Menenggelamkan wajah pada kedua tangan yang dilipat rapih di atas meja, Aviola Azahra merenungi nasibnya. Baru sebulan dia naik kelas tiga SMA, dan pekan lalu dia menikah dengan anak teman ayahnya yang berstatus mahasiswa di kampus ternama di kotanya.
"Zahra, kamu kenapa? Pagi-pagi kok melamun" tegur Asna, sahabat Azahra yang paling perhatian.
Wanita berkerudung putih dengan pakaian seragam sekolah itu, mendongak sebelum menstabilkan cara duduknya. "Aku nggak enak badan, Asna ... Kepalaku sakit.
Asna menempelkan tangan pada jidat sang sahabat. Mengecek apa sahabatnya itu demam atau hanya sakit kepala biasa.
"Alhamdulilah, kau hanya sakit kepala saja" terlihat Asna bernapas lega.
Kembali menenggelamkan wajah, Zahra benar-benar ingin pulang. Tapi, dia juga tak ingin melewatkan mata pelajaran kesukaannya. Bingung, Zahra pun kembali mendongak. Beranjak dari kursi, gadis kecil itu menarik tangan sahabatnya.
"Kita mau kemana ...?" tanya Asna kesal saat dirinya dibawa pergi tanpa di tahu kemana.
"Temani aku ke water closet, Asna ... Setelah itu kita ke ruangan Ibu Nurdia. Aku mau minta izin, mau pulang istirahat" terang Azahra.
Asna menurut. Setelah dari dari water closet, keduanya keruangan Ibu Nurdia, guru mata pelajaran matematika. Di dalam ruang guru, terlihat Ibu Nurdia sedang mengerjakan sesuatu.
"Assalamualaikum, Ibu .." Azahra mengucap salam saat berdiri di depan ruangan Ibu Nurdia.
"Waalaikumsalam" Ibu Nurdia menghentikan pekerjaan yang belum lama ditekuninya. Menatap Azahra, guru cantik itu mengulas senyum. "Silahkan duduk" ucapnya mempersilahkan.
Azahra mengambil tempat di kursi depan meja kerja Ibu Nurdia. "Ibu, saya mau minta izin. Kepala saya sakit jadi saya mau pulang istirahat" terang Azahra menatap Ibu gurunya.
Ibu guru Nurdia mengangguk. "Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan ya. Nanti kalau sudah sampai rumah, kamu makan dulu sebelum minum obat, setelah itu kamu istirahat.
"Baik, Buk. Saya pamit undur diri. Assalamualaikum" Azahra beranjak dari kursi. Lalu menarik langkah keluar saat Ibu Nurdia telah menjawab salamnya.
Di luar, Asna menunggunya. Melihat Azahra keluar, Asna kembali menempelkan tangannya pada jidat sang sahabat. "Astaghfirullah ... Zahra, kamu demam Beb"
"Iya, Asna. As, aku pulang duluan ya. Jangan lupa foto catatan mu nanti siang kalau udah pulang" terang Azahra sembari menarik langkah menuju kelas.
Setibanya di kelas, Asna masuk ke dalam mengambil tas sahabatnya. Sementara Azahra menunggu di ambang pintu. Samar-samar terdengar tanya dari beberapa teman yang ada di dalam kelas. Menanyakan perihal Azahra yang terlihat pucat. Semuanya menganggukkan kepala setelah mendengar jawaban dari Asna.
"Zah, jangan lupa minum obat ya. Kabarin kami jika butuh sesuatu" kata Gea, salah satu teman Azahra yang kini duduk di kursi.
"Iya" sahut Azahra.
Asna dan Azahra melenggang pergi menuju gerbang sekolah. Berhubung Azahra kurang sehat, dan Kontrakan juga lumayan jauh, Azahra memilih pulang menaiki ojek. Meninggalkan kendaraan roda dua yang kerap menemaninya selama ini.
Setibanya di kontrakan, tak lupa Azahra membayar tagihan sebesar 25 ribu pada tukang ojek sebelum mau masuk ke dalam. Lalu menggiring langkah hingga di depan pintu. Kedua kening gadis itu menukik naik saat melihat sepatu wanita di depan pintu. Terbesit tanya, sepatu siapa itu?
Mengeluarkan kunci yang diberikan Zul pagi tadi, Azahra mulai membuka pintu namun ternyata pintunya tidak terkunci sama sekali. Tak ingin berpikir keras, Azahra mengucap salam. Melewati ruang keluarga, gadis itu mendapati Zulfikar, suaminya sedang duduk bertiga dengan satu teman pria dan satu teman wanita.
