Tina memandang datar pada sosok di depannya. Rambut lepek, kulit tidak terawat dan kantung mata tebal itu rupanya cukup membuatnya menghela napas berkali-kali.
Sejak kapan sahabatnya ini tidak pandai mengurus diri? Seingatnya saat SMA dulu ia paling rajin mengajaknya pergi perawatan.
"Ta, besok ke salon yuk," ujar Tina.
"Mana bisa. Gue udah punya dua buntut yang pasti minta pulang belum sampai sepuluh menit," dagu Ita menunjuk pada dua bocah sedang asik bermain kolam bola.
"Kalau ajak ke mall atau cafe anak kayak gini gue masih bisa tenang. Soalnya ada tempat main,"
"Ya elah, gue ngajak ke salon buat me time. Lihat kantung mata lo itu. Panda aja bisa insecure."
Perempuan dua anak itu mengarahkan kamera handphone-nya untuk membenarkan perkataan sahabat SMA-nya. Memang benar!
Alih-alih mengeluh seperti zaman SMA dulu. Ita hanya menghela napas dan menaruh handphone-nya kembali. Seolah hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari.
"Kabar orang itu gimana?" tanya Tina menyelidik.
"Siapa?"
"Suami lo lah. Ya kali Pak Yanto tetangga sebelah," canda Tina.
"Hehe. Yah, kayak biasa. Sibuk dengan dunianya."
Tatapan Ita menyendu. Tak dapat dibohongi beban pikiran di raut wajahnya.
"Ta..., udahlah. Ada saat di mana lo harus nyerah. Dan sekarang saatnya!" gegas Tina menggebu.
"Kayaknya lo masih dendam sama dia ya? Padahal ini udah hampir lima tahun gue nikah," selidik Ita.
"Tsk! Siapa yang nggak dendam. Dia ngambil kebebasan lo gitu aja. Asal lo tau Ta, orang yang melamar gadis SMA tepat di hari kelulusannya dinamakan pedofil! Nggak inget umur tuh orang!"
"Mending tanggung jawab! Mana yang katanya bakal jaga lo? Idih! Lo masih mau mempertahankan dia?"
"Hahaha. Lo kalau udah benci nggak akan ditahan lagi ya. Emang cuma Tina gue yang kayak gini," kekeh Ita.
Selepas terkekeh, ia memandang cup greentea di depannya. Lagi-lagi tatapannya menyendu. "Entahlah..., banyak hal yang udah gue korbankan sampai di titik ini. Ya, mungkin salah satunya kebebasan."
"Seberapa besar penyesalan yang gue punya. Gue tetap bersyukur punya dua pentolan yang cukup jadi alasan buat nggak cerai. Lagi pula, keluarga gue udah terlanjur bergantung sama perusahaan dia. Papa nggak akan sanggup bayar pinalty. Karena jaminan atas pernikahan gue sama dia nggak lain adalah investasi dalam jumlah besar."
"Gue nggak bisa memutuskan sepihak di saat semua tali mengarah ke gue. Lo ngerti kan?"
"I-iya sih. Tapi, suami lo itu sampah Ta! Sumpah! Ayah kayak dia nggak baik buat perkembangan si kembar Zera dan Zeno."
"Maksud gue..., udah sih lo kabur aja! Nggak perlu surat cerai. Sekali aja lo tinggalin orang yang buat lo jadi kayak sapi perah gini," kesal Tina melihat sahabatnya terlilit segudang masalah batin.
"Gue akui dia memang sampah. Tapi, di depan anak-anak dia tetap jadi Ayah. Lo tau? Zera selalu nungguin Papanya pulang sampai ketiduran di ruang tamu. Gue nggak mau di masa depan Zera dan Zeno dibayang-bayangi kenangan pahit orangtuanya."
"Banyak kasus broken home yang nggak bisa kita duga secara nalar. Kalau harus pilih. Lebih baik gue bertahan dari pada anak gue yang hancur."
"Andai waktu bisa diputar. Gue bakal bawa kabur lo waktu kelulusan. Seenggaknya keluarga lo nggak jadi jual lo sama cowok nggak bertanggung jawab kayak dia!"
Ita tersenyum getir, perempuan dengan nama lengkap Hitagina Rakasiwi itu tidak berkomentar apapun. Ia hanya menyesap minuman greentea kesukaannya lalu kembali mengawasi dua anak di pojok sana.
