NovelToon NovelToon

Jerat Hasrat Pangeran Gaib

Cinta Sejati Pangeran Hans Dan Sang Pelayan

"Aku berbaik hati padamu, Aurora! Sekarang kamu pilih sendiri, hukuman mati yang seperti apa yang ingin kamu ambil?" ucap Raja Edward kepada seorang gadis pelayan yang menyedihkan bernama Aurora.

Kepala gadis itu tertunduk ke lantai dengan tangan dan kaki terikat rantai besi. Tubuhnya peluh luka dan gadis itu dalam kondisi yang sekarat. Sebelum di serahkan ke hadapan Raja Edward, Aurora sempat disiksa terlebih dahulu oleh para algojo suruhan lelaki itu.

Walaupun begitu, Aurora masih bisa tersenyum sinis kemudian mengangkat kepalanya dengan tegak menatap Sang Raja.

"Aku terima apa pun hukuman yang kau berikan kepadaku, yang mulia Raja. Namun, ada satu hal yang harus kamu tahu! Kamu tidak akan pernah bisa memisahkan aku dengan pangeran Hans karena cinta kami abadi!" tegas Aurora di sisa-sisa tenaganya.

Gelak tawa raja Edward menggelegar dan memenuhi ruangan itu setelah mendengar perkataan Aurora barusan.

"Apa kamu bilang, Pelayan Kotor? Cinta abadi?" Raja Edward menghentikan tawanya kemudian berjalan menghampiri Aurora yang masih bersimpuh di depan singgasananya.

"Tidak pernah ada yang namanya cinta abadi antara seorang pelayan rendahan sepertimu dengan seorang pangeran seperti Hans. Hans hanya sedang terperdaya oleh bujuk rayumu. Namun, aku yakin cintanya akan tetap tumbuh untuk Putri Serena!" tegas Raja Edward sambil mencengkram erat wajah Aurora.

Putri Serena yang juga berada di ruangan itu, tersenyum bangga karena berhasil memenangkan hati Raja Edward. Bahkan karena hasutannya lah Aurora harus meregang nyawa di tangan lelaki itu.

Aurora tampak kesakitan, tetapi Raja Edward tidak peduli dan ia malah terlihat bahagia saat menyaksikan penderitaan Aurora saat itu. Setelah melepaskan cengkramannya dengan kasar, Raja Edward kembali melenggang menuju singgasana.

"Habisi pelayan itu!" titah Raja Edward sembari duduk di kursi kerajaannya dengan tatapan yang kembali tertuju pada Aurora.

Seorang algojo bertubuh besar bak raksasa bergegas menghampiri Aurora dengan membawa sebuah pedang panjang dan siap mengeksekusi gadis itu. Namun, sebelum pedang sang algojo berhasil menembus tubuh mungilnya, gadis itu dengan lantang berteriak di hadapan raja Edward.

"Ingatlah, Raja Edward. Ingatlah kata-kataku ini! Kau bisa saja menyingkirkan aku saat ini, tetapi aku berjanji, aku akan kembali dan merebut Hans-mu lagi!" teriaknya.

Raja Edward tersenyum sinis kemudian mengangkat tangan kanannya. Sebagai isyarat untuk algojo agar segera mengeksekusi Aurora. Benar saja, hanya dalam hitungan detik pedang panjang dan tajam milik algojo berhasil menembus tubuh mungil Aurora. Dari punggung hingga ke perut dan membuat gadis itu tersungkur ke lantai.

"Aakkhhh!" Jeritan gadis itu terdengar sangat memilukan.

Semua orang yang berada di ruangan itu sebenarnya tidak tega melihat nasib malang Aurora. Namun, tak satu pun dari mereka berani membantah keinginan lelaki berkuasa itu. Termasuk Ratu Caroline, istri dari raja Edward, ibunda dari pangeran Hans.

Tepat di saat Aurora meregang nyawa, pangeran Hans tiba di ruangan itu sambil berteriak histeris. Dengan tergopoh-gopoh, pangeran Hans menghampiri Aurora dan bersimpuh di hadapan gadis itu.

Hari itu pangeran Hans dipaksa untuk ikut berburu bersama pengawalnya oleh Raja Edward. Walaupun ragu, pangeran Hans tetap menyetujui keinginan sang ayah. Namun, ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ternyata Raja Edward memiliki niat terselubung di balik semua itu.

"A-Aurora ...." Hans meraih tubuh Aurora kemudian memangkunya sambil terisak-isak.

