"Kita putus!"
Tegas seorang lelaki yang kini telah berhasil membuat gadis di hadapannya seketika membelalak kan kedua matanya dengan lebar. Rasa tidak percaya pun menyelimutinya_ingin rasanya berontak. Dan untuk memastikan apa yang baru saja didengar, ia pun melontarkan pertanyaan terhadap lelaki yang saat ini berdiri memunggunginya.
"Apa maksud dari perkataan kamu itu, Tara?"
Lelaki yang bernama Tara itu pun menghembuskan nafas dan mengusap wajahnya secara kasar. Lalu, ia membalikkan tubuhnya_memberanikan diri untuk menatap wajah Aletha yang masih berdiri di sana menantikan sebuah kebenaran.
"Maafkan aku, Aletha. Tapi ... kisah cinta kita tidak bisa dilanjutkan lagi. Kita tidak bisa berhubungan seperti dulu, maka dari itu kita harus segera mengakhiri hubungan ini."
"Tapi kenapa, Tara? Apa kesalahan yang sudah kuperbuat?" Protes Aletha.
"Ka ... maafkan aku, Aletha. Aku akan segera menikah dengan seorang wanita yang menjadi pilihan orang tuaku."
Tara seketika menundukkan pandangannya_tidak ingin melihat bagaimana wajah Aletha saat itu. Karena Tara sendiri pun sebenarnya tidak ingin mengakhiri hubungan yang ia jalin bersama Aletha selama empat tahun. Namun, halangan besar telah menutup sudah kisah asmara mereka.
"Menikah?"
Bagaikan disambar petir di siang hari, karena pernikahan yang akan dijalani Tara adalah kehancuran bagi Aletha. Pasalnya, empat tahun bukanlah waktu yang singkat bagi mereka yang sudah menjalani kisah cinta bersama. Akan tetapi, selain pernikahan Tara yang menghalangi hubungan mereka_perjalanan hidup mereka pun sangat jauh berbeda.
"Sekali lagi maafkan aku, Aletha. Aku ... aku tidak bermaksud untuk mengkhianati cinta kita, aku tidak bermaksud untuk menyakiti hati kamu dan maaf aku tidak bisa bertahan untuk memperjuangkan cinta kita."
"Aku harus pergi Aletha. Selamat tinggal!"
Tara pun melangkahkan kakinya tanpa menoleh kembali ke arah Aletha yang masih berdiri tegap di sana. Bahkan saat ini pun punggung Tara tidak nampak dalam pandangan Aletha lagi. Sedangkan Aletha, ia masih terdiam dalam kebisuan nya. Jantungnya pun seakan berhenti berdetak, perlahan kedua matanya pun memerah. Hingga akhirnya air bening membasahi pipi nya yang putih mulus itu.
"Aku tidak percaya dengan ini semua. Tara ... bagaimana bisa kamu pergi meninggalkan aku dengan sejuta luka? Sedangkan kamu yang datang membawa sepercik kebahagiaan, tapi kini ... kamu pergi begitu saja dengan sejuta luka yang kamu ciptakan. Hiks!"
Tangis Aletha pun pecah, bahkan semakin menderu. Tubuhnya perlahan luruh ke bawah, kedua kakinya menelungkup dan kepalanya pun tenggelam dalam kedua tangannya. Dan bahu nya terlihat bergetar hebat. Mungkin hatinya begitu hancur, sedangkan ia berharap ada kebahagiaan dalam pertemuannya dengan Tara di pagi itu. Namun, kenyataan telah berkata lain_dan kebahagiaan belum berpihak kepadanya.
Drrrt
Drrrt
Ponsel genggam milik Aletha yang berada di dalam tas pun bergetar, menandakan ada sebuah panggilan entah dari siapa itu. Namun, tidak dihiraukan sama sekali oleh Aletha panggilan telepon tersebut. Dan dia hanya menangis dan terus menangis_tidak menghiraukan sekitar yang banyak orang berlalu lalu memandangi nya. Karena pertemuan Aletha dengan Tara memang di tempat keramaian, taman yang banyak dikunjungi oleh kalangan remaja hingga dewasa.
