NovelToon NovelToon

MENIKAHI TIGA BELAS WANITA

Awal Mula.

"Deewana ko pata hai ... ye isq ko nasya hai ..."

Suara sumbang seorang pria penggemar lagu india, terdengar menggema dari dalam kamar mandi. Pria yang usianya sebentar lagi menginjak angka tiga puluh satu itu sedang asyik berdendang sambil membersihkan badannya. Hampir tiga puluh menit pria itu berada di dalam sana. Entah apa saja yang pria itu lakukan di dalam kamar mandi selama itu. Biasanya dia mandi paling lama sepuluh menit. Tapi ini, hampir tiga puluh menit dia baru keluar mandi.

"Paman Jiwo, lama amat mandinya. Dari tadi aku nungguin juga," sungut sang keponaka begitu melihat Pria itu keluar dari kamar mandi.

"Ya elah, Nik. kayak nggak tahu aja, cowok kalau lama di kamar mandi lama, pasti bukan mandi doang. Apalagi Paman Jiwo bujang lapuk, tahu sendiri kan?" ledek keponakan yang lainnya.

"Makanya, Wo, buruan cari istri, biar benihmu nggak sia sia, karena kamu buang di kamar mandi terus," ucap sang kakak menimpali.

"Sial kalian! Bapak anak sama aja, demen banget ngeledek," sungut pria yang fasih berbahasa inggris itu.

Ya, namanya Jiwo. Nama panjang Sujiwo Bagaskoro. Anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Paijo dan ibu Rukmini. Jiwo memang masih melajang di usianya yang sudah kepala tiga.

Sang kakak Bayu, diusianya yang menginjak kepala empat dikaruniai anak kembar yang sudah menginjak remaja, dan sekarang sang istri sedang hamil. Sedangkan adik Jiwo bernama Marni juga sudah menikah dan memilki seorang anak perempuan.

Sebenarnya Jiwo tinggal bersama ibunya. Sedangkan sang ayah, sudah terlebih dahulu menghadap sang pencipta. Jiwo berada di rumah kakaknya dalam rangka membeli barang yang menjadi sumber pendapatannya.

Keseharianya, Jiwo berjualan celana kolor secara berkeliling di kota asalnya. Di kota tempat tinggal kakaknya, ada banyak grosir celana kolor dan pakaian lainnya. Kota yang terkenal dengan kota batik itu, memang pusatnya berbagai jenis pakaian dengan harga yang murah. Makanya Jiwo memilih belanja di kota ini.

Jiwo langsung masuk ke dalam kamar sang ponakan untuk berganti pakain. Sudah tiga hari dia berada di rumah ini, dan sekarang waktunya dia pulang. Semua barang belanjaan sudah berada di atas mobil bak terbuka yang dia sewa dari tetangganya.

Tak butuh waktu lama, Jiwo pun keluar kamar dengan menenteng tas slempang berukuran sedang berisi dompet, ponsel dan buku catatan. Lantas dia bergabung dengan kakak dan keponakanya untuk sarapan.

"Wo, ini nitip ya, buat Emak," ucap Mbak Fera, istri Mas Bayu sambil menyerahkan amplop, dan Jiwo tahu apa isinnya.

"Kalau Emak, pasti langsung nolak, Mbak. Apa lagi Mbak Fera bentar lagi mau lahiran," jawab Jiwo sambil menerima amplop tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.

"Makanya mending ngasihnya lewat kamu, ini aja kan Mbak yang nggak enak, karena jarang bantuin Emak," balas Mbak Fera.

Jiwo hanya mengangguk saja, terus dia segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk.

"Kamu apa nggak ingin nikah, Wo? Kalau nggak bisa nyari calon, mau nggak Mbak kenalin sama cewek?" tawar Mbak Fera.

"Nggak usah, Mbak. Entar kalau udah waktunya juga, pasti akan ketemu jodoh," tolak Jiwo dengan alasan yang sama.

"Apa kamu belum bisa move on dari Titin?" tebak Bayu sambil cengengesan. Jiwo hanya mendengus sebal jika nama wanita itu disebut.

Titin, wanita yang pernah membuat hari hari Jiwo penuh warna. Wanita yang membuat Jiwo sangat bersemangat mengumpulkan pundi pundi rupiah untuk menjadikannya pendamping hidup. Nyatanya hanya seseorang yang mampu mengkhianati ketulusan hati seorang Jiwo.

Tujuh tahun menjalin hubungan dengan wanita itu, kandas begitu saja, saat sebuah kabar mengatakan Titin hamil oleh anak Pak lurah. Hancur sudah pasti. Jiwo yang berusaha sepenuh hati menjaga Titin dan menjalin hubungan yang sehat hingga ada kata halal, tak menyangka jika Titin diam diam berhubungan dengan anak Pak lurah hingga dia rela melepas mahkotanya demi sebuah status. Mungkin karena trauma, Jiwo akhirnya memilih jalan seperti ini. Menikmati waktu sendirian hingga lima tahun lamanya.

