"Rere! Habis ini kamu beresin meja makan, terus rendam cucian di sumur belakang. Jangan pakai mesin cuci, boros listrik. Setelahnya pergi ke warung bu Dadi, catatannya sudah ibu taruh di meja makan. Beli semua yang sudah ibu catat pakai uangmu dulu. Setelah itu masak dan siapkan sarapan untuk Ana dan Lita. Jangan lupa semuanya dibereskan kembali, dan jangan lupa untuk menyetrika. Setelahnya masak lagi untuk makan malam. Ibu mau pergi sebentar, pokonya saat pulang semua harus sudah dikerjakan ya!"
Perintah dari mertuaku akan selalu sama setiap harinya.
***
Hai, namaku Rere. Aku baru saja menikah 3 bulan yang lalu dengan mas Yandri. Sebelum menikah kami sepakat akan mengontrak sebuah rumah petak di dekat kantor mas Yandri. Namun, tepat sehari setelah menikah mas Yandri berubah pikiran dan memboyongku ke rumah ibunya. Alasannya adalah karena dia anak laki-laki sulung dan juga satu-satunya. Aku sempat menolak keinginannya dan bersikeras untuk tinggal terpisah dari orang tua. Bukan apa-apa, aku berprinsip sebisa mungkin anak yang sudah menikah seharusnya tidak membebani orang tua. Selain itu, aku ingin mengatur kehidupan baru kami sebagai suami istri tanpa ada intervensi dari pihak manapun termasuk keluarga.
Mendapat penolakan dariku, mas Yandri mulai berceramah panjang lebar tentang kewajiban anak laki-laki dan kewajiban seorang istri. Menurutnya aku berkewajiban patuh pada semua perintahnya karena dia-lah yang bertanggung jawab penuh pada diriku, hidup dan mati. Oh iya, tidak lupa juga dia mengingatkan dosa seorang istri yang membantah suami. Karena tidak ingin berdebat saat pernikahan kami baru berumur sehari, akupun mengalah dan mengikuti maunya.
***
"Disini ga ada pembantu, jadi kamu bantu-bantu ibu ngurus rumah ya neng," ucap mas Yandri saat kami baru saja pindah ke rumah mertua.
Aku menganggukkan kepala dan baru saja merebahkan punggung dikasur yang kududuki saat tiba-tiba mertuaku masuk.
Beliau duduk di kasur tepat disebelah mas Yandri, matanya melirik padaku.
"Re, diberesin dong kamarnya. Kamu kok males banget sih, udah mau tidur aja!"
Aku bangun dan menatap wajah ibu mertua.
"Sebentar ya bu, Rere dari tadi belum istirahat. Pegel pinggang Rere tadi bolak-balik bawa dus."
Muka ibu mertua yang memang jutek bertambah semakin jutek.
"Kamu itu ya, dikasi tau ada aja jawabnya. Denger ya, kamu disini itu cuma numpang, karena kamu orang lain. Beda sama Yandri, jadi tau diri dikit'lah Re. Dan satu lagi, semua ucapan yang keluar dari mulut saya adalah perintah, bukan basa-basi. Jadi kamu harus ikutin perkataan saya."
Beliau bangun dan keluar kamar setelah sebelumnya membanting pintu dengan keras.
Mas Yandri yang melihat itupun dengan segera menegurku.
"Neng, kamu ngga diajarin orangtuamu gimana caranya ngomong sama orang yang lebih tua? Kok ngebantah ibu sih neng? Ibu bener, kamu harusnya mulai beres-beres barang kita biar cepet selesai. Kalau cepet selesai 'kan kamu bisa bantuin ibu bereh-beres rumah. Inget neng, kamu menantu dirumah ini, bukan ratu. Jadi kamu harus bisa menempatkan diri."
"Astaga mas, aku itu bukannya gamau, tapi bentar dulu dong. Baru aja aku nurunin dus-dus yang lumayan berat gara-gara mas malah keasyikan ngobrol sama tetangga. Sekarang, aku istirahat sebentar aja udah diomelin panjang lebar."
Raut wajah mas Yandri berubah, sepertinya dia emosi.
"Kamu itu ya neng, diajarin yang bener malah ngebantah terus. Inget neng, mas sekarang suami kamu. Surga kamu ada sama mas, jadi mending kamu nurut kalo ngga mau jadi istri durhaka terus masuk neraka. Semua perkataan mas untuk kebaikan kamu. Dan jangan lupa, kamu numpang disini, karena ini bukan rumah kamu. Kamu harus tau diri!"