"Kak Zul, aku tidur kamar mana?" tanya Azahra bingung. Sebelumnya mereka tinggal di rumah orang tua Zulfikar, di Maros. Jadi ni kali pertamanya dia ke kontrakan.
"Di kamar yang sana" sang pemilik nama Zulfikar kerap disapa Zul mengarahkan jari telunjuk pada pintu yang ada tulisannya angka satu di depan. "Pakaian kamu juga sudah Mama tata didalam lemari" sambungnya menjelaskan.
Segera Azahra ke kamar. Kepalanya yang sakit, juga tubuhnya yang demam, membuatnya tak ingin berlama lama di ruang keluarga. Yang dia inginkan hanyalah istirahat full.
"Zul, itu siapa?" tanya Qonita, teman sekelas Zul.
Zul menghela napas pelan. "Dia istri aku, wanita yang aku ceritain itu" ungkap Zul.
Assagaf mengangguk, begitu juga dengan Qonita. Saat ketiganya kembali mengerjakan tugas kampus, terdengar Azahra menangis di kamar.
"Zul, seperti dia menangis. Coba kamu cek dulu, jangan sampai dia kenapa napa" Assagaf memberitahu.
Zulfikar mengangguk, segera beranjak dari sofa. Dengan langkah dipercepat, Zul memasuki kamar Azahra. "Astaghfirullah ... Dek, kamu kenapa?" tanya Zul cemas.
"Kakak, kepalaku sakit. Aku juga demam" Azahra terisak.
"Kamu tunggu sebentar, aku belikan obat dulu" ucap Zul. Segera memutar badan. Belum selangkah, ia kembali memutar badan menatap Azahra yang meringkuk di dalam selimut. "Kamu sudah makan?" tanyanya.
"Belum .." jawab Azahra sekenanya saja..
Zulfikar segera keluar dari kamar, menemui temannya di sofa.
"Qonita, Asgaf, kalian tunggu sebentar ya, aku keluar dulu. Mau beli obat dan makanan, istri aku demam juga sakit kepala" ucap Zul mengambil kunci motor.
"Biar aku, Zul. Kamu kompres dia saja" ucap Assagaf.
"Kamu ke kamar saja, biar aku ambilkan air hangat" timpal Qonita.
Zul mengangguk lalu kembali ke kamar. Mengambil tempat di sisi tempat tidur, pria itu mengurut pelan kepala sang istri. Tak lama, Qonita masuk membawa air hangat tanpa handuk kecil.
"Zul, ini air hangat nya. Kamu ambil handuk kecil dulu, aku nggak tahu tempatnya dimana" kata Qonita sembari meletakkan baskom kecil di atas nakas.
Zul turun dari tempat tidur, membuka lemari kecil, ia mengeluarkan apa yang dimaksud Qonita. Kembali menghampiri Azahra, pria itu dengan telaten merawat sang istri.
Qonita kembali ke dapur saat mendengar kendaraan roda dua berhenti di depan kontrakan. Mengambil piring dan air di ceret. Lalu kembali ke kamar bertepatan dengan Assagaf yang juga akan masuk ke kamar.
"Zul, ini obat dan ini nasi goreng ampela" Assagaf menyodorkan kresek putih kecil berisi sebungkus nasi goreng dan obat.
Zul mengambil kresek tersebut. "Makasih ya, As, Qonita" ucap Zul.
Assagaf dan Qonita hanya menarik senyum. Keduanya pun kembali ke sofa meninggalkan Zul dan Azahra di kamar. Sepeninggal Assagaf dan Qonita, Zul kembali menatap Azahra yang menutup mata.
"Dek, makan dulu ya. Setelah itu minum obat baru istirahat"
"Hmm" Azahra mengangguk. Segera menarik diri dibantu oleh Zul. Bersandar pada headboard, Azahra menatap Zul yang dengan telaten mengeluarkan nasi goreng.
"Kak, sini .. biar aku aja" Azahra mengambil sepiring nasi goreng dari tangan Zul.
"Zul ... Kalsum kekasihmu menelepon ..."
"Zul ... Kalsum kekasihmu menelepon ..."
Dering ponsel Zulfikar dari arah ruang keluarga, mengalihkan konsentrasi sang pemilik ponsel. Pasalnya, si penelepon adalah Kulsum, kekasih Zulfikar yang kuliah di kampus yang sama dengannya.
