamaan.
Ella menarik napas dalam-dalam. “Yah, mana aku tahu? Namanya juga asisten rumah tangga. Sering berduaan dengan majikannya yang berondong ganteng, di rumah besar dan sepi,” tuduh Ella.
“Astaghfirullah, Ella. Itu udah keterlaluan!” Om Ganendra berdiri, dan menarik lengan Ella. “Ayo kita ke ruang tengah. Kita bicara berdua,” ucap pria itu.
(Bersambung)
“Astaghfirullah, Ella. Itu udah keterlaluan!” Om Ganendra berdiri, dan menarik lengan Ella. “Ayo kita ke ruang tengah. Kita bicara berdua,” ucap pria itu.
“Nggak perlu!” Ella melepaskan tangannya dari genggaman Om-nya tersebut, lalu berlari ke kamar. Brak! Remaja tujuh belas tahun itu membanting pintu kamar, hingga rumah berdinding kayu itu bergetar.
“Maafkan saya,” ucap Ghina pada Albert dan ibunya.
“Nggak apa-apa, Ghina. Ini bukan salahmu. Ella pasti sangat terkejut dengan kedatanganku. Aku mengerti perasaannya,” ujar Albert. “Aku rasa Ella butuh waktu untuk menenangkan diri. Sekarang kami pamit undur diri dulu,” lanjut pria muda berwajah tampan dengan rambut hitam dan mata biru itu.
“Ah, kenapa tidak makan dulu? Saya sudah menyiapkan hidangan untuk makan malam bersama?” ujar Ghina merasa bersalah pada tamunya.
“Tidak usah. Aku akan semakin merasa bersalah kalau kita makan bersama, sedangkan Ella sedang bersedih di kamar,” tolak Albert dan ibunya.
“Tapi aku sudah memasak banyak hari ini,” ucap Ghina dengan rait wajah kecewa.
“Gimana kalau dibungkus aja, biar bisa makan di rumah,” usul Galena.
“Oh, boleh juga. Terima kasih, Nak,” sahut ibunda Albert.
...🥀🥀🥀...
“Nak, kamu sudah tidur?” Ghina mengetuk pintu kamar putrinya. “Nak? Mama mau bicara sebentar.” Ghina memanggil putrinya berulang kali, namun tetap tidak ada jawaban.
“Apa dia udah tidur, ya?” pikir Ghina. Wanita itu lalu membalikkan badan, hendak menuju ke kamarnya.
Ceklek! Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ella muncul mengenakan piyama. Riasan di wajahnya telah dibersihkan. Matanya tampak bengkak karena menangis.
“Sayang, Mama pikir kamu udah tidur,” ucap Ghina dengan lembut.
“Jangan pura-pura baik padaku, Ma. Aku benci mendengarnya,” sahut Ella dengan ketus.
“Ke mana anak Mama yang manis dan sopan, ya?” Ghina tampak sedih.
“Kok pake tanya? Kan Mama sendiri yang membuatku begini?” balas Ella dengan nada lebih tinggi. “Katakan padaku dengan jujur, apa yang kalian sembunyikan?” tanya Ella.
“Mama nggak ada sembunyikan apa-apa dari kamu, Nak,” ucap Ghina. Wanita itu hendak mengusap rambut putrinya. Namun Ella menepisnya dengan cepat. “Ayo kita ke ruang tengah dan bicara di sana,” ajak Ghina dengan suara parau.
“Nggak usah! Kita ngobrol di sini aja,” tolak Ella. “Kalau emang nggak ada masalah, terus apa ini? Kenapa Mama mau menikah lagi? Apa kata teman-temanku nanti kalau mereka tahu? Apa kata para tetangga di sini?” Ella menghujani Ghina dengan rentetan pertanyaan.
Ghina menahan air matanya agar tidak tumpah. “Nak, nggak ada pernikahan yang tiba-tiba,” bisiknya lirih. “Mama hanya ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga kita,” kata Ghina.
