"Mama," ucap Mentari setelah membuka pintu dengan nafas tersengal. Ia tadi sedang mencuci pakaian di belakang jadi ia tidak tahu kalau ibu mertuanya datang. "Maaf, ma, tadi Tari sedang mencuci baju di belakang jadi nggak kedengaran mama ngetuk pintu," ujar Mentari menjelaskan dengan lembut dan sopan. Lalu Mentari mempersilahkan ibu mertuanya itu masuk diikuti adik iparnya, Rahmi
"Alasan. Pasti kamu sengaja kan buat saya berdiri di sini lama-lama! Dasar, menantu kurang ajar, nggak tahu diri," desis Rohani sambil berdecak kesal.
Mentari menghela nafas panjang sembari beristighfar dalam hati. Meminta dipanjangkan rasa sabarnya sebab wanita yang ada di hadapannya ini adalah ibu dari suaminya. Wajib baginya menghormati sang ibu mertua karena semenjak ijab kabul terucap, ibu sang suami pun sudah berganti status menjadi ibunya juga. Mentari tidak menjawab tuduhan Rohani sebab seperti pengalaman sebelum-sebelumnya, menjawab pun bukannya menyelesaikan masalah. Justru memperbesar masalah. jadi tak apalah ia menahan ego ingin berkonfrontasi dari pada kepalanya makin pusing karena pertengkaran yang memuakkan.
"Maaf, Ma," ujarnya pelan.
"Halah, maaf, maaf, selalu saja begitu. Dasar menantu nggak guna. Nggak tahu diri. Benalu. Cuma tahunya nyusahin terus ngabisin uang anak saya saja," hardik Rohani dengan nada mencemooh. Sudah kebiasaan wanita paruh baya itu setiap bertemu dengan Mentari selalu saja mengeluarkan kata-kata kasar dan hinaan.
Mentari tidak henti-hentinya mengucap istighfar dalam hati. Entah sampai kapan ibu mertuanya itu akan bersikap seperti itu padanya. Dulu Mentari pikir, ibu mertuanya akan berubah seiring bergulirnya waktu. Tapi nyatanya, makin hari, Rohani seakan kian membencinya. Jangankan untuk mendapatkan perhatiannya, mendengar kata-kata lembut saja ia tak pernah.
Mentari pernah mengadukan sikap ibunya ini pada sang suami, Shandi. Tapi bukannya dapat pembelaan, ia justru dihardik tidak menghormati ibunya dan disebut menantu durhaka. Alhasil, semenjak saat itu, ia selalu bungkam bagaimana pun sikap sang ibu mertuanya. Percuma saja pikirnya meminta bantuan dan dukungan, kalau semuanya justru akan berakhir dirinya lah yang dianggap salah.
'Astagfirullahal 'adzim.'
'Astagfirullahal 'adzim.'
'Astagfirullahal 'adzim.'
"Mama mau minum apa?" tanya Mentari sopan. Pantang baginya meninggikan suara pada orang yang lebih tua. Tapi bukan berarti ia akan seperti itu selamanya. Ia hanya menunggu, sampai kapan ia mampu bertahan.
"Tidak usah basa-basi. Shandi sudah gajian kan! Mana jatah saya," ucap Rohani tanpa basa-basi. Langsung ke pokok tujuannya datang kesana. Lagipula ia enggan berlama-lama di rumah itu sebab sedari dulu ia tak pernah menyukai menantunya itu. Sudah pendidikan rendah, yatim piatu, tak punya pekerjaan pula. Tak ada yang dapat ia andalkan ataupun banggakan selain kecantikan. Tapi cantik saja tidak membuatnya puas.
Mentari memang jauh sekali dari tipe menantu idamannya. Andai saat itu Shandi tidak memaksa, ia tentu sudah menolak Mentari sebagai menantunya dan menikahkan Shandi dengan perempuan lain yang lebih kaya dan berkelas. Tak peduli gadis atau janda, asal banyak uang atau memiliki pekerjaan yang dapat ia banggakan, ia dengan senang hati menerimanya.
"Sebentar, Ma," ujar Mentari lembut. Lalu Mentari pun segera membalik badannya menuju kamar untuk mengambil uang bagian mertuanya.