.
.
.
Bersambung
Note Bagi Penulis Lain: Jika tak ingin membaca atau tidak sempat membaca, cukup like satu episode tiap harinya. Insya Allah saya akan mampir. Jangan bom like ya. Ingat!!! JANGAN BOM LIKE jika TIDAK membacanya.
Note Bagi Pembaca: Jangan lupa like setiap Episode yang dibaca ya, Kak. Jangan lupa komen 🤗🤗
Sesudah makan, Azahra mengambil ponselnya dari dalam tas, menghidupkan layar ponsel, kemudian mengecek group pada aplikasi WatshApp. Sekitar 15 belas menit berbalas pesan, ia pun mengakhiri kegiatannya itu lalu meminum obat yang dibelikan Assagaf.
Sementara Zulfikar kembali ke Kampus dikarenakan Kulsum Ummu meminta pria itu untuk segera menjemputnya di sana. Dan hal itu tak membuat Azahra cemburu. Karena pada dasarnya dia tak mencintai suaminya.
"Dek, kami pulang dulu ya. Lekas sembuh, Sayang" Qonita menghampiri Azahra di kamar.
"Iya, Kakak. Makasih ya, Kakak udah mau nemanin aku di sini. Sampaikan rasa terima kasih ku pada Kakak yang cowok tadi" ucap Azahra menarik senyum.
Qonita menarik senyum. Segera wanita itu mengatur langkah karena dia harus ke kampus. Sepeninggal Qonita, Azahra kembali beristirahat.
Di tempat lain, Zul dan Kulsum berada di jalan Tello Baru menuju Mall Panakkukang, Makassar. kedua pasangan itu akan ke sana membeli kado untuk teman akrab mereka yang akan ulang tahun pukul 1 malam nanti.
Membelah jalanan kota, kedua pasangan itu terlihat mesra. Tentu saja dilihat dari sikap berani Kulsum yang memeluk Zul di atas motor. Setibanya di tempat tujuan, mereka segera masuk mencari apa yang mereka cari.
....
Diawali gerimis, perlahan mulai menjadi hujan badai. Di pukul 5 sore, Zul belum juga pulang. Azahra segera menghubungi pria itu. Berulang kali dihubungi tetapi tak di jawab oleh si pemilik nomor.
Menarik napas panjang, Azahra turun dari tempat tidur. Mengganti seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya, lalu bergegas mandi sebelum menyiapkan makan malam.
Usai mandi dan mengenakan pakaian, Azahra kembali meraih ponselnya di atas tempat tidur. Dan kembali menghubungi Zul namun lagi lagi pria itu tak merespon panggilan darinya.
"Mungkin Kak Zul lagi ngerjain tugas kampus bersama teman-temannya" gumam Azahra lalu ke keluar dari kamar menuju dapur. Membuka kulkas, wanita itu menghela napas kasar. Apakah kontrakan pria seperti itu, jangankan bahan makanan, air dingin pun tidak ada. Lalu, untuk apa ada kulkas di kontrakan.
Berhubung tidak ada yang bisa dimasak, Azahra kembali ke kamar mengambil tas lalu mengeluarkan buku serta pulpen dari dalam tasnya. Kemudian ke sofa bertujuan mengerjakan tugas matematika di sana.
Azahra menghidupkan layar ponsel, membuka aplikasi WatshApp, mencari nama group kelas 3 lalu mencari gambar yang dikirim oleh Asna di group. Tak ingin membuang buang waktu, Azahra segera mencatat dan terakhir mengerjakan tugas.
Frekuensi hujan semakin bertambah, namun Zulfikar tak kunjung memberi kabar pada Azahra. Melirik jam pada ponselnya, Azahra hanya bisa menghela napas panjang. Pantas saja Zulfikar kekeh tinggal di kontrak kan, nyatanya pria itu ingin bebas seperti saat ini.
Adzan berkumandang, Azahra segera mengambil wudhu sebelum menunaikan shalat magrib. Usai shalat, ia mengaji sebentar hingga shalat isya. Setelah shalat isya, Zulfikar belum juga kembali.
"Ya Allah, Kak Zul dimana? Kenapa nggak angkat teleponku" gumam Azahra mengintip dari jendela depan.
Mengingat besok dia harus ke sekolah, Azahra segera memesan makanan lewat aplikasi grab. Dia harus makan sebelum tidur. Jika tidak, dia akan menangis di larut malam.