"Pa-pangeran ... aku mencintaimu. Sampai kapan pun aku akan tetap mencintaimu—" Itulah kata-kata terakhir yang keluar dari bibir Aurora sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan pangeran Hans.

"Aurora! Tidakkk!" Pangeran Hans kembali menjerit sambil memeluk tubuh mungil kekasihnya yang sudah tidak bernyawa tersebut.

Pangeran Hans meletakkan tubuh Aurora ke lantai dengan sangat lembut. Setelah itu ia pun bangkit dan berjalan dengan wajah memerah menuju singgasana Raja Edward.

"Sekarang kamu puas, Raja Edward? Puas karena sudah berhasil menyingkirkan Aurora dariku?"

Raja Edward masih terlihat santai dan ia tampak tidak peduli bagaimana perasaan pangeran Hans saat itu. "Itu yang terbaik untukmu, Nak."

"Terbaik untukku?" Hans tertawa sinis. "Bukan untukku, tetapi baik untuk Anda dan Putri Serena!"

Hans melirik Putri Serena yang sedang duduk di samping Ratu Caroline dengan tatapan sinis.

"Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah sudi mempersuntingmu menjadi istriku!"

"Pangeran Hans! Sudah, cukup!" bentak Raja Edward.

Hans yang sudah tidak bisa mengontrol emosi, mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk menyerang raja Edward. Namun, tidak semudah itu menyerang raja Edward yang memang memiliki kekuatan jauh lebih besar darinya.

Raja Edward mengembalikan serangan pangeran Hans dan membuat putra kesayangannya itu jatuh tersungkur di samping tubuh Aurora yang sudah tidak bernyawa.

"Aku melakukan ini untuk kebaikanmu, Pangeran Hans. Suatu saat nanti kamu pasti akan berterima kasih kepadaku!" kesal Raja Edward sembari menghampiri pangeran Hans yang masih tergeletak di samping tubuh Aurora.

Kini Raja Edward berdiri di hadapannya anak lelakinya itu sembari mengulurkan tangan. Namun, pangeran Hans malah mengacuhkannya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Hans bangkit dari posisinya kemudian mengangkat tubuh Aurora yang sudah tidak bernyawa.

"Terima kasih atas semua rasa sakit ini, Raja Edward. Aku berjanji tidak akan pernah melupakannya sampai kapan pun." Pangeran Hans keluar dari ruangan itu dengan membawa serta tubuh kekasih hatinya.

Sementara itu.

"Bagaimana ini, Ratu? Bagaimana jika pangeran Hans semakin membenciku karena semua kejadian ini?" tanya Putri Serena kepada Ratu Caroline yang duduk di sampingnya.

"Kamu tenang saja, Putri Serena. Aku sangat yakin, suatu hari nanti pangeran Hans pasti akan membuka hatinya untukmu dan menikahimu. Hanya saja saat ini ia butuh waktu untuk memikirkannya dan kamu harus bersabar untuk itu," jawab Ratu Caroline.

Putri Serena tersenyum puas. Putri berparas cantik itu terlihat sangat bahagia karena setidaknya ia sudah mengantongi restu dari Raja Edward dan Ratu Caroline. Putri Serena juga yakin bahwa suatu saat nanti pangeran Hans akan menjadikannya pasangan hidup, sama seperti yang dikatakan oleh Ratu Caroline barusan.

***

Pangeran Hans membawa tubuh Aurora ke taman belakang kerajaan. Di mana mereka sering bertemu di tempat itu. Perlahan, pangeran Hans duduk di sana sambil memangku tubuh Aurora.

"Maafkan aku, Aurora. Seandainya aku tidak menuruti keinginan ayahku, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi dan kita masih bisa bersama-sama," ucap Pangeran Hans sambil terisak.

Lelaki berparas tampan itu begitu menyesali keputusannya tadi pagi. Pantas saja hatinya begitu berat saat Raja Edward memerintahkan dirinya untuk ikut berburu bersama para pengawal.

Pangeran Hans menciumi wajah Aurora yang penuh dengan luka. Tanpa ia sadari, tubuh kekasihnya itu perlahan memudar kemudian menghilang dari pelukannya. Pangeran Hans menangis histeris sambil meneriakkan nama Aurora.

"Aurora! Tidakkk ...."

Namun, sekeras apa pun pangeran Hans berteriak memanggil nama Aurora, Aurora takkan pernah kembali ke sisinya.

