NovelToon NovelToon

Pesona Tuan Amnesia

Bab 1

Maura berjalan sendiri menuju rumah usai hujan deras yang mengguyur kawasan tempat tinggalnya. Dia melirik arloji di pergelangan tangan. Masih pukul delapan, belum terlalu malam sebenarnya, tapi hawa dingin ditambah suasana yang sangat sepi membuat bulu kuduk gadis itu berdiri seketika.

Saat sampai di persimpangan, Maura mendengar suara decitan rem mobil yang cukup keras. Wanita itu bersembunyi dan menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata, ada dua orang turun dari dua mobil yang beriringan. Dua orang itu lalu mengeluarkan sesuatu yang terlihat berat.

Maura membuka mulut lebar-lebar saat menyadari apa yang dibawa dua orang itu adalah manusia.

Karena jarak yang tidak terlalu jauh, Maura bisa mendengar percakapan dua orang yang Maura tebak adalah pelaku kejahatan. Tidak mungkin kalau orang baik membuang manusia lainnya di tempat seperti ini.

“Kita tinggalkan saja dia, sepertinya tempat ini sepi sekali. Besok pasti dia sudah mati,” ucap salah satu di antara dua orang itu.

“Lumayan, dompetnya penuh, HP-nya bagus, mobilnya bagus, bisa dapat uang banyak kita, Bos,” timpal yang lainnya.

Lingkungan tempat tinggal Maura ini memang terbilang sepi. Letaknya yang berada di kawasan desa membuat suasana terasa sunyi dan gelap, karena para warga biasanya sudah tidur di jam segini.

Maura terus menguping obrolan dua orang itu sambil bersembunyi. Sampai akhirnya, dia meyakini bahwa manusia yang kini mereka tinggalkan adalah korban begal atau kejahatan sejenisnya dan dia masih hidup.

Demi rasa kemanusiaan, Maura menghampiri laki-laki yang terluka parah di kepalanya itu. Sebelumnya, Maura sudah memastikan bahwa dua orang itu telah pergi jauh.

Saat Maura hendak mendekati laki-laki menyedihkan itu, tiba-tiba dia mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya.

“Maura!”

Maura menoleh ke belakang dan melihat laki-laki yang telah dianggapnya sebagai ayah kandung itu menghampirinya.

“Ayah. Ada orang terluka.” Maura menarik lengan sang ayah yang kemudian bersama-sama mengecek keadaannya.

“Ya Tuhan, ini kenapa?” Ayah Maura terlihat khawatir melihat darah yang ada di kepala laki-laki itu.

“Tadi aku lihat ada orang jahat yang sengaja membawanya ke sini, Yah. Mungkin mereka pikir orang ini sudah meninggal,” jelas Maura sambil berdiri di belakang ayahnya.

“Ayo kita bawa pulang dan coba kita obati,” kata ayah Maura.

Maura mengangguk dan akhirnya mereka membawa laki-laki asing yang terluka itu pulang ke rumah mereka. Meski dengan susah payah, akhirnya Maura dan ayahnya berhasil membawa laki-laki tampan itu ke rumah mereka yang sederhana.

“Ayah, Maura. Ada apa ini?” tanya ibu Maura sambil terbatuk-batuk.

“Orang ini korban kejahatan, Bu. Kasihan makanya aku sama Ayah tolong dan bawa pulang,” jawab Maura.

Sementara itu, sang ayah yang dulu pernah bekerja sebagai mantri di puskesmas, akhirnya melakukan pertolongan darurat. Mereka tidak mungkin membawa laki-laki ini ke puskesmas atau rumah sakit karena letaknya yang sangat jauh dan butuh transportasi.

“Ya ampun, bagaimana kalau dia juga orang jahat, Maura. Memangnya kamu tadi keluyuran ke mana saja? Bikin khawatir orang tua.”

“Aku tadi sengaja cari obat buat Ibu karena ternyata obat Ibu habis dan aku keluapaan tadi sore,” jawab Maura sembari menunduk.

“Maura, Maura. Sekarang bagaimana ini? Kalau dia orang jahat bagaimana?”

“Kita niatkan saja menolong, Bu. Sudahlah, jangan khawatirkan hal-hal yang belum tentu!” sahut ayah Maura.

*

*

*

Laki-laki itu tersadar dari pingsan saat ia mendengar kicau burung yang bersautan di pagi ini. Dia merasakan sakit kepala yang luar biasa sampai membuat ia mengernyitkan dahi. Matanya berusaha terbuka dan menatap tiap sudut ruangan, tapi dia malah bingung dengan sekitarnya. Dia di mana?