Ya, setiap gajian Shandi akan menyerahkan gajinya pada Rohani dan menyisakan beberapa saja untuk pegangannya. Ia meminta Mentari mengatur keuangan juga memberikan bagian untuk ibundanya juga keperluan adik-adiknya. Shandi memiliki dua orang adik. Septi masih duduk di semester 4 bangku kuliah, sedangkan Septian masih SMA kelas 11. Ayahnya telah tiada karena itu sudah menjadi tanggung jawab Shandi untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan ibu dan adik-adiknya. Dengan patuh, Mentari mengatur keuangan rumah tangganya sebaik mungkin. Walaupun uang yang diberikan sebenarnya jauh dari kata cukup, Mentari tak pernah mempermasalahkannya. Selagi bisa, ia akan menutupi kekurangan itu dengan sumber keuangan rahasianya.
"Hah! Segini? Kau pikir ini cukup? Tambah. Cepat, saya harus segera menghadiri arisan," tukas Rohani seraya membentak saat melihat uang yang diberikan Mentari hanya bernilai 2 juta rupiah saja.
"Maaf, Ma Nggak bisa. Itu sudah lebih dari cukup. Belum lagi saya harus memberikan bagian untuk Septi dan Tian," ucap Mentari yang memang tak bisa memberikan uang semaunya pada sang ibu mertua. Uang yang diberikan Shandi hanya 5 juta dari total gaji 7 juta. Dari yang 5 juta itu harus ia atur sebaik mungkin agar mencukupi bukan hanya untuk satu keluarga, tapi 2 keluarga, yaitu keluarga suaminya.
"Nggak usah alasan kamu. Uang ini uang anak saya, sudah jadi hak saya ingin menggunakannya. Kamu itu memangnya siapa? Hanya istri nggak guna aja. Udah kere, nggak punya penghasilan, pendidikan rendah, mandul juga, cuma bisa jadi benalu anak saya aja. Ingat, anak laki-laki itu milik ibunya, bukan milik istrinya. Cepat kemana uang-uang itu. Saya sudah terlambat," sinis Rohani dengan sorot mata mendelik.
"Uangku juga siniin, mbak. Aku mau buat tugas. Butuh banyak duit untuk buatnya. Jadi tambahin mbak ya!" sela Septi santai seolah-olah Mentari memiliki alat percetakan uang jadi mereka bisa meminta uang sesukanya.
"Ma, maaf Tari nggak bisa kasi lebih. Kamu juga Sep, seharusnya kamu atur dong pengeluaran kamu. Kan mbak udah beliin laptop jadi kan seharusnya nggak butuh duit terlalu banyak untuk membuatnya," tolak Mentari halus.
Seraya mengulurkan uang sejumlah 1.500.000 rupiah untuk satu bulan.
"Heh mbak, mentang punya laptop bukan berarti bikin tugas itu nggak perlu biaya. Mbak tahu apa sih? Mbak aja tamatan SMA, mana tahu sulitnya tugas kuliah dan banyaknya dana yang aku butuhin. Udah deh mbak, nggak usah banyak cingcong, entar aku bilangin kak Shandi nih kalo mbak Tari masih aja pelit. Uang juga uang kakak aku kok, bisanya protes mulu," cerca Septi bersungut-sungut saat menerima uang dari Mentari. Bibirnya mengerucut sebal. Padahal bila ia dapat mengatur pengeluaran dengan bijak, uang sejumlah Rp 1.500.000,- itu lebih dari cukup sebab uang untuk bulanan maupun semesteran Mentari sendiri yang membayarnya.
"Udah, udah, daripada banyak omong mending sekarang kasiin uang kamu, cepat. Saya sudah telat ini," sergah Rohani seraya menabrak bahu Mentari lalu masuk ke dalam kamarnya. Bahkan tanpa sungkan ia membuka lemari Mentari dan mengacak-acak isinya untuk mencari uang Mentari.
"Ma, jangan! Itu untuk keperluan sehari-hari, belum lagi uang untuk Tian, jadi tolong jangan ambil semua!" sergah Mentari saat sang mama mertua mengambil lembaran merah yang ada di selipan bawah baju Mentari.