"Ah Iya..., emh, bentar lagi peringatannya Hesa. Lo..., bisa dateng?" ujar Tina, ia sengaja bicara perlahan. Takut menyentil hati sahabatnya mengingat hubungan mereka dulu.
"Gue usahain ya," jawab Ita, lagi-lagi ia tidak berani menatap Tina. Mungkin itu salah satu bentuk penyesalannya terhadap Hesa di masa lalu.
"Mamaa," suara tangisan mengalihkan fokus Ita, ia segera menghampiri kedua anaknya yang sedang bermain.
"Kenapa sayang?"
"Zela jatuh Ma. Tadi udah Zeno bilang jangan lali-lali," saut Zeno, pelafalannya masih kurang jelas di beberapa huruf.
"Mana yang sakit sayang?"
Zera menunjuk bagian tumitnya masih dengan tangisan. Zeno berjongkok di depan lutut Zera kemudian meniupnya lembut. "Sakit pelgi yaa, jangan buat Zela nangis yaa," ucap Zeno seolah mengajak ngobrol luka di tumit Zera sambil mengangguk-angguk.
"Ihh, anak lo gemes banget sih! Gue bawa pulang boleh nggak? Sehari aja," pinta Tina memohon.
"Makanya buat!" ketus Ita. Mana sudi meminjamkan anak berharganya.
"Nggak bisa. Nggak ada bapaknya tuh."
"Carilah. Tuh, abang waiters aja mampu. Cuma bikin anak doang kan?"
"Hus! Ngawur!" timpal Tina.
Ita terkekeh, sedetik kemudian mengusap pucuk kepala Zera yang masih sesenggukan. Bagaimana mungkin ia egois memikirkan kebahagiannya sendiri ketimbang masa depan dua pentolan hidupnya ini.
Cerai adalah hal terakhir dalam pilihan hidup Ita. Alasannya bukan orang lain tapi kedua anaknya.
"Makanya nikah, lo udah cukup umur buat nikah," saran Ita.
"Nanti aja lah. Masih pingin sendiri," saut Tina. Ita mendengus kemudian beranjak menggendong Zera.
Ita melanjutkan obrolan santai dengan Tina di cafe anak sekaligus mengawasi kedua anaknya bermain.
Bagi Tina, Ita adalah sosok ibu yang tegar di tengah badai rumah tangga yang berulang kali menghantam dirinya. Membuat Tina kagum akan perubahan Ita dari yang awalnya manja menjadi dewasa.
"Ta, lo banyak berubah," gumam Tina lirih disertai senyuman.
"Ha?" saut Ita tidak jelas.
"Nggak, nggak apa-apa kok."
"Hallo Zera, sama Onty yuk," ulur tangan Tina pada Zera. Rasanya sudah lama ia tidak menggendong Zera.
Tidak terasa waktu berjalan cepat. Matahari sudah perlahan kembali ke peraduan. Ita sembari menggendong Zera yang terlelap berpamitan dengan Tina.
"Hati-hati dijalan Ta," ucap Tina khawatir.
"Oke. Lo juga. Thanks ya udah bagi waktu ke gue. Yah, walaupun nggak bisa sebebas dulu sih."
"Idih! Kayak apa aja. Nggak usah sungkan kalau cuma minta ditemani ke tempat bermain anak. Gue pasti langsung OTW kalau lo yang minta."
Senyuman indah terukir di wajah Ita. Di mana ia bisa mendapatkan teman seperti Tina? Salah satu nikmat yang wajib ia syukuri.
"Zeno sayang, besok main lagi sama Onty ya," ucap Tina. Ia gemas dengan pipi gembul Zeno dan berulang kali menciumnya.
"Onty lumahnya dimana?"
"Alalaa, anak lo mau ngapelin gue Ta. Jangan-jangan gue jadi cinta pertama dia lagi. Omo! Ntar lo jadi mertua gue. Haha. Nggak kebayang! Nanti judulnya 'anak ku ternyata jodoh teman ku'."
"Tsk, yang bener 'teman ku ternyata pedofil'. Udah ya, gocar gue udah di depan."
Setelah cipika-cipiki. Ita menggandeng tangan Zeno dan mengajaknya keluar dengan Zera digendong.
Di dalam mobil.
"Mama." panggil Zeno setelah ibu dan anak itu menaiki gocar.
"Hm? Kenapa sayang?"
"Pedopil itu apa?"
