NovelToon NovelToon

Kisah Margaretha

01

Rumah kontrakan yang dulu ramai, kini terasa begitu sepi karena hanya dihuni oleh Margaretha. Meskipun terlihat biasa saja, tetapi jujur, gadis itu setiap hari selalu merasa kesepian. Tidak ada teman untuk sekedar mengobrol. Ya, meskipun mereka masih sering melakukan panggilan video.

"Nasib jomlo gini amat, yak!" des*h Margaretha saat duduk di depan televisi. Meskipun layar itu menyala, tetapi Margaretha justru sibuk memejamkan matanya. Baginya, acara televisi itu terlalu membosankan.

Ting!

Sebuah pesan masuk. Dengan bermalasan Margaretha mengambil ponsel yang tergeletak di dekat kakinya. Mendecakkan lidah saat melihat nama pengirim pesan tersebut. Lalu, dia pun turun dan berjalan untuk membuka pintu.

"Ngapain?" tanya Margaretha ketus saat melihat Andra berdiri di depan pintu.

"Ayo kita pergi," ajak Andra.

"Ke mana?" Margaretha menatap heran. Namun, Andra justru mendengkus kasar.

"Bisa tidak jangan banyak tanya. Tinggal iya gitu aja," ujar Andra. Margaretha memutar bola mata malas saat mendengarnya.

"Lu kebiasaan banget, suka maksa!"

Walaupun bibirnya menggerutu, tetapi Margaretha kembali masuk hanya untuk sekadar mematikan televisi, setelahnya dia keluar dan mengikuti Andra.

Motor yang dikendarai Andra membelah jalanan kota yang tampak sepi karena orang-orang masih sibuk bekerja. Selama dalam perjalanan mereka hanya saling diam. Tidak ada yang membuka suara sama sekali. Motor Andra berhenti di taman kota. Dia pun mengajak Margaretha untuk duduk di sana.

"Ndra. Emang kagak ada tempat yang lebih enak gitu? Restoran contohnya. Gue laper tahu!" protes Margaretha.

"Ngapain kita makan di restoran segala? Ingat, sekarang ini kita adalah pengangguran." Andra tersenyum sinis apalagi saat melihat bibir Margaretha yang terus menggerutu.

"Jangan diperjelas kali! Gue tuh laper!" Margaretha mengusap perutnya yang terasa lapar karena belum makan sejak pagi. Memindai sekitar taman untuk mencari pedagang apa yang sekiranya cocok mengganjal rasa laparnya. Senyum Margaretha mengembang saat melihat seorang penjual bakso keliling. Tanpa berbicara apa pun, dia segera berlari mendekat.

"Astaga, kenapa dia seperti anak kecil," cibir Andra. Tersenyum sendiri melihat Margaretha yang sedang memesan bakso tersebut. Awalnya Andra hanya terfokus pada Margaretha yang berdiri di samping penjual itu sembari menunggu. Namun, Andra tiba-tiba memfokuskan pandangannya ke arah lelaki yang tidak asing baginya. Kening Andra sampai mengerut dalam.

"****!!" umpat Andra. Melangkah lebar mendekati Margaretha yang saat ini sudah memegang sebungkus bakso di dalam plastik.

"Ngapain, Ndra? Lu mau?" tawar Margaretha. Namun, Andra menggeleng cepat. Mengajak Margaretha untuk segera pergi dari sana. Ekor mata Andra melirik lelaki penjual bakso yang sedang tersenyum licik.

"Aduh!" Andra pura-pura tersandung dan menabrak Margaretha hingga bakso yang dipegang gadis itu jatuh dan plastiknya pecah hingga isinya berhamburan. Margaretha menghentakkan kaki persis seperti anak kecil.

"Andra! Lu bisa hati-hati kagak, sih!" omel Margaretha.

"Aku tidak sengaja tersandung batu barusan." Andra beralasan.