"Wah, yang mbak ternyata lumayan banyak juga ya! Wah, mbak bisa-bisanya ya sembunyikan duit segini banyak dari kami! Pasti mbak mau senang-senang sendiri kan!" ketus Septi sinis.
"Sep, itu buat kebutuhan sehari-hari mbak dan mas Shandi. Belum lagi untuk tagihan listrik dan air. Uang jajan Tian dan SPP serta cicilan motornya juga disitu. Jadi tolong, jangan diambil," jelas Mentari berharap mertua dan adik iparnya itu mengerti.
"Halah, alasan! Pasti kamu mau nikmati uang ini sendiri kan! Ini, saya ambil satu juta. Nah kamu Septi, lima ratus ribu cukup kan?" ucap Rohani seraya mengulurkan lima lembar uang merah ke arah Septi.
Dengan girang Septi menerima uang tersebut, "cukup, Ma. Makasih ya, ma. Mama emang yang terbaik. Paling ngerti aku," ucap Septi dengan wajah berbinar cerah.
Mentari hanya bisa menghela nafas panjang. Ia sebenarnya sudah tidak heran lagi dengan sikap mertua dan adik iparnya itu. Mereka memang selalu saja seperti itu, sewenang-wenang. Tak mempan dicegah apalagi dinasehati. Mereka selalu semaunya sendiri, tanpa peduli orang lain. Entah sampai kapan mereka akan berbuat sedemikian. Selalu saja menghina dan merendahkannya. Menganggap dirinya benalu. Padahal kalau ditilik lebih dalam, siapapun dapat menilai siapa yang sepantasnya menyandang predikat sebagai seorang benalu.
...***...
Please like, komen, tonton iklan, vote, dan dukungan lainnya ya kak! Jangan boom like atau baca lompat-lompat ya kak biar dapat feel-nya. 😁
...***...
...****HAPPY READING 🥰🥰🥰****...
"Assalamu'alaikum," ucap Shandi saat telah berada di depan pintu masuk rumahnya.
Mentari yang tadi sedang menyetrika pakaian pun gegas berlari ke depan saat mendengar deru mobil sang suami. Saat melihat sang suami telah berada di depan pintu, ia segera menjawab salam dan menyalami sang suami dengan takdzim.
"Wa'alaikum salam, mas," sahut Mentari sumringah.
"Wah, udah cantik aja istri mas! Lagi apa, hm?" tanya Shandi seraya merangkul pundak Mentari masuk ke dalam rumah.
"Lagi nyetrika aja, Mas. Mas mau mandi air hangat atau biasa?" tanya Mentari lembut seraya menyandarkan kepalanya di pundak Shandi.
Beginilah mereka, selalu bersikap mesra karena itu Mentari tetap bertahan meskipun sikap ibu mertua dan adik iparnya kerap semena-mena, ia tak begitu mengambil hati. Baginya yang penting sikap Shandi selalu baik dan setia. Itu saja sudah cukup. Mereka juga sangat jarang bertengkar. Kalaupun mereka berselisih paham, itu tak bertahan lama. Dalam hitungan jam, mereka akan kembali berbaikan dan kembali bermesraan seperti tidak ada permasalahan sama sekali.
"Air biasa aja, kenapa? Mau ikut?" goda Shandi seraya menyeringai membuat Mentari berdecak. Kini mereka telah berada di kamar. Mentari segera meletakkan tas kerja Shandi dan membantu melepaskan jam tangan lalu kemejanya.
"Ck ... modus," ejek Mentari seraya mendorong punggung Shandi agar segera masuk ke kamar mandi.
"Sama istri sendiri juga, mau ya?"
Belum sempat Mentari beranjak dari depan kamar mandi, Shandi malah menarik pergelangan tangan Mentari agar ikut masuk dengannya.
"Mas," pekik Mentari terkejut.
Blammm ...
Pintu kamar mandi pun ditutup. Kegiatan mandi yang seharusnya selesai dalam hitungan menit itu kini justru berakhir lebih lama dari biasanya. Sebab mereka bukan hanya sekedar mandi, tapi juga mengarungi samudera kenikmatan di dalam sana.
