NovelToon NovelToon

Istri Kecil Yang Nakal

Si Culun Dijodohkan?!

"El, kamu kan, anak pungut di rumah ini. Demi baktimu dan rasa terimakasihmu pada orang tuaku yang sudah merawatmu sampai besar, sebaiknya kamu saja yang terima perjodohan ini," ucap Sora-Kakak kedua dengan wajah yang begitu santai sambil mengunyah sarapan di mulutnya.

Pagi ini di ruang makan, keluarga Eleonara sedang membicarakan perjodohan antara Sora dengan rekan kerja ayahnya. Abraham-ayah angkat Eleonara memiliki hutang yang bertumpuk pada rekan kerjanya karena beberapa tahun lalu bisnis kecilnya mengalami kerugian besar, dan karena Abraham tidak sanggup membayar semua itu, dia rela menjual anaknya untuk menebus hutang.

Namun, Sora yang baru saja masuk kuliah membantah keras. Dia menolak perjodohan itu mentah-mentah setelah melihat foto rekan kerja ayahnya. Pria tua gendut, berkepala botak yang identik dengan profesor dan memiliki kumis serta jambang yang tebal. Sungguh sangat jijik Sora membayangkan menikah dengan pria tua seperti itu. Jadi, dia melemparkan tanggung jawab ini pada Eleonara, selaku anak angkat yang sudah dirawat orang tuanya sejak dia masih belum bisa membaca dan berhitung.

"Bagaimana itu mungkin, Sora! Eleonara masih duduk di bangku SMA. Dia tidak boleh menikah!" seru Abraham dengan dahi mengernyit.

"Kata siapa tidak boleh? Boleh-boleh saja selagi usianya sudah di atas 17 tahun. Bulan kemarin dia baru berulangtahun yang ke 18, kan? Setengah bulan lagi juga sekolahnya lulus. Kita hanya perlu menutupi pernikahannya saja dari orang-orang," sahut Sora sambil menatap sinis ke arah Eleonara yang hanya bisa diam menunduk dengan kacamata minus yang dikenakannya. Dia tidak berhak mengangkat suara saat sarapan sedang berlangsung. Meski tangannya meremas rok SMA untuk menahan agar tidak bicara.

"Benar yang Sora katakan, Sayang. Kamu tidak bisa memaksanya untuk menikah. Aku sudah mendaftarkan dia ke agensi model. Kamu tahu kan, menjadi model adalah cita-citanya sejak kecil. Jangan menghancurkan mimpinya. Jika dia menjadi model terkenal, kita juga yang akan terangkat," imbuh Mariam-Ibu angkat Eleonara yang bermuka dua. Memiliki tahi lalat di bawah matanya.

Dia pikir Eleonara tidak memiliki cita-cita? Tentu saja ada. Eleonara bercita-cita menjadi seorang desainer terkenal. Sejak kecil dia sangat menyukai seni, terlebih pada desain-desain seperti gaun, blush dan pakaian lainnya. Jika memiliki waktu senggang, dia akan menggambar sebuah desain pakaian sesuai dengan imajinasinya, lalu dia kumpulkan dan dia simpan di laci meja belajarnya.

Abraham melirik ke arah Eleonara yang sedang fokus memakan sarapannya. Sebenarnya sedang dipaksakan fokus meski dia takut, gugup dan ingin sekali menentang ucapan mereka. Tapi, apalah daya tangan tak sampai. Siapa dia di rumah ini? Eleonara cukup sadar diri. Caranya agar bisa bertahan hidup sampai sekarang di dalam keluarga yang tidak harmonis ini adalah dengan diam dan menurut setiap perintah mereka.

Abraham memperhatikan penampilan Eleonara-anak yang dia ambil 13 tahun lalu dari panti asuhan. Dia jauh dari kata menarik. Rambut sedadanya bergelombang berantakan, memakai kacamata minus, sorot matanya polos, tapi jika diperhatikan baik-baik dia lumayan dengan kulitnya yang putih mulus dan dagunya yang terbelah. Jika tersenyum pun memiliki lesung di kedua pipinya. Sayangnya Eleonara tidak mudah tersenyum, dia lebih condong berwajah murung, jadi orang nyaris tidak menyadari parasnya yang manis.