"Kamu tega Tara. Kamu tega hancurkan semua kebahagiaan itu. Dan kini, tidak ada lagi sepercik harapan untuk membangunnya lagi. Aku sakit hati Tara. Hiks!"
Tiada hentinya air bening terus mengalir membasahi pipinya. Gadis berambut pirang, berkulit putih dan memiliki mata kecoklatan itu_hatinya benar-benar hancur berkeping-keping. Apalagi saat kebehagaian yang dulu kala ia lakukan bersama Tara, seakan menari-nari dalam pelupuk matanya yang membuat hatinya semakin merasakan kehancuran dan kerapuhan.
"Tidak. Tidak Aletha, kamu tidak boleh terus menerus menangis disini. Kamu harus bangkit dari keterputukan ini!"
Aletha berusaha menyemangati dirinya sendiri, laku menghapus air mata yang sudah membuat kedua matanya lembab. Namun, begitu sulit untuk menghapus kenangan indah dan juga luka yang perih dalam hidupnya. Setelah usai menghapus air matanya, ia bangkit dan masuk ke dalam mobilnya yang tidak jauh ia parkir kan di taman tersebut.
"Aku butuh ketenangan dan aku tidak mau diganggu oleh siapapun saat aku masih ingin tenang. Jadi, maaf saja kalau kalian tidak dapat menghibungiku." Ponsel pun ia matikan.
Aletha melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun, tiba-tiba saja ia menginjak pedal rem, sehingga mobilnya seketika terhenti. Lalu, ia turun dari mobil setelah melihat kejadian yang tidak diinginkan olehnya. Bahkan ia menghampiri dua orang yang tengah berdiri di tepi jalan.
"He, mas! Tolong dong hargai perasaan seorang wanita. Jangan semena-mena terhadap wanita seperti ini!"
Aletha tiba-tiba berteriak dan marah-marah terhadap seorang lelaki yang saat itu tengah memiliki masalah dengan kekasihnya_tanpa Aletha ketahui apa permasalan di antara mereka. Sehingga terjadilah sebuah keributan di tepi jalan itu. Lagi dan lagi Aletha menjadi pusat perhatian mereka_orang yang berlalu lalang melintas dengan kendaraan mereka masing-masing.
"Aletha?"
Seseorang menghampiri Aletha ketika melihatnya tengah marah-marah tidak jelas. Dan sepertinya orang tersebut begitu mengenal Aletha, bahkan orang itu merasa malu atas sperbuatan Aletha yang jelas nampak anehnya.
"Sekali lagi maaf ya, Mas-Mba!"
"Lain kali tolong ajari Dia sopan santun dong!" ketus seorang lelaki yang sudah dimarahi oleh Aletha.
"Iya, Mas. Sekali lagi maaf ya, Mas!"
Sepasang kekasih itu pun pergi dari pusat perhatian. Begitupun dengan Aletha yang pergi begitu saja dengan laju mobil yang tinggi. Sehingga membuat seorang yang menengahi perdebatan antara dia dengan lelaki tadi mengusap kasar wajahnya. Bahkan orang itu menghembuskan nafas kasarnya. Dan dalam hatinya ia pun bertanya, "Kesurupan apa sih anak itu? Bikin rusuh dan malu saja."
******
"Setidaknya aku bisa menenangkan diri ini sejenak di tempat ini."
Aletha merasa begitu nyaman ketika sampai di tempat yang menjadi tujuannya saat itu. Pandangannya pun tak luput dari ombak yang mengalun pelan. Angin yang berhembus pelan, membuat suasana menjadi semakin tenang dan penuh keheningan. Lautan yang biru dan luas itu membuat Aletha menarik kedua ujung bibirnya. Meskipun itu senyuman yang dibaliknya penuh dengan luka.
"Begitu bodohnya aku waktu dulu. Sempat merasa indah saat bersamanya, tapi ... kini Dia jatuhkan hatiku ke dalam lubang jurang yang begitu terjal. Yang seakan membuatku sulit untuk kembali naik ke atas."
Air mata kembali membasahi pipi nya. Namun, perasaan itu segera ditepiskan_air mata seketika diserka secara kasar. Dan untuk melepas segala kepenatan, beban yang berat dan luka di hati, ia berteriak dengan kencang_bagaikan orang yang sudah hilang akal. Sehingga kembali menjadi pusat perhatian atas tingkahnya yang bodoh itu. Karena memang saat itu banyak pengunjung di pantai tersebut.
