Tag tag tag tag.
Dengan langkah cepat Roze Moza menaiki tangga restoran Z tempat biasa ia dan kekasihnya datangi untuk sekedar makan malam romantis. Terdapat sebuah paper bag kecil menenteng di tangan kirinya. Malam ini adalah tahun ke dua hari jadi mereka. Roze merasa sangat bersyukur karena selama 2 tahun terakhir ini prianya itu selalu ada untuknya dihampir setiap ia membutuhkan kekasihnya itu.
“Wah, apa aku terlambat, sayang?”
Mengetahui kekasihnya Jevander sudah datang lebih dulu darinya, ia sangat bahagia. Hampir dua pekan keduanya tidak bertemu karena kesibukan mengurus perkuliahan yang sama-sama akan selesai.
“Duduklah, Roze. Aku juga baru tiba.”
Sikap Jevan yang tak seceria biasanya sedikit mengganggu pikiran Roze. Tapi tak apa, Roze berusaha terlihat santai.
“Apa kau sudah memesan?” tanya Roze, sengaja menciptakan suasana hangat seperti biasanya.
Jevan mengangguk pelan dengan wajah datar. Ekspresi yang aneh dan mencurigakan.
“Sayang, ada yang mau aku bicarakan.” Ujar Roze, dengan perasaan berdebar, tak tahan lagi menyembunyikan kebahagiaannya. Ada hal penting yang akan ia sampaikan mala mini pada kekasihnya, tentu saja sebuah kabar membahagiakan.
“Aku juga ada yang mau dibicarakan ke kamu.” Jawab Jevan. Wajahnya terlihat sangat tidak nyaman.
“Begitukah? Apa itu? Kamu duluan. Bicaralah!” timpal Roze pula.
“Ehmm. Begini Roz … aku rasa … kita sudah cukup sampai disini.”
“Ya? Mak…sud..mu?”
“Aku akan menikahi sahabatku. Dia … sedang mengandung.”
Degg.
Bagai terkena sambaran kilat, Roz terdiam membatu. Apa ini? Kekasihnya akan menikahi wanita lain?
“Aku tahu ini mengejutkanmu. Tapi ... dia adalah wanita yang benar-benar harus kunikahi.”
Wanita yang benar-benar harus dinikahi Jevan? Siapa yang lebih pantas selain Roze?
“Lan-lantas, bagaimana denganku? Tunggu, selama ini kita sudah biasa bersama. Tidur bersama. Makan bersama. Lalu kenapa tiba-tiba? Kau sedang bercanda?” Roze masih berusaha memasang wajah tak percaya.
“Ayah dan ibuku memilih dia sebagai menantu. Orang tua sudah lama menjodohkan kami. Lagi pula dia … aku berhutang budi padanya.” mendengar ini, Roze tersenyum tipis dengan raut wajah datar.
“Jadi selama ini kau berkhianat dibelakangku? Tidak mungkin. Kau sangat mencintai aku. Tidak mungkin kau akan meninggalkan aku untuk wanita lain. Apa yang membuatmu lebih milih dia dari pada aku? Aku juga punya segalanya. Segalanya. Harta, cinta, aku punya semua itu untukmu. Kau pun tahu itu, kan?”
“Keluarga.”
Satu kata itu kembali membungkam mulut Roz.
Keluarga? Apa maksudnya? Apa dia diam-diam menyelidiki background keluargaku?
“Maaf Roz, setelah mengetahui hal yang kau rahasiakan dariku, aku jadi berpikir ribuan kali untuk tetap terhubung denganmu. Kenapa kau tidak bilang dari awal tentang bagaimana kondisi keluargamu? Ayah dan ibuku juga pasti tidak akan merestui. Aku khawatir latar belakangmu akan merusak nama baik keluargaku.” meski tidak enak hati mengatakannya, tapi Jevan harus jujur.
“Cukup! Tidak perlu diperjelas. Aku sudah mengerti sekarang. Ibuku seorang pelacur, mucikari kelas kakap dan aku tidak punya ayah yang jelas. Tapi bagaimana dengan tubuhku yang sudah kau rusak? Bukankah kau harus bertanggung jawab?”
Suasana berubah menjadi dingin.