***
"Sayang, lagi ngapain?" tanya Shandi seraya memeluk perut Mentari dari belakang. Diletakkannya dagunya di atas pundak Mentari seraya memperhatikan kegiatan Mentari yang sedang mengocok telur dan gula menjadi satu.
"Lagi mau buat kue, mas. Kan mama hari ini ulang tahun, aku mau buatin kue yang spesial untuk mama supaya mama makin sayang sama aku," ujar Mentari lembut dengan tangan tetap bergerak aktif mengocok adonan telur yang sudah mulai mengembang menggunakan mikser.
"Oh ya? Mas lupa. Kamu emang yang terbaik, sayang. Kita pergi habis makan siang aja, gimana ? Mumpung weekend," ujar Shandi seraya mengecup pipi Mentari.
"Oke, bos!" seru Mentari dengan senyum lebarnya. "Mas cuci muka dulu gih, terus gosok gigi, baru lanjut sarapan. Sebentar lagi aku buatin kopinya," ucap Mentari yang diangguki Shandi. Lu Shandi pun melepaskan pelukannya setelah terlebih dahulu mencuri ciuman dari bibir Mentari.
"Mas," pekik Mentari kaget karena Shandi sempat-sempatnya mencuri ciuman dan sedikit menyesapnya kuat membuatnya terpekik kaget.
Sesuai rencana, kini Shandi dan Mentari sudah dalam perjalanan menuju ke rumah Rohani, ibu Shandi. Sepanjang perjalanan mereka isi dengan canda tawa dan terkadang sambil bernyanyi bersama mengikuti lagu-lagu yang diputar Mentari.
Tak butuh waktu lama, mobil Shandi pun tiba di pelataran rumah sederhana milik Rohani. Setibanya mereka disana, mereka pun segera turun.
"Mas, kayaknya mama ada tamu deh?" ucap Mentari saat melihat sebuah mobil berwarna merah terparkir di depan rumah yang didominasi cat berwarna kuning tersebut.
"Iya, siapa ya? Mungkin temen mama. Ayo, kita masuk!" ajak Shandi.
"Assalamu'alaikum," ucap mereka berdua bersamaan seraya melangkahkan kaki masuk ke rumah Rohani.
"Wa'alaikum salam," jawab orang-orang yang ada di dalam sana.
Melihat kedatangan putranya, Rohani pun segera menyongsong Shandi masuk dan memperkenalkannya dengan tamunya.
"Eh, Shandi, kebetulan banget kamu datang. Sini nak, kenalan sama temen mama dulu. Ini Bu Asma, temen arisan mama dan ini putrinya, Erna," ujar Rohani seraya meminta Shandi menyalami kedua tamunya itu.
Dengan ramah Shandi pun berkenalan dan bersalaman dengan mereka.
"Shandi," ujar Shandi seraya bersalaman dengan Asma lalu Erna.
"Wah, anakmu ganteng tenan, Jeng!" puji Asma membuat Rohani tersenyum lebar.
"Bener kan kataku, jeng. Aku nggak bohong kalo putraku itu ganteng. Kerjanya bagus juga. Dia kerja di MTR Furniture. Perusahaan penghasil perabot yang terkenal itu. Beruntung Shandi bisa kerja di sana. Katanya sekarang nggak mudah mau masukin lamaran pekerjaan di sana. Anakku memang benar-benar beruntung," sahut Rohani semangat penuh mata puji-pujian pada sang putra kesayangan.
"Erna," ucap Erna malu-malu sambil mengulurkan tangannya yang disambut Shandi cepat. Tak ingin berlama-lama. Ia tak ingin membuat Mentari makin merasa tersisih karena sikap orang tuanya.
"Anak Tante Asma cantikkan? Dia kerja sebagai manajer di showroom lho, Shan. Hebat ya! Udah cantik, pintar, punya kerjaan bagus, nggak kayak ... " Rohani melirik Mentari sinis.
"Ma," sergah Shandi yang tahu kemana arah pembicaraan sang ibu.