"El?" panggil Abraham yang langsung membuat Eleonara menelan salivanya dengan tubuh menegang. Bulu kuduknya sampai meremang mendengar suara berat Abraham tercetus memanggil namanya, rasanya seperti sedang dipanggil oleh malaikat maut untuk melintasi jembatan shirathal mustaqim-titian yang akan dilalui manusia di hari akhir.

Eleonara melepaskan sendok di tangannya, lalu dia menoleh menatap ayah angkatnya yang sudah berumur termakan usia. Keriput di sudut bibir dan matanya terlihat sangat jelas.

"Kamu ... mau ya, dinikahkan dengan rekan kerja Ayah?"

Deg!

Eleonara memasukan kedua tangannya ke kolong meja makan. Dia remas dengkulnya dengan kuat sambil berusaha untuk tidak memperlihatkan tatapan menolak.

"Ayah, tidak seperti itu nada bicaranya. Seharusnya begini. El, kamu harus mau ya dinikahkan dengan teman kerja Ayah! Ini adalah perintah, bukan pertanyaan. Nah, begitu baru benar. Iya, kan, Bu?" kata Sora sambil menyunggingkan senyumnya dengan sebelah mata yang saling berkedip bersama ibunya. Mereka sedang bersekongkol tanpa Abraham tahu. Sering Eleonara mendapatkan perlakuan tidak adil seperti ini, bahkan mungkin sudah tidak terhitung lagi jumlahnya.

"Tolong mengerti kondisi Ayah, El. Ayah akan benar-benar bangkrut dan menjadi gelandangan jika Ayah tidak kunjung melunasi hutang," rengek Abraham sambil nyentuh lembut bahu Eleonara dengan tatapan memohon.

Dari sorot matanya, Eleonara menunjukan ketidakmauan. Dia berharap Abraham dapat membaca raut wajahnya karena Abraham tidak seburuk Mariam dan Sora. Namun, sepertinya tidak karena masalah ini sangat mendesak baginya. Abraham jadi gelap mata dan tak bisa melihat kalau Eleonara tertekan.

Eleonara terdiam seribu bahasa. Pikirannya berdesakan di kepala. Dia pun sesekali melirik ke arah Mariam dan Sora yang terus memelototinya dengan kesan mengancam. Mereka sedang menyiapkan kepalan tangan untuk menghajarnya habis-habisan. Eleonara sangat takut! Luka lebam di lengan dan pahanya belum hilang dan masih terasa sakit.

Namun, jika dipikir-pikir ada baiknya juga Eleonara menyanggupi permintaan Abraham. Jika dia menikah, dia akan ke luar dari rumah penuh derita ini. Ibu dan anak yang jahat dan licik itu tidak akan pernah menindasnya lagi. Hari-hari yang Eleonara lalui memang selalu buruk, tapi bukan berarti kehidupan seterusnya akan buruk juga. Bukankah hal-hal besar membutuhkan waktu?

"El, bagaimana?" tanya Abraham lagi.

Apa ini bukti uluran tangan Tuhan agar aku bisa ke luar dari rumah ini? Jika benar, aku tidak akan ragu lagi. (Batin Eleonara)

Setelah diam beberapa saat, akhirnya Eleonara membuka suara. Dia berkata, "Baiklah. Lagipula aku tidak ada hak untuk menolak dirumah ini," ucap Elonara lirih sambil tersenyum pahit.

Mungkin seharusnya Eleonara berusaha sedikit untuk menolak, jangan langsung menyanggupinya begitu saja. Namun, dia tidak mau membuang banyak waktu dan tenaganya untuk sesuatu yang sia-sia. Dia sudah sering melihat Mariam dan Sora yang tidak akan pernah membuat hidupnya mudah.

Abraham langsung beranjak bangun dari duduknya dengan ekspresi bahagia. Dia memeluk Eleonara dengan sangat erat. "Terima kasih, El. Tidak sia-sia Ayah merawatmu sampai sebesar ini. Kamu cukup dewasa mengambil keputusan. Ayah tahu, kamu paling tidak bisa melihat Ayah menderita."

Kedua mata Eleonara berkedut memerah panas. Pandangan matanya langsung berembun saat dia mengelus punggung Abraham. Dia selalu menegarkan hatinya atas setiap keputusan yang telah ditentukan. Tidak ada seharipun dia hidup tanpa masalah, tapi setiap masalah yang berhasil dia lalui akan membentuknya menjadi sosok yang lebih dewasa.

