"Mas, uang buat daftar sekolah Alif sudah ada?" tanyaku seraya mengambilkan sarapan untuknya.
"Waktu daftar masih ada seminggu lagi kan? Lusa paling lambat ya."
Baru saja hendak mengambil sarapan untuk diriku sendiri. Anak bungsuku terdengar sedang menangis. Aku segera menghampirinya yang sedang bermain di teras bersama kakak keduanya.
"Kenapa sayang? Jatuh ya? Cup cup udah nggak apa-apa. Kak Agil ayo masuk sayang, sarapan sama ayah ya. Ibu mau kasih susu buat adik Anin dulu."
Tangan kiriku menggendong anak bungsuku yang masih berusia satu tahun. Sedang aktif-aktifnya berjalan dan membuat rusuh rumah. Sedangkan tangan kanan ku menggandeng anak kedua ku yang berusia tiga tahun. Dari ketiga saudaranya anak kedua ku ini yang paling tak bisa lepas dari ku. Apa-apa harus ibu.
"Mas, tolong kamu suapi Agil sekalian ya. Anin aku kasih susu dulu."
Tanpa mendengar jawaban dari suamiku aku berjalan ke kamar, berniat menyusui anakku. Namun, langkahku terhenti karena ucapan suamiku.
"Aku buru-buru dek. Udah telat ini, suruh Alif atau kamu nyuapin sambil menyusui kan bisa. Aku berangkat dulu ya." Mas Anang berjalan menghampiri ku dan mencium puncak kepala ku. Kebiasaan rutin yang selalu dia lakukan sejak kami menjadi pengantin baru. Setelah memberikan ciuman padaku, dia memberikan ciuman juga pada ketiga anaknya. Lalu pergi begitu saja. Ah sudahlah, setiap hari kan emang begini. Aku yang lelah sendiri dengan pekerjaan rumah dan anak yang tak ada habisnya.
Aku segera duduk di meja makan dan menyusui anakku. Sedangkan ragil aku dudukkan di salah satu kursi yang tak jauh dariku. Ya, aku menyusui serta menyuapi anak kedua ku. Untunglah, Alif anak sulung ku sudah sedikit mandiri di usianya yang baru lima tahun.
"Bu, Alif mau main boleh?"
"Boleh sayang. Jangan bertengkar ya. Kak Alif sebentar lagi mau masuk sekolah TK. Jadi harus mengurangi bertengkar ya, biar nanti kebiasaan buruknya nggak di bawa ke sekolah. Nanti di marahin sama bu guru."
Aku selalu mendiktekan anakku untuk tidak mulai pertengkaran atau melakukan pemaksaan kehendaknya. Namun, lain urusannya jika dia tak melakukan kesalahan dan temannya yang memulai duluan. Hal ini aku terapkan pada ketiga anakku nantinya.
"Iya bu. Aku nggak akan bertengkar dan merebut mainan yang tidak di pinjamkan."
Aku mengangguk tersenyum dan anakku langsung melesat keluar rumah. Sekarang giliran ku fokus dengan anak kedua dan bungsuku.
Dengan tiga orang anak yang masih kecil dan kebutuhan serba mahal, aku diberi nafkah lima puluh ribu per minggu, kadang juga lebih jika suamiku ada bonus dari perusahaan.
Bukannya aku ingin mengeluh, tapi di zaman yang apa-apa mahal seperti ini uang lima puluh ribu tidak bisa digunakan hingga satu minggu. Belum lagi anak-anak ketika melihat jajanan yang melewati depan rumah.
Aku yang terbiasa mengantongi uang lebih dalam sakuku, memutar otak bagaimana caranya menyambung hidup untuk kami semua. Jujur saja, jika aku tak berjualan mungkin aku sudah banyak hutang dimana mana.
Aku berjualan aneka sosis dan camilan frozen yang di goreng. Alhamdulillah, meskipun tidak untung banyak aku bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan uang pribadi ku itu. Aku juga bisa menuruti permintaan anakku yang tak terlalu mahal.
Untungnya rumah ku ini letaknya strategis, bangunan ini terletak di tengah-tengah sekolah playgroup dan Tk lalu juga dekat dengan mushola. Itu sebabnya jualan ku laris karena lingkungan ku ini sejak pagi hingga sore banyak anak-anak yang sekolah dan mengaji.
Aku belum bisa menabung hingga usia pernikahan yang ke enam tahun ini. Untuk bisa makan saja aku harus membanting tulang dan pandai-pandainya aku memutar uang.