Sesungguhnya, aku ingin sekali membalas perkataan mas Yandri dan membantainya sampai ke akar. Namun, kuurungkan karena kondisi badanku yang lelah dan pikiranku yang ruwet. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku bangkit dan keluar kamar mencari sapu dan alat kebersihan lainnya.
***
Aku baru saja memasuki dapur saat melihat ada setumpukan baju kotor tepat di sebelah baskom rendaman baju. Bisa kutebak, itu adalah kumpulan baju kotor milik Ana dan Lita, adik iparku. Sambil menahan rasa kesal, aku mengambil baskom satu lagi dan merendam baju kotor tambahan tersebut.
'Dasar blegug! Udah dikasi tau berkali-kali masih ngga ngerti juga. Berapa kali lagi harus dikasi tau kalo baju kotor dikeluarin pagi-pagi biar bisa sekalian direndem.' ucapku dalam hati dengan perasaan kesal minta ampun.
"Teh, mana kok sarapan belum ada? Teteh ngapain aja dari tadi? Kok lelet banget jadi orang? Kan tau kalau Ana kuliah jam 10." Empunya suara sudah ada dihadapanku dengan dandanan yang membuatku jengah.
'Ini anak mau kuliah atau mau fashion show sih? Menor banget kaya tante-tante girang,' lagi-lagi aku hanya bisa berkata dalam hati.
Melihatku hanya diam, Ana kembali bersuara,
"Teh, aku mau sarapan yang kaya orang bule gitu dong. Teteh tau ngga?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala dan masih tetap diam.
"Ih dasar kampungan. Itu loh, sarapan bule itu yang ngga pakai nasi. Pakainya bubur oat sama buah."
Demi Tuhan aku ingin menyerang dan membantingnya ke lantai, tapi sekuat tenaga kutahan karena masih teringat nasihat mama sebelum pindah kesini.
"Teh, mama nitip pesen satu aja ke teteh ya. Jangan kebawa emosi. Jangan bar-bar dirumah mertua teteh. Keluarga mas Yandri sekarang keluarga teteh juga. Tahan diri, tahan emosi."
***
"Nih sarapan ala bule," ucapku seraya meletakkan sebuah mangkok di hadapan Ana. Mata gadis itu yang menatap tak percaya membuat perutku sakit karena harus menahan tawa.
"Iyuuuuh, apaan nih? Sampah?!" bentaknya keras.
Emosiku naik ke level tertinggi mendengar bentakannya. Dan ya, sebisa mungkin kutahan hawa panas karena kesal yang sudah memenuhi kepalaku.
"Itu kan sarapan ala bule yang kamu minta. Bubur oat sama buah. Karena kita ga punya oatmeal jadi gantinya teteh bikin dari Indomie yang diremukin terus dijadiin bubur. Nah, buat buahnya, adanya cuma kedondong, ya udah pake itu aja. Intinya ngga pake nasi 'kan?"
Sepasang mata dihadapanku melotot dan dalam hitungan detik melemparkan mangkuk berisi hasil masakan mahakaryaku ke lantai. Suaranya cukup nyaring dan membuka sumbat emosiku. Tanpa sadar aku menggebrak meja makan hingga terjungkal. Meja makan dirumah ini sebenarnya bukan meja makan, tapi meja lipat dengan keempat kakinya dibagian tengah --kalau tidak bisa membayangkan, silakan google saja--. Itu sebabnya, saat aku menggebraknya di satu sisi, meja itu jadi terjungkal.
Ekspresi kaget jelas kentara diwajah gadis berpenampilan tante-tante itu. Masih dengan rasa kesal yang belum terpuaskan, aku memunguti bekas pecahan mangkok dan pergi ke arah dapur.
"Biasa sarapan gorengan aja sok-sokan mau makan ala-ala bule! Norak!" aku berkata ketus.
Saat mendengar suara langkah-langkah kaki sedang mendekat ke kamarku, dengan segera aku membelakangi pintu dan memasang headset.
Brak!
"Rere! Keterlaluan kamu! Kamu apain Ana tadi pagi sampai dia nangis?!"
Aku tidak menjawab pertanyaan paduka ratu ibu mertua dan perlahan, aku mulai menggelengkan kepalaku.
"Neng!" Mas Yandri memanggilku cukup keras
"Rere! Budeg kamu ya?!" tambah ibu mertua.
Posisiku masih membelakangi pintu dan mempercepat gelengan kepala.
"Menantu laknat! Durhaka!" Ibu mertua masih saja berteriak.
"Neng! Neng Rere!" Mas Yandri ikutan berteriak.