Kalung berlian merah yang selalu menghiasi leher cantik gadis itu jatuh ke tanah setelah tubuhnya menghilang. Pangeran Hans meraih benda itu kemudian menggenggamnya dengan erat.

"Aku yakin kamu pasti akan kembali padaku, Aurora. Dan aku akan menunggu hingga saat itu tiba," ucapnya sambil menatap kalung berlian merah tersebut.

...***...

Kejadian Aneh di Wisata Air Terjun

Beratus-ratus tahun kemudian.

Di sebuah tempat pariwisata air terjun. Di mana ada sekelompok muda-mudi yang terlihat sedang asik bermain sambil berselfie ria. Sesekali terdengar suara riuh tawa mereka yang memecah keheningan di tempat itu.

Di antara mereka, ada seorang gadis yang malah asik berjalan menyelusuri aliran air sendirian sambil menikmati pemandangan alam yang begitu indah di sekitar tempat itu. Namun, beberapa saat kemudian gadis itu sontak menghentikan langkahnya tatkala sebuah cahaya yang berasal dari dalam air memantul dan menyilaukan matanya.

"Apa itu?"

Gadis cantik berlesung pipi tersebut memfokuskan pandangannya pada benda itu dan setelah diperhatikan secara seksama, ternyata benda itu adalah sebuah liontin berwarna merah.

Ia meraih benda itu dari dalam air kemudian menentengnya. "Ya ampun, cantik sekali kalung ini. Punya siapa, ya?"

Karmila (Mila, 20 tahun) memperhatikan sekelilingnya, mencoba mencari tahu siapa pemilik kalung tersebut. Namun, tak seorang pun ada di sana. Semua teman-temannya berada di dekat air terjun.

Saat Mila masih memperhatikan sekelilingnya, tiba-tiba mata gadis itu tertuju pada sesosok laki-laki misterius yang sedang berdiri menatapnya dengan tatapan tajam dan tanpa berkedip sedikit pun. Wajah lelaki itu terlihat begitu tampan, tetapi kulitnya terlalu putih untuk seukuran manusia biasa. Lebih tepatnya, pucat.

Lelaki itu berdiri di samping pohon besar yang sangat rimbun dan jarak antara mereka berdua cukup jauh. Yang membuat Mila bingung, lelaki itu mengenakan pakaian yang tidak lazim. Seperti pakaian kerajaan pada jaman dulu-dulu. Terlihat sangat tampan dan gagah, tetapi tetap saja membuat Mila ketakutan setengah mati.

"Si-siapa lelaki itu?" gumam Mila dengan bibir bergetar sambil mundur beberapa langkah ke belakang.

Tatapan lelaki itu semakin lama, terlihat semakin menakutkan. Mila pun akhirnya memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan berlari dengan sekuat tenaga.

Brugkh!

"Aw, Mila! Kamu kenapa, sih?"

Di tengah ketakutannya, tanpa sadar Mila menabrak seorang gadis bernama Rika. Rika terjatuh ke tanah dan meringis kesakitan. Menyadari hal itu, Mila pun bergegas membantu Rika bangkit dan meminta maaf kepada sahabatnya itu.

"Maafkan aku, Rika. Aku tidak sengaja!"

"Memangnya kamu kenapa, sih? Kayak dikejar setan aja!" celetuk Rika sembari membersihkan celananya yang kotor akibat terjatuh barusan.

"Ada seorang laki-laki aneh di sana!" ucap Mila sembari menunjuk ke tempat di mana ia melihat lelaki itu.

"Laki-laki aneh? Di mana?" tanya Rika sembari melangkah perlahan menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Mila.

"Jangan, Rika! Aku takut lelaki itu punya niat jahat!" Mila meraih tangan Rika dan mencoba menahan langkah gadis itu.

"Sudahlah, Mila. Kamu tenang saja. Jika lelaki itu punya niat jahat, kita tinggal teriak saja dan teman-teman pasti datang dan menyelamatkan kita," sahut Rika.

Bukannya mendengarkan penuturan Mila, Rika terus saja melangkahkan kakinya menuju tempat itu. Walaupun sebenarnya Mila masih trauma dan takut, tetapi ia tidak akan membiarkan sahabatnya pergi ke tempat itu sendirian.

"Di mana lelaki itu?" tanya Rika ketika mereka sudah tiba di tempat itu. Ia memperhatikan sekeliling tempat itu. Namun, tidak ada seorang pun di sana. Termasuk lelaki aneh yang tadi memperhatikan Mila dengan begitu serius.