“Bertanggung jawab? Roz! Kau sudah hilang ingatan atau bagaimana? Saat malam pertama kita, itu bukan pertama kali untukmu. Tidak ada tanda yang membuktikan kalua itu malam pertama bagimu. Kau mau menipuku?”
“Dulu aku pernah mengalami pendarahan saat mengejar seseorang.” Roz menunduk. Hal ini sungguh tidak penting untuk dijelaskan. Kenapa Jevan tidak mempermasalahkannya saat malam pertama mereka?
“Okey, anggap saja itu bukan masalah. Tapi kenapa banyak sekali kebohonganmu? Tentang ibumu, kau selalu pamer kalau dia adalah wanita bermartabat. Pada kenyataannya,;”
“Pergilah!”
“Roz..” Jevan sepertinya benar-benar tidak enak hati.
“Pergilah!” tersenyum kecil. Roz hanya berpasrah karena sadar diri. Ia kembali berdiri. Terpaksa Roz harus benar-benar mempercayai situasi ini meski tidak ingin.
“Roz, maafkan aku, okey, maaf kalau kata-kataku menyinggungmu. Aku menyayangimu tapi kita benar-benar tidak bisa bersama.” Jevan berdiri lalu menghampiri Roz. Memeluknya dengan erat.
“Setelah ini, jadilah dirimu sendiri. Terima apa adanya dirimu. Jangan menyulitkan diri lagi. Akan ada orang yang tepat dan bisa menerimamu apa adanya. Tapi ... orang itu bukan aku. Aku tidak mau menyulitkanmu jika bersamaku. Aku tidak bisa mengecewakan orangtuaku kalau memilihmu."
Kau boleh menganggapku orang jahat. Ya, aku memang jahat karena tidak bisa menerima latar belakangmu. Maafkan aku. Tidak, kau tidak perlu memaafkanku. Kau boleh membenciku.”
Pelukan itu akhirnya mengendur. Pelukan terakhir dari Jevander Park untuknya. Roz ingin menahan pelukan itu. Rasanya tidak rela jika harus terlepas dari pelukan pria ini. Pria yang ia cintai begitu dalam.
“Maaf, aku harus pergi. Jaga dirimu.”
Sudah. Selesai sudah hubungan mereka. Pria yang ia cintai kini sudah pergi. Ketakutan yang selama ini selalu menghantui akhirnya benar-benar terjadi. Lagi-lagi ia ditinggalkan untuk kesekian kalinya oleh orang dekatnya. Belum cukupkah menanggung hinaan karena karena status ibunya sebagai seorang germo, terlebih lagi tidak punya ayah sejak lahir? Belum puaskah dunia mempermainnkannya?
Marah? Kecewa? Sedih? Siapa yang tidak akan bersedih jika situasi berbalik dalam sekejap?
"Jevan, tidak bisakah kamu merahasiakan tentangku dari keluargamu?" Roze tetap berusaha memberi solisi. Jevan terkejut ketika ternyata kekasih yang baru saja ia tinggalkan itu kini berada tepat dibelakangnya saat ia akan membuka pintu mobil. Roze rupanya belum benar-benar pasrah.
"Roze, aku tidak bisa merahasiakan apapun dari mereka. Maafkan aku. Sebagai anak aku sudah sering mengecewakan orangtuaku." tampak cairan bening juga membasahi kelopak mata Jevan. Sebenarnya ia merasa tidak tega melihat reaksi menyedihkan ini.
"Jevan, bisakah tidak tinggalkan aku?" Roz menahan tangan Jevan yang hendak membuka pintu mobil. "tidak perlu menikahiku, tapi tetaplah denganku-"
Tak ada respon sedikitpun dari pria itu. Dengan perasaan bersalah, ia tetap pada pendiriannya, berpisah dengan Roze. Karena pria itu sudah tau, kedua orang tuanya pasti akan menentang hubungan ini dan akhirnya tetap akan menyakiti dirinya dan Roze suatu saat nanti.
Memiliki ibu seorang germo yang merangkap sebagai pela*ur, bahkan wanita yang dikencaninya ini entah berasal dari siapa, Roze bahkan tidak punya ayah kandung. Jevan tidak tega menempatkan kedua orangtuanya menanggung hinaan dari orang lain karena wanita yang dipilihnya.