Suamiku memberiku nafkah llima puluh ribu bukan tanpa alasan. Gajinya yang seharusnya cukup untuk kami sekeluarga, harus aku relakan untuk berbagi pada ibu mertuaku juga. Ya, ibu mertuaku ini seorang janda dan punya anak yang masih kuliah. Rumah kami hanya berjarak dua rumah saja.
Suamiku akhirnya dituntut ibunya untuk menguliahkan adiknya hingga selesai. Sebagai ganti ayahnya yang telah tiada, begitulah kata-kata yang selalu ibu mertuaku sematkan untuk anak sulungnya. Untuk kebutuhan sehari-hari pun suamiku yang menanggung.
Sebagai seorang istri, salahkah aku jika aku memprotes apa yang jadi keputusan ibu? Biar bagaimanapun, mas Anang juga menanggung hidupku, tidak seharusnya semua beban di limpahkan pada mas Anang.
"Nggak apa-apa dek. Jangan gitu, kamu kan tahu ibu sudah tua, bagaimana caranya ibu bekerja mencari uang sendiri? Siapa yang ngasih dia uang kalau nggak aku?"
"Ya kan Fadil sudah dewasa mas, dia bisa kuliah sambil kerja."
"Ya jangan, nanti nggak bisa fokus dan nggak lulus-lulus dia. Nanti dia kecapean gimana? Sakit malah tambah runyam kan."
Sekali aku mengutarakan pendapat dan tidak diindahkan maka aku tak akan pernah lagi protes atau membahas hal itu untuk kedua kalinya. Karena percuma saja, bicara dengan mas Anang yang keras kepala begitu pasti ujung-ujungnya pertengkaran jika aku tak mengalah. Dan aku adalah tipikal orang yang tak mau berdebat atau bertengkar dengan masalah sepele.
"Kak Agil mainan dulu sama adek Anin ya. Mainnya di depan TV aja. Adiknya di jaga ya, ibu mau jemur baju dulu sebentar."
"Yu," panggil ibu mertuaku.
"Iya bu."
"Kamu ada telur nggak?" tanya ibu seraya membuka kulkas di dapur.
Untuk apa bertanya jika se lancang itu buka kulkas tanpa ijin.
"Telur kamu masih banyak, minta ya buat ibu masak balado."
Ibu mengambil beberapa butir telur tanpa menunggu jawaban dariku.
"Bu, jangan banyak-banyak. Itu kan buat persediaan kalau kebutuhan sehari-hari di kulkas udah habis. Ibu kan juga di beri uang sama mas Anang." Entah sudah ke berapa kali aku memohon seperti ini. Mungkin sudah ribuan kali terhitung sejak aku dan mas Anang menikah.
"Kamu ini nggak bosen-bosennya larang ibu buat minta sesuatu. Lagian kan kamu ada penghasilan juga dari jualan jajan. Uang ibu nggak seberapa juga yang di kasih Anang. Uang nggak seberapa aja di ungkit-ungkit."
"Jelas mas Anang ngasih uang lebih banyak ke ibu. Aku hanya diberi lima puluh ribu per minggu bu. Kalau tidak jualan aku dan anak-anak nggak akan makan. Lagian hasil jualan aku berapa sih bu. Belum juga jajan anak-anak."
"Lagian siapa suruh buat anak banyak-banyak. Ekonomi belum mapan, hamil-hamil terus."
"Apa aku bisa hamil sendiri tanpa campur tangan mas Anang bu? Apa dengan aku bermain solo aku bisa hamil?"
Sungguh geram sekali aku pada ibu mertuaku ini. Bukannya aku durhaka padanya. Tapi aku sudah bosan jika beliau selalu saja meminta bahan persediaan rumah.
Aku sudah mengadukan ini pada mas Anang. Tapi kalian tahu jawabannya apa? Dia masih saja membela ibunya. Bahkan ketika aku melawan seperti ini, pasti nanti ibu akan mengadu pada mas Anang dan aku ujung-ujungnya di nasihati olehnya.
"Kamu jangan pelit-pelit sama ibu dek. Biarin aja ibu ambil apapun dari rumah. Toh kita masih bsa makan pakai bahan yang lain. Aku mau kok makan apapun yang tersedia di meja kamu. Meskipun sama sambel dan krupuk doang. Tetap aku makan."