"Aku benci kamu Tara..."
"Aku benci sama perbuatan kamu Tara..."
"Aku tidak mau bertemu sama kamu lagi..."
Berulang kali teriakan itu dilakukan oleh Aletha. Dan akhirnya ada seseorang yang menghampiri nya saat masih berdiri mematung memandangi lautan yang luas. Entah orang itu hendak menegur Aletha atas perbuatannya yang membuat kegaduhan dan kebisingan? Atau justru menghibur Aletha yang masih merasa terluka?
Orang itu berdiri tepat di samping Aletha dan menatap Aletha dengan tatapan yang sulit diartikan. Akan tetapi, Aletha tidak menyadari bahwa ada seseorang yang berada di sampingnya. Dan Aletha sendiri masih menikmati indahnya lautan yang luas_dihiasi senja sore yang saat itu mempercantik pantai tersebut.
Menatapmu begitu indah, terutama saat netra ini kau kunci. Entah apa yang sudah membuat pertemuan ini seolah takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari. Dosa kah aku jika menatapmu seperti ini?
*****
"Dasar, gadis bodoh dan gila."
Tiba-tiba ucapan seorang lelaki menyadarkan Aletha dari lamunannya. Lalu, Aletha pun menoleh ke arah pemilik suara tersebut seraya menyapu area sekitar. Namun, tidak ada orang lain selain dirinya. Dan pertanyaan pun terlontar dari bibir Aletha terhadap lelaki tersebut.
"Kamu bicara sama saya? Kamu ngatain saya juga?"
Begitu enteng pertanyaan itu keluar begitu saja dengan nada ketusnya. Sedangkan lelaki itu sejenak terdiam seraya menatap Aletha dengan tajam. Dan tanpa di sadari mata mereka terkunci_tatapan mereka pun bertemu. Namun, ia itu tidak berlangsung lama karena, lelaki tegap itu segera mengalihkan pandangannya. Begitupun hal nya dengan Aletha yang melakukan hal sama.
"Iya. Saya memang bicara sama kamu, gadis ABG yang tidak tahu malu."
Ucapan itu begitu menohok Aletha. Seketika membuat mulut Aletha menganga karena baru kali pertama dia dikatakan gadis ABG yang gila dan tidak tahu malu. Mungkin itu sungguh keterlaluan, tetapi tidak bagi lelaki itu. Meskipun lelaki itu sendiri sebenarnya tengah patah hati juga, sama seperti Aletha.
"Sial sekali aku bertemu dengan lelaki sekasar kamu. Tapi ... kali ini kamu saya lolosin, karena saat ini suasana hatiku lagi kurang baik. So, lebih baik saya saja yang mengalah. Permisi!" ketus Aletha.
"Silahkan! Toh, tidak ada yang melarang."
Aletha pun pergi dan enyah dari pandangan lelaki itu. Begitupun dengan lelaki yang memiliki tubuh berisi itu, berkulit putih dan berkharisma_pergi meninggalkan pantai setelah menerima sebuah panggilan dari benda pipih yang berada di dalam sakunya. Entah siapa sebenarnya lelaki itu? Dan entah siapa yang baru saja berbicara dengannya melalui udara.
****
"Sial! Hari ini aku benar-benar sial! Arghhh,"
Beberapa kali Aletha mengumpat dan mengacak kasar rambutnya yang terurai itu. Gadis berparas cantik itu begitu merasa kesal, bibirnya pun ia manyunkan ke depan saat memasuki halaman rumahnya. Dan saat hendak masuk ke dalam rumah, ada rasa ragu di dalam hatinya. Bahkan rasanya ia tidak ingin bertemu dengan keluarganya itu terutama, papa nya.
"Haruskah aku masuk sekarang? Bagaimana kalau Papa di rumah?"
Setelah berdiri dan berpikir cukup panjang, akhirnya Aletha memutuskan untuk masuk dan menyapa siapa saja jika bertemu dengan keluarganya. Dan apa yang dikhawatirkan nya pun telah terjadi, Tuan Bagas Kara tengah duduk di ruang keluarga seraya meneduh kopi hitam sebagai minuman favoritnya.