Membuka aplikasi grab, Azahra mencari bagian grabfood. Mencari nama makanan yang mau dia makan, wanita itu menarik senyum dikedua sudut bibirnya.
"Lebih baik aku pesan bakso telur" gumamnya pelan. Setelah memesan, Azahra kembali mencoba menghubungi Zul.
"Halo, dengan siapa ini?" tanya seorang wanita yang tak lain adalah Kulsum.
"A_aku adiknya Kak, Zul. Kak Zul nya ada?" tanya Azahra sedikit terbata.
Wanita diseberang telepon mengangguk. "Iya, ada. Zul lagi mandi" jawabnya dengan santai.
Azahra terdiam. "Mandi? Kenapa dia harus mandi di sana" batinnya bertanya tanya.
"Sayang ... ambilkan aku handuk dong ..." terdengar suara pria di seberang telepon..
Tut ... Tut ... Tut ...
Tanpa kata bahkan tanpa mengucap salam, Azahra memutuskan panggilan secara sepihak. Gadis SMA itu mengenal suara tadi, itu adalah suara Zul. Dia yakin, itu adalah Zul–Zulfikar, suaminya. Mendengus kesal, Azahra meletakkan ponselnya di atas meja. Tak lama menunggu, Om Grabfood menyalakan klakson motor. Azahra mengintip lewat jendela depan, wanita itu segera keluar menemui si Om Grabfood.
"Ini, Mbak. Total tagihannya 17 ribu" ucap Om Grabfood sembari menyodorkan pesanan Azahra.
Azahra menerimanya lalu menyodorkan selembar uang 50 ribu. "Om, ambil saja kembaliannya" ucapnya segera berlalu karena dingin.
"Lho Mbak ... kebanyakan ini ..." Om Grabfood memperbesar volume suaranya. Pasalnya, hujan semakin deras.
"Nggak papa, Om ..." tutur Azahra lalu masuk ke dalam kontrakan.
"Bakso panas-panas, pas dengan cuaca saat ini" gumam Azahra menggiring langkah ke dapur. Mengambil piring mangkok dan sendok serta garpu. Kemudian menuangkan bakso ke dalam piring tadi. Lalu menuangkan kecap dan bahan lainnya sebagaimana mestinya.
"Kenapa Kak Kulsum tak memikirkan Papa nya? Bukankah Agama melarang umatnya berpacaran selain dengan pasangan halalnya" gumam Azahra dengan polosnya. Wanita itu memang tak punya pacar. Bukan karena dia tak mempunyai pria idola, melainkan dia lebih memikirkan orang tuanya, terlebih papanya.
Sesuap demi sesuap, akhirnya bakso di piring telah habis dimakan. Menuangkan air di gelas, lalu meneguknya hingga berulang kali. Setelah makan, Azahra kembali ke ruang keluarga. Wanita itu lupa jika ponselnya tertinggal di atas meja ruang tamu.
Menatap jam dinding, arah jarum jam berada di angka 11. Dan Zulfikar belum juga pulang. Azahra masih setia menunggu sambil menyaksikan siaran televisi. Hingga tanpa sadar, waktu telah menunjukkan pukul 12 malam.
"Mungkin Kak Zul bermalam di rumah pacarnya" gumam Azahra. Gadis itu meregangkan otot ototnya, kemudian beranjak dari sofa menuju kamar.
Pukul 1 malam, Zulfikar tiba di rumah dalam keadaan basa kuyup. Melihat ruang tamu tampak gelap, Zul yakin, Azahra sudah tidur. Mengeluarkan kunci cadangan, Zul membuka pintu rumah. Dengan cepat, ia masuk ke kamar dan langsung ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri, pria itu keluar dengan handuk yang terlilit di pinggang. Ia kembali menarik langkah hingga berdiri di depan lemari tiga pintu. Mengeluarkan sepasang pakaian tidur, kemudian menutup lemari kembali.
Setelah mengenakan pakaian, Zul menghampiri Azahra yang terlelap. "Dek, maafin Kakak ya" gumam Zul menatap lekat wajah Azahra yang cantik alami.
Ikut merebahkan diri, Zul terlelap dengan tangan yang melingkar sempurna di pinggang Azahra. Hingga pagi menyapa, Azahra tak membangunkan Zul. Bersiap ke sekolah, Azahra mencari ponselnya.