Acara sarapan bersama pun selesai. Kini Jiwo harus segera pulang ke kampungnya yang bisa menempuh jarak tiga jam dari kota kakaknya.

"Kamu belanja banyak banget apa, Wo?" tanya Bayu saat melihat terpal yang menutupi belakang mobil kelihatan mengembung lebih besar dari biasanya.

"Nggak lah, Mas. Biasa aja itu," jawab Jiwo tanpa menaruh curiga apapun. Hingga akhirnya dia pun pamit dan mobil segera meluncur ke kampung tempat tinggalnya.

Hingga tak terasa, tiga jam sudah jarak yang di tempuh Jiwo. Kini mobil pick up L 300 itu telah masuk ke halaman rumahnya yang sederhana. Jiwo pun segera turun dari mobil.

Jiwo melepas tali terpal yang menutupi barang daganganya. Begitu tali terlepas, betapa terkejutnya Jiwo saat melihat apa yang ada balik terpal tersebut.

"Kalian siapa?"

...@@@@@...

Hai reader, jangan lupa ikuti karya aku yang lainnya yuk

Wanita Wanita Lemah.

"Kalian siapa?"

Terkejut, itulah yang sedang Jiwo rasakan saat ini. Saat dia membuka terpal yang menutupi belakang mobilnya, matanya dikejutkan dengan sekelompok perempuan dekil seperti gembel. Perempuan itu berpenampilan kotor dan terlihat kurus. Bahkan ada beberapa wanita yang tergolek lemas dengan mata tertutup. Sorot matanya seperti orang ketakutan.

"Help me, pliss?" ucap salah satu dari mereka. Nadanya bergetar dan dia sampai menangkupkan tangan dengan airmata yang luruh.

Melihat keadaan seperti itu, Jiwo yang awalnya emosi, mendadak merasa iba melihat keadan para wanita itu. Dan yang menjadi pertanyaan berikutnya dalam benak Jiwo, kenapa mereka memakai bahasa inggris?

"Apa yang bisa aku bantu?" tanya Jiwo, tentunya dengan bahasa inggris juga. Biarpun hanya lulusan SMA, tapi bahasa inggris adalah mata pelajaran yang Jiwo sangat sukai. Alasan Jiwo menyukai bahasa inggris karena dia ingin pergi ke negara Inggris. Meski sampai detik ini keinginannya tidak pernah terwujud.

"Aku lapar," jawab wanita itu. Sontak saja Jiwo terperangah. Langsung saja dia masuk ke dalam rumah.

"Jiwo? Kamu kenapa? Lapar?" tanya Emak lumayan kaget saat Jiwo masuk rumah, langsung membuka tudung saji.

"Mak, ada kertas minyak nggak?" bukannya menjawab, Jiwo malah melempar pertanyaan yang membuat Emaknya semakin bingung.

"Ada apa sih, Wo?" tanya Emak sambil beranjak ke dapur mengambil kertas minyak.

"Nanti aku jelasin, sekarang, tolong, Mak bawa lauk dan sayur ke depan. Ayo, Mak," ucap Jiwo sambil menenteng wadah nasi keluar rumah. Meski bingung, Emak tetap saja menuruti perintah Jiwo.

"Astaga! Mereka siapa, Wo?" tanya Emak dengan rasa terkejut yang hampir sama dengan terkejutnya sang anak.

"Nggak tahu, Mak. Mereka kelaparan. Sini Mak kertas minyaknya," Emak menyerahkan kertas minyak kepada Jiwo, kemudian dengan cekatan Jiwo mengambil selembar kertas minyak dan mengisinya dengan nasi dan lauk serta sayur seeadanya.

"Makanlah," ucap Jiwo sambil menyerahkan kertas minyak berisi nasi kepada salah satu wanita itu.

Dengan tangan gemetar, wanita itu menerima nasi dari Jiwo lalu memberi tahu rekannya yang tergolek lemah.

"Ini ada makanan. Bangunlah, kita makan sama sama," Jiwo pun terharu melihatnya. Emak, meskipun tak tahu wanita itu ngomong apa, tapi gerak geriknya terlihat mengharukan.

"Emak ambil air minum dulu, Wo. Sepertinya mereka sangat kelaparan," ucap Emak dan dia bergegas masuk ke dalam rumah.

Jiwo kembali mengambil selembar kertas minyak dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk. Melihat mereka makan dengan sangat lahap membuat hati Jiwo nelangsa sekaligus penasaran. Siapa mereka? Dari mana datangnya mereka? Mereka tidak seperti orang gila.