Ups! Ita lupa menyaring kata-katanya. Di usia Zeno dan Zera yang menginjak 3 tahun adalah masa keingintahuan anak sedang pesat-pesatnya.
"Itu--" sibuk mencari jawaban Zeno justru tersenyum lalu menggapai pipi Ita.
"Nanti kalau Zeno udah gede pasti tau kan Ma?"
Senyum Ita mengembang. Sebenarnya dari mana Zeno belajar sikap dewasa seperti ini? Berbeda dengan Zera yang aktif. Pembawaan Zeno tenang dan dia pandai memahami situasi.
"Nggak perlu nunggu besar sayang. Zeno boleh tau sekarang juga kok."
Ita menghadap Zeno hendak menjelaskan. Zeno pun ikut menengadah sebab tinggi mereka yang terpaut jauh.
"Dengar...." Ita sengaja menyilangkan kedua jari telunjuknya sebagai isyarat dilarang atau hal buruk yang tidak boleh dilakukan.
"Pedofil itu perbuatan buruk yang tidak boleh dimasukan ke kantung doraemon-nya Zeno."
Di sini Ita mengajarkan istilah kantung doraemon sebagai hal yang patut di ambil atau pelajari.
Zeno masih terlihat bingung. Sesekali matanya melihat ke atas. Tanda kalau ia belum paham.
"Jadi gini, kalau misal Zeno sama Zera main ke taman komplek. Terus ada Om-om tidak dikenal yang mendekati dan memegang Zera di sini...." Ita menunjuk dada, paha dan bokong.
"Pada saat itu, Zeno harus membawa Zera pergi ya. Karena Zera sedang berhadapan dengan Pedofil."
"Papa suka gendong Zela Ma. Cium pipi sama puk-puk pantat. Papa pedopil juga ya Ma?"
Terdengar kekehan dari depan. Sang supir ternyata menyimak sejak tadi.
"Aduh Mbak anaknya lucu banget." Komentarnya.
"Hehe, Maaf ganggu ya Pak?"
"Nggak Mbak. Saya justru terhibur. Dilanjutkan aja Mbak. Jaman sekarang memang kudu hati-hati Mbak."
"Iya Pak. Makasih ya."
Ita kembali ke Zeno. Untung saja Zera tidur. Kalau tidak, mungkin pertanyaannya semakin panjang. Karena Zera tipe anak yang daya ingin tahunya tinggi.
"Papa bukan pedofil sayang. Karena Papa sayang kalian. Tidak mungkin Papa akan mencelakai kalian. Berbeda kalau orang tidak dikenal."
"Jadi besok kalau waktu main ada orang yang dekati Zera dan melakukan tiga sentuhan yang Mama tunjuk tadi. Zeno harus menarik Zera pergi ya?"
"Bukan hanya Zera. Tapi, berlaku juga untuk Zeno. Paham ya?"
"Humm..., paham." saut Zeno semangat. Gigi kelinci depannya sampai eksis. Lambat waktu Zeno ikut terlelap bersama Zera di pangkuan Ita.
Sesampainya di depan gerbang. Zera terbangun. Wajah khas bangun tidur membuat anak dengan poni Dora itu terlihat cantik alami. Ita yang melihat anak perempuannya mengucek-ngucek mata seketika menghentikan.
"Nanti cuci muka ya sayang."
Zera turun dari gendongan Ita, ia segera berlari ke dalam halaman rumah mereka. Begitupun Zeno, setelah melihat Zera aktif berlari ia ikut mengekor.
"Apa aku sewa baby sitter aja kali ya buat ngawasin mereka. Zera sama Zeno mulai aktif banget." gumam Ita sembari memegangi pundaknya.
"ARGH!!"
Suara jeritan itu sontak membuat Ita berlari kalang kabut menyusul dua anaknya.
Panik melanda ketika melihat Zera dan Zeno tersungkur di paving dan sebuah mobil terlihat berhenti tepat di hadapan mereka.
Ita spontan memeluk kedua anaknya lalu mengecek satu persatu bagian tubuh mereka. Suara pintu mobil menarik fokus Ita untuk melihat.
"Aduh, makanya jangan lari-lari. Kamu gimana sih jaga anak?! Untung tante langsung ngerem kalau nggak gimana nasib kedua anak mu itu?!"
"Ma-maaf tante."
"Tsk! ajarin yang bener dong anak mu itu."
"Iya tante."