"Dimana ponselku?" gumam Azahra yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sementara Zul masih terlelap di pembaringan. Setelah menemukan ponselnya, Azahra kembali ke kamar. Mengeluarkan notebook mini dari dalam tasnya, Azahra menulis sesuatu lalu meletakkannya di atas nakas ditindih dengan gelas.
Zulfikar mengerjap, meraba bagian kanan namun tak menemukan istrinya. Menarik diri sedikit bersandar pada head board, pria itu merentangkan tangan ke atas selama beberapa saat. Tatapannya teralihkan pada kertas kecil yang tertindih gelas kaca. Dengan rasa penasaran, Zul mengambilnya.
"Kak Zul, aku lihat Kakak tidurnya nyenyak sekali jadi aku nggak tega bila harus bangunin Kakak. Oh ya, aku udah berangkat sekolah. Maaf ya, nggak ada yang aku siapin di meja makan karena memang nggak ada bahan yang bisa dimasak. Nanti, sepulang sekolah baru aku singgah di pasar"
Zulfikar menarik senyum di kedua sudut bibirnya. Segera pria itu ke kamar mandi untuk membersihkan diri lebih dulu sebelum ke kampus. Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, ponselnya terdengar berdering.
"Zul, Kalsum kekasihmu menelepon ..."
"Zul, Kalsum kekasihmu menelepon ..."
Zulfikar yang sementara berada di depan kontrakan, pria itu mengambil tempat di kursi depan. Kemudian merogoh gawai nya dari saku celana jins yang dikenakannya saat ini. Dengan senyum indah yang mengembang, pria itu menjawab panggilan dari sang kekasih.
"Kamu dimana, Sayang?" tanya Zul.
"Aku di jalan dan nggak tahu mau ke mana"
Kedua kening Zul menukik naik. "Kenapa nggak ke kampus? Bukannya pagi ini ada jadwal kuliah"
"Aku tahu, tapi sekarang aku berada dalam masalah. Ibu kos menagih uang kos sementara aku nggak punya uang untuk membayarnya" ungkap Kulsum kesal.
Lagi lagi Zul mengerutkan kening. "Bukannya pekan lalu aku memberimu uang untuk membayar tagihan untuk bulan depan"
"Emm .. itu .. anu, Sayang. Uang itu sudah aku pakai untuk beli skincare. Soalnya skincare aku udah habis" lirih Kulsum.
Menghela napas panjang, Zul tak tahu harus bagaimana lagi. Selalu saja Skincare yang diutamakan oleh Kulsum. Tak bisakah wanita itu memikirkan Zul yang juga masih kuliah.
"Zul, aku dengar dari Qonita, kamu udah ngontrak rumah sama adik sepupu kamu. Bisa nggak aku numpang tinggal, sampai aku ada uang untuk sewa kosan lagi"
"Nanti baru kita lihat. Aku tanya adik sepupu aku dulu, karena dia anaknya nggak suka lihat orang pacaran. Apalagi bermesraan di depannya" jawab Zul.
Di tempat lain, Azahra tengah serius memperhatikan guru menerangkan di depan. Dia harus fokus dan benar-benar memperhatikan. Baginya akan rugi bila dia hanya ke sekolah lalu pulang tanpa membawa ilmu.
"Materi hari ini sampai disini. Jangan lupa belajar untuk kuis pekan depan"
"Baik, Bu ..." jawab semua siswa dan siswi bersamaan.
Jam pertama usai, Azahra mengambil ponselnya dari dalam tas. Mengerutkan kening saat melihat panggilan dari Zulfikar, suaminya. Tanpa berpikir panjang, Azahra menelepon balik. Sekali telepon, panggilan langsung dijawab, beda dengan semalam.
"Assalamualaikum, Kak. Ada apa?" tanya Azahra langsung pada inti.
"Anu, Dek. Umm ... Boleh nggak, Kulsum tinggal sama kita?"
Jleb!! Azahra terdiam. Haruskah dia menolaknya atau mengiyakan.
"Dek .."
Azahra masih tak bergeming.
"Azahra, boleh nggak?"
'Ya sudah, terserah Kakak saja. Boleh dulu ya, Kak. Assalamualaikum"
Asna yang sedari tadi memperhatikan sahabatnya, gadis itu mengelus pundak sang sahabat saat melihat Azahra menenggelamkan wajah di meja. Asna yakin, ada sesuatu yang Azahra simpan darinya. Tapi, dia tak ingin mendesak Zahra. Dia yakin, Azahra sedang mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya.