"Ish! Gara-gara lu gue kagak jadi makan. Gue udah laper." Margaretha menggerutu kesal. Hendak berbalik, tetapi Andra langsung menahannya.

"Mau ke mana?" tanya Andra. Mencekal tangan Margaretha erat dan menatapnya penuh selidik.

"Mau beli lagi. Mumpung yang jual belum pergi." Margaretha berusaha melepaskan cekalan tangan Andra.

"Jangan. Kita beli seblak atau ke restoran aja. Yang lebih higienis." Andra menatap Margaretha dengan memohon. Awalnya Margaretha hendak menolak, tetapi melihat sorot mata Andra, gadis itu pun akhirnya menerima. Dia kembali berbalik dan mengikuti Andra.

Andra menaruh telapak tangan di belakang, dan menunjukkan jari tengah ke arah pedagang yang saat ini sedang memasang raut kesal.

Kamu pikir semudah itu? Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Margaretha.

***

Saat hari sudah mulai petang, Margaretha dan Andra baru saja pulang ke kontrakan. Margaretha menyuruh Andra untuk pergi, tetapi lelaki itu justru dengan santainya duduk di sofa ruang tamu.

"Kenapa lu kagak pulang, Ndra?" tanya Margaretha ketus.

"Aku mau tidur di sini. Mau pulang capek sekali." Andra merebahkan tubuhnya di sofa hingga membuat mata Margaretha membulat penuh.

"Lu yang bener aja! Kalau ketahuan warga bisa digrebek terus kita dinikahkan paksa, Ndra!" Suara Margaretha terdengar ketus.

"Biarkan saja. Aku ingin merasakan punya istri yang galak dan cerewet seperti kamu," celetuk Andra. Namun, lelaki itu mengaduh saat sandal Margaretha sudah mendarat di perutnya.

"Lu pikir gue mau nikah sama lu! Ogah!" Margaretha berjalan menghentak masuk ke kamarnya.

"Jangan gitu! Jangan sampai kamu ngejilat ludah sendiri!" teriak Andra sembari terkekeh. Dia yakin kalau Margaretha saat ini pasti sedang mengomel di kamarnya. Terbukti dari bunyi pintu kamar yang ditutup kencang.

"Arrggh! Hampir saja." Andra menghela napas lega saat teringat kejadian tadi. Untung dia memiliki penglihatan yang sangat jeli. Kalau tidak, mungkin saat ini Margaretha sudah berada di rumah sakit karena keracunan. "Jangan sampai aku kecolongan lagi."

Andra pun memejamkan mata dan berusaha untuk tidur. Tubuhnya sudah sangat lelah padahal dirinya sudah tidak lagi bekerja di restoran. Sejak Margaretha memutuskan untuk resign, dirinya pun menyusul meskipun mendapat penolakan keras dari Gatra, tetapi Andra tetap memaksa karena dia harus menjaga Margaretha secara penuh.

Ketika sedang tertidur sangat lelap, Andra terkejut saat mendengar teriakan Margaretha. Dia pun segera turun dan berlari ke kamar gadis itu. Mengetuk sembari memanggil namanya berkali-kali. Namun, tidak ada sahutan.

Andra berusaha membuka pintu secara paksa. Lalu berjalan masuk dan melihat Margaretha yang sedang duduk meringkuk di samping tempat tidur. Andra pun segera mendekatinya dengan penuh kekhawatiran.

"Kamu kenapa?" tanya Andra. Memegang kedua bahu Margaretha. Tubuh gadis itu pun terlihat gemetar hebat.

"Gu-gue takut." Suara Margaretha terbata bahkan bibirnya terlihat memucat.

"Kamu lihat sesuatu?" tanya Andra. Namun, tidak ada jawaban karena gadis itu justru menangis. Andra pun melihat sekitar dan tidak melihat apa pun di sana. Tidak ada yang mencurigakan sama sekali.

"Mama ... Papa ... Etha takut." Bibir Margaretha terlihat bergetar dan air mata sudah memenuhi wajahnya.