"Kita bisa makan apapun bahkan kalaupun kita nggak makan nggak jadi soal mas. Tapi anak-anak kita, aku sedia bahan makanan banyak biar cukup buat seminggu dan biar kita bisa makan yang bergizi."
"Ibu kan hanya minta sesekali dek. Nggak tiap hari. Udah ya, nanti cantiknya ilang kalau marah-marah terus."
Selalu begitu jika aku mengadu mengenai perihal sikap ibu saat tak ada mas Anang di rumah.
Pekerjaan ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang tak pernah dipandang oleh sebagian besar orang, terutama oleh pria. Mereka selalu menganggap bahwa kami adalah pengangguran. Pekerjaan yang tak ada habisnya dari pagi hingga bertemu pagi lagi.
Dengan tiga orang anak yang masih kecil seperti aku, bukan pekerjaan yang mudah jika harus mengerjakan semuanya seorang diri. Hal itu selalu di protes oleh mas Anang saat pulang kerja dan mendapati rumah yang di penuhi mainan berserakan, tumpukan baju yang belum aku setrika, atau cucian piring yang masih menggunung di dapur.
"Kerjaan kamu di rumah ngapain sih dek, masak setiap aku pulang ada aja yang belum beres?" Protes mas Anang saat aku baru saja melahirkan si bungsu, Anin.
"Mas, aku apa-apa ngerjain sendiri. Anak kita ada tiga mas, mungkin aku bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan cepat tapi anak kita nggak keurus. Aku harus bagi waktu dengan ketiga anak kita dan kerjaan rumah. Itu nggak gampang mas. Belum lagi anak kita si bungsu, di usianya yang segitu dia lagi banyak-banyaknya butuh asi," jawabku dengan lembut.
Sumpah Demi apapun yang ada di dunia ini beserta isinya, aku selalu bicara lembut pada mas Anang meskipun aku sedang marah dan kesal padanya seperti sekarang ini. Aku menghargainya sebagai suami dan juga surgaku. Meskipun dia tak pernah melihat betapa susah dan riweh nya aku mengurus tiga anak sendirian.
"Kamu kalau anak-anak tidur semua juga ikut tidur kan? Mangkanya kerjaan rumah nggak pernah beres."
"Astaghfirullah mas, bagaimana bisa aku tidur siang kalau jam tidur Alif sama Agil aja beda. Kamu kan tahu sendiri kalau kamu libur kerja, jam tidur mereka beda. Kenapa kamu masih tanya mas?"
Hari-hari ku selalu saja di penuhi dengan aksi dan kata pembelaan untuk diriku sendiri. Sekekeh apapun aku menjelaskan, mas Anang tak akan pernah bisa mengerti sebelum dia bersedia bertukar tempat dengan ku.
Hari-hari ku tak mudah setelah menjadi istri mas Anang. Jika dahulu aku bisa memanjakan diriku ke salon, maka tidak untuk enam tahun belakangan ini. Sejak menikah, aku diminta berhenti bekerja oleh mas Anang. Aku iyakan saja, karena jujur aku senang mas Anang melarangku bekerja. Itu artinya dia sayang padaku, dan dia pun mengatakan akan memenuhi seluruh kebutuhan termasuk ke salon untuk merawat diri.
Namun, semua berubah saat satu tahun usia pernikahan kami. Ayah mertuaku meninggal dunia, dan dengan entengnya, ibu mertuaku mengatakan bahwa kehidupan dirinya dan juga anak bungsunya di tanggung oleh mas Anang selaku anak sulung.
Padahal ibu tahu bahwa mas Anang masih menjadi karyawan biasa dengan pendapatan yang cukup untuk kami bertiga, kala itu anakku masih satu. Sempat aku layangkan keberatan ku kala itu.
"Bu. Kan masih ada Galuh, dia lebih sukses dari mas Anang, dia punya usaha di kota besar. Maskudku, tidak seharusnya ibu menumpahkan segala tanggung jawab ke mas Anang. Bukannya apa-apa bu, tapi alangkah baiknya kalau Galuh juga diikutsertakan dalam menanggung biaya hidup dan kuliah Fadil. Kalau mas Anang semuanya, jelas itu keberatan untuk mas Anang bu."
"Kok kamu jadi atur saya. Galuh punya dua anak yang masih kecil Yu. Kehidupan di kota mahal, lagipula Anang kan anak sulung. Dia yang jadi pengganti ayahnya. Bilang aja kalau yang keberatan itu kamu. Pakai bawa-bawa anak saya. Ibu yakin Anang bersedia kok nanggung hidup kami juga. Iya kan Nang?"