Teringat Trio Maung dengan gerakan ikoniknya, aku membungkuk dan memutar kepalaku seperti baling-baling pesawat.
'Yihaaaa' teriakku dalam hati.
Teriakan ibu mertua dan mas Yandri terhenti saat ponselku di atas nakas berbunyi. Setelah dering berhenti, mereka kembali berteriak.
"Neng!"
"Menantu gila!"
Aku melepaskan headset saat merasa keduanya mendekatiku dari belakang. Dengan gerakan cepat aku memutar tubuh dan berteriak sekuat tenaga,
"NAON!?"
Ibu mertua dan Mas Yandri terkejut hingga pucat. Keduanya mundur menyingkir dariku hingga hampir menabrak lemari.
"Eh, ada ibu ratu dan paduka raja? Ada apa? Apa yang harus Rere kerjakan kali ini?" Aku berkata pelan seraya meletakkan kedua tanganku di perut dan membungkuk.
"Gendeng!" Ucap mertuaku lirih
"Neng! Kamu kenapa sih teriak-teriak?!" Mas Yandri bersuara.
Aku memasang wajah tak bersalah. "Maaf mas, ngga sengaja. Tadi neng lagi dengerin lagu metal, jadi pas ngejawab, ga sengaja teriak. Ada apaan mas?"
Muka keduanya masih pucat. Nampaknya teriakanku cukup mengagetkan mereka hingga melupakan kemarahan.
"Hhmm, ngga neng, mas tadi mau nanya, neng udah makan belum. Iya kan bu?" Mas Yandri menoleh ke arah ibu mertua yang mencengkeram bajunya di bagian dada.
"Iya." Jawab ibu mertua pelan.
"Ooooh, neng udah makan kok mas. Tumben amat mas nanyain neng udah makan atau belum. Biasanya kan ngga,"
Keduanya hanya terdiam ditempat, mungkin bingung harus berkata apa. Sampai akhirnya ibu mertua beranjak menuju pintu.
"Lain kali jangan keras-keras kalau denger lagu, itu hape kamu tadi bunyi." Ucapnya ketus.
Tidak lama mas Yandri juga mengucapkan hal serupa. "Kecilin dikit volume lagunya, tuh hape kamu di nakas bunyi tadi." Ia pun keluar dan menutup pintu.
Aku menghembuskan nafas panjang.
'Dasar blegug. Padahal tau hape aku diatas nakas.' batinku sambil melihat headset ditangan yang tidak tersambung dengan apapun.
***
Ternyata mama yang tadi menelepon. Dengan bersemangat aku menghubungi mama kembali. Ingin rasanya mengadukan semua kelakuan keluarga mas Yandri, tapi aku tak ingin mama kepikiran. Jadinya kami hanya mengobrolkan hal-hal yang ringan.
Setelah mematikan sambungan telepon aku beranjak keluar kamar. Luar biasa. Dalam waktu sekejap keadaan rumah mirip dengan kapal pecah. Sampah dimana-mana dan piring kotor menumpuk.
Aku berjalan menghampiri mas Yandri yang sedang merokok di teras.
"Mas, bantuin neng beres-beres yuk." ucapku
Mata mas Yandri mendelik tak suka. "Neng, tugas beres-beres itu tugas istri. Masa mas seharian kerja masih diminta bantuan beres-beres rumah. Itu tugas kamu kan?"
"Kamu aja ngga bantuin mas nyari uang, masa mas harus bantu kamu untuk kerjaan rumah."
Deg!
Ada sesuatu yang sakit didalam sini. Entah kenapa kalimat yang diucapkan dengan datar itu terasa menusuk.
"Oh, yaudah kalo gitu mah. Neng beresin sendiri aja," ucapku sambil masuk kedalam rumah.
Dengan kekuatan emosi yang melanda diri, aku kembali membereskan kekacauan untuk kesekian kalinya dalam hari ini. Rasa kesal membuat tenagaku bertambah berkali lipat. Aku mulai merasa keputusanku untuk menikah disaat belum lama mengenal mas Yandri dan keluarganya adalah pilihan keliru.
Sewaktu awal kenal, semua sikapnya bijaksana. Itulah kenapa aku bisa dengan mudah jatuh hati. Ternyata ia hanya sok bijaksana dipermukaan untuk memberikan citra baik. Jika sudah kenal dan masuk dalam lingkaran hidupnya, watak asli suamiku itu mulai terlihat satu persatu.