Apalagi saat ada seorang gadis yang tiba-tiba datang menghampirinya.

“Kamu sudah sadar?” tanya Maura yang tadinya memang ingin mengecek keadaan laki-laki itu dan membawanya berobat.

Laki-laki itu semakin mengerutkan dahinya.

“Kamu siapa?” tanya laki-laki itu mencoba mengenali wajah Maura yang tampak terkejut.

“Aku Maura, nama kamu siapa?” tanya Maura. Sebab semalam ia tahu, bahwa kartu identitas dan semua yang ada pada laki-laki itu dibawa kabur oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Laki-laki itu terlihat kebingungan. Dia menatap Maura dengan lekat, mencoba mengingat-ingat tapi gagal. Sebab kepalanya kian terasa sakit sampai harus dipegangi dengan tangan.

Akhirnya laki-laki itu menggeleng lemah. “A-aku—aku tidak ingat.” jawabnya terbata.

Seketika itu, Maura pun langsung terkejut mendengar jawaban Shaka. “Jangan bilang kalau kamu amnesia! Ih, nggak lucu tau, jangan bercanda!”

***

Loha, ketemu lagi sama karya baru Itta Haruka, jangan lupa pencet 💙 untuk dapat notif update. Ramaikan yuk💋

Bab 2

Shaka Rafael Hartono telah kehilangan seluruh memori yang ada dalam ingatan karena mengalami kecelakaan yang cukup parah. Sialnya, bukan ditolong orang baik, Shaka malah ditemukan orang jahat yang justru membuangnya di pinggiran jalan bersemak di daerah yang cukup jauh dari tempat kecelakaan. Beruntung, Shaka diselamatkan oleh gadis baik bernama Maura. Karena Shaka kehilangan memorinya, Maura dan ayahnya membawa laki-laki itu ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut.

“Kamu beneran nggak mau dirawat?” tanya Maura saat Shaka memaksa untuk pulang. Wanita itu duduk di kursi dekat ranjang UGD tempat Shaka mendapat pemeriksaan tadi.

Laki-laki itu sadar diri, dia tidak mengingat apa pun tentang dirinya dan keluarganya. Jika dirawat di rumah sakit, siapa yang akan membayar semu tagihan? Apakah harus membebani orang lain lagi?

Shaka mengerti, Maura dan ayahnya sudah sangat baik. Tidak mungkin dia menjadi beban mereka yang sudah menolongnya.

“Iya serius, aku nggak apa-apa kok,” jawab Shaka. Laki-laki itu mencoba untuk kuat sebisanya di hadapan Maura.

Ayah Maura pun muncul usai membayar tagihan pemeriksaan Shaka. Saat melihat Shaka, laki-laki itu mengerti kegelisahan yang tersirat di wajah tampan itu.

“Karena kamu tidak ingat siapa namamu, bagaimana kalau aku kasih nama kamu Joshua saja. Seperti anak laki-lakiku yang sekarang entah di mana.”

Ada raut kesedihan di mata laki-laki tua itu saat mengingat putra pertamanya yang telah lama berpisah darinya. Wajah tuanya itu memancarkan rasa sedih yang sudah begitu lama dipendam.

Maura memeluk ayahnya. Sedangkan Shaka melihat kesedihan orang yang sudah menolongnya. Mungkin laki-laki itu ingin dirinya memakai nama putranya supaya bisa mengingat terus sang putra yang entah ada di mana.

“Joshua nama yang bagus. Kalau Bapak tidak keberatan, saya izin memakainya sementara,” kata Shaka memberi harapan kebahagiaan baru untuk Ayah Maura.

Laki-laki tua itu mengangguk bahagia dan Shaka pun merasa lega karena kini dia bisa memberi sedikit kebahagiaan untuk orang yang telah menolongnya.

Ayah Maura —Pak Rizal—, kini memaksa Shaka yang telah memakai nama Joshua itu untuk tinggal di belakang rumahnya yang kebetulan kosong. Meski awalnya menolak, tapi Shaka tidak punya pilihan lain dan akhirnya terpaksa tinggal karena dia tidak ada tujuan saat ini.

Namun, Shaka tidak ingin tinggal secara gratis di rumah Pak Rizal, dia memaksa untuk membantu di kebun dan sawah milik Pak Rizal.

Beberapa bulan sejak kecelakaan itu, Shaka sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan di desa itu dan dia merasa telah menemukan kebahagiaannya yang sebenarnya.