"Pergilah! Aku tidak akan menahanmu." -Roze berucap dengan bibir bergetar melawan hebatnya rasa sakit dihatinya. Kali ini ia benar-benar tersadar akan siapa dirinya.
Pria itu pun pergi, tanpa menoleh lagi ke belakang. Pandangan Roze menghantarkan pria yang dicintainya itu semakin menjauh dan kemudian menghilang bersama mobilnya. Disitulah air mata gadis itu mengalir dengan bebas menganak sungai di kedua belah pipinya. Paper bag yang tadi ia bawa sebagai hadiah untuk Jevan, kini ia hanya bisa menatap benda itu dengan nanar. Hadiah berupa beberapa alat tes kehamilan yang beberapa saat lalu ia bawa dengan penuh antusias. Ia usap air matanya lalu membuang tas kecil itu ke dalam tong sampah terdekat.
Kembali ke Apartemen tempat tinggalnya.
Hal pertama yang dilakukan Roze adalah mengumpulkan semua benda yang berhubungan dengan ayah dan ibunya, kemudian semua pemberian Jevan. Pemberian dari pria itu yang selalu berarti bagi Roze, ia kumpulkan menjadi satu dan membuang semua itu, menyalakan api diatasnya, membakarnya tanpa sisa.
Sambil menyaksikan api melalap semua itu, Roze lalu berkata : "Ayah, bunda, kalian adalah kesialan bagiku. Selamat tinggal" mengucapkan kata 'selamat tinggal' pada kedua orang tuanya membuat Roze tertawa, menertawai dirinya sendiri kemudian. "Aku terdengar begitu percaya diri. Bukankah kalian berdualah yang lebih dulu mengucapkan selamat tinggal padaku sejak awal? Hah, kalian bahagia bersama orang yang kalian cintai, tanpa memikirkan hancurnya perasaanku."
Sedikit flashback...
Sejak Roze berusia 14 tahun, Helena, ibu dari Roze memutuskan untuk tinggal bersama suaminya yang notabene seorang duda beranak dua, meninggalkan putri kandungnya sendiri dan memilih merawat anak orang lain.
Sebenarnya, saat bayi, Roze sudah ia serahkan kepada pasangan bernama Stefan dan Gina untuk diadopsi menjadi anak mereka. Namun, dua tahun kemudian, Helena kembali dan memohon untuk mengambil anaknya, membawanya pergi dari keluarga itu. Bukan karena sungguh-sungguh ingin merawatnya, namun hanya karena menginginkan perhatian dari Mr. Lee, ayah kandung Roze yang sudah beristri.
Perhatian dan kasih sayang tak kunjung ia dapatkan dari pria yang dicintainya itu. Sepertinya, Lee mendatanginya hanya untuk Roze. Lama - kelamaan, Lee tak kunjung muncul, yang datang hanyalah transferan untuk biaya hidup Roze, melalui sebuah card yang pria itu tinggalkan untuk putrinya.
Lama dalam penantian tak pasti, Helena akhirnya bertemu dengan seorang duda tajir melintir lalu mereka memutuskan untuk menikah, meskipun tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang germo atau mucikari. Sayangnya, pria barunya itu menolak untuk merawat Roze dan hanya menginginkan Helena.
Memikirkan semua hal tentang ayah dan ibunya, membuat hati Roze kembali panas, seakan ikut terbakar dengan semua kenangan yang telah lenyap dilalap api, termasuk kenangan dirinya bersama Jevander Park.
"Kenapa semua orang begitu tega? Apa aku semenjijikkan itu? Ah, Tunggu! Kalian yang tidak berperasaan atau ... aku yang memang tidak pantas menerima kasih sayang?" Ia lalu mengusap pelan perutnya. Bukan karena lapar, tapi karena ada manusia baru yang sedang bersarang didalamnya. Dengan wajah tenang, Roze berkata : "Aku bahkan akan menanggung hinaan berikutnya. Memiliki anak tanpa suami." -menatap perutnya dengan rasa bersalah.
“Kamu tidak boleh lahir dan menjadi sepertiku. Maaf, aku harus menyingkirkanmu sebelum kamu tumbuh besar.”
.
Bersambung guys!
Yuk kasi like, komen, hadiah, vote, aku menantikannya.
Tanks bestie...
Bulan demi bulan berlalu.