“Terbaik? Menikah dengan berondong kaya raya, menurut Mama hal yang terbaik?” sindir Ella. “Apa Mama nggak takut digunjingkan tetangga nanti?”
“Pernikahan ini ‘kan dilaksanakan baik-baik. Jadi kenapa harus malu?” balas Ghina.
“Oh, jadi Mama langsung setuju gitu aja? Aku nggak punya calon adik dari pria itu ‘kan di situ?” Ella menunjuk ke arah perut mamanya.
“Astaga, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Mama bukan orang yang seperti itu!” Ghina mulai marah.
“Ya jadi apa dong alasannya? Emangnya laki-laki di dunia ini cuma dia? Kenapa harus sama dia?” Ella tidak terima dengan keputusan mamanya.
“Ya karena dia yang berani meminang Mama,” balas Ghina pula.
“Albert memang ganteng. Dia cowok mapan dan mandiri. Tapi umurnya baru dua puluh lima tahun. Sedangkan Mama?” jelas Ella.
Ghina menghela napas dalam-dalam. Sudut matanya mulai basah. Benteng pertahanan yang dia buat dari tadi, perlahan mulai runtuh.
“Bukan begitu, Ella. Seperti yang dikatakan Albert tadi, dia yang duluan menyukai Mama dan berniat meminang. Mama tidak memintanya,” jelas Ghina. Dia berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak.
“Tapi Mama mau, kan? Buktinya, dia sampai datang ke sini bersama ibunya. Mama pasti sudah tahu tujuannya datang kemari. Padahal Mama bisa saja menolaknya. Mama ‘kan punya pilihan,” kata Ella, menyerang mamanya bertubi-tubi.
“Kalau kamu nggak setuju ya udah, nggak apa-apa. Tapi jangan membentak-bentak Mama seperti ini,” tegur Ghina dengan nada tinggi. Selama ini dia mengenal Ella sebagai anak yang santun, lembut dan hormat sama orang tua.
“Mama yang duluan bikin aku kesal dan kecewa,” kata Ella. Air mata mengalir di pipinya yang halus, tanpa seizinnya.
“Maafkan Mama, Nak. Mama belum bisa menjadi ibu yang baik untuk kamu.” Air mata Ghina pun tumpah. Wanita itu berusaha memeluk putri tunggalnya tersebut, tetapi Ella mengelak dengan cepat.
Gadis belia itu sama sekali tidak iba melihat sang ibu menangis. Dia justru merasa benci dan jijik. “Jadi lamaran ini ditolak, kan? Aku sama sekali nggak setuju,” kata Ella dengan tegas.
“Nak …” Ghina menyeka air matanya.Dia menatap Ella dengan penuh harap.
“Oh, jadi Mama masih mau nego? Mama pikir aku bakal mengizinkan?” sindir Ella. Ghina hanya menghela napas panjang.
“Dia itu majikan kita, Ma. Mama bekerja sebagai asisten rumah tangganya. Orang pasti akan berpikir yang bukan-bukan, kalau Mama menikah dengannya,” Ella terus melontarkan isi hatinya.
“Turunkan nada bicaramu, Ella! Ini Mama kamu, bukan temanmu! Nggak pantas kamu bicara seperti itu pada Mama!” Ghina menepuk dadanya dan berbicara lantang pada putrinya. “Dari tadi Mama bicara dengan lembut padamu, tapi kamu selalu membalas dengan nada lebih tinggi.”
Emosi Ghina sudah tidak tertahankan. Bahunya terlihat naik turun, karena napasnya yang terasa sesak. “Memangnya salah kalau Mama menikah lagi?”
“Jelas salah, kalau dia orangnya!” jerit Ella. “Mama bisa pilih orang lain yang seumuran dengan Mama, kan?”
“Tapi hanya dia yang mau melamar Mama yang tua dan banyak kekurangan ini.” Ghina terus membela diri.
“Pokoknya aku nggak setuju!” Bruk! Ella membanting pintu kamar, hingga dinding papan rumah itu bergetar kuat.