“Ayah, Mas Jo, makan dulu! Aku udah bawa makan siang ini!” kata Maura yang kini membawakan makan siang untuk Shaka dan ayahnya.

Shaka mencuci tangan di saluran irigasi yang sangat bersih. Lalu, dia menghampiri Maura yang sudah menunggu di gubuk milik Pak Rizal.

“Ayah masih kenyang, Ra. Kamu sama Mas Jo-mu makan dulu aja!” sahut Ayah Maura yang melanjutkan kegiatannya mencabut rumput liar di sekitar tanaman.

“Ih, kenapa ayah suka begitu sih?” gumam Maura sambil menyiapkan makanan untuk Shaka.

“Kamu masak apa hari ini?” tanya Shaka yang kini mendekati Maura.

“Ada sayur asem, bakwan jagung, sama tempe goreng, Mas,” jawab Maura yang kini memperhatikan wajah Shaka yang merah cenderung kusam, tidak lagi putih bersih seperti saat awal mereka bertemu.

“Wah, kesukaan aku ini.” Shaka mencomot satu bakwan jagung dan merasakan tekstur dan rasa yang membuatnya sedikit teringat kepingan masa lalu.

“Lihat deh, sekarang kamu gosong, Mas. Pasti kebanyakan kena terik matahari,” kata Maura sembari mengusap wajah Shaka dengan kain gendongan yang dibawanya.

Shaka memperhatikan wajah Maura yang cantik dan bersih, tidak seperti gadis desa ini pada umumnya.

“Nggak apa-apa gosong, yang penting masih ganteng. Aku gosong juga mungkin karena aku sekarang sudah ahli mencangkul,” balas Shaka dengan bangga.

Maura mengulurkan rantang berisi makanan pada Shaka yang diterimanya dengan senang hati. Perut sudah sangat lapar, ditambah suasana sawah yang sejuk, sungguh nikmat yang tiada duanya.

“Aku yakin kamu itu sebenarnya orang kaya yang sukses kalau dilihat dari penampilan kamu malam itu sih. Tapi, kenapa kamu belum mengingat apa pun ya, Mas.” Maura menatap langit di atas sawah dan mencoba mengingat kejadian beberapa bulan lalu itu.

“Mungkin karena aku belum siap berpisah denganmu, makanya aku masih susah mengingat masa laluku,” jawab Shaka sembari memperhatikan Maura.

Rambutnya yang tergerai diterbangkan angin sepoi-sepoi yang berembus. Maura kini mengalihkan pandangan. Dia menatap Shaka yang juga sedang menatapnya dalam-dalam.

“Jangan bercanda, Mas. Ayo kita makan saja!” Maura tidak ingin terlalu percaya diri. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu.

“Aku nggak bercanda, Maura. Kalau nanti ingatanku pulih, tapi aku tidak bisa sama kamu lagi, kamu akan senang atau sedih?”

***

Kembang kopinya janga lupa gaess 💋💋💋

Bab 3

Maura menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya yang tiba-tiba berubah sedih saat Shaka melayangkan pertanyaan padanya. Bagaimana perasaannya nanti jika laki-laki yang ada di sampingnya itu ternyata mendapatkan kembali ingatannya dan mereka tidak bisa bersama lagi?

Haruskah Maura menjawab dengan jujur?

“Maura, jawab dong! Kamu akan senang atau sedih kalau aku mengingat semuanya nanti?” tanya Shaka sekali lagi. Dia mengunyah makanannya sembari memperhatikan Maura yang mengayun-ayunkan kakinya.

Maura kini mengangkat kepalanya, dia tersenyum dan menatap Shaka yang berhenti menyuap.

“Kalau kamu bahagia dengan kehidupanmu, aku pasti akan ikut bahagia, Mas. Sudahlah, cepat makan, tadi Ibu menyuruhku membawa pulang jagung yang masih muda.”

Maura menutupi kesedihan hatinya dengan senyuman palsu yang tetap manis dipandang. Dalam bayangan Maura, laki-laki di sampingnya kini pasti sudah memiliki kekasih, atau malah mungkin sudah memiliki istri.

“Aku bahagianya sama kamu, gimana dong?” Shaka mendekatkan wajahnya pada Maura. Lalu tiba-tiba menyuapkan nasi ke mulut gadis itu dan tertawa.

Perempuan mana yang tidak terbawa perasaan karena ucapan manis dari laki-laki yang beberapa bulan ini mewarnai hatinya?

Dua manusia itu saling tertawa di gubuk sawah yang sangat sederhana. Shaka tertawa lepas, bahagia yang saat ini dia rasakan, sepertinya sudah sangat lama tidak dia rasakan.