"Kenapa, Shan? Emang benar kan istrimu itu cuma benalu. Nggak guna. Pendidikan rendah, pekerjaan nggak ada, punya anak juga nggak bisa, apaan itu coba," ketus Rohani seraya memandang sinis ke arah Mentari yang mematung di depan pintu. Ia meremas tali paper bag yang di dalamnya berisi kue buatannya dengan hati memanas.
Selalu saja seperti itu. Tak pandang tempat maupun waktu, selalu saja menghinanya dengan berbagai kalimat menyakitkan. Tanpa mempedulikan perasaannya sama sekali.
"Ma, tolong jangan bilang begitu! Bagaimana pun dia itu istri Shandi," sergah Shandi setengah kesal melihat sikap sang mama yang terus-menerus memojokkan Mentari di setiap kesempatan.
"Belain terus, ya belain aja! Kamu emang udah nggak sayang lagi sama mama. Kamu ... hiks ... hiks ... " Rohani terisak seraya memijit dadanya.
"Ma," desah Shandi serba salah.
"Kakak juga kenapa, sih belain dia terus-terusan. Kalau mama sampai sakit, awas aja ya kak!" ketus Septi yang duduk di sebelah Erna.
"Tante, Tante nggak papa? Tante tenang ya, entar darah tingginya kumat lho," bujuk Erna ramah seraya mengusap punggung Rohani.
Rohani pun tersenyum ke arah Erna. Senyum yang tak pernah ia berikan pada menantunya sendiri, Mentari.
"Coba aja kamu yang jadi menantu Tante, Na, pasti Tante sudah menimang cucu saat ini," ucap Rohani tanpa mempedulikan keberadaan Mentari sama sekali.
Mendengar perkataan tersebut, terang saja Mentari shock. Jantungnya tiba-tiba berdebar hebat. Matanya memanas. Tangannya sampai bergetar dan berkeringat dingin.
"Udah dong, Tan. Erna kan nggak enak sama menantu Tante, siapa namanya? Eh, maaf kita belum kenalan," ucap Erna seraya berdiri lalu menyalami Mentari ramah.
"Erna," ucapnya.
"Mentari," sambut Mentari ramah.
Sekuat tenaga ia menahan rasa perih di dadanya. Ia tak mau menunjukkan kelemahannya. Ia sudah ditempa sedemikian rupa oleh hidupnya yang keras jadi ia takkan mudah untuk menunjukkan kelemahannya. Mentari sangat paham dengan arti ucapan mama mertuanya itu. Ia berharap suaminya berjodoh dengan Erna yang dianggapnya lebih segalanya dari dirinya.
Dalam hati, Mentari tersenyum sinis. Mertuanya itu ternyata benar-benar tak punya hati. Karena itu, hingga sekarang ia tak ingin mengungkapkan jati dirinya sebenarnya. Ia pikir, waktu 5 tahun bisa mengubah perangai sang ibu mertua agar dapat menerima dirinya dengan tangan terbuka, namun ternyata tidak. Ia bahkan terang-terangan mengharapkan perempuan lain menjadi menantunya.
"Maafin ucapan Tante Ani tadi ya, mbak."
"Nggak masalah. Udah biasa kok. Hatiku udah kebal," jawab Mentari seraya tersenyum lebar membuat Rohani dan Septi berdecih sinis.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...
Mentari tampak sibuk memencet tombol di layar tablet PC miliknya. Siang hingga menjelang sore hari merupakan kegiatan rutinnya memeriksa sesuatu yang hanya ia dan beberapa orang terdekatnya saja yang tahu. Mentari mengulas senyum, ternyata usahanya makin maju dan berkembang pesat.
Namun tiba-tiba bel rumahnya berbunyi nyaring. Ia pun bergegas menonaktifkan tablet PC miliknya kemudian menyimpannya di tempat yang aman dan jauh dari jangkauan orang lain tentunya. Setelah itu, ia bergegas ke depan untuk memeriksa, siapa yang datang.
"Heh, buka pintu aja lama banget! Pasti kamu sengaja kan!" hardik Rohani saat pintu baru saja terbuka.