(Bersambung)
Angin berdesir dengan lembut, membuat dedaunan kering menari-nari di udara. Burung-burung kecil berlompatan di batang ilalang, bercuit-cuit memanggil teman-temannya untuk segera pulang. Sinar mentari tampak berwarna lembayung, bersembunyi di ufuk barat.
Drrrttt! Drrrttt! Ella melihat layar ponselnya, lalu menyimpannya embali ke dalam tas. Drrrttt! Drrrttt! Ponselnya terus bergetar, tetapi Ella tetap mengabaikannya.
“Aku nggak boleh berlama-lama di sini. Mereka pasti akan datang mencariku,” gumam Ella. “Pa, aku pulang dulu, ya. Besok aku datang lagi,” ucap Ella berpamitan pada papanya. Jemarinya yang mungil, mengusap matanya yang basah. Tak lupa dia mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Avel Erlangga, papanya yang telah meninggal beberapa tahun lalu.
Kaki kecil Ella melangkah keluar area pemakaman yang tertata rapi, dengan perasaan berat. Dia masih belum ingin pergi dari sisi papanya yang tertidur panjang. Ini pertama kalinya dia datang ke sini seorang diri, tanpa ditemani mamanya. Emosinya yang terkumpul sejak tadi malam, akhirnya tercurah di hadapan makam sang ayahanda tercinta.
Ella berjalan terseok-seok, dari area pemakaman menuju ke jalan raya. Beberapa pasang mata dari pangkalan ojek menatapnya dengan aneh. Gadis berseragam SMA, keluar dari area pemakaman sendirian, membuat mereka berpikiran liar. Tetapi Ella tidak peduli. Dia terus berjalan mencari angkot yang membawanya ke tempat lain.
...🥀🥀🥀...
“Turun di mana, Dek?” tanya supir angkot pada Ella.
“Hutan kota aja, Bang,” jawab Ella.
“Loh, hutan kota udah kelewatan dari tadi, Dek. Angkotnya cuma sampai depan kampus aja, abis itu putar lagi,” protes supir angkot.
“Eh, masa?” Ella memperhatikan seisi angkot. Tanpa disadari, ternyata hanya tinggal dia penumpang angkot tersebut. Kapan penumpang yang lain pada turun?
“Gimana, Dek? Mau ikut saya puter lagi? Tapi ntar turunnya di seberang hutan kota aja, ya,” tawar sang supir angkot.
“Eh, nggak usah, Bang. Saya turun di depan kampus aja,” jawab Ella kemudian.
Supir angkot itu hanya menganggukkan kepala. Dia memperhatikan Ella yang bermata bermata bengkak dan merah. “Aku nggak lagi bawa bocah SMA kabur dari rumah, kan? Kayaknya dia nggak punya tujuan, deh. Bisa berabe kalau aku samapi dituduh bawa lari bocah remaja,” batin supir angkot itu cemas.
Beberapa saat kemudian, Ella telah sampai di tempat tujuan. “Ugh, malu banget jadi perhatian gini,” gumam Ella.
Gadis remaja berkulit putih itu berjalan sambil menundkkan kepala dalam-dalam. Hanya dia sendiri yang mengenakan seragam sekolah. Terlebih, saat ini sudah hampir magrib. Para mahasiswa yang kuliah sore, sudah beranjak pulang.
Bocah berseragam SMA itu duduk di bawah pohon tepi trotoar. Udara sejuk kembali menyapa tubuhnya. “Huft, seenggaknya mereka nggak menemukanku di sini,” pikir Ella.
Sebenarnya dia tidak memiliki tujuan sama sekali, persis tebakan supir angkot tadi. Ella hanya merasa nggak nyaman untuk pulang ke rumah, setelah bertengkar hebat dengan mamanya tadi malam. Tadi pagi dia juga pergi ke sekolah lebih cepat, untuk menghindari mamanya.
“Duh, jadi teringat kejadian tadi malam lagi, kan?” rutuk Ella.