Seusai makan siang, Shaka menemani Maura mengambil jagung yang belum terlalu tua untuk direbus atau dibakar nantinya.

“Mas Jo, kalau kamu orang kota, kamu pasti tidak akan menemukan seperti ini.” Maura mengambil tongkol jagung yang masih sangat muda.

Tongkol jagung yang terbungkus kulit itu memiliki rambut panjang berwarna merah kecokelatan. Mirip rambut Maura saat terkena sinar matahari.

“Itu di kasih mata pasti mirip sama kamu,” ejek Shaka yang menyamakan Maura dengan jagung muda yang bisa disebut juga dengan janten.

“Mas Jo menghina banget sih.” Maura masuk ke dalam rimbunan pohon-pohon jagung untuk mencari jagung muda pesanan ibunya.

Setiap langkah Maura, Shaka menghalau daun-daun jagung yang cukup tajam dan bisa menyebabkan gatal-gatal. Sebuah perhatian kecil yang membuat Maura terkagum-kagum dengan sosok laki-laki hilang ingatan yang kini membuatnya jatuh ke dalam pesonanya.

“Awas hati-hati! Nanti kamu malah gatal-gatal kena daunnya!”

“Makasih, Mas Jo.”

Mata Maura yang bersinar ketika tertawa membuat hati Shaka bergetar karenanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat Shaka merasa harus memberi dinding pembatas antara dirinya dan Maura. Dia takut, jika ternyata di tempat lain ada seseorang yang menanti kehadirannya, itu akan mengecewakan hati Maura.

.

.

.

Sementara itu, di tempat lain. Seorang gadis menangis kencang di pusara yang sudah kering. Ada nama Shaka yang tertulis di sana yang membuat hati gadis itu semakin sakit.

“Shaka, maafin aku! Maafin aku, Shaka!” Gadis bernama Bianca itu menangis sambil memeluk nisan bertuliskan nama Shaka.

Tidak jauh dari sana, seorang wanita menangis sambil membawa bunga yang dirangkai indah. Dialah seorang ibu yang beberapa bulan terakhir ini kehilangan sosok putra yang dinyatakan meninggal dalam sebuah kecelakaan yang membakar mobil dan seluruh tubuhnya.

Dengan langkah penuh luka, wanita itu mendekati makam bertuliskan nama putra pertamanya. Dia lalu duduk tepat di samping Bianca yang masih menangis.

“Kamu sudah lama di sini, Bia?” tanya wanita bernama Alisha itu sambil mengusap wajahnya.

“Tante.” Bukannya menjawab pertanyaan Alisha, Bianca malah menangis tersedu sambil memeluk wanita yang menjadi ibu kandung Shaka itu,

Air mata Alisha semakin tumpah menatap nisan putranya. Dia mengingat saat-saat sebelum putra tampannya itu pergi malam itu.

Shaka mengatakan pada Alisha bahwa lagi-lagi Bianca menolaknya, karena itulah dia ingin berlibur untuk mencari suasana lain. Dia ingin supaya tidak mengingat Bianca terus menerus karena wanita pujaannya itu memutuskan untuk kembali ke luar negeri.

“Padahal dia bilang cuma mau liburan, biar nggak kangen sama kamu terus. Tapi kenapa dia berlibur selamanya, Bia?”

Ibu mana yang tidak sedih saat putra yang biasanya ada dalam pandangannya, kini pergi selamanya menyisakan kenangan yang terasa menyakitkan jika diingat-ingat.

“Shaka pergi karena aku, Tante.”

Sesal di hati Bianca tidak kalah besar dari rasa sedihnya. Jika saja, hari itu dia langsung menerima lamaran Shaka, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

“Kak Bia. Selama kamu belum menikah, maka aku tidak akan menikah juga. Aku tidak apa-apa kok kalau selamanya menjadi perjaka tua, demi kamu. Pokoknya aku cuma mau nikah sama kamu.”

“Ya sudah, tunggu saja aku pulang! Tapi, jangan menangis ya kalau aku pulang sama calon suamiku yang bule.”

Rupanya candaan Bianca itu membuat Shaka terluka hatinya. Hingga akhirnya, laki-laki yang usianya di bawahnya itu harus mencari ketenangan diri dan berujung kecelakaan.

“Shaka, kalau saja aku diberi kesempatan menebus kesalahanku, aku pasti akan membahagiakan kamu!”

***

Aku nangis sambil ngetik 😭 Maaf kalau ada kesalahan ❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!