"Yang sabar ya. Apapun itu masalahnya, aku yakin, kamu pasti bisa melaluinya" ucap Asna.
Azahra membenarkan cara duduknya. Daripada stres, mending dia mengajak Asna belajar seperti biasa. Hingga Ibu guru Ifka Jannah yang mengajar di jam kedua memberi salam sebelum masuk kelas.
Semua siswa dan siswi mengeluarkan buku Bahasa Indonesia. Bahasa kita, namun sulit bagi Azahra untuk memahaminya. Entahlah, Azahra merasa lebih baik dia belajar bahasa Inggris. Tapi, dia orang Indonesia, dia harus tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mata pelajaran kedua dimulai, semua siswa dan siswi begitu fokus dalam mempelajari Bahasa Indonesia. Hingga proses belajar diakhiri saat bel jam istirahat terdengar menggema.
Guru Ifka, guru Bahasa Indonesia meninggalkan kelas. Setelah kepergiannya, semua siswa mulai bersorak. Mereka yang lapar dan haus, segera ke kantin. Mereka yang bandel, segera ke belakang kelas dan tak lupa membawa rokok juga korek api. Dan mereka yang malas keluar kelas, masih setia di dalam dengan mencari topik yang bagus dibahas.
Sementara Azahra mencari tempat duduk yang nyaman, yang bisa membuat pikirannya tenang. Duduk di bawah pohon ditemani Asna, Azahra memandang teman-temannya yang berlalu lalang.
"Na, nggak punya orang tua itu sakit ya" lirih Azahra.
Asna, anak broken home. Dia pernah berada di titik paling rendah. Dihadapkan dengan pilihan yang sulit, hingga dia mengambil jalan tengah, memilih tinggal dengan nenek dari Ayahnya yang kebetulan sudah rentang sakit-sakitan.
"Kenapa? Bukannya kamu masih punya Ayah. Ayah kamu juga sudah menikah lagi, kamu punya Ibu sekarang"
"Iya, tapi mereka tinggal di Luar Negeri" ungkap Zahra sedih.
Asna bersandar bahu pada Azahra. Memandang kearah yang sama, keduanya termenung sesaat.
"Kau tahu, aku merindukan Ibu dan juga Ayah ku. Tapi ... keduanya telah memiliki keluarga masing-masing. Kau tahu, tak sekalipun mereka menghubungiku, apalagi menjenguk aku dan Nenek. Setiap kali Nenek bertanya, kapan Ayah pulang, aku bingung untuk menjawab. Hingga pada akhirnya aku berbohong agar Nenek nggak kecewa"
Menghela napas panjang, Asna menghembuskan nya dengan pelan. "Dan tadi pagi, beras kami habis. Nenek memintaku menghubungi Ayah, tapi beliau nggak jawab panggilan dariku"
Asna yang kuat, nyatanya juga rapuh. Di kedua matanya, terdapat genangan air sana. Segera wanita itu menyekanya.
"Nyatanya, masih ada orang yang ujiannya lebih sulit dibandingkan ujian ku. Ya Allah, ampuni aku yang sering mengeluh" batin Azahra.
"Na" panggil Azahra.
Si pemilik nama menolah. "Kenapa? Kamu mau curhat, curhat aja. Rahasia aman kok" cengir Asna.
"Nanti aja baru aku curhat. Sekarang aku mau ajak kamu kerja sama" terang Azahra serius. "Kan aku jualan online. Nah, nanti sore barang ku masuk. Berhubung besok hari minggu, gimana kalau kamu ikut aku ngantar paket di customer aku. Nanti untungnya kita bagi dua" sambung Azahra serius.
"Dan tadi kamu bilang nggak ada beras kan. Ini bukannya aku kasihani kamu, aku hanya mau jadi sahabat yang berguna berhubung aku lagi ada. Aku punya uang 1 juta sekarang, aku pinjamin ke kamu. Nanti kamu beli beras, selebihnya kamu gunakan untuk jualan pulsa"
"Gimana, kamu mau nggak?"
Bila tadi hanya genangan, kini Asna mulai meneteskan air mata haru. Tak perduli dengan sekeliling, Asna menangis memeluk Azahra.
"Terima kasih, Zah" ucap Asna.
"Sama-sama. Ingat, besok jam 10 aku jemput kamu di rumah. Karena Customer maunya pesanan mereka diantar besok" jelas Azahra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!