'Kedamaian tidak akan menemukanmu. Kamu harus pergi dan menciptakannya.'

...

BERSAMBUNG!!

Jangan lupa di Like dan tambahkan sebagai Favorit!

Biskuit Ibu Hamil

Di Sekolah.

Eleonara menyeret kakinya masuk ke kelas 12 MIPA 1 tanpa semangat. Pembicaraan pagi ini mengenai pernikahan membuat semangatnya hancur berkeping-keping. Dia sudah bermimpi ingin mengejar kesuksesan setelah lulus Sekolah dan menghabiskan masa mudanya dengan banyak pengalaman, tapi apakah harus kandas begitu saja ketika dia menikah nanti? Dia juga belum tahu seperti apa karakter suami tuanya itu. Apakah baik atau tempramentalnya buruk? Duda atau sudah berkeluarga? Apakah dia benar-benar akan bahagia setelah ke luar dari rumahnya atau akan lebih menderita dari sebelumnya?

Eleonara yang sedang duduk di bangku hanya bisa menghela napas kasar saat pikirannya sedang berdebat dan berkecamuk tidak tenang. Dia membenamkan wajahnya ke meja.

"Woi!" seru seseorang sambil menggebrak meja sampai membuat Eleonara terlonjak kaget setengah mati.

"Argh, Viviaaaan...!" geram Eleonara sambil menggertakan giginya kesal. Dia terkejut sampai rasanya jantung di dalam dadanya hendak melompat keluar.

"Kenapa, sih? Lagi ada masalah, ya? Tadi di gerbang aku panggil-panggil, kamu malah jalan terus," gerutunya sambil duduk di sebelah Eleonara.

Vivian Djordan ini adalah sahabat satu-satunya di Sekolah yang mau berteman dengan Eleonara. Penampilannya bertolak belakang dengan Eleonara. Dia memiliki paras yang cantik, ceria, mudah bergaul, imut dengan tubuhnya yang mungil, tapi cukup bar-bar kalau bicara. Jika Eleonara pergi bermain ke rumahnya, dia akan menemukan kehangatan dari yang namanya keluarga. Orang tua Vivian memperlakukannya bak emas permata karena dia adalah anak perempuan satu-satunya diantara kedua kakak laki-lakinya. Sering kali Eleonara dibuat iri karenanya.

Eleonara hanya menganggukan kepalanya sambil mengerucutkan bibir. Dia terlihat sangat menyedihkan, membuat Vivian kesal dan turut sedih karena setiap hari Eleonara selalu saja dirundung masalah.

"Masalah apa lagi? Pasti gak jauh dari si Mak Lampir sama Kakak Lampir itu, kan?" duga Vivian dengan sorot mata tajamnya.

Eleonara terdiam sejenak. Dia tidak berniat menceritakan masalah sebenarnya pada Vivian, toh pernikahannya belum benar-benar terjadi. Bisa saja kan, pulang sekolah atau besok dia mendapat kabar baik kalau pernikahan itu dibatalkan. Eleonara hanya memilih untuk memendamnya sendiri saja. Dia menghela napas kasar sambil mengangguk memberi jawaban.

"Ck, mereka itu benar-benar! Aku sudah menyuruhmu berkali-kali untuk pindah ke rumahku dan jadi saudaraku. Ayah dan ibuku juga tidak mempermasalahkan jika membiayai satu anak lagi. Kenapa masih kuat bertahan di keluarga yang seperti itu?" ucapnya dengan emosi menggebu. Bibir Vivian sampai komat-kamit seperti baca mantra saat meluapkan kekesalannya.

"Vi, kamu mau semua orang tahu mengenai permasalahan keluargaku?! Kecilkan sedikit nada bicaramu," bisik Eleonara sambil menoleh ke sana kemari.

"Huh, habisnya aku kesal! Masalahmu dengan Mak Lampir dan si Kakak Lampir itu tidak pernah ada ujungnya. Setidaknya berilah kedamaian sehari saja untukmu."

Eleonara hanya memperlihatkan senyum pahitnya sambil membenarkan posisi kacamata minusnya.