Roze POV
Setelah menyelesaikan pendidikanku di Amrik beberapa bulan yang lalu, aku membuat keputusan besar untuk tidak lagi kembali ke negara kelahiranku, Korea Selatan. Ya, aku memutuskan untuk memulai kehidupan baru di Indonesia, tanah kelahiran ibu kandungku.
Aku berjanji tidak akan lagi bertemu dengan mereka, orang-orang yang telah membuangku, meninggalkanku, menyakitiku dengan begitu parah.
Hari ini aku terbangun saat waktu masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Aku merasakan mules hebat pada perut besarku. Ada apa ini? Padahal aku sudah memilih tanggal sepuluh hari lagi untuk operasi Caesar.
Yakin bahwa anak-anakku akan lahir, aku meraih ponselku untuk menghubungi seseorang. Dia adalah seorang wanita paruh baya yang kupekerjakan untuk mengurusku selama 2 bulan terakhir ini. Ya, aku sedang mengandung anak kembar. Tidak hanya kembar dua, tapi tiga. Setelah menyadari pikiran jahat untuk menghabisi nyawa jabang bayiku, aku sangat bersyukur dan menangis terharu ketika hasil USG menyatakan bahwa aku sedang mengandung anak-anak kembar. Aku berubah jadi tidak sabar untuk bertemu dan sangat menantikan kelahiran ketiga anakku.
Kamar si bibi yang bersebelahan denganku tidak membutuhkan waktu lama untuknya sampai dikamarku.
"Sepertinya aku akan lahiran Bi," ringisku menahan sakit yang begitu tiba-tiba ini.
"kita ke rumah sakit segera." Si bibi dengan sigap membantuku.
Aku dan bibi tiba di rumah sakit dan tim medis langsung bertindak menolong persalinanku.
Di dalam ruangan aku berbasahkan keringat dingin. Banyak hal yang terpikirkan olehku. Bagaimnana kalau operasi ini gagal, bagaimana dengan anak-anakku?
Kenapa ibuku meninggalkanku semudah itu ketika hebatnya sakit melahirkan terasa sangat menakutkan seperti ini? Kenapa dia menyia-nyiakan perjuangannya telah melahirkanku?
Sekitar beberapa jam kemudian, bayiku telah lahir.
Sreeeet. Pintu ruangan dimana aku berada terbuka lebar. Sebuah box bayi di dorong kearahku oleh si bibi dan seorang perawat.
Tiga bayi mungil kini diperhadapkan di depanku. Dua dari mereka terlihat bergerak dengan aktif. Berbeda dengan bayiku yang berada ditengah kedua saudaranya. Dia hanya diam tanpa ekspresi.
Aku mengambilnya dan memeluknya. Air mataku menetes saat kurasakan hembusan napasnya yang terasa sangat pelan.
Aku menahan napasku yang terasa sesak. Kutatap dalam bayiku ini dengan perasaan sedihku yang tak terbendung.
"Sayang, maafkan bunda."
Hal yang sangat kusesali adalah kebodohanku sendiri. Karena sedari dalam kandungan, salah satu anak kembarku mengalami kelainan pada jantungnya. Itu adalah murni kesalahanku sebagai wanita yang mengandungnya.
Saat pria itu pergi meninggalkanku, aku sangat marah. Aku menelan banyak obat-obatan bermaksud untuk menggugurkan kandunganku. Itu yang menyebabkan salah satu dari anak kembarku mengalami hal ini.
Saat itu yang kupikirkan adalah tidak ingin dia terlahir tanpa status yang jelas. Aku tidak ingin dia hidup menyedihkan sepertiku. Hidup menyedihkan yang disebabkan oleh orang tuanya sendiri.
Teman baik? Kekasih? Aku sangat sulit mendapatkan dua hal itu. Ketika mengetahui siapa ibuku, temanku akan menjauh. Apa salahku? Apa dunia gelap ibuku akan ia wariskan padaku sehingga membuat aku terlihat menjijikan?
Aku telah menggantungkan harapan yang terlalu tinggi pada Jevander Park, karena aku pikir dia manusia tulus melebihi siapapun. Aku sangat yakin bahwa dia adalah seseorang yang akan menyayangiku sampai akhir, tidak seperti kedua orang tuaku yang tega meninggalkanku.