Derap kaki sengaja Aletha pelankan, agar Tuan Bagas Kara tidak mendengarnya. Namun, tajamnya pendengaran Tuan Bagas Kara seketika membuat Aletha terhenti lalu, tanpa sebuah permintaan pun Aletha mengerti apa yang diinginkan papa nya itu.
"Aletha,"
"Iya, Pa. Ada apa?"
"Darimana kamu? Kenapa langkahmu seperti itu? Mengendap-endap di rumah sendiri bagaikan mau maling saja,"
"Ah ... tidak bermaksud apa-apa kok, Pa. Hanya saja, sepatu yang Aletha pakai sedikit kotor, kan kasihan jika bik Inah harus membersihkan berulang-ulang." Elak Aletha memberi alasan.
"Kamu pikir Papa ini bodoh? Sehingga mudah dikibulin sama kamu? Tadi Papa melihat kamu berhenti di tepi jalan dan berbuat onar. Benar, bukan?"
Tidak mudah bagi Aletha membohongi papa nya, sehingga membuat Aletha berkata jujur sejujurnya tentang apa yang dialami olehnya hari itu. Namun, hanya ekspresi datar dan perlakuan yang biasa-biasa saja dari Tuan Bagas Kara setelah mengetahui akan hal itu. Justru sebuah permintaan aneh yang membuat Aletha seketika merasa kesal.
"Papa sudah pernah bilang, jangan terlalu main-main dengan hidup. Tentukan pilihan kamu malam ini juga!"
"Apa harus malam ini, Pa?"
"Iya. Karena besok sudah Papa tentukan apa yang harus kamu lakukan setelah memberikan keputusanmu."
Lagi dan lagi Aletha memanyunkan bibirnya sedikit ke depan seraya menggerutu kesal. Karena baginya itu belum ada kepastian_masih diambang tanpa arah tujuan. Sedangkan saat ini ia hanya ingin tempat yang nyaman. Namun, saat berada di dalam kamarnya terbesit tentang lelaki itu. Lelaki yang sudah mengatainya dengan serangkaian kata yang tidak bisa ia diamkan saja jika itu terjadi lagi.
"Mungkin memang benar apa yang dikatakan lelaki itu tadi. Aku hanyalah gadis ABG yang masih labil. Tetapi ... aku sudah lulus SMA, jadi aku harus bisa mengubah sikapku ini. Bukankah, akan ada lebih dari ini masalah yang akan aku hadapi nanti? Kenapa aku harus menyerah secepat ini?" senyum sungging pun terlukis dari bibirnya.
"Aletha, kamu siap dengan keputusanmu ini. Ikhlas? Jika, ditanya seperti itu jelas jawabanku tidak. Tapi aku tidak mungkin menunggunya yang sebentar lagi akan menjadi suami orang."
Setelah Aletha berusaha bangkit, beberapa lembar fotonya dengan Tara ia ambil lalu, dibakar sampai menjadi abu yang hancur dengan sendirinya. Senyum puas pun kembali terlukis dari bibirnya, perlahan luka yang menguak hati ia kubur dalam. Meskipun itu sebenarnya terasa begitu sulit. Tapi pola pikirnya berbeda, karena ia memikirkan masa depannya_entah luka yang semakin menyakitkan atau akan berbuah manis dalam kisah asmaranya.
****
Acara makan malam bersama keluarga pun telah dilakukan. Dan setelah usai, Tuan Bagas Kara kembali bertanya kepada putrinya itu. Dengan suara lantang dan penuh dengan keyakinan Aletha pun memberikan jawaban atas pertanyaan papa nya tadi. Dan jawaban itu sukses membuat papa, mama tiri dan saudara tirinya seketika terkejut.
"Aletha mau melanjutkan kuliah di Amerika ... dan tinggal bersama Mama di sana."
"Apa kamu yakin dengan keputusanmu?"
"Aletha yakin, Pa."
"Dek, apa kamu yakin? Kamu tidak sedang mengambil keputusan dengan kemarahan terhadap kak Luna, kan?"