Vivian, kehidupan setiap orang berbeda-beda. Beberapa terlahir di tengah keluarga yang harmonis dengan finansial yang kuat sepertimu dan beberapa terlahir sepertiku, hanya modal hati dan mental yang kuat. (Batin Eleonara)

Tiba-tiba saja seorang guru wanita berbadan gemuk datang dan berdiri di ambang pintu. Kacamatanya mengkilap dan wajahnya memperlihatkan ketegasan. Parasnya dan mimik wajahnya persis seperti Cikgu Besar di film Upin-Ipin.

"Kenapa kalian masih di sini?! Cepat kumpul di Aula. Seminar akan segera dimulai. Cepat, cepat, cepat!" serunya yang langsung membuat para siswa berhamburan keluar, termasuk Eleonara dan Vivian.

"Ah, iya, sekarang kan, ada seminar! Katanya pematerinya orang yang sukses dari muda, lho. Aku udah cari tahu tentang dia di internet. Orangnya ganteng banget, huhu, keturunan Timur Tengah lagi. Tapi, sayang umurnya udah di ujung 20an, Om-om," racau Vivian sambil menggandeng lengan Eleonara dan berjalan menuju Aula Sekolah. Tinggi Vivian hanya sebahu Eleonara saja, dia sering membuat tubuh Eleonara sebagai tameng untuknya.

Sesampainya di Aula yang sudah ramai dipadati siswa-siswi, Vivian mencari tempat yang paling depan karena dia ingin melihat pemateri seminar yang katanya tampan itu dengan jelas. Namun, semua kursi di depan sudah terisi penuh, hanya sisa di belakang saja.

"Hah, salah kita terlambat," keluh Vivian dengan bibir mengerucut sambil duduk bersama Eleonara di barisan paling akhir.

"Oh, iya, El, aku bawa biskuit enak lho, dari rumah," kata Vivian sambil merogoh isi tasnya dan diam-diam memperlihatkannya pada Eleonara.

Sontak mata Eleonara langsung terbelalak besar saat membaca nama biskuit yang tertera dalam bungkus berwarna silver itu. "Vi, kamu ... hamil?" bisik Eleonara dengan wajah panik.

"Hamil? Ngaco, kamu! Mana ada aku hamil? Pacar bahkan suami saja belum punya, bagaimana bisa hamil?" bantah Vivian.

"Terus ini apa? Baca deh, ini biskuit ibu hamil!" seru Eleonara yang langsung membuat Vivian terkejut setengah mati. Ternyata biskuit yang dia bawa dari rumah adalah biskuit ibu hamil.

"Astaga...!" Vivian langsung termenung memikirkan sesuatu.

"Kalau bukan kamu yang hamil, berarti Bu Maya?" duga Eleonara. Bu Maya adalah Ibu Vivian.

"Bukan, bukan! Ini ... beberapa hari yang lalu ibuku dipaksa jadi Kader Posyandu sama tetangga. Terus kemarin saat Posyandu bulanan, di rumah numpuk biskuit kayak gini. Aku kira Ibu emang sengaja nyetok buat camilan. Aku coba aja makan satu, tapi gak liat dulu nama biskuitnya apa. Rasanya enak banget ada krim strawberry kesukaanku, aku sampai ngabisin satu dus. Aku benar-benar gak tau kalau biskuit ini biskuit untuk ibu hamil. Terus gimana dong, El?! Apa aku bisa hamil kalau makan ini, huhu ...," rengek Vivian sambil mengguncang tubuh Eleonara dengan mimik ketakutan.

"Ck, dasar. Mana ada orang makan biskuit langsung hamil? Ini cuma makanan tambahan buat memenuhi kebutuhan ibu hamil doang. Nih, baca di belakang bungkusnya ada keterangannya. Sini, aku mau coba satu."

Begitu Eleonara memakan satu gigitan biskuit dengan krim strawberry di dalamnya, matanya langsung membulat dengan binar yang berkilauan. "Emh ... iya, ternyata enak!" ucapnya dengan mulut penuh biskuit.

"Kan, enak!" tutur Vivian yang merasa puas melihat raut wajah sahabatnya.

"Masih ada gak? Aku mau lagi."

"Haha, dasar. Ada, aku bawa banyak di tas. Tapi, jangan sampai ketahuan orang. Bisa lain ceritanya." Vivian memberikan beberapa bungkus biskuit ibu hamil pada Eleonara secara diam-diam. Eleonara langsung menyembunyikannya ke dalam saku rok sekolahnya.