"Eh, di mana dia?" Mila memperhatikan pohon besar, di mana lelaki aneh itu tadi berdiri dan menatapnya.

"Tadi dia ada di sana! Tepat di bawah pohon besar itu," sahut Mila sembari menujuk ke arah pohon besar nan rimbun tersebut.

Rika berbalik kemudian menatap Mila dengan tatapan aneh. "Kamu tidak sedang sakit 'kan, Mil? Aku rasa itu hanya halusinasimu saja."

Mila menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, kok. Aku baik-baik saja, sumpah! Tadi aku melihat dengan jelas, di bawah pohon itu ada seorang laki-laki dengan wajah pucat menatapku. Pakaian yang ia kenakan tampak seperti pakaian pada jaman kerajaan-kerajaan gitu," jelas Mila dengan sangat antusias.

Rika mengelus tengkuknya yang terasa dingin. Tiba-tiba bulu halus yang tumbuh di sekitar lehernya menegak dan embusan dingin angin membuat nyali gadis itu sedikit menciut.

"Jangan berkata yang aneh-aneh, Mil. Ingat, kita berada di tengah-tengah hutan," ucap Rika mencoba mengingatkan Mila soal di mana mereka berada saat ini. Belum lagi waktu yang menunjukkan bahwa hari sudah hampir petang, di mana matahari sudah bersiap untuk terbenam.

"Tapi—" Belum selesai Mila berkata-kata, tiba-tiba Rika menarik tangannya dan membawa gadis itu menjauh dari tempat tersebut.

Rika melangkah dengan cepat. Sementara Mila mengikuti dari belakang sembari mengimbangi langkah cepat sahabatnya itu. Setibanya di air terjun, ternyata teman-temannya sudah bersiap untuk pulang. Mereka tampak sibuk merapikan barang-barang bawaan di samping bus yang tadi membawa mereka ke tempat ini.

"Hei, dari mana saja kalian? Kalian tidak ingin tinggal di sini, 'kan?" celetuk Rangga, salah satu teman Rika dan Mila, yang memimpin rombongan itu.

Mila dan Rika saling tatap untuk beberapa saat dan setelah itu baru Rika menjawab pertanyaan dari lelaki tampan, pujaan hati Mila tersebut.

"Ini Mas Rangga, Mila keasikan menikmati keindahan pemandangan di tempat ini. Sampai dia lupa waktu," sahut Rika.

Rangga tertawa pelan sambil menggoda Mila yang masih terdiam dengan bibir memucat. "Hati-hati ya, Mil. Di sini terkenal dengan itu-nya, loh! Jadi, jangan pernah kosongkan pikiranmu, karena mereka suka akan hal itu."

Lagi-lagi Mila dan Rika saling tatap. Nyali kedua gadis itu benar-benar menciut setelah mendengar celetukan Rangga barusan, terutama Mila. Apa lagi gadis itu baru saja mengalami kejadian aneh di sekitar tempat wisata itu.

"Mas Rangga jangan menakut-nakuti kami seperti itu, donk. Kami 'kan jadi takut," ucap Rika sambil mengelus-elus kedua tangannya yang terasa dingin secara bergantian.

"Ish, bukannya aku menakut-nakuti kalian, tapi apa yang aku katakan itu benar adanya. Di sini banyak mahluk tak kasat mata yang suka gangguin pengunjung. Khususnya gadis-gadis seperti kalian. Makanya aku sudah ingatkan sebelumnya agar kalian terus fokus dan jangan pernah mengosongkan pikiran kalian di tempat ini," ujar Rangga.

"Ya, sudah. Sebaiknya kalian bersiap karena kita harus pulang sekarang juga," lanjut Rangga sembari masuk ke dalam bus tersebut.

Sepeninggal Rangga.

"Sudah, jangan terlalu kamu pikirkan, Mil. Aku rasa itu hanya halusinasimu saja. Dan jika seandainya hal itu benar, aku harap orang itu adalah warga yang tinggal di sekitar sini," ucap Rika sembari menepuk pelan pundak Mila yang masih terdiam seribu bahasa.

Mila menarik napas panjang kemudian menghembuskannya kembali. Ia berharap apa yang dikatakan oleh Rika adalah benar. Walaupun secara logika itu tidak mungkin. Soalnya air terjun itu terletak di tengah hutan dan tidak ada pemukiman warga di sekitar tempat itu.