Lalu masuk begitu saja sambil menabrakkan bahunya pada Mentari membuat Mentari sampai terhuyung ke belakang. Untung saja ia bisa menjaga keseimbangannya jadi ia tidak sampai terjatuh. Kemudian di belakang Rohani, ikut masuk juga Septi dan Erna yang Mentari ketahui anak teman Rohani. Mentari tersenyum getir, tentu ia paham apa tujuan sang ibu mertua tersebut.
Kemudian mereka tanpa malu menghenyakkan bokong mereka di sofa ruang tamu sambil bergurau seakan mereka berada di rumah milik mereka sendiri.
Mentari hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap ibu mertua serta adik iparnya yang tidak pernah sekalipun menghargainya.
"Heh! Ngapain. bengong di situ! Cepat buatkan kami minum!" hardik Rohani lagi membuat Mentari menghela nafasnya. "Kamu mau minum apa Erna sayang? Bilang aja! Nanti mama bilang ke perempuan benalu itu untuk membuatkanmu minuman," tukas Rohani seraya memasang senyum semanis mungkin. Senyum yang tak pernah diberikan mertuanya padanya dari sejak pertama kali bertemu hingga kini di usia pernikahan mereka yang kelima tahun.
"Emmm ... apa aja deh, ma! Kasihan sama Mbak ... eeee .. siapa ya namanya? Maaf mbak, saya lupa! Hehehe ... " ujar Erna sambil terkekeh. Namun, Mentari tentu dapat menangkap arti dari tawa tersebut. Apalagi saat mendengar Erna memanggil mertuanya itu 'ma'. Sungguh, Mentari sebenarnya sedikit terusik. Mentari akan lihat, sampai batas mana ibu mertuanya itu akan ikut campur dalam urusan rumah tangganya.
"Aduh mbak Erna, buat apa sih ingat-ingat nama perempuan itu, nggak penting banget tau!" imbuh Septi acuh tak acuh. Ibu dan anak itu memang sama saja, sejak awal tidak menyukai Mentari menjadi istri Shandi. Bagi mereka, Shandi pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dari Mentari. Lebih baik bukan dalam arti sifat ataupun kecantikan, sebab sebenarnya mereka pun menyadari Mentari lebih baik dan cantik dari Erna. Tapi yang mereka utamakan justru kekayaan. Mereka menyukai Erna karena memiliki pekerjaan yang bagus. Selain itu, melihat Erna memakai barang serba branded dan bergaya glamor, tentu membuat mata mereka berbinar-binar. Berharap mereka dapat ikut merasakan menjadi seperti Erna. Sangat berbeda dengan Mentari yang kerap bergaya sederhana. Dan mereka tidak menyukai itu.
Mendengar kata-kata pedas itu, Mentari bersikap masa bodoh. Telinganya sudah kebal mendengar entah itu sindiran, cibiran, bahkan makian, ia sudah biasa. Entah terbuat dari apa hati Mentari. Tapi ingat, hati-hati dengan marahnya orang sabar. Sebab orang sabar dan diam, bila ia sudah sampai pada titik kesabarannya, maka kemarahannya bisa menghancurkan. Bisa menghanguskan. Bisa meluluhlantakkan.
Diam bukan berarti kalah Diam juga bukan berarti lemah. Tidak percaya, silahkan dicoba!
Sebagai tuan rumah yang baik, Mentari pun bergegas membuatkan minum untuk ketiga tamu tak diundang tersebut.
Setelah selesai, Mentari pun segera menghidangkan 3 cangkir teh chamomilel kesukaannya. Aroma harum bunga chamomile menguar sesaat setelah disajikan. Tak lupa Mentari menghidangkan sepiring pie brownies yang sempat dibuatnya pagi tadi ke hadapan mertua dan adik iparnya juga tamu tak diundang satunya.
Kemudian mereka pun. menyantap hidangan itu tanpa rasa malu dengan begitu nikmatnya. Mentari hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah ketiganya.
"Ma, rumah mas Shandi besar juga ya! Isinya juga perabot mahal semua. Pasti gaji mas Shandi gede banget ya, ma. Beruntung banget perempuan yang bisa jadi istri Mas Shandi," puji Erna sambil mengedarkan pandangannya. Ia bahkan sampai berdiri memperhatikan satu persatu perabot yang ada di rumah 2 lantai itu.