"Tidak lah, Kak. Aletha yakin dengan keputusan yang sudah bulat ini. Bahkan Aletha berpikir besok adalah hari yang baik untuk pergi ke sana dan segera mendaftarkan diri di salah satu Universitas di sana."
Sejenak suasana berubah menjadi hening_nampak Tuan Bagas Kara tengah berpikir dengan apa yang sudah diputuskan oleh Aletha. Setelah berpikir cukup panjang, akhirnya Tuan Bagas Kara mengiyakan keinginan Aletha tersebut. Karena baginya, masa depan Aletha hanyalah Aletha sendiri yang harus memutuskan dan bagaimana pun konsekuensi yang akan terjadi atas keputusannya tersebut, Aletha harus menanggungnya sendiri. Tuan Bagas Kara begitu keras mendidik anak kandungnya beserta anak sambungnya, agar kelak menjadi seorang wanita yang mampu bersikap dewasa, bijak dan tidak direndahkan oleh seorang pun.
****
Malam sudah semakin melarut, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Namun, sepasang mata kecoklatan milik Aletha masih terjaga. Karena ia kembali memikirkan tentang Tara yang esok akan menjadi imam orang lain, bukan dirinya. Tapi perasaan cinta ia tepiskan, karena ia sadar akan semakin terluka jika memori tentang Tara masih melekat dalam otaknya.
"Tidak, Aletha. Kamu pasti bisa melupakan Tara."
Penuh semangat cinta itu ditepiskannya_dikubur dalam. Dan di saat itu, Aletha tiba-tiba kembali mengingat tatapan yang tidak sengaja terjadi antara dirinya dengan lelaki itu_dalam hatinya pun berkata, "Tanpa sengaja mata ini terkunci, lalu tatapan antara aku dengannya terjadi. Seolah takdir Tuhan memang ada. Dosa kah jika aku menatapnya seperti tadi?"
Lalu, perlahan Aletha pun terpejam_entah dari jam berapa Aletha mulai memejamkan sepasang matanya yang sudah lengket. Bahkan kini ia pun sudah berada di alam mimpi.
...Pesan tersendiri untuk diriku ini. Cinta memang tidak mudah dipaksakan dengan siapa pula kita akan berjodoh. Hanya satu yang patut untuk diyakini yaitu , takdir....
****
Sang fajar mulai menyingsing, memancarkan kehangatan di pagi hari. Begitupun dengan Aletha yang seketika terbangun saat merasakan pancaran sinar matahari dari sela-sela jendelanya. Lalu, ia pun menatap jam yang berdetak di atas nakas. Dipandangnya jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
"Oh my God! Aletha, bodoh sekali kamu ini!" gerutu kesal Aletha.
Aletha segera beranjak dari atas kasurnya lalu, menuju ke kamar mandi untuk segera membersihkan tubuhnya sekaligus menyegarkan wajah yang terasa berminyak. Setelah kurang lebih lima belas menit, akhirnya Aletha pun keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya_handuk khsusu pengering rambut pun ia pakai.
"Akh, segarnya!"
Saat merasakan kesegaran dalam tubuhnya tiba-tiba pintu kamar pun terdengar ada ketukan dari arah luar. Entah siapa yang bertengger di sana? Dan ketukan itu dilakukan beberapa kali seraya memanggil nama Aletha. Bahkan meminta Aletha untuk segera membuka pintu kamar tersebut. Pada akhirnya Aletha pun melakukan perintah itu.
"Ceklek,"
"Selamat pagi sayang,"
"Ada apa? Apa ada hal penting?" ketus Aletha.
"He ... he ... maaf, sayangnya ... tidak ada hal yang penting pagi ini untuk kamu." Jawab Luna terkekeh.
"Sial!" umpat Aletha.
Aletha sungguh berdecik kesal terhadap kelakuan kakak nya itu. Ya ... seperti itu lah kehidupan keluarga Aletha. Mesikoun bukan saudara sedarah, tetapi mereka saling menyayangi satu sama lain, bercanda dan tertawa bersama. Bahkan mereka juga ingin memiliki perkerjaan yang sama. Namun, hanya berbeda tentang tempat di mana mereka akan menempuh pendidikan yang tinggi.
"Al, mau tidak kamu temani kakak pagi ini? Hanya sebentar saja." Teriak Luna.