'Sama seperti aku yang mulai merasa menyesal mas, kamu pun belum tau bagaimana aku sebenarnya. Dan disaat kamu tau, aku jamin, penyesalanmu akan berlipat ganda karena sudah mempersuntingku. Aku adalah makmum, dan aku akan mengikuti imamku.'
"Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan proses pembelajaran seumur hidup. Aku tidak akan mudah menyerah. Aku akan merubah diri dan berusaha membawa orang-orang disekitarku berubah menuju jalan yang baik. Jika tidak berhasil, barulah aku akan mundur tanpa perlu menoleh lagi dan tanpa rasa menyesal karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa." - Neng Rere
***
"Neng, nih mas udah gajian. Ayok! Mau jalan kemana kita?" Sepulang kerja mas Yandri langsung menuju kamar menemuiku yang sedang memasukkan baju ke dalam lemari.
"Mau belanja bulanan mas, banyak yang udah abis. Ke supermarket yuk?" aku menyambut ajakan mas Yandri dengan gembira.
Keseharianku yang hanya dirumah dengan segala pekerjaannya membuat kegiatan rutin belanja bulanan sebagai cara untuk merefresing pikiran. Tidak perlu belanja berlebih, cukup melihat lampu dan jalanan saja aku sudah senang.
"Iya hayu, kamu siap-siap sana. Mas mau ke ibu dulu ngasi jatah bulanan." Mas Yandri keluar kamar mencari ibunya.
***
Aku tidak tau berapa pastinya gaji Mas Yandri. Selama ini ia selalu memberi jatah untuk belanja bulanan stok kebutuhan rumah setiap gajian. Setelahnya, setiap minggu aku diberikan uang sebesar 500 ribu untuk makan kami semua. Untuk kebutuhan listrik, galon, air, dll ia sendiri yang mengurus.
Pernah aku bertanya karena penasaran. Selain itu aku ingin ia terbuka padaku tentang penghasilannya. Namun jawaban yang waktu itu kuterima malah membuatku emosi.
"Kamu ngga ada hak buat tau gaji mas berapa neng. Yang penting cukup untuk sampai ke gajian lagi. Mas ga akan kasih kamu semua gaji mas karena mas punya kewajiban untuk membiayai ibu serta menyekolahkan Ana dan Lita."
Saat itu aku langsung berpikir cepat. Aku tidak mau dijatah seadanya dan harus pusing jika ternyata kurang. Jika dari awal dia sudah memulai aturan seperti itu, maka akupun memiliki aturanku sendiri.
"Oke mas kalo gitu. Neng tidak masalah. Tapi jangan lupa ya, uang untuk kebutuhan makan neng yang urus karena neng yang masak. Untuk stok bahan rumah tangga juga harus dibeli setiap bulan sekali. Untuk belanja makan silakan kalau mau dijatah tiap minggu atau tiap hari asalkan sesuai dengan daftar harga yang neng kasih. Jangan kaya di sinetron, ngasi 20 ribu minta makan daging. Kalo sampai kaya gitu, neng kasi daging tikus sekalian. Tuh di got banyak." Aku menjelaskan panjang lebar.
Untuk mencegah penolakan mas Yandri, aku sudah mempersiapkan daftar harga serta beberapa screenshot berita tentang harga bahan pokok yang semakin naik harganya. Benar perkiraanku, awalnya mas Yandri menolak dengan beralasan daftar harga yang kubuat terlalu besar. Aku kembali memaparkan satu persatu seolah sedang presentasi.
Dan setelah perdebatan kecil yang alot, kami menemui kata sepakat.
"Oh iya jangan lupa nafkah neng tiap bulan. Nafkah neng tidak termasuk uang makan ya mas. Karena mas kan tau kalau makan itu kewajiban mas. Neng minta satu juta untuk nafkah neng pribadi. Peruntukannya terserah neng mau digunakan untuk apa."
Mata mas Yandri mendelik tidak percaya.
"Satu juta neng? Banyak banget! Emang kamu mau beli apa tiap bulan dengan uang nafkah segitu? Mas harus ngasi juga ke ibu loh. Mas berkewajiban karena surga mas ada pada ibu." Nada suara mas Yandri mulai meninggi.
Aku menghembuskan nafas dan memasang wajah tanpa emosi. Astagfirullah! Rupanya sangat sulit untuk menahan emosi. Jika mengikuti adatku, mungkin sudah kutonjok mukanya.
"Mas, neng tiap bulan itu butuh beli barang-barang pribadi. Pembalut, makeup, skincare, dll. Mas gimana sih,? Ngajak nikah tapi kok ngga ngerti masalah nafkah!