Tapi ternyata …
Aku melupakan satu hal. Dia tetaplah seorang anak bagi kedua orangtuanya. Pria yang berasal dari keluarga bahagia dan harmonis. Terpandang baik dilingkungan keluarga maupun dalam relasi bisnis. Berbanding terbalik denganku yang tidak perna merasakan apa itu kasih sayang kedua orang tua. Membayangkannya saja pun aku tidak berhak.
.
Hukum tabur tuai tetaplah berlaku. Apa yang telah kutabur, aku menuainya sekarang. Anakku, dia akan menanggung penderitaan dan aku harus menyaksikannya dan menanggungnya sendirian.
.......
6 tahun kemudian.
"Bunda, Bunda ..."
"Ya, sayang?"
"Bun, apa Ezra sudah cantik seperti Bunda?"
Ezra, putri kecil Roze, sedang memutar-mutar tubuhnya dihadapan sang bunda. Anak itu sudah memakai seragam lengkap bersiap untuk berangkat sekolah dihari pertamanya memasuki jenjang SD bersama adik kembarnya yang tampan bernama Daniel Moza.
Ya ... si kembar sudah berusia 6 tahun saat ini.
Roze berhasil melewati keterpurukannya pasca kenyataan pahit yang menimpa dirinya karena harus menerima kenyataan bahwa salah satu putra kembarnya lebih banyak berbaring di ranjang pasien sejak 6 tahun lalu.
Roze sendiri kini bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta, sebagai seorang dokter anak.
Ketiga anaknya, Ezra, Daniel dan Darriel memiliki kecendrungan dan karakter yang sangat berbeda.
Ezralia Moza, anak itu tumbuh menjadi gadis kecil sensitif, pemberani, pemarah dan tidak bisa diajak bercanda.
Daniello Moza, anak itu cenderung diam dan tidak peduli dengan urusan yang tidak penting baginya.
sedangkan si bungsu yang bernama Darriello Moze, dia adalah anak yang sangat ceria. Satu-satunya kesamaan si kembar adalah sama-sama menyayangi bunda-nya, Roze Moza.
"Bye, sayang! Belajar yang bener ya,"
Kedua anak itu keluar dari mobil setelah menyalim tangan bunda-nya. Sayangnya, Darriel tidak bisa menikmati masa sekolah formal seperti dua kakaknya. Ia hanya difasilitasi sekolah nonformal hanya dengan sesekali pertemuan mengingat kesehatannya tidak mendukung untuk beraktivitas normal seperti orang lain.
Cukup mandiri, di hari pertama masuk SD si kembar tidak membutuhkan bantuan bunda untuk mengantar sampai di kelas. Terutama Ezra, gadis kecil pemberani itu sudah tahu merasa malu jika terlihat manja.
Meskipun lahir hanya hitungan detik lebih dulu daripada Daniel, Ezra merasa dirinya benar-benar seorang kakak bagi adik kembarnya itu. Tak jarang Ezra menyuruh Daniel melakukan apapun yang ia kehendaki. Tapi seperti biasa Daniel bukan tipe anak yang gampang diminta ini dan itu seenaknya.
"Niel, sebelum dijemput bunda pulangan nanti, kita cari ayah yuk,"
"Aku tidak butuh ayah. Cari saja sendiri."
"Apa kau tidak penasaran? Lihatlah! Semua teman diantar ayah ibu mereka. Aku hanya ingin tahu rasanya punya ayah."
"Aku bilang tidak butuh ayah. Kau cari saja sendiri. Lebih baik aku belajar biar pintar."
"Ah, Niel payah. Oke, kakak akan cari tahu sendiri dimana ayah."
Ayah ayah ayah terus. Namanya saja kau tidak tahu, apa lagi orangnya. Daniel menggeleng sembari membatin menertawai kakak kembarnya dalam hati.
Hari pertama, seperti biasa semua anak akan memperkenalkan diri. Siapa nama ayah, ibu bahkan adik atau kakak yang mereka miliki.
Ezra adalah anak yang tampil pertama. Dengan semangat ia unjuk jari memamerkan sikap pemberaninya.
"Halo, teman-teman! Nama saya Ezralia Moza. Nama bunda saya Roze Moza. Nama adik saya Daniel dan Darriel Moza. Terima kasih!"