"Duh, Vi, berapa menit lagi seminarnya di mulai? Lama banget. Aku keburu kebelet pipis, nih," bisik Eleonara sambil mengedarkan pandangan matanya. Para guru dan pengurus seminar masih sibuk mempersiapkan acara.

Vivian tampak memeriksa jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Harusnya sepuluh menit lagi mulai. Masih sempet kalau mau ke toilet."

"Ya udah, aku titip tas dulu, ya. Jagain juga kursinya, jangan ada yang nempatin."

"Oke!"

Eleonara segera lari terbirit-birit menuju toilet terdekat. Namun, saat dia akan masuk ke dalam toilet, seorang siswi yang baru ke luar dari toilet memberitahunya kalau air di dalam mati dan tidak ada air yang tersisa. Dia berlari lagi mencari toilet di dekat perpustakaan dan ternyata masalahnya sama, airnya habis.

Tiba-tiba saja seorang siswi menghampirinya sambil menepuk pundaknya. "Kebelet banget, ya? Semua toilet airnya mati, katanya lagi ada masalah sama air PAM-nya. Tapi, aku baru aja dari toilet pinggir gudang. Di sana masih ada air, coba aja ke sana sebelum berebutan," ucapnya memberitahu dan langsung pergi.

"Apa? Toilet pinggir gudang? Itu kan, ada di ujung. Tempatnya juga serem," gumam Eleonara. Namun, dia tidak bisa membiarkannya menahan terus, entah sampai kapan airnya mati. Perutnya akan semakin sakit bila terus menahannya.

Eleonara pun kembali berlari sampai ke ujung sekolah. Penampilannya sudah berantakan, kacamatanya pun sampai miring. Auranya mencekam saat dia tiba di toilet satu pintu. Dia tidak melihat ada siapapun di sekitar. Dia segera menepis rasa takutnya dan segera membuang air kecil. Untunglah airnya benar-benar masih ada dan sekarang tersisa sedikit karena sudah setengahnya terpakai.

"Huff ...." Eleonara terlihat lega. Dia merapikan rambut bergelombangnya serta seragam sekolahnya dan tak lupa membenarkan posisi kacamatanya.

Begitu Eleonara membuka pintu, tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tinggi semampai dengan otot lengan yang padat di balik kemeja putih yang dikenakannya masuk menerobos ke dalam, membuat Eleonara terdorong lagi ke dalam sampai punggungnya menghantam tembok.

...

BERSAMBUNG!!

Pertemuan Pertama

Eleonara sangat ketakutan, dia beringsut menjauh meski tubuhnya harus memepet tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dengan wajah menunduk.

"Ah, m-maaf, saya tidak tahu kalau ada orang di dalam. Saya sedang menghindari para siswi yang terus mengejar saya dan meminta foto," jelas pria itu dengan suara yang berat sambil terengah-engah.

Dia adalah Juna Syach Emirhan. Pengusaha Agate dan Jewelry yang sukses. Darah Timur Tengah mengalir deras di tubuhnya. Memiliki tubuh atletis, hidung mancung, alis tebal, bulu mata lentik, rahang tegas dan jambang yang tipis telah menjadi ciri khasnya. Bola matanya berwarna hazel, coklat terang dengan aksen hijau dan jingga.

Banyak wanita yang tergila-gila pada parasnya yang tampan dan menggoda karena bukan hanya tampan saja, dia juga kharismatik.

Saat turun dari mobil di depan gerbang sekolah, para siswi langsung mengerumuninya dan memotretnya. Bahkan tak sedikit Guru yang meminta foto bersama. Dengan sifatnya yang ramah dan santun, Juna meluangkan sedikit waktunya untuk berfoto, tapi beberapa siswi ada yang sampai meraba-raba badannya dan membuat Juna jadi tidak nyaman. Dia pun langsung melarikan diri dan tampaknya pelariannya justru malah jadi ajang kejar-kejaran.

Segerombol siswi mengejar Juna yang lari berbelok-belok di koridor sekolah. Akhirnya Juna berhenti di sebuah gudang, tapi Juna tak bisa masuk untuk bersembunyi karena pintu gudang terkunci. Dia melihat pintu toilet di samping gudang yang terbuka secara tiba-tiba, seakan Tuhan telah mengirimkan bantuan padanya. Tanpa pikir panjang Juna masuk ke dalam karena suara langkah para siswi yang bergemuruh semakin mendekat.