Emak datang dengan membawa air mineral dalam bentuk cup sisa arisan RT kamarin. Sama seperti Jiwo, Emak juga melihat mereka dengan tatapan yang sulit di artikan. Yang pasti siapapun yang punya hati, pasti akan nelangsa melihat keadaan mereka.

"Sebenarnya mereka siapa sih, Wo?" tanya Emak lagi.

"Aku juga nggak tahu, Mak. Mereka tiba tiba sudah ada di dalam mobil. Mungkin mereka dari semalam disitu," terang Jiwo, sontak Emak langsung terperangah mendengarnya.

"Apa ada obat demam?" tanya salah satu dari mereka lagi dengan bahasa inggris tentunya.

"Tunggu," jawab Jiwo, "Mak, punya obat demam nggak?"

"Astaga! Ada yang sakit?" ucap Emak kembali terkejut. "Entar, Emak coba cariin, kayaknya ada."

Emak kembali masuk. Jiwo menghitung ada tiga belas wanita di atas mobilnya. Diperkirakan umur mereka mungkin sama. Kalaupun beda, mungkin selisih beberapa tahun saja.

Emak kembali datang dan menyerahkan beberapa butir obat demam kepad Jiwo, kemudian Jiwo pun menyerahkannya ke salah satu wanita itu. Mata emak dan Jiwo terus memperhatikan geral gerik mereka dengan perasaan yang tak menentu.

"Apa kami boleh istirahat disini sejenak sebelum kami pergi?" dahi Jiwo berkerut mendengar pertanyaan itu.

"Kalian mau pergi? Pergi kemana?" tanya Jiwo. Emak yang tidak mengerti bahasa inggris hanya diam saja meski hatinya penasaran.

"Tidak tahu," jawabnya lesu. Jiwo juga akhrinya ikut bingung.

"Dia ngomong apa, Wo?" tanya Emak yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Betapa kagetnya Emak saat mendengar jawabannya. "Mending suruh istirahat di dalam, Wo. Disini panas. Nanti kalau mereka udah baikan, coba kamu tanya baik-baik asal mereka darimana. Kali aja mereka korban penculikan atau apa gitu."

Jiwo setuju dengan usulan emaknya. Dia lantas menyampaikan pesan dari sang emak. Mereka pun setuju saja dan sepertinya mereka memang butuh isitrahat.

Satu persatu mereka turun dari mobil. Dengan langkah gontai tanpa alas kaki, mereka masuk ke dalam rumah. Hati Emak dan Jiwo, sunggguh sangat nelangsa melihat keadan mereka.

Beruntung, ruang tamu rumah Jiwo lumayan luas, jadi bisa menampung mereka semua. Mereka ada yang duduk di kursi dan ada yang duduk karpet.

"Sebenarnya kalian darimana?" tanya Jiwo tak lama setelah mereka semua duduk.

"Kami datang dari negara jauh, kami para pengungsi karena konflik yang terjadi di negara kami."

"Apa!"

@@@@@@

Kisah Pahit.

"Korban konflik?" Jiwo bertanya dengan raut wajah terkejut.

Salah satu dari mereka menceritakan kalau mereka adalah korban konflik yang terjadi di negara mereka. Hanya karena mereka kaum minoritas, diserang secara tidak berperi kemanusiaan. Mereka tercerai berai dengan keluarganya. Mereka mengungsi ke negara tetangga. Ketiga belas wanita itu sudah terdampar di negara ini selama enam bulan. Mereka hidup dalam keputus asaan.

Mereka selamat dan berhasil mendarat di pulau paling utara dari negara ini. Perjuangan mereka belum berakhir. Mereka harus berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Karena mereka berada di negara orang, pergerakan mereka sangat terbatas.

Hingga beberapa hari kemarin, mereka seperti mendapat secercah harapan. Ada seseorang yang akan menolong mereka dan mempekerjakannya agar mereka memiliki kehidupan yang lebih layak. Tentu saja mereka sangat antusias menerima kabar baik itu.

Tapi nyatanya itu hanya jebakan semata. Setelah mereka dibawa oleh seorang oknum ke pulau jawa, mereka tak sengaja mendengar kabar kalau mereka sebenarnya mau dijadikan wanita penghibur. Meski mereka tidak lancar berbahasa negara ini, tapi mereka paham saat dengan apa yang mereka dengar.

Hari itu juga diam-diam mereka kabur saat mobil yang membawanya berada dikota yang sama di mana Jiwo berada kemarin. Mereka lari ke sembarang arah. Bagi mereka, yang penting saat itu bisa menyelamatkan diri.