"Hai Ezraa! Apa kamu tidak melewatkan sesuatu?"
"Iya, kamu belum menyebutkan siapa nama ayahmu!"
“Oh, ayah?” Ezra terbungkam. Ini adalah pertama kali ada orang yang berani mengungkit hal itu di depannya.
Sudah pasti jiwa sensi Ezra langsung mencuat saat disinggung tentang ayah. Gadis itu menggaruk kepala seperti sedang kehilangan keberaniannya. Untuk pertama kalinya ia menyesali sikap pemberaninya.
JEVAN
Bebagai adik yang baik, mungkin, bantuan datang dari adik kembarnya yang menuliskan nama 'JEVAN' dengan huruf berukuran besar pada sebuah kertas putih yang ia angkat diatas kepalanya agar terbaca oleh Ezra.
"Nama ayahku, Jevan." jawab Ezra dengan setengah suara. Baru kali ini anak perempuan itu mengatakan sesuatu dengan rasa tidak percaya diri. Tapi Ia tak peduli lagi itu nama siapa. Yang terpenting, dirinya tertolong dari situasi tidak menyenangkan ini.
Setelah semua siswa selesai memperkenalkan diri, pelajaranpun dimulai. Semua anak terlihat antusias dan berkonsentrasi penuh, termasuk Daniel.
Namun berbeda dengan Ezra. Kepalanya dipenuhi dengan nama ayah yang ia sebutkan tadi. Jiwa penasaran gadis kecil itu tengah mendominasi.
Waktu istirahatpun tiba. Ezra dengan cepat melangkah mendekati Daniel, menarik kembarannya itu ketempat yang sepi.
"Eh, Niel! Jevan itu siapa? Ayah kita? Kau tahu nama ayah tapi tidak pernah memberitahuku?"
Danie menjawab dengan menggidik bahu.
"Kau tidak tahu? Lalu dari mana kau mendapatkan nama itu?"
"Itu tidak penting, kak. Yang penting kita punya nama ayah."
"Apa? Jadi tadi kita sedang membohongi semua orang?"
"Sesekali berbohong tidak apa-apa." Acuh Daniel.
"Aku tidak percaya. Kau pasti tahu siapa itu Jevan." Ezra terus menuntut.
"Oke, dengar! ... bunda pernah menyebut nama itu. Jelas?"
"Apa? Kapan? Apa kamu yakin?”
“aku yakin. Tapi belum tentu nama itu adalah ayah kita. Saat itu kita masih sangat kecil.” Jawab Danniel.
“O M G, Niel-Niel! Jadi tadi kita hanya berbohong? Sudahlah, itu tidak penting lagi. Ayo kita ke kantin."
.
.
Bersambung...
Like komen dong guyss
Seorang pria setengah baya sedang menatap intens lembar demi lembar beberapa foto.
Ternyata anak itu pergi ke negara asal ibunya. Apa yang kau pikirkan Roze?
Bukannya pulang ke Korea, ternyata Roze Moza pergi ke Indonesia dan menetap disana.
Lee telah kehilangan info tentang Roze setelah putrinya itu menyelesaikan study kedokteran di Amrik.
Wajah putrinya yang hanya bisa ia tatap dari kejauhan, putri kandungnya yang selalu ia abaikan, terpampang jelas di dalam lembar-lembar foto tersebut.
Pria berkebangsaan Korea ini dikenal dengan nama Mr. Lee. Ia merupakan ayah biologis dari Roze Moza. Namun, karena tidak mencintai Helena Moza wanita yang pernah menjadi teman ranjangnya, Mr. Lee tidak menikahi wanita itu meskipun benihnya telah tumbuh di rahim Helena. Lahirlah Roze tanpa menyandang embel-embel nama keluarga ‘Lee’.
Mengetahui bahwa Roze kini telah memiliki tiga bocah kembar tanpa suami, benar-benar menyayat hati Mr. Lee.
Tak bisa dibohongi, perasaan bersalah kini menuduhnya. Sebagai seorang ayah, ia tidak mampun menjaga putrinya sendiri.
Kau pasti sangat membenci ayah yang tak berguna ini, kan? Kau sengaja tidak pulang ke Korea karena membenci ayah. Roze, maafkan aku, Nak.