"Tenanglah. Ada aku di sini." Andra pun secara spontan memeluk Margaretha untuk menenangkan gadis itu.

😜😜😜

Hai Jumpa lagi dengan Othor Kalem Fenomenal.

Jangan lupa dukungan kalian selalu Othor tunggu 😘

Jangan lupa, klik Favorit agar tahu kalau sudah update. Like, komen, vote, hadiah juga jikalau berkenan 😘

terima kasih sebelumnya 🤗

02

Andra mengembuskan napas lega saat melihat Margaretha yang sudah kembali tertidur lelap. Yang membuat Andra sedari tadi tersenyum adalah Margaretha tertidur sembari menggenggam tangannya erat. Sangat susah dilepaskan. Padahal Andra sudah merasa cukup pegal karena berada dalam posisi yang sama lebih dari satu jam.

Dengan gerakan perlahan, Andra melepaskan tangan Margaretha. Lalu turun dengan gerakan hati-hati agar tidak membangunkan gadis itu. Persis seperti seorang ibu yang tidak ingin anaknya terbangun. Setelahnya, Andra berjalan mengendap keluar dari kamar tersebut.

Andra pun kembali duduk bersandar di sofa ruang tamu. Menghirup napas dalam dan mengembuskan secara perlahan. Dia pun mengambil ponsel miliknya dan membuka kunci layar. Tiba-tiba, rahang Andra mengetat saat melihat tampilan CCTV yang terpasang di tempat tersembunyi.

"Ternyata dia sudah tahu tempat tinggal Margaretha. Kurang ajar!" Andra mendes*hkan napas secara kasar untuk sedikit mengurangi emosi yang hampir menguasainya. Otaknya berpikir keras. Mencari cara di manakah tempat yang aman untuk Margaretha saat ini.

Ketika pikirannya sedang sedikit kacau, ponsel Andra berdering dan dengan segera dia menerima panggilan tersebut saat melihat nama Eldrick tertera di layar.

"Hallo, Yah."

"Ndra. Kenapa suaramu seperti orang terburu-buru?" tanya Eldrick heran.

"Yah, dia sudah tahu tempat tinggal Margaretha. Bahkan, dia barusan meneror Margaretha dengan menakutinya lewat kaca jendela kamar," terang Andra. Dia tidak mau berbicara basa-basi lagi.

"Kalau begitu. Kita harus bergerak cepat. Bagaimana kalau kalian tinggal di sini saja? Ayah tidak mau terjadi apa-apa dengan nona muda." Suara Eldrick terdengar penuh kekhawatiran.

"Tidak!" tolak Andra cepat. "Aku tidak mau kalau sampai mereka tahu Ayah masih hidup. Aku tidak mau Ayah terluka," imbuhnya.

"Tapi, Ndra ...."

"Sudahlah, Yah. Nanti biar aku pikirkan kalau sudah tenang. Sekarang aku mau tidur."

"Kalau begitu, selamat tidur. Jangan lupa jaga diri kalian baik-baik dan selalu kabari Ayah kalau ada apa-apa," nasehat Eldrick.

"Baik, Yah. Selamat istirahat."

Panggilan itu pun terputus. Setelahnya Andra memejamkan mata dan berusaha tertidur meskipun pikirannya seperti sedang perang.

***

Plak!

Bug!

Seorang lelaki berbadan kekar jatuh tersungkur karena mendapat tamparan dan pukulan di tubuhnya. Dengan gerakan cepat dia segera bangun sebelum mendapatkan pukulan lagi.

"Bodoh! Kalian benar-benar bodoh! Menghabisi satu gadis aja tidak becus!" umpat lelaki bertopi koboi dengan luka codet di pipinya.

"Maaf, Bos. Tapi gadis itu memiliki penjaga yang sangat jeli." Lelaki yang barusan tersungkur itu menjawab.

"Penjaga? Siapa?" tanya lelaki bertopi tadi.