"Kamu dari mana aja?" tanya singut wanita paruh baya tampak modis. Tidak sebanding dengan usianya.
"Dari cafe anak Tante. Si kembar dari kemarin pingin ke sana."
"Oh. Jangan suka kelayapan nggak jelas ya. Kamu udah nikah. Sebisa mungkin harus selalu di rumah. Kasian tuh ponakan Tante. Kerja sampai malam buat biayain hidup kamu."
"Iya Tante." jawab Ita datar. Padahal yang bicara tidak mencerminkan perkataannya.
Sambil menenangkan Zera dan Zeno yang menangis. Ita mengawasi kepergian mobil itu. Tatapan tajam tak pernah luput dari pengawasan.
Satu dari sekian orang yang membuat rumah tangganya hancur. Sampai mati pun Ita tidak akan memaafkan mereka.
Seorang ART berlari histeris ketika melihat majikannya tersungkur. Ia membantu Ita berdiri. Lalu menggendong Zera yang masih menangis.
"Mbak nggak apa-apa?" tanya Bu Ina. ART kediaman rumah utama.
"Iya Bu, aku nggak apa-apa." jawab Ita sembari membersihkan debu menempel di celananya, "Oh iya, tante ada perlu apa kesini?"
"Tadi katanya mau nyari Mbak Ita tapi malah satu persatu temannya pada datang. Ini saya lagi beresin rumah soalnya kacau banget Mbak. Kayaknya mereka ngadain pesta dadakan gitu." Jelas Ina.
Di rumah ini Ita adalah nyonya yang sebenarnya. Tapi tidak pernah dianggap nyonya mengingat satu makhluk berstatus keluarga yang seenaknya menggunakan rumah sebagai tempat berkumpul teman-teman sosialitanya.
Speak up? Memang siapa yang akan membela Ita? Bahkan suami sendiri pun lebih memilih keluarga dibanding istrinya.
Keadaan yang sungguh miris yang bahkan tidak sanggup Ita ubah. Satu-satunya cara hanya mengulang waktu. Hah! Itu hanya bisa terjadi di dunia fantasi.
"Memang nggak izin Mbaknya dulu?" tanya Ina. Membuyarkan lamunan Ita.
"Nggak Bi. Mungkin dia izin sama ponakannya langsung." Jawab Ita.
Dari kejadian tadi untunglah tidak ada luka membekas di tubuh Zera dan Zeno. Ita bisa bernafas lega.
Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Ita mengunjungi kamar si kembar berniat meyakinkan sekali lagi bahwa tidak ada luka berkat kejadian tadi siang.
Setelah memastikan Zera dan Zeno tidur Ita bebas melakukan apapun. Mengingat komentar Tina tadi siang. Ita jadi tergiur menyentuh skincare lagi setelah sekian lama vakum.
Krim malam diambil dari meja rias. Ita melihat pantulan dirinya dikaca. Mata panda, bibir kering dan kulit kusam.
Tampilannya seakan memperlihatkan betapa ia kurang dalam merawat diri. Percayalah! Ingin sekali Ita pergi perawatan. Namun, keadaan yang menolak.
Ia pun tersenyum masam, "Ternyata bener ya aku kelihatan dekil banget. Apa karena itu dia--" senyumnya menghilang. Digantikan tatapan layu.
Ia mengakhiri pergulatan pikiran yang tidak berguna lalu memutuskan untuk tidur. Berharap dengan itu pikiran negatif bisa teralihkan sementara.
Namun, Alih-alih mendapat ketenangan justru ia melihat sosok yang selama lima tahun ini mengikis mentalnya, dia Saraga Hilar. Suaminya.
"Ada apa?" saut Ita to the point. Kehadiran yang cukup jarang mengingat kamar mereka yang terpisah.
"Tadi anak-anak jatuh di halaman?"
"Iya." jawab Ita datar. Ia ingin cepat rebahan. Mengurus anak benar-benar menguras semua energinya.
"Kok bisa?"
"Wajar kan kalau anak-anak jatuh?! Kenapa harus ditanyakan lagi sih?"
"Tsk! Bukan itu..., apa benar anak-anak hampir ketabrak mobil Tante?" Selidik Raga.
"Ya memang! Terus kenapa? Kamu juga nggak mungkin berani tegur Tante kamu itu!"
"Seenggaknya bilang yang jelas! Aku juga Ayahnya--"
"Terus kenapa kalau kamu Ayahnya? Nyatanya cuma di kertas aja kan? Apa kamu pernah benar-benar jadi Ayah sejak meraka lahir?!" Tandas Ita tajam.