Mr. Lee mengusap kedua matanya yang kini berlinang.
"Nak, kau cari tahu, siapa ayah dari anak- anak ini."
Lee memberi perintah pada putra satu-satunya yang bernama Jungki untuk mencari tahu tentang masa lalu Roze, dengan siapa dia berkencan saat kuliah di Amrik.
"Baik Ayah," Jungki segera melaksanakan perintah dari sang ayah. Tak lupa Lee meminta putranya itu untuk merahasiakan semua dari Nyonya Lee, istrinya yang juga ibu dari Jungki, putra tampannya itu.
Dalam waktu tiga hari, Jungki kembali menghadap ayahnya membawa berita yang kini membuat darahnya terasa mendidih.
Jevander Park.
Putra dari Mario Park salah satu rekan bisnisnya, tenyata adalah ayah dari ketiga anak Roze.
"Ayah, kita juga tidak bisa langsung mengklaim hal ini. Kita perlu tes DNA ayah," Jungki berusaha menetralkan muka marah sang ayah.
"Kalau hanya dia yang terlibat dengan masa lalu kakakmu, maka dia pasti orangnya. Apa kau tidak melihat kemiripan anak-anak itu dengannya?"
"Iya, Ayah. Mereka memang terlihat mirip. Tapi anak-anak ini lebih mirip banyak dengan kakak. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Jevan sudah punya keluarganya sendiri."
"Tapi dia sudah bercerai meskipun itu dirahasiakan. Ayah akan membuat ayahnya mengirim Jevan ke Jakarta."
Jungki mengangguk paham. Ia tahu betul, ayahnya benar-benar akan melakukannya.
"Jungki, kau pun bersiaplah untuk pergi. Ayah ingin kau menjaga kakakmu dan tiga cucu ayah itu."
.
Jevander Park.
Pria berwajah oriental Korea berusia 30 ini tiba-tiba harus pergi dan tinggal di Jakarta Indonesia atas perintah sang ayah, Mario Park.
Perusahaan Fashion milik Mario Park baru-baru ini kembali membuka cabang besar di Indonesia. Untuk itu, para pemegang saham kompak menunjuk Jevan untuk ditempatkan di Jakarta untuk menghandle langsung perkembangan perusahaan cabang tersebut. Jevan membawa serta putrinya juga.
.
.
Tin tin.
Roze hanya membunyikan klakson mobilnya tanpa perlu keluar saat menjemput si kembar di sekolah. Kedua anak itu bergegas saat tahu ibunya sudah datang menjemput.
"Niel, apa hari ini kakakmu tidak nakal?"
Pertanyaan bunda membuat Ezra memanyunkan bibirnya.
Roze memang meminta Niel untuk memgawasi kakak kembarnya selama di sekolah. Bagaimana tidak, baru hari ke dua di sekolah sudah ada dua teman sekelas mereka yang dibuat menangis oleh Ezra.
"Niel tidak begitu memperhatikan, Bun. Mungkin enggak, soalnya hari ini gak ada teman yang menangis." Lapor Niel, apa adanya. Kembali ia fokus membaca sebuah majala bisnis untuk mengusir kebosanan diperjalanan.
"Bagus, sayang. Bunda senang kalau kamu tidak nakal, hm?" Melirik Ezra dari kaca spion. Anak perempuannya itu melipat kedua tangan di atas perut, mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Niel, majalah apa itu?" Tanya Roze. Ia merasa tidak membeli majalah apapun. Lagi pula, tidak terlihat seperti majalah anak-anak. Kali aja majala dewasa, kan bahaya bagi anak seusia Daniel.
"Majalah bisnis Bun," jawab Niel, singkat.
"Majala bisnis? Dari mana kamu dapat itu?"
"Tadi seseorang menjualnya."
Menjual majalah bisnis di lingkungan sekolah dasar? Aneh. Batin Rose.
"Kok beli majalah? Kamu gak jajan, Niel?"
Tidak ada jawaban dari anak itu.
JEVAN.
Ezra terbelalak setelah mengeja dalam hati tulisan yang familiar baginya pada majalah yang dipegang oleh Daniel. Spontan ia pun merebutnya. Niel terlihat kesal.
"Pinjam dulu Niel"
Ezra menegang memperhatikan wajah seseorang yang terpampang disana.