"Saya belum tahu, Bos," jawabnya ketakutan. Dia mundur beberapa langkah agar bisa menghindar jika mendapat serangan tiba-tiba dari bosnya.

"Bodoh!" umpatnya lagi. Tangannya naik hendak menampar lagi, tetapi gerakannya terhenti saat seseorang memanggilnya dari ambang pintu.

"Bos Janu."

Lelaki bertopi itu menoleh. Menatap anak buah yang sedang berjalan mendekat dengan tergesa. Tatapannya begitu menyelidik hingga membuat anak buahnya sedikit beringsut.

"Bos, semalam aku sudah mendatangi rumah gadis itu. Ternyata anjing penjaganya berada di sana," ucap anak buah yang bernama Wibisono itu.

"Anjing penjaga?" Kening Janu mengerut dalam.

"Ya, lelaki yang selalu bersama gadis itu," terang Wibisono mulai terlihat tenang.

"Jangan bilang kamu juga gagal, Bison!" Suara Janu menggelegar di ruangan itu.

"Kurang lebih begitu, Bos. Tapi aku akan berusaha lagi," ucap Wibisono, tersenyum seolah tidak berdosa. Janu mendengkus kasar, anak buahnya yang satu ini memang tergolong sengklek jika sedang biasa. Akan tetapi, di suasana genting dia bisa saja berubah menjadi manusia yang menyeramkan dan paling kejam di antara seluruh anak buah Janu.

"Kupegang ucapanmu! Kalau sampai kamu gagal menghancurkan gadis itu maka aku tidak akan segan-segan memotong lehermu!"

"Astaga." Wibisono memegang lehernya sembari bergidik ngeri. Membayangkan lehernya benar-benar dipotong oleh Janu. Melihat tingkah Wibisono, Janu justru berdecih kesal. Lelaki itu benar-benar pintar bersandiwara.

"Kalau begitu, apa pun caranya kalian harus bisa membawa gadis itu ke hadapanku baik dalam keadaan hidup ataupun tidak!" perintah Janu.

"Bos, kenapa sih tidak sejak dulu aja, bunuh gadis itu. Kenapa bos justru melepaskan dia," protes Wibisono menghentikan gerakan kaki Janu yang hendak melangkah ke kamar. Janu berbalik dan menatap tajam ke arah anak buah kurang ajarnya itu.

"Kamu pikir aku tega menyakiti dia? Ingat, Bison! Aku juga punya seorang putri!" timpal Janu tegas.

"Lalu kenapa sekarang Bos ingin menghabisi dia?" Pertanyaan Wibisono berhasil menyudutkan Janu.

"Bisakah mulutmu jangan terlalu kurang ajar? Jika terus saja berisik maka aku tidak akan segan-segan mengurungmu di gudang yang penuh kecoak!" ancam Janu. Kali ini Wibisono benar-benar bergidik ngeri. Dibalik sikap kejamnya, dia paling takut dengan kecoak. Hewan yang sangat menjijikkan menurutnya.

Setelah Wibisono benar-benar diam, Janu pun kembali melangkah ke kamar dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Janu berdiri di depan kaca besar yang terletak di sana. Menatap pantulan wajahnya. Tiba-tiba rahangnya terkepal erat dan memukul kaca itu hingga pecah.

"Arrggh!! Sampai kapan pun aku akan membencimu meski kamu sudah mati di tanganku, Anjani! Dan tunggu saja setelah ini putrimu dengan Affandra si pengkhianat itu akan menyusul kalian. Hahaha." Janu tergelak keras, seperti orang gila. Bahkan, tangannya yang terluka pun tidak dia rasakan sama sekali.

"Hallo," sapa Janu saat baru keluar kamar mandi dan mendengar ponselnya berdering.

"Papa kenapa belum ke sini?" Suara dari seberang telepon berhasil membuat amarah Janu sirna.