Suamiku hanya mengangguk kala itu. Meskipun aku tahu dia keberatan, tapi mungkin saja dia tak ada pilihan. Karena keras kepalanya ibu yang tak ada obat hingga sekarang.
Dan apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Hidupku jadi pontang panting karena perekonomian kami yang jadi berkurang. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berjualan karena yang yang diberikan mas Anang tidak lagi cukup seperti dahulu. Tentu saja itu terjadi karena anggota keluarga kami yang bertambah.
"Dek ini uang buat bayar daftar sekolah Alif ya. Ini aku ambil dari jatah ibu dan Galuh. Jadi sebulan kedepan aku hanya bisa kasih kamu separuh dari biasanya ya," kata suamiku dengan entengnya.
"Ya Allah mas, kamu hanya kasih aku dua ratus ribu perbulannya. Itu aja aku harus tambah pakai uang pribadi aku dari jualan. Terus kamu bulan depan mau kasih seratus ribu aja? Mas, pikirin kita juga dong mas. Kalau kamu kurangi jatah aku, gimana caranya aku nambahinnya mas."
"Ya dari jualan kamu dek. Pasti bisa kok. Hanya sebulan aja."
Aku diam, rasanya tak perlu lagi menjawab apa yang diucapkan suamiku. Rasanya sangat sulit untuk membuka logikanya bahwa aku ini harus jungkir balik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Aku tidur dengan membelakangi suamiku, karena mataku sudah berembun dan tak dapat ditahan lagi agar tak menetes. Aku sangat nelangsa dengan kehidupan yang akun jalani. Aku tetap harus banting tulang agar kebutuhan ku tercukupi. Dan mas Anang sekaan buta dengan apa yang aku lakukan. Di masih saja membela ibunya yang hanya benalu buatku.
Bukannya aku kurang ajar, tapi apa yang beliau lakukan sangatlah tidak adil bagiku. Ah sudahlah, tidak ada habisnya jika aku memikirkan beliau. Lebih baik aku memilih bagaimana caranya agar aku bisa memperbanyak uang, agar aku tak bingung saat anak-anak ku sudah sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Saat Alif baru masuk TK saja jatahku di kurangi. Bagaimana kalau nanti masuk SD?
*
Hari ini aku akan ke sekolah untuk mendaftarkan anakku menjadi murid di TK. Untunglah jarak rumah dan sekolah sangat dekat, jadi tak perlu tambahan biaya. Cukup dengan berjalan kaki saja sudah sampai.
Aku mengajak serta kedua adik Alif, karena memang tak ada yang bisa aku mintai bantuan untuk menjaga mereka atau salah satu dari mereka. Rumahku memang dekat dengan ibu mertuaku, tapi sayangnya beliau tak terlalu sayang atau peduli dengan anak-anakku. Yang beliau sayangi hanya cucu dari Galuh.
Ya, hanya karena aku yatim piatu dan tak punya apa-apa, ibu mertuaku memandang rendah diriku. Berbeda dengan istri Galuh yang berasal dari kota, kaya raya dan lebih segalanya dariku.
Jika kalian bertanya bagaimana bisa aku menikah dengan mas Anang sementara ibuya tak suka padaku. Jawabannya adalah karena dahulu mas Anang sangat mencintai ku, bertahun-tahun lamanya mas Anang mempertahankan aku dan berusaha untuk meluluhkan hati ibunya. Dan usaha mas Anang tak sia-sia, meskipun dengan terpaksa, kedua mertuaku akhirnya mengizinkan kami menikah.
"Permisi mbak maaf, ini saya harus kemana ya kalau mau daftar?" tanya seorang wanita yang belum pernah aku jumpai selama enam tahun aku tunggal di ujung kota ini.
"Oh masuk sini aja mbak, saya juga baru selesai daftar kok. Mbak orang baru kah di sini?" tanyaku penasaran.
"Iya mbak. Saya tinggal di kontrakan ujung sana. Kebetulan suami dipindah tugaskan ke sini," balas wanita itu dengan menunjukkan arah rumah yang sudah lama kosong.
"Oh gitu, kenalin saya Ayu. Rumah saya di depan sana, yang halaman luas dan ada etalase jualan." Tak lupa aku menyodorkan tangan untuk berkenalan.
"Saya Risa. Senang bisa kenalan dengan mbak."
Aku tersenyum dan pamit pulang telebih dahulu, karena urusan ku selesai dan aku harus mengurus rumah yang masih acak adut.