"Iya, perempuan itu yang beruntung, tapi kemalangan bagi Shandi. Udah punya istri udik, miskin, nggak berpendidikan, nggak ada penghasilan, eh mandul pula. Benar-benar sial kan!" ucap Rohani pedas dan tajam. Telinga Mentari terasa panas. Tapi ia memilih diam. Enggan menanggapi. Berharap mereka tutup mulut sendiri nantinya. Tapi ... mungkinkah itu terjadi?
"Iya mbak Erna. Ah, coba aja kak Shandi kenal mbak Erna lebih dahulu. Pasti kalian sudah menikah dan pastinya juga aku udah punya ponakan yang lucu-lucu sejak lama. Nggak kayak sekarang, rumah aja gede, tapi sepi. Nggak ada anak-anak. 5 tahun nikah tapi nggak hamil-hamil, apa itu artinya kalau bukan mandul," imbuh Septi sambil melirik sinis Mentari yang duduk tak jauh dari mereka.
"Apa buktinya kalau mbak mandul?" sergah Mentari yang mulai jengah mendengarkan penghinaan demi penghinaan yang dilontarkan oleh ibu mertua dan adik iparnya itu padanya. "Memiliki anak itu hak prerogatif Allah, bukan kehendak manusia. Selain itu, anak itu terjadi karena hubungan dua manusia yang berbeda jenis kelamin jadi jangan hanya menyalahkan Mbak kalau Mbak belum bisa hamil sampai saat ini," sahut Mentari tenang sambil memainkan ponselnya.
"Heh, jadi kamu mau nuduh anakku mandul begitu?" hardik Rohani tak terima dengan apa yang baru saja Mentari katakan. "Asal kamu tahu ya, di dalam keluarga besar saya, tak ada keturunan yang mandul. Baik dari keluarga mendiang papa Shandi, maupun keluarga besar saya jadi jangan asal bicara kamu. Beda dengan kamu, udah yatim piatu, nggak ada saudara sama sekali, jadi kelihatan bukan siapa yang kemungkinan memang mandul?" imbuh Rohani menggeram murka.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Tiba-tiba terdengar suara lembut oleh 4 perempuan itu.
Melihat kepulangan suaminya, Mentari pun segera beranjak untuk menyambut kepulangannya. Namun, belum sampai Mentari di depan Shandi, tampak Erna sudah lebih dahulu menyambut kepulangannya dengan meraih tas kerja dan menyalaminya seperti seorang istri yang menyambut kepulangan suaminya.
Mentari mengerutkan keningnya tak suka. Shandi pun gelagapan melihat ekspresi tak suka sang istri.
"Ini lho istri kurang ajar mu ini, masa' dia bilangin kamu mandul. Mana mungkin anak-anak mama mandul. Tidak ada riwayat keluarga kita satupun yang kesulitan punya anak apalagi mandul. Dasar menantu kurang ajar, nggak punya akhlak sembarangan aja kalau ngomong," adu Rohani dengan wajah merah padam.
Shandi yang mendengar aduan itu lantas mengerutkan keningnya, merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan sang ibu. Tapi ia juga tidak mungkin tidak mempercayai sang ibu apalagi sang adik ikut menimpali.
"Iya kak, kurang ajar bener emang mbak Tari itu, seenaknya aja ngomong. Kalau kak Shandi nggak percaya, tanya aja mbak Erna, benar kan mbak, mbak Tari nuduh Kak Shandi mandul?" ujar Septi meminta dukungan pada Erna.
"Benar begitu?" tanya Shandi sambil mengarahkan pandangannya pada Erna yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. Bukannya meminta penjelasan dengan Mentari, Shandi justru menanyakannya pada Erna.
"Aku nggak maksud bilang begitu, mas!" sergah Mentari kesal karena merasa disudutkan oleh ibu mertua dan adik iparnya itu. Tapi bukannya mendengarkan, Shandi justru mengangkat tangannya agar Mentari tidak bicara terlebih dahulu.
"Eee ... itu ... anu ... i-iya. Maaf ya mbak Tari, aku ... aku nggak bisa bohong soalnya," cetus Erna seolah merasa bersalah dengan Mentari.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!