"Papa baru selesai mandi, Sayang. Setelah ini Papa akan ke rumah sakit. Tunggu sebentar ya." Suara Janu terdengar sangat lembut. Berbeda jauh saat berbicara dengan anak buahnya tadi.

"Baiklah. Kalau sampai Papa terlambat satu menit saja. Maka Papa harus mendapat hukuman," rajuknya. Janu pun tergelak dan mengiyakan. Setelahnya panggilan itu pun terputus begitu saja.

"Dasar anak manja," gumam Janu. Bibir lelaki itu tersenyum getir saat menatap foto putrinya yang memenuhi layar ponselnya.

03

Margaretha yang sudah bangun, segera keluar kamar untuk membangunkan Andra. Namun, dia terheran saat melihat Andra yang sudah berdandan rapi dan bersiap untuk pergi.

"Lu mau ke mana, Ndra?" tanya Margaretha.

"Aku ada urusan. Kamu jangan pergi-pergi." Andra menatap Margaretha tajam seolah memberi peringatan. Margaretha yang melihat itu pun hanya mengangguk mengiyakan. Jika dilayani, yang ada dirinya akan berdebat dengan lelaki itu.

Setelah memastikan Margaretha aman, Andra pun bergegas pergi. Meninggalkan Margaretha sendirian. Ketika bayangan Andra telah lenyap, Margaretha pun segera menutup pintu rapat. Lagi dan lagi dirinya harus merasakan kesepian. Margaretha berusaha mengirim pesan di grup, siapa tahu ada yang bisa menemaninya, tetapi sampai sepuluh menit lebih, tidak ada satu pun balasan.

"Pasti mereka lagi sibuk sama suami masing-masing. Hah!" Margaretha mengembuskan napas secara kasar. Tidur telentang dan menatap langit-langit kamar. Tanpa terasa, air mata Margaretha mengalir saat teringat kepergian kedua orang tuanya. Margaretha benar-benar rindu dengan mereka. Namun, saat ini yang bisa Margaretha jadikan pengobat rindu hanyalah doa-doa.

Margaretha terkejut saat ponselnya tiba-tiba berdering. Keningnya mengerut dalam saat melihat nomor asing sedang memanggil saat ini. Sadar atau tidak, jantung Margaretha berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Margaretha ragu saat hendak menerima panggilan tersebut. Dia pun hanya mendiamkannya sampai panggilan tersebut mati dengan sendirinya. Namun, seolah tanpa lelah ponselnya terus saja berdering hingga membuat Margaretha mencebik kesal. Dia pun mematikan ponselnya.

"Orang kagak jelas banget!" umpat Margaretha. Menaruh ponselnya secara sembarang.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu, Margaretha beranjak bangkit dan membuka lemari pakaian miliknya. Senyumnya merekah saat menyentuh sebuah foto yang terletak di tumpukan baju paling bawah. Margaretha pun segera mengambil foto tersebut. Meniup debu yang mungkin saja menempel di sana. Lalu, dia kembali merebahkan diri dan menatap foto tersebut lekat.

Di foto tersebut terlihat jelas gambar mama dan papanya. Foto yang sangat mesra meskipun semua kini tinggal kenangan. Margaretha membalik foto tersebut. Membaca tulisan yang tertulis di sana meskipun mulai terlihat memudar.

Jika harus memilih antara napas dan cinta. Maka aku akan memilih napas terakhir untuk mengatakan kalau 'Aku Cinta Padamu'

_Faisal Affandra & Gelista Anjani_

"Romantis sekali papa dan mama. Mereka benar-benar menghabiskan napas bersama." Margaretha mengusap perlahan foto tersebut.

Margaretha Adzakia Affandra adalah nama asli gadis itu. Affandra adalah nama belakang sang papa yang juga menjadi nama belakangnya. Namun, sejak kematian kedua orang tuanya, Margaretha memilih untuk menghapus nama Affandra dari belakang namanya karena tidak ingin siapa pun tahu. Dia tidak ingin orang lain mengetahui kalau dirinya adalah keturunan Affandra.