Karena pintu yang sudah ditutup kembali oleh Aletha_membuat Luna harus berteriak agar Aletha mendengar ajakan yang ia ajukan. Dan tidak membutuhkan waktu yang lama Aletha segera menjawab sekaligus melontarkan pertanyaan terhadap Luna yang masih setia berdiri di sana.
"Aku mau tapi ... kemana dulu, Kak?"
"Ceklek,"
Pintu kamar dibuka kembali oleh Aletha lalu, mereka saling pandang dan sedikit candaan pun mereka lakukan. Dan ajakan itu pun berujung dengan kebahagiaan, meskipun di dalam hati Aletha masih merasakan luka yang tajam bak pisau bedah yang sudah menusuk hati dan jantungnya_seolah jantung telah berhenti untuk berdetak.
"Al, apa kamu yakin dengan keputusanmu itu? Kenapa kita tidak satu Universitas saja di Jakarta?"
"Kak, aku hanya ingin mengejar cita-cita dan rasa inginku saja. Jika aku sudah lulus dan mendapatkan kerja di sana, paling tidak bertahan untuk satu tahun saja. Itu pun ... kalau aku betah menahan rasa rindu terhadap kakak ku yang satu ini. He ... he ... he," kekeh Aletha.
Saat pembicaraan sederhana itu berlangsung sejenak harus terhenti saat ketukan pelan telah terdengar di gendang telinga mereka. Lalu, Luna pun memutuskan untuk membuka pintu tersebut dan memastikan siapa yang sudah bertamu di rumahnya sepagi ini. Dan saat Luna membuka pintu ia dikejutkan dengan selembar undangan yang namanya tertulis jelas di sana. Pak kurir yang mengantarnya pun pergi setelah Luna menerima paket tersebut.
"Tara dan Cl ... Clara? Siapa wanita ini?" batin Luna.
Luna pun mengenga setelah membaca pemilik undangan tersebut, tetapi tangan Luna seketika menutup mulutnya. Terlihat jelas bahwa Luna merasa terkejut_tidak memercayai apa yang baru saja ia terima. Sebuah undangan pernikahan yang akan dilangsungkan hari itu juga oleh Tara dengan pasangannya, Clara. Wanita yang dijodohkan dengan Tara tidak lain adalah wanita yang bernama Clara.
"Oh, jadi ini yang membuat Aletha marah seperti itu kemaren? Dan malah merusak harga dirinya sendiri saat berada di tepi jalan. Bre****k kamu, Tara." batin Luna yang ikut teriris.
Luna masih tampak termenung di depan pintu_yang membuat Rena menghentikan aktivitasnya sejenak lalu, menghampiri Luna dan bertanya kepadanya, "Luna, ada apa? Kenapa kamu tidak segera masuk? Apa terjadi sesuatu hal?"
Luna tidak mampu menjawab dengan rangkaian kata-kata. Melainkan hanya menyodorkan selembar undangan pernikahan kepada Rena, mama nya. Hal sama pun dilakukan oleh Rena, terkejut itu sudah pasti. Bagaimana, tidak? Sedangkan mereka tahu bahwa Aletha sangat mencintai Tara, begitupun dengan Tara yang sama halnya mencintai Aletha. Namun, kenyataan pahit saat ini sedang dirasakan putri sambungnya itu.
"Kak, jadi pergi?"
Pertanyaan itu seketika membuyarkan lamunan Luna dan juga Rena. Dan saat menyadari bahwa ada Aletha di samping mereka, Rena pun segera menyembunyikan undangan tersebut. Dalam hati nya pun ikut teriris dan miris saat menerawang bayangan Aletha hidup bahagia bersama Tara, kekasih pujaan Aletha selama ini.Namun, kenyataan telah berkata lain_takdir tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
"Kenapa Mama sama kak Lina menatapku seperti itu?"
"Lalu ... undangan milik siapa itu?"
Aletha terus melontarkan pertanyaan kepada dia wanita yang berada didepannya. Sedangkan Rena dan Lina merasa tercekat atas setiap pertanyaan Aletha. Namun, pada akhirnya Aletha pun mengetahui undangan dari Tara tersebut. Karena merasa penasaran, ia merebutnya dari tangan Rina.