Raga mengerutkan kening. Menyorot tajam pada manik Ita.
"Nggak terima?!" sulut Ita menantang. Entahlah, ia benar-benar lelah dengan keadaan yang memaksanya untuk terus menerima tanpa boleh menolak.
Laki-laki dengan jabatan kepala keluarga itu terlihat melonggarkan dasi. Sepertinya Ita sudah membuatnya tersinggung.
"Tadi habis dari mana?" beonya lagi.
"Aku udah kirim chat ke kamu. Setidaknya lihat dulu sebelum tanya."
"Memang udah diizinkan?" tandasnya tak kalah tajam.
Ita menghela nafas berat. Matanya melengos. Malas menatap dua manik yang selalu menyakiti hatinya ini.
"Terus aku harus nunggu dapat izin sampai kapan? Toh, selama ini kamu nggak pernah cek handphone pribadi selama di kantor."
"Tinggal jawab aja sih dari mana sama siapa. Gampang kan?!" otot lehernya mulai ketara. Laki-laki ini benar-benar emosi.
"Apa aku pernah nanya urusan mu bahkan di hari libur kamu pergi pun. Apa aku pernah interogasi saat kamu pulang? Nggak kan?!"
"Aku pergi wajar karena ada urusan bisnis. Kamu? Inget posisi mu!"
"Posisi? Ah! Iya..., posisi ku nggak lebih dari seorang istri yang dipaksa berdiam diri di rumah. Harus menerima segala bentuk perlakuan suami dan yang lebih penting, di suruh DIAM di saat suaminya selingkuh!"
"Selingkuh apa sih?!" ucap Raga menaikan volume suara.
"Kamu pikir aku nggak tau? Hubungan mu sama sekretaris mu Sasa. Mau ditutup serapat apapun selamanya bangkai akan tercium juga!"
"Jangan menyimpulkan seenaknya!"
"Aku nggak akan bilang kalau nggak ada bukti nyata!"
Laki-laki itu diam. Ia menatap tajam pada Ita. Gemeretak giginya bahkan terdengar.
"Kalau bukan karena Zera Zeno mungkin aku udah minta cerai dari dulu!" ucap Ita tegas.
Laki-laki dengan nama lengkap Saraga Hilar yang menjadi satu-satunya penerus keluarga Hilar itu berdecak kemudian keluar ruangan dengan menghadiahkan bantingan pintu kepada istrinya.
Ita menatap nanar. Kepergian Raga membuat Ita merobohkan kedua kaki yang mati-matian ia tahan untuk jejak berdiri.
Berbicara lantang seperti tadi bukan hal mudah untuk Ita. Kenyataannya Ita lemah.
Satu rahasia yang ia simpan rapat-rapat sejak dulu. Entah kapan dimulainya hingga tumbuh cinta pada laki-laki itu.
Cinta sepihak yang menyakitkan!
...****************...
Suara TV menggema di ruang tengah. Kebiasaan nonton K-Drama masih mengalir di nadi Ita.
Zera dan Zeno yang biasanya aktif bermain di siang hari tidak disangka akan tertidur di hari ini. Membuat Ita bebas melakukan apapun.
Ia sempat memesan beberapa camilan lewat gofood. Menonton K-Drama tidak lengkap tanpa camilan. Begitu prinsip Ita.
Merasa jenuh dengan alur drama. Ita memutuskan membuka file-file lama di laptop.
Banyak sekali folder berjejer. Ita sengaja menyimpannya di laptop sebab ia sadar diri sering lupa pasword google drive. Padahal stok poto semua sudah di upload ke sana.
Kursor mengarah pada folder kenangan semasa SMA. Entah sudah berapa tahun Ita tidak meniliknya.
Salah jika bilang Ita tidak merindukan kenangan itu. Alasannya tidak lain karena Ita takut.
Benar! Ia takut rasa bersalah menghantuinya lagi. Membuat tiap penggalan mimpinya terselip orang itu. Orang yang sudah meninggal di masa lalu.
Bukan salah Ita. Itu murni kecelakaan. Sayangnya Ita selalu merasa itu salahnya.
Setelah menguatkan diri foto kenangan itu terbuka. Jajaran poto mengisi ingatan Ita kembali di masa-masa SMA.