"Bunda, stop dulu Bun."
"Apa lagi sih Ezra?"
Roze merasa heran, putrinya yang sejak tadi terlihat diam dan memusuhinya tiba-tiba saja dengan antusias memintanya menghentikan mobil secara darurat.
"Bun, Bunda harus lihat ini!"
"Apa itu?"
Roze terlihat acuh dan ogah menghentikan mobil.
"apa bunda mengenal orang ini?"
Ezra membalik majalah tersebut menghadapnya kearah kaca spion agar bisa terlihat oleh bunda.
Shhhiiiiiiit!
"Aw!"
Dua bocah itu menjerit ketika kepalanya terhantuk akibat mobil yang mereka tumpangi berhenti mendadak.
"Bundaaaa!"
Keduanya kompak meneriaki Roze sebagai tanda protes atas apa yang mereka alami.
Dalam sekejap, yang katanya majalah bisnis itu berpindah ke tangan Roze. Kepala dan matanya terasa memanas melihat senyum Jevan disana.
"Bunda mengenal paman itu?"
Daniel bertanya dengan rasa penasaran. Tidak biasanya anak itu peduli.
"Tidak. Bunda tidak mengenalnya. Hei! Bunda kasih tau kalian berdua ya, jangan pernah sembarangan berbicara dengan orang asing. Mengerti?"
Kedua anak itu mengangguk patuh. Takut melihat wajah marah ibunya.
Roze berusaha menetralkan perasaan gugupnya dengan cara memarahi si kembar yang tak tahu apa-apa.
Roze menatap nyalang gambar Jevan.
Apa yang sudah diketahui anak-anakku? Kenapa mereka menanyakanmu? Apa ini? Dia akan berada di kota ini dalam waktu dekat?
"Bun, Bundaa!"
Roze tersadar dari pikirannya. "Maafkan bunda ya, bunda sedikit pusing. Kalian tidak apa-apa kan?"
"Oke, tak masalah Bun, bisa kembalikan itu?"
Daniel meminta kembali majalah miliknya, kembali fokus membaca. Lain hal dengan Ezra yang masih memikirkan orang yang bernama Jevan.
Aku harus menemukan paman itu. Kira-kira dia tinggal dimana ya?
"Niel, pinjem lagi majalahnya, boleh?"
Ezra kembali ingin merebut majalah itu namun tindakannya terhenti saat mendapatkan lirikan tajam Daniel.
"Enak aja, tunggu aku selesai"
"Oke, oke,"
Semua tentang paman itu pasti ada di majalah. Aku sangat yakin Bunda mengenalnya.
.
Di ruang rawat rumah sakit Barata Hospital.
Darriel sedang dalam perawatan rutin. Dengan laptop miliknya ia seperti sedang membaca sebuah artikel. Anak yang senantiasa terlihat riang itu kini menampilkan senyum ceria diwajahnya.
“hai boy!”
“Bunda?” tersenyum kearah bundanya yang baru saja datang menemuinya di sela pekerjaan si bunda sebagai dokter di rumah sakit ini.
“gimana kondisi anak bunda hari ini sayang?”
“biasa aja Bun. Oh ya, Bunda lihat ini.” Memperlihatkan sesuatu di layar laptopnya kepada Roz.
“Darriel sudah tau beritanya? Pantau berita tentang ayah tiap hari?” Roz duduk disebelah putranya. Menyandarkan kepala anak itu ketubuhnya.
Darriel memang selalu memantau berita tentang pria yang diketahuinya sebagai ayahnya itu. Hal ini adalah rahasia antar dirinya dengan sang bunda. Kedua kakak kembarnya tidak dibiarkan mengetahui hal besar ini. Danniel mungkin saja akan acuh. Tapi berbeda dengan Ezra. Anak itu pasti akan nekad mencari keberadaan ayahnya tersebut karena telah lama menunggu kepulangan ayahnya yang selama ini diketahuinya sedang bekerja di luar negeri.
“Bunda, keinginan besarku adalah bertemu sekali saja dengannya. Sepertinya akan segera terkabul, ya kan Bunda?” tatapnya penuh binar harapan.
.
.
Bersambung...
Trima kasih sudah membaca.
Jangan lupa dukungannya ya guyss
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!