Aku mengerjakan pekerjaan rumah dengan berpikir bagaimana caraku untuk mendapatkan penghasilan lebih. Kebutuhan semakin mahal, di tambah lagi Alif sudah sekolah, pasti akan perlu banyak biaya. Aku tidak bisa mengandalkan uang dari mas Anang dan juga uang dari jualan ku saja. Aku khawatir jika suatu saat nanti ada kebutuhan mendesak dan aku tak ada tabungan. Hutang adalah bukan pilihan terbaik, karena pasti akan berujung pada jatah bulanan ku yang berkurang.
"Yu." Di saat aku sedang sibuk dengan tumpukan pakaian yang belum tersetrika aku mendengar ibu mertua ku yang berteriak dari teras.
Sudah menjadi kebiasaannya berteriak memanggil namaku. Dan sudah dipastikan beliau ke rumah ku hanya untuk meminta sesuatu.
Aku terus melanjutkan kegiatan ku tanpa menoleh apa lagi menjawab teriakan beliau.
"Ibu minta nasi ya buat makan Fadil. Beras ibu habis, tapi tadi udah nitip beras ke suami kamu kok." Seperti biasa, ibu meminta izin terlebih dahulu namun, tangannya terus bergerak mengambil nasi dan piring meskipun permintaannya itu belum aku iyakan.
"Nggak sekalian lauknya bu?" Aku sengaja menawari bermaksud untuk menyindir. Tapi sepertinya sindiran ku mental di telinga beliau.
"Emang kamu masak apa?" tanya ibu dengan membuka tutup meja makan ku.
Aku hanya menoleh tanpa menjawab. Entah kenapa ibu mertua ku ini seakan mukanya sudah sangat tebal. Beliau sama sekali tak punya malu, sering meminta apa yang aku punya namun, jika aku butuh sesuatu beliau seakan tutup mata, mulut dan telinga. Jangankan aku, anakku saja tak pernah beliau sentuh. Dari anakku Alif hingga Anin, beliau sama sekali tak pernah menggendong mereka.
"Kamu nggak bosen apa tiap hari masak sayur? Sekali kali masak ayam nggak apa-apa kali, Yu. Buat nyenengin anak sama suami kamu."
"Ibu lupa atau perlu aku ingatkan? Bagaimana bisa aku masak ayam atau masak enak kalau pendapatan mas Anang saja harus dibagi juga sama ibu. Memang ibu bisa kalau dikasih uang dua ratus ribu per bulannya masak ayam? Kalau buat aku yang penting anak-anak bisa makan bu, suami aku juga nggak pernah protes aku sering masak sayur yang sederhana. Yang aku masak bukan sampah, ada gizinya kok bu. Mungkin mas Anang juga sadar diri nggak minta makan yang enak-enak karena ngasih uang yang nggak seberapa." Aku menjawab dengan nada yang halus dan lembut.
Seperti yang sudah aku bilang di awal. Aku selalu menghormati suami dan juga ibu mertuaku. Biar bagaimana pun mereka adalah orang yang bersedia menanggung hidupku. Sekali lagi aku tekankan, aku tidak bermaksud kurang ajar dengan beliau. Aku hanya manusia biasa yang punya titik dimana aku merasa lelah dan bosan dengan tingkah ibu.
Aku tidak peduli dengan apa yang di pikirkan oleh ibu mertua ku. Jujur saja aku sudah muak dengan semua ini. Selalu saja mengalah dan selalu dipersalahkan. Aku menghormati beliau bukan berarti aku harus terus mengalah dan diam. Sudah cukup selama hampir tujuh tahun pernikahan aku diinjak seperti ini. Aku perlu menyuarakan apa yang menjadi beban hidup dan hatiku. Kalau tidak begitu aku bisa menjadi daftar orang baru yang mengisi ranjang rumah sakit jiwa.
"Ya ampun Yu, harusnya Kamu bersyukur punya suami seperti Anang. Dia tidak pernah nuntut kamu ini itu. Lihat penampilan kamu sama ibu-ibu yang lain. Masih untung kamu dapat anak ibu. Bukannya kamu selalu mengeluh dengan apa yang diberi Anang." Entah aku yang salah dengar atau mulut ibu mertua ku tercinta yang memang harus dipukul dengan parutan kelapa.