Sejenak hatinya menghangat melihat tawa lepas teman-temannya. Masa itu adalah masa dimana beban tidak seberat sekarang.
Tangan Ita berhenti menekan tombol next ketika potret seseorang memenuhi layar laptop.
Dia Mahesa, laki-laki baik yang secara kebetulan menjadi pacarnya sekaligus orang yang membuat Ita merasakan kehilangan teramat besar.
Saat itu terjadi kecelakaan yang tidak bisa dihindari oleh sekumpulan siswa yang konvoi merayakan kelulusan.
Mungkin jika saat itu Ita tidak menerima panggilan orangtuanya dan memutuskan pulang. Nama Ita saat ini hanya menjadi kenangan untuk beberapa orang.
Entah Tuhan yang masih sayang dengan Ita atau ada ujian yang harus Ita lalui setelahnya. Saat itu masih menjadi misteri sampai sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumahnya.
Dia Saraga Hilar. Satu-satunya penerus H Group setelah kedua orangtuanya meninggal. CEO H Group yang menaungi dua puluh lima departement store terpencar di seluruh Indonesia.
Kehadiran orang itu menjadi jawaban jelas. Bahwa akan ada ujian berat setelahnya.
Pernah terlintas di benak Ita. Kenapa dia diselamatkan pada hari itu? Apakah untuk mengahadapi ujian saat ini? Jika demikian, pantaskah jika Ita meminta untuk dimatikan saja pada saat itu?
Genggaman tangan kecil pada baju Ita menyadarkan lamunannya. Sosok mungil dengan mata bulat itu menatap polos.
"Kenapa Zera sayang?"
"Mau pipin." jawabnya lirih. Kantuk masih menjalarinya.
"Pinternya anak Mama nggak ngompol. Abang Zeno masih tidur ya?"
"Masih. Abang nompol. Bau pecing." ucap Zera menggemaskan sambil menutup hidung.
Ita terkekeh singkat, "nanti bilangin abang ya. Yang ngompol nggak dapat permen susu."
"Humm. Kata Abang sebenelnya nggak mau nompol. Tapi, Abang takut ke kamal mandi." beo Zera seraya melangkah kecil sambil menggenggam daster Ita.
"Kenapa takut?"
"Kata Abang ada tutut di sana."
DEG!
Tutut? Itu adalah kata plesetan untuk kata takut yang menjurus pada istilah hantu atau hal gaib. Seketika Ita menelan paksa saliva.
Sudah besar begini pun Ita masih sering parno menyangkut hal gaib. Apalagi putra dan putrinya ini sering kali cerita menyeramkan dengan wajah ceria.
Pernah saat itu mereka bilang ada teman main di tengah malam. Dan yang paling membuat buluk kuduk Ita berdiri adalah saat Ita memergoki Zera mengobrol di kamar tanpa ada siapa pun.
Oleh sebab itu, Ita memberi pemahaman anak-anaknya untuk tidak berkomunikasi dengan mereka. Dan memberi nama mereka tutut sebagai kata perumpamaan.
Rasanya kalau tidak diberi perumpamaan Ita bisa pingsan seketika. Karena si kembar ini memang selalu berkata jujur. Contohnya saja begini, "Ma disitu ada teman aku. Dia nggak punya mata."
Siapa yang tidak jantungan kalau seperti itu?
"Hehe..., Zera kita ke kamar mandi sebelah sana yuk." Bujuk Ita. Tadinya berniat mengantar Zera ke kamar mandi biasa mereka pakai. Siapa yang menyangka pernyataan Zera membuat Ita berubah haluan.
"Lho kenapa Ma?"
"Hemm, Mama takut tutut."
"Tututna baik lho."
"Ahaha..., sayang Mama punya permen susu. Zera mau?"
"Mauu!" ucap Zera kegirangan.
Syukurlah! Zera tidak membahas tutut itu lagi. Hati Ita menghangat. Sejak memiliki Zera dan Zeno hari-harinya kian berwarna.
Kehadiran merekalah sebab segala pikiran negatif hilang. Seperti saat ini, tadinya Ita disuguhi banyak pikiran. Namun sekarang seolah pikiran itu menguap hanya karena celotehan Zera.
"Nak..., kalian adalah harta berharga Mama." gumam Ita.
"Apa Ma?" saut Zera yang sudah menunaikan buang air kecil.
"Kalian anak manis Mama sampai kapan pun." peluk Ita pada tubuh Zera.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!