...***...

Mila Ketakutan

Bus yang membawa para muda-mudi itu pun meluncur meninggalkan tempat wisata air terjun tersebut. Semua orang tampak senang dan puas menikmati hari liburan mereka kali ini, tetapi hal itu tidak berlaku untuk Mila.

Sementara teman-temannya saling bercerita sambil tertawa lepas di dalam bus tersebut, Mila malah terdiam dengan pikiran yang terus tertuju pada sosok lelaki aneh yang tadi ia temui di bawah pohon nan rimbun tersebut.

Mila menatap ke arah jendela sambil memperhatikan rerumputan yang tumbuh tinggi di pinggir jalan yang mereka lewati. Sesekali terdengar hembusan napas panjang keluar dari hidung gadis itu. Keceriaan para muda-mudi di bus tersebut, tidak mampu mengusir ketakutan yang masih ia rasakan sampai saat ini.

"Sudahlah, Mil. Jangan dipikirkan lagi," ucap Rika tiba-tiba sembari menggenggam tangannya dengan erat. Mila tersentak kaget. Ia segera menoleh ke arah sahabatnya itu sambil tersenyum kecut.

"Ya. Akan kucoba," jawab Mila singkat yang kemudian kembali membuang pandangannya ke arah samping.

Baru saja Rika kembali memfokuskan pandangannya pada tingkah konyol para muda-mudi itu, tiba-tiba Mila menepuk tangannya dengan cepat dan kasar.

"Rika-Rika, coba lihat itu!" Mila menunjuk ke arah semak-semak belukar dengan begitu serius.

Rika menatap heran kepada Mila yang wajahnya terlihat semakin memucat. Mila terus menepuk-nepuk lengan Rika sembari menunjuk-nunjuk tempat itu.

"Ada apa lagi sih, Mil?" tanya Rika heran.

"Itu lelaki aneh yang tadi aku lihat di air terjun, Rika. Coba kamu lihat!" pekik Mila, masih menunjuk-nunjuk ke arah semak-semak.

Rika kembali melihat ke tempat itu dan sekali lagi kedua netranya tidak menangkap apa pun atau siapa pun di sana. Hanya ada semak belukar yang menghijau, tumbuh tinggi di sekitaran tempat itu.

"Mana, Mil? Aku gak lihat apa-apa di sana. Hanya ada semak belukar," jelas Rika dengan heran.

"Hah?" Mila tersentak kaget. "Kamu tidak melihatnya? Dia di sana, Rika, dan sekarang dia malah lihatin aku," lanjut Mila dengan tubuh bergetar.

Mila refleks memeluk tubuh Rika kemudian membenamkan wajah di pundak sahabatnya itu sambil memejamkan mata. Tubuh gadis itu bergetar dan membuat Rika merasa iba sekaligus khawatir.

"Hush, hush, sudah. Tidak apa-apa," ucap Rika sembari membalas pelukan Mila.

"Beritahu aku jika kita sudah keluar dari area hutan ini ya, Rik."

"Baiklah," jawab Rika.

Beberapa ratus meter setelah meninggalkan area hutan itu, Rika pun segera memberitahu Mila.

"Mila, kita sudah berada di jalan besar. Sekarang kamu sudah bisa membuka matamu," ucap Rika sambil mengelus punggung gadis itu.

Mila segera melerai pelukannya bersama Rika kemudian menatap sekitar tempat yang mereka lalui. Perlahan wajah gadis itu terlihat lebih tenang. Ia menghembuskan napas panjang sembari mengelus dadanya.

"Oh, syukurlah."

"Sekarang kamu sudah mulai baikkan?" tanya Rika sembari menyerahkan botol air mineral ke hadapan Mila.

"Ya, sudah lebih baik." Mila tersenyum kecil sambil meraih botol minuman itu kemudian menenggaknya hingga hampir tandas.

"Kalau boss kita kasih berlibur ke tempat ini lagi, aku pastikan aku gak akan ikut. Aku trauma," tutur Mila sambil menutup kembali botol air mineral itu.

"Ehm, maaf. Kalau boleh aku tau, wajah lelaki yang kamu lihat itu seperti apa, Mil? Tampan, menyeramkan atau bagaimana?" tanya Rika penasaran.

"Sebenarnya dia tidak menyeramkan. Malah sebaliknya, dia sangat tampan. Wajahnya berbeda dari laki-laki tampan yang pernah aku lihat. Bagaimana menjelaskannya, ya? Ah, pokoknya dia tampan," jelas Mila.