"Aku sangat bersyukur bu punya mas Anang, kalau aku nggak besyukur kan aku nggak mungkin masih ada di sini. Ibu ini ada-ada aja. Dan untuk penampilan aku yang kalah jauh sama tetangga kita, ya itu jelas lah bu. Ibu-ibu muda lainnya diberi uang lebih suaminya untuk merawat diri, ke salon, liburan, me time. Mereka juga nggak ngurus anak sendirian. Ibu-ibu mereka bantu bu, entah hanya menggendong ketika ibunya sedang dandan atau sedang belanja. Apakah hidup aku seperti itu bu? Aku juga bisa seperti mereka kalau aku diberi materi, waktu dan wadah." Aku menjawab dengan santai seraya terus menggosok pakaian. Sama sekali aku tak mendongak menatap ibu. Mungkin saja sekarang wajahnya sangat kesal dan bisa jadi memerah menahan amarah.
"Semakin ke sini kamu kalau di beri tahu semakin ngelunjak dan melawan." Dari jawaban beliau bisa aku simpulkan bahwa beliau kesal. Entah karena sudah kehabisan akal untuk mencela ku atau memang sudah sangat kesal, beliau langsung pulang tanpa pamit.
Selesai dengan tumpukan baju, aku segera membersihkan rumah dan mainan anakku. Sebentar lagi mas Anang pasti akan pulang dan anak-anak masih main dengan teman-temannya. Ah biarkan saja mereka mandi sedikit terlambat, toh tidak setiap hari.
Selesai dengan rumah dan cucian piring. Aku mendudukkan diriku di lantai dengan selonjoran. Rasa lelah yang setiap hari aku rasakan, nyatanya tak mampu membuat aku terbiasa dengan keletihan ini.
Masih jam setengah empat. Aku meraih ponsel dan membuka sosial media ku. Aplikasi biru yang penuh dengan postingan teman-temanku yang jujur saja membuat aku iri, kenapa nasibku tak seberuntung mereka.
Astaghfirullah, kenapa aku jadi membandingkan hidupku dengan hidup mereka? Yang aku tahu hanya kebahagiaan mereka di sosial media yang entah itu palsu atau tidak. Aku tak tahu kehidupan sehari-hari mereka bagaimana.
Aku terus menggulir layar ke bawah, hingga aku temukan postingan Risa. Tetangga baru yang baru saja tadi pagi aku bertemu dengannya. Hal itu aku tahu dari foto profilnya yang bergambar dirinya dan juga anak suaminya.
Melihat postingan yang baru saja aku lihat, dia berjualan produk-produk yang di kenal banyak orang. Tak mau buang waktu, aku segera meng klik profil Risa untuk mengetahui apa saja yang dia jual.
Aku sedang mencari uang tambahan untuk sehari-hari, syukur-syukur jika aku bisa menabung. Dan detik ini juga Allah mengirimkan jawaban atas apa yang aku inginkan.
Berdasarkan profil Risa di aplikasi biru, dia tak hanya berjualan satu produk saja. Tapi banyak sekali, dan semua barang yang dia jual barang bermerk yang di kenal banyak orang dari kalangan manapun.
Tidak ada yang tidak kenal dengan barang tuppercare, mis glowing, shoppa, dan juga alat peralatan dapur yang bermerk bolda. Dari komentar yang aku lihat pun banyak sekali yang berminat dan berniat membeli produk-produk yang di pamerkan Risa. Jika aku melihat daftar harganya pun, punya Risa jauh lebih murah.
Melihat hal itu aku berniat untuk jadi membernya, dengan harapan aku bisa memperbaiki apa yang tidak bisa diperbaiki suami ku. Aku bukan merendahkan, menghina atau apapun, aku bicara realita. Kenyataan yang akun hadapi tidaklah mudah. Sudah hampir tujuh tahun aku diam, diam dengan keadaan tapi tidak ada yang mengerti apa yang aku rasakan.
Aku sudah memikirkan hal ini, jika aku berhasil menjadi member Risa, tidak ada yang boleh tahu jika aku mempunyai kerjaan sampingan selain berdagang sosis goreng. Jika ada yang tahu maka aku akan jadi mesin ATM untuk keluarga suamiku.
Setelah beristirahat cukup lama dan menghilangkan sedikit letih di tubuh ku, aku bangkit dan menjemput ketiga anakku yang sedang bermain di rumah sebelah. Entah kenapa hatiku sedikit lega, laksana seluruh bebanku terangkat. Padahal, aku belum melakukan apapun. Aku hanya ada niatan untuk memulai merubah hidupku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!