Albert Candra Putra adalah majikan Ghina Delisia, ibunda Ella. Pria berusia dua puluh lima tahun itu merupakan pengusaha muda yang sukses meniti karirnya dari nol. Pria itu selalu membuat Ella merasa nyaman dan tenang ketika mendengar suaranya. Wajahnya yang tampan dan senyumannya yang manis, mengingatkan Ella pada idolnya dari Negeri Ginseng.
Meski sangat mustahil karena perbedaan kasta yang jauh, tapi Ella pernah berharap bahwa Albert akan mengetahui perasaannya yang selama ini terpendam. Tapi siapa sangka, Albert justru memilih sang mama sebagai calon pendampingnya. Pupus sudah harapan Ella untuk sekedar menjadi pengagum rahasia Albert. Ini bukan sekedar cerita cinta bertepuk sebelah tangan, tetapi gebetan jadi calon ayah tiri. Ugh, berat!
Hingga matahari terbenam, Ella masih duduk di bawah pohon angsana tersebut. Kampus sudah sangat sepi, tidak ada lagi mahasiswa yang berlalu lalang. Bocah remaja itu lalu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
Drrrrtttt! “Halo?”
“Halo Bibi. Apa kabar?” tanya Ella dengan suara parau.
“Bibi sehat, kok. Kamu sendiri gimana kabarnya? Udah lama banget nggak main ke rumah Bibi,” kata Bibi Sri, Kakak dari almarhum ayah Ella.
“Aku … Nggak baik-baik aja, Bi,” ucap Ella jujur. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Lho, ada apa, Nak? Ceritakan sama Bibi. Kamu ada masalah di sekolah?” tanya Bibi Sri.
“Nggak kok, Bi. Ini soal mama. Apa Bibi tahu, kalau mama mau menikah lagi?” tanya Ella sambil berurai air mata.
“Nikah lagi? Kapan?” tanya Bibi Sri. Wanita itu terkejut mendengar berita besar dari keponakannya tersebut.
“Aku nggak tahu nikahnya kapan. Tadi malam calonnya datang ke rumah. Bibi bisa tebak nggak siapa calonnya?” tanya Ella setengah menyindir.
“Bibi ngak tahu. Emangnya siapa?” tanya Bibi Sri semakin penasaran.
“Albert Candra Putra,” jawab Ella dengan lantang dan tegas.
“Albert?” Bibi mengingat-ingat nama itu. “Astaga! Maksudmu Al, majikan kalian? Anak kuliahan itu?” seru Bibi.
“Iya, Bi. Albert yang itu. Tapi ngomong-ngomong, dia udah tamat kuliah,” jelas Ella.
“Ya Tuhan …” gumam Bibi.
“Gimana menurut Bibi?” tanya Ella.
Bibi Sri menarik napas panjang. Ini pertanyaan yang sangat sulit. “Kalau menurut kamu sendiri gimana?” Bibi membalikkan pertanyaannya pada Ella.
“Udah pasti aku nggak setuju. Dia lebih cocok jadi anak mama, daripada suami mama,” sahut Ella dengan cepat.
“Pasti semua ini terasa berat banget bagimu. Lalu gimana hubunganmu dengan ibumu saat ini?” tanya Bibi cemas.
“Tadi malam kami bertengkar. Lalu sampai sekarang aku belum bicara dengan mama,” ungkap Ella.
“Astaga! Nanti Bibi akan coba bicara baik-baik dengan ibumu. Kamu tetap sabar, ya. Bersikaplah seperti biasa dengannya. Gimana pun juga dia ibumu, Nak,” nasehat Bibi Sri.
“Ugh, menyebalkan,” gerutu Ella dalam hati. Dia kecewa dengan tanggapan Bibi Sri, yang tidak memihak dirinya. Dia berharap Bibi Sri akan marah bersar pada mamanya, dan memaksa membatalkan rencana pernikahan tersebut. “Apa pikiran orang dewasa aneh semua, ya?” pikirnya kesal.
(Bersambung)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!