"Lah, kalau dia memang tampan, kenapa kamu mesti takut?" tanya Rika sambil tersenyum tipis.

"Ya ampun, Rika. Bagaimana tidak takut, kamu aja gak bisa lihat dia 'kan? Itu artinya dia bukan manusia," sahut Mila dengan sedikit kesal.

Rika terkekeh pelan sembari menggoda Mila. "Tampan mana sama Mas Rangga?"

Mila terdiam sejenak sambil membanding-bandingkan wajah tampan lelaki tak kasat mata itu dengan wajah tampan Rangga, lelaki yang menjadi pujaan hatinya selama ini.

"Aku rasa jauh lebih tampan lelaki aneh itu. Walaupun begitu aku tetap memilih Mas Rangga, setidaknya dia manusia tulen dan bukan makhluk tak kasat mata," jawab Mila dengan mantap.

"Cieee ... yang milih Mas Rangga. Ngomong-ngomong, kapan kamu akan mengungkapkan isi hatimu kepadanya?"

"Entahlah. Aku belum siap. Aku takut ditolak," jawab Mila sambil menghela napas berat.

"Heleh, Mila. Aku yakin seratus persen bahwa Mas Rangga pasti akan menerima cintamu. Sebenarnya kamu itu sangat cantik, hanya saja suka minderan," celetuk Rika.

"Tapi bagaimana jika Mas Rangga menolakku? Mau ditaruh di mana mukaku ini? Mana setiap hari aku harus bertemu dengannya. Belum lagi jika dia ember dan menceritakan kepada seluruh karyawan toko, bisa mati berdiri aku menahan malu," tutur Mila dengan begitu serius.

Rika tertawa pelan dan ia merasa sedikit tenang karena Mila sudah tidak ketakutan seperti sebelumnya. Ia menyandarkan kepala di sandaran kursi kemudian mulai memejamkan matanya.

"Ya, sudah. Aku mau istirahat dulu. Tubuhku benar-benar merasa lelah setelah seharian menikmati keindahan di tempat itu," ucapnya dengan mata terpejam.

Mila pun mengangguk kemudian ikut bersandar di sandaran kursinya. Setelah beberapa saat, kedua gadis itu pun tertidur.

***

"Aurora, berhenti!"

"Ayo kejar aku, Pangeran!"

Tampak sepasang kekasih dengan berpakaian khas kerajaan, tengah berlarian di sebuah taman bunga sambil tertawa riang. Berbagai bunga-bunga bermekaran di tempat itu dan mengeluarkan aroma wangi yang begitu menakjubkan.

Sesekali wanita cantik yang dipanggil Aurora itu berbalik kemudian tersenyum manja menatap lelaki tampan yang kini tengah mengejarnya.

"Tunggu aku, Aurora!"

"Ayo, Pangeran, kejar aku!" tantang wanita itu lagi sambil terus berlari dengan lincahnya. Namun, kecepatan wanita itu tak sebanding dengan kecepatan sang pangeran yang tengah mengejarnya. Hingga ...

"Dapat! Sekarang kamu tidak bisa pergi ke mana-mana lagi, Aurora! Kamu akan tetap di sini bersamaku, selamanya."

Pangeran berhasil menangkap tubuh Aurora kemudian memeluknya dengan erat. Begitu pula Aurora. Ia segera membalas pelukan sang kekasih dan membenamkan kepalanya di dada bidang lelaki itu.

"Aku sudah lama menunggumu, Aurora. Sekarang berjanjilah padaku bahwa kamu tidak akan pernah meninggalkan aku lagi." Wajah lelaki itu tampak sendu dan kedua netra indahnya mulai berkaca-kaca.

Aurora mengangguk pelan kemudian mendongakkan kepalanya menatap sang pangeran. "Bukankah aku sudah berjanji padamu, Pangeran. Bahwa aku akan kembali ke sisimu," jawabnya.

Sang pangeran tersenyum kemudian melerai pelukannya bersama Aurora. Ia meraih sesuatu dari saku celananya kemudian menentengnya di hadapan wanita itu.

"Ini kalungmu, Aurora. Dan hari ini akan kukembalikan kepadamu," ucapnya yang kemudian memasangkan kalung itu ke leher Aurora. Kalung berlian merah yang selama ini menjadi lambang cinta mereka.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!