Hingga malam hari, sampailah mereka di daerah tempat tinggal kakak Jiwo. Mereka frustasi, bingung dan lapar. Kaki mereka terus melangkah tanpa arah. Hingga mereka melihat mobil yang menculik mereka, berada tak jauh dari ketiga belas wanita itu. Mereka panik dan mereka harus bersembunyi. Mereka melihat mobil Jiwo. Tanpa pikir panjang mereka langsung bersembunyi di mobil tersebut hingga secara tak sadar mereka sampai di rumah ini.

Jiwo tidak dapat berkata-kata. Hatinya sungguh iba mendengar kisah pahit mereka. Emak yang tidak tahu apa yang mereka ceritakan juga merasa terharu, karena mereka bercerita dengan airmata yang terus mengalir. Entah, bantuan apa yang akan Jiwo berikan. Sampai saat ini saja dia bingung mau melakukan apa. Jiwo hanya bisa menyuruh mereka istirahat kemudian mengajak Emak masuk ke dalam untuk diskusi.

"Apa! Ya Tuhan," seru Emak begitu mendengar Jiwo menceritakan kisah mereka. Emak bahkan sampai nangis mendengar cerita selengkapnya dari kemalangan yang mereka alami. "Kenapa ada aja orang yang tega berbuat kayak gitu, Wo? mereka lagi susah, kenapa malah dibikin susah?"

"Tapi itu kenyataannya, Mak. Terus sekarang kita harus bagaimana, Mak? Setelah mendengar cerita mereka, kita nggak mungkin kan? membiarkan mereka pergi tanpa tujuan?"

"Bener, Wo. Mereka perempuan, dan mereka pasti sangat ketakutan berada di tempat asing."

"Maka itu kita harus gimana, Mak?" Emak mengusap sisa airmatanya. Dia juga ikut berpikir, sama seperti yang Jiwo lakukan.

"Mending kamu coba cerita sama pak Rt dan pamanmu, Wo. Kali aja mereka ada solusi?" saran Emak.

"Begitu?" Emak mengangguk. "Baiklah."

"Kalau mereka bawa identitas, diminta aja, Wo? Siapa tahu berguna?" saran Emak ketika Jiwo hendak beranjak.

"Baik, Mak."

Jiwo pun berlalu. Sebelum keluar rumah, Jiwo melakukan apa yang Emak sarankan. Beruntung mereka memiliki identitas dan bentuknya mirip sebuah KTP yang dipegang satu orang. Jiwo meminjamnya sebentar dan mereka pun menyerahkan.

Pertama yang Jiwo tuju adalah rumah Pamannya. Sesampainya di rumah pamannya. Jiwo lantas menceritakan apa yang sedang dia alami. Awalnya Karyo, nama Paman Jiwo juga terkejut mendengarnya, dan dia juga merasa prihatin dengan apa yang dialami ketiga belas wanita itu.

Paman pun menyarankan Jiwo lapor Rt terlebih dahulu. Akhirnya bersama pamannya, Jiwo sekarang pergi ke rumah Rt setempat.

"Jiwo? Mas Karyo? Ada apa nih? Kayak serius banget?" tanya Pak rt begitu melihat Jiwo dan pamannya sudah duduk di ruang tamu rumahnya.

"Iya nih Pak Rt, si Jiwo, ada perlu," jawab Karyo.

"Wah, ada apa memangnya? Mau minta surat pengantar buat nikah?" ledek Pak Rt. Jiwo yang biasa diledek seperti itu, hanya tersenyum masam.

"Bukan, Pak Rt," jawab Jiwo. "Jadi gini ..."

Jiwo kembali menceritakan apa yang terjadi. Seperti pamannya, Pak Rt juga sama terkejutnya mendengar cerita itu. Jiwo juga menunjukan identitas mereka.

"Kelihatannya mereka masih muda semua ya, Wo?" tanya Pak Rt sambil mengamati satu persatu karfu identitas mereka.

"Mungkin, Pak. Makanya, ada aja oknum yang mau nakal sama mereka."

"Tapi sepertinya ini akan sulit, Wo."

"Sulit bagaimana, Pak?"

"Mereka kan pengungsi, sedangkan pemerintah nggak bisa bantu mereka sepenuhnya. Di negara kita, para pengungsi dari negara konflik itu banyak banget, Karena banyak juga negara lain yang menolak kedatangan mereka."

"Waduh! terus ini gimana, Pak? Kalau mereka dibiarkan pergi juga kasian. Mana ada yang sedang sakit lagi." tanya Jiwo dengan wajah bingung. Pak Rt terdiam sembari berpikir.

"Ada sih satu solusi, Wo."

"Apa itu, Pak?"

"Kamu nikahi mereka."

"Apa!"

...@@@@@@...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!