Jika teringat masa kecilnya, Margaretha tiba-tiba terisak cukup kencang. Segala kenangan bersama orang tuanya kembali terngiang hingga membuat rasa rindu makin menggebu. Margaretha mendekap foto tersebut erat agar rindu itu bisa terobati.

Tiba-tiba tangisan Margaretha mereda saat dia mendengar pintu yang diketuk cukup keras. Namun, tidak ada suara apa pun. Hanya ketukan pintu yang terdengar tiga kali. Dengan langkah ragu, Margaretha turun dari tempat tidur dan berjalan perlahan untuk membuka pintu.

Setibanya di ruang tamu, Margaretha tidak langsung menjawab. Dia mengintip dari balik jendela. Namun, anehnya tidak ada siapa pun di sana. Yang ada hanya sebuah kardus yang terbungkus plastik hitam. Persis seperti paketan belanja online. Padahal Margaretha merasa tidak memesan apa pun. Dia merasa takut untuk mengambilnya, tetapi juga penasaran.

"Gue telepon Andra aja, deh. Kali aja isinya bom biar kita bisa meledak sama-sama nanti," celetuk Margaretha. Kembali masuk ke kamar dan mengambil ponselnya. Sembari menunggu ponsel yang baru dihidupkan, Margaretha terus saja menggerutu. Mengumpati dirinya kenapa juga mematikan ponsel tersebut.

"Kenapa kagak diangkat?" gumam Margaretha saat tiga kali mencoba menghubungi Andra, tetapi tidak ada satu pun panggilannya yang terhubung. Margaretha kembali kesal dan menaruh ponselnya secara kasar.

"Apa ya isi paketnya." Margaretha benar-benar penasaran. Dengan memberanikan diri, dia pun keluar dan mengambil paket tersebut lalu membawanya masuk. Menaruh di meja dan menatapnya lekat. Tidak ada nama pengirim atau penerima di sana. Hanya secarik kertas dengan tulisan 'Bukalah! Ini kado spesial untukmu' yang membuat jiwa penasaran Margaretha meronta-ronta.

"Gue takut, tapi juga penasaran." Margaretha mendecakkan lidah. "Buka aja lah, siapa tahu isinya kupon berhadiah mobil atau cowok ganteng." Margaretha terkekeh dengan pemikirannya sendiri.

Dia pun segera membukanya dengan hati-hati. Setelah plastiknya terlepas, jantung Margaretha berdebar-debar saat hendak melihat isinya. Margaretha memejamkan mata saat membuka kardus tersebut. Namun, Margaretha berteriak saat membuka mata dan melihat isi paket tersebut. Tubuhnya gemetar hebat saat melihat isi paket yang tercecer di lantai. Sebuah boneka bayi yang sudah dirusak wajahnya dan dipenuhi dengan darah. Bukan cat merah karena Margaretha bisa mencium aroma anyir yang menguar di sana. Juga pisau yang sama-sama sudah berwarna merah.

Brak!

Margaretha terkejut saat pintu dibuka kencang. Setelah melihat siapa yang masuk, Margaretha segera berdiri dan memeluk lelaki itu erat. Menangis kencang di dada bidangnya.

"Gue takut." Suara Margaretha terdengar parau karena menangis.

"Tenanglah. Aku sudah ada di sini."

🤪🤪🤪🤪

Thor! Oe!

Affandra tuh siapa? Andra kah? Atau siapa?

Jadi, Affandra adalah nama papanya Margaretha. Sepertinya Othor salah nyari nama jadi ada kemiripan sampai ada yang mengira Affandra adalah Andra. Biar tidak ada kekeliruan, nanti papa Margaretha Othor sebut sebagai Faisal aja ya.

Mohon maaf sebelumnya 🙏

Nanti Othor revisi bab sebelumnya 😁

Jadi gimana? Masih mau lanjut enggak nih?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!