"Aletha..."
"Hem ... sudahlah! Mama dan kak Lina tidak perlu khawatir. Aletha sudah tahu semuanya kok."
"Apa ... karena ini kamu mau ke Amerika?" tanya Rena nampak ragu.
"Tidak. Aletha punya satu alasan kenapa Aletha mau pergi ke Amerika, Ma. Tapi bukan karena ini."
Aletha begitu tenang saat menjawabnya. Dan tidak menampakkan ekspresi sedih seperti kemaren. Namun, hati Rena dan juga Lina merasa tidak tenang_mata mereka masih setia menatap dalam Aletha. Akan tetapi, justru sebaliknya_Aletha nampak memperlihatkan senyuman yang sungguh manis.
"Kak, jadi kan ke pantai?"
"Emm ... baiklah! Kalau begitu kakak ambil tas dulu."
******
Siang itu Aletha menghabiskan waktu bersama Lina di sebuah pantai yang pernah dikunjungi oleh Aletha saat patah hatihati_saat cintanya dengan Tara telah berakhir. Dan saat menikmati pemandangan pantai di sana tiba-tiba Aletha mengingat lelaki yang menyapanya.
"Sial! Kenapa aku teringat perkataan bodoh lelaki itu?" umpat Aletha dalam batinnya.
"Kenapa wajahmu berubah seperti itu?" tanya Luna saat melihat Aletha nampak kesal.
"Akh tidak, kak. Aku ... hanya ingin buang air kecil sebentar."
Aletha berlari terburu-buru untuk menghindari Luna yang mulai mempertanyakan ekspresi wajahnya saat mengingat lelaki yang begitu menyebalkan baginya. Dan Aletha juga sering mengumpat kesal saat memori ingatannya kembali tentang lelaki yang menyatakan bahwa dirinya adalah gadis bodoh.
"Sial ... sial ... sial! Arghhh ... Lelaki gila itu, kenapa bisa begitu melekat dalam memoriku?"
Aletha begitu merasa kesal_untuk membuat mood nya kembali ia menghidupkan air keran lalu menyiram wajahnya sampai beberapa kali. Sehingga kesegaran dapat ia rasakan kembali. Dan setelah Aletha cukup merasa tenang, ia segera kembali menemui Lina_takut jika Lina merasa khawatir dengan keadaannya yang tak kunjung kembali.
"Bruk,"
Tabrakan pun terjadi secara tiba-tiba saat berada di depan toilet wanita. Aletha pun seketika tersungkur ke bawah dan mengaduh kesakitan, karena luntutnya berdarah setelah terbentur baru kerikil yang tajam.
"Maaf, saya tidak sengaja."
"Tidak apa-apa. Mungkin saya kurang hati-hati. Ya sudah, saya permisi dulu!"
*****
"Lama sekali pergi ke toilet nya, dek?"
"Maaf kak, tadi ada kejadian yeng menghalangi langkahku." Aletha menyengir.
"Ha ... ha ... ha ..." Luna pun tertawa terpingkal.
"Dek, kakak boleh bertanya?"
Deg...
Aletha seketika berhenti tertawa saat Lina menatapnya tajam dengan ekspresi wajah yang nampak serius. Dengan ragu Aletha menjawab iya kepada Lina, meskipun dalam hatinya merasa penasaran dengan pertanyaan Lina yang belum dilontarkan.
"Apa kamu yakin, sudah merelakan Tara? Dan ... apa kamu benar sudah baik-baik saja?"
"Kak Lina tenang saja dan jangan khawatir! Cinta memang tidak mudah dipaksakan dengan siapa pula kita akan berjodoh. Hanya satu yang patut untuk diyakini yaitu , takdir. Dan aku juga tidak bisa memaksa Tara untuk mempertahankan aku, kak." Senyum pun terukir di bibir Aletha.
Jawaban Aletha membuat Lina sedikit merasa lega. Bahkan Lina tidak merasa khawatir lagi untuk melepas Aletha pergi dari kota Jakarta, tepatnya Indonesia. Demi menempuh pendidikan yang diinginkan, ikhlas lebih baik bagi Lina.
*****
Akhirnya kini Aletha berada di Bandara Jakarta_menanti keberangkatannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!