Neng tau surga mas ada sama ibu, itu makanya mas harus berbakti, iya 'kan?" Tanyaku
Suamiku itu mengangguk pelan.
"Nah, kalau mas mementingkan untuk menggapai surga dengan memenuhi kewajiban pada ibu, jangan lupa, mas juga bisa masuk neraka jika mengabaikan kewajiban mas pada neng. Hidup itu menuntut keseimbangan yang wajar mas. Kalau surga mas ada pada ibu, maka neraka mas ada pada neng! Gitu kata pak ustad," ucapku tegas.
Karena ucapanku tersebut, kami kembali mencapai kata sepakat. Yihaaa! Inilah tujuanku. Intinya, dia bebas mempergunakan uang gajinya selama tidak menyalahi aturan agama dan juga kebutuhanku terpenuhi.
***
Kami bersiap dan keluar kamar saat ibu mertua menegur, "Mau kemana kalian?"
Mas Yandri menjelaskan jika kami akan belanja stok bulanan ke supermarket besar.
"Ga usah jauh-jauh, ke alfamart aja. Ntar si Rere banyak jajan," ucap ibu mertuaku.
Aku emosi mendengar perkataan ibu. Sampai tempat belanja saja dipersoalkan. Namun, jika aku membantah, yang ada aku akan kena semprot darinya dan mas Yandri tentu saja.
"Iyalah ga apa-apa ke alfamart aja mas. Disana juga neng bisa jajan banyak," sahutku sambil menepuk-nepuk tas slempangku.
Ibu mertua hanya menggelengkan kepalanya. Skak!
***
Sebenarnya ibu ratu mertuaku tidak sekejam mertua yang kutemui dalam sinetron. Cuma ya namanya manusia, terkadang suka nyinyir dan mencari-cari kesalahan. Ditambah lagi, mungkin dia takut kehilangan sosok anak laki-laki penopang hidupnya.
Kedua iparku pun sama, mereka terbiasa tidak mengerjakan pekerjaan rumah apapun dan mengikuti sikap ibu yang jutek. Dulu sebelum mas Yandri menikahiku, ibu yang mengerjakan semuanya. Alasannya karena kedua anak gadisnya itu cukup sibuk dengan studi mereka masing-masing.
"Besok teteh mau ngerendem baju setelah subuh. Kalau mau nitip, keluarin cepet. Kalo telat ga akan teteh cuciin." Aku bersuara pada kedua adik iparku saat kami sedang berkumpul di depan televisi.
"Apa sih neng, kamu kok ribut banget." Mas Yandri menegurku.
"Apa sih mas? Orang neng lagi ngasi tau Ana sama Lita. Kan neng yang bertanggung jawab nyuci disini. Ya ikut aturan neng dong. Kalo ngga mah ya nyuci sendiri aja." Aku menjawab santai.
Ibu mertua menoleh dengan muka jutek ke arahku.
"Kan emang kewajiban kamu nyuci baju, kamu kan menantu ya kamu dong masuk ke kamar mereka ngambil baju kotor!"
Aku menarik nafas 3 kali untuk meredam emosi yang semakin lama semakin sulit kukendalikan. Dengan nada yang kuusahakan datar, aku menjawab ibu mertua.
"Ibu paduka ratu yang ku sayang. Neng mana tau yang mana baju kotor mereka, kan neng bukan asisten pribadi mereka. Neng nyuci tiap pagi, tapi biasanya di jam 8 baju kotor tambahan itu baru pada keluar dari kamar Ana dan Lita. Ibu tau efeknya seperti apa?"
Ibu mertua menggeleng. Wajahnya masih saja jutek.
"Nih ya bu, kalau baju kotor mereka telat neng rendem, yang ada neng harus rendem ulang. Kasih air lagi, sabun lagi, pewangi lagi, ibu bisa memperkirakan bukan, berapa banyak air dan sabun serta pewangi tambahan yang neng pake. Makin banyak bu. Ibu aja sering nyuruh neng nyuci tanpa mesin cuci biar hemat listrik. Kalau gitu caranya mana bisa hemat air, sabun dan lain-lain?"
Sumpah demi Tuhan, aku berusaha keras berbicara dengan tenang dan seolah bercanda. Jika aku berbicara dengan nada keras mungkin yang ada kami akan bertengkar. Aku belajar untuk menyampaikan unek-unekku dengan tutur bicara yang halus. Ternyata sulit sekali pemirsa!
Ibu kembali menolehkan kepala ke televisi setelah sebelumnya berucap,
"Ana, Lita, denger 'kan kata teteh?" Perkataannya disambut anggukan kedua iparku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!