Tak disangka, ternyata ada seseorang di dalam toilet. Pada akhirnya Juna terpaksa harus menutup pintu dan diam di sana tanpa mengambil langkah untuk pergi.

Eleonara sendiri mendengar suara langkah kaki bergemuruh mendekati toilet, seperti telah terjadi kericuhan besar di luar. Perasaannya semakin tidak tenang. Saat dia menengadahkan wajahnya, seketika saja pandangan mata mereka bertemu.

Kedua mata Eleonara membulat besar saat melihat ada pangeran tampan di hadapannya. Jantungnya tiba-tiba berdebar tak karuan. Dia terlamun dengan pipi merona, bahkan ronanya merambat sampai ke telinga. Aroma parfum yang kuat dari tubuh Juna menyeruak ke dalam hidungnya, seolah telah membuat Eleonara terbius maksimal.

Eleonara sampai harus mencubit lengannya untuk memastikan yang dihadapannya ini benar-benar manusia atau dewa khayalannya.

"Akh!" rintih Eleonara sambil mengusap bekas cubitannya. Ternyata pria tampan bak super model yang dihadapannya ini nyata. Hal itu semakin membuat Eleonara gugup gemetar.

"Mr.Juna!"

"Mr.Juna! Kamu di dalam, kan?!"

"Keluar, dong! Kita masih ingin berfoto!"

Teriakan beberapa siswa yang fanatik membuat Eleonara membuyarkan lamunannya dan segera tersadar.

Juna sedang menekan pintu kuat-kuat dengan punggungnya, dia menggerakkan mata serta alisnya ke arah Eleonara. Eleonara tidak mengerti isyarat tubuhnya, dia jadi bertanya-tanya.

"Tolong bantu saya menyingkirkan mereka," ucap Juna tanpa suara. Mulutnya hanya mangap-mangap saja.

Eleonara membulatkan mulutnya setelah dia tahu apa maksudnya. "Tapi, bagaimana aku bisa menyingkirkan mereka? Sepertinya mereka lebih dari 20 orang."

"Berpikirlah!" serunya dengan keringat dingin mengucur di seluruh tubuh.

Eleonara semakin kelimpungan panik terbawa suasana. Di luar semakin ramai orang-orang yang memaksa pria di hadapannya ini untuk ke luar.

Duh, bagaimana ini? Aku juga tidak mungkin keluar sekarang. Apa yang akan mereka pikirkan nantinya jika aku berduaan dengan seorang pria di dalam toilet? Berpikirlah, El, berpikir! (Batin Eleonara)

Tiba-tiba saja mata Eleonara berbinar ria. Terlintas di kepalanya sebuah ide. Dia membuat bulatan tangan di sekitar mulutnya, lalu berteriak, "ADA APA SIH, RIBUT-RIBUT DI LUAR! AKU SEDANG BERUSAHA MENGELUARKAN PUPKU. GARA-GARA KALIAN BERISIK, DIA JADI MALU DAN MASUK LAGI KE DALAM!"

Sontak saja setelah mendengar suara Eleonara, kebisingan di luar langsung berhenti. Tampaknya para siswi sedang bertanya-tanya. Berbeda dengan Juna, dia tak menyangka siswi culun di hadapannya ini mengatakan demikian. Membuatnya jadi jijik dan malu sendiri. Namun, Juna segera menggunakan kesempatan itu untuk menghubungi Syam-orang kepercayaannya agar segera datang menolong.

"Siapa di dalam?"

"Bukannya Mr.Juna yang ada di dalam?"

"Iya. Kok, suaranya cewek, sih?"

"Siapa itu Juna? Makhluk langka dari mana? Aku Eleonara, kelas 12 MIPA 1. Cepatlah pergi! Apa kalian ingin dengar suara percikan pupku yang menggelikan, hah? Baiklah!" teriak Eleonara lagi.

Dia mengumpulkan udara di mulutnya hingga membuat pipinya bulat seperti balon, lalu dia dorong ke luar udara yang terkumpul di mulut sedikit demi sedikit hingga terdengar seperti suara kentut yang tertahan.

"Tuuuut, tut, tut, tut."

Sontak saja kelakuan Eleonara ini tak bisa menahan Juna untuk tidak tertawa saat melihat bagaimana ekspresi wajahnya yang lucu. Mulutnya monyong dan sedikit bergetar dengan pipi yang bulat. Juna tertawa, lebar bahkan, tapi tanpa suara. Dia langsung menutup mulutnya ketika Eleonara menatapnya dengan alis kiri terangkat naik.

"Teruskan," bisik Juna sambil menahan tawanya. Kedua matanya sampai berkaca-kaca karena ekspresi Eleonara memang sangat lucu.

Melihat seorang pria tampan di hadapannya sedang tertawa, membuat Eleonara pun jadi ikut tertawa tanpa suara karena jika di pikir-pikir dia konyol juga. Seakan Juna telah memberikan dampak padanya untuk menertawai diri sendiri.

Namun begitu, tiba-tiba saja mimik wajah Juna yang sedang tertawa menyusut secara perlahan. Dia malah terkejut sekaligus terpana melihat dagu Eleonara yang terbelah, juga memiliki lesung yang manis di kedua pipinya. Deretan giginya pun kecil-kecil dan memiliki gigi kelinci yang semakin menambah kesan imut dan manisnya.

Elena? (Batin Juna)

Eleonara menghentikan tawanya karena pria di hadapannya tiba-tiba diam melamun menatapnya. Dia jadi bingung dan suasana canggung pun tercipta.

Juna melihat name tag yang terpasang di seragam putih Eleonara, nama yang tertera adalah 'Eleonara' bukan 'Elena'-cinta pertamanya yang sudah menghilang bertahun-tahun lamanya. Juna pun membuyarkan lamunannya dengan segera.

Tidak, Elena bukan remaja SMA. (Batin Juna lagi)

"Ah, coba aku intip keluar. Mereka sudah pergi atau belum," bisik Eleonara, berusaha memecah suasana sambil pura-pura membenarkan kacamatanya.

Juna pun bergeser dari pintu dengan keadaan setengah sadar. Eleonara membuka pintu sedikit, lalu mengintipnya. Terlihat masih ada beberapa siswi yang menunggu sambil berkerumun.

"Mereka masih ada!" bisik Eleonara sambil menutup kembali pintunya.

Tiba-tiba saja sebungkus biskuit terjatuh dari saku rok Eleonara. Juna mengambilnya dan hendak memberikannya pada Eleonara, tapi tiba-tiba saja Juna terkejut setelah membaca nama biskuit dengan bungkus berwarna silver itu.

Biskuit ibu hamil? (Batin Juna)

Eleonara langsung merampasnya karena dia yakin pikiran Juna sudah traveling ke mana-mana. "Ah, ini tidak seperti yang Bapak pikirkan. Ini cuma biskuit hamil saja, siapa pun boleh memakannya bukan hanya ibu hamil saja. Ibu temanku seorang Kader Posyandu, dia membawa biskuit ini untuk dibagi denganku karena katanya rasanya enak," jelas Eleonara dengan tangan gemetar. Dia takut pria di hadapannya ini curiga dan membuat masalah di Sekolah dengan melaporkannya.

"Bapak?" gumam Juna yang malah terfokus pada panggilan yang Eleonara lontarkan.

Eleonara merasa pria di hadapannya ini tidak mempercayai ucapannya. Dia menjadi semakin gugup memikirkan bagaimana agar pria ini percaya. Eleonara pun membuka biskuit ibu hamil, lalu memberikannya pada Juna.

"Coba saja Bapak makan. Ini benar-benar enak, ayo," kata Eleonara sambil menyodorkan biskuit itu ke hadapan mulut Juna.

Juna melipat kedua tangannya di atas perut sambil menghela napas hampa karena baru kali ini ada remaja yang memanggilnya Bapak. Dengan penampilan sekeren ini memangnya dia terlihat seperti Bapak-bapak? Pak Guru atau Pak Kepala Sekolah yang identik dengan badan gemuk, perut buncit dan kacamata tebal? Setua itu kah, dia? Memang sudah tua sih, hanya saja Juna tak terbiasa dipanggil Bapak.

Tanpa pikir panjang Juna menggigit satu gigitan biskuit itu dan sontak saja perlakuan manisnya membuat Eleonara tersipu malu dengan tubuh menegang. Detak jantungnya berdebar tak karuan. Eleonara hanya berniat menyodorkan biskuitnya saja untuk diambil, bukan bermaksud menyuapinya.

....

BERSAMBUNG!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!