Prolog
"Bima, aku janji akan selalu menjaga mu.”
Jari kelingking kecil saling bertaut membentuk jalinan ala pinky swear, janji sepasang sahabat.
Gadis berseragam merah putih dengan potongan rambut bulat gaya bob, bibirnya merekah memamerkan barisan gigi mentimun yang tersusun rapi. Dia menepuk pelan pundak sahabatnya.
Bima menatap haru sahabatnya, Aska. Gadis yang telah ia anggap saudara yang tidak pernah dimilikinya.
“Aku juga janji. Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama," balasnya. Suaranya berubah riang sembari mengusap jejak airmata di pipinya. Kesedihan yang sempat menggelayuti hatinya seketika menguap. Janji yang dilupakan oleh sang ibu terganti dengan janji manis yang diucapkan gadis kecil yang selalu setia disisinya.
...***...
Aska menyisir rambut sebahunya dengan jari, ia menghela nafas sejenak untuk melepaskan penat setelah seharian berkutat dengan tumpukan kertas. Matanya menyusuri kertas kir dihadapannya, memperhatikan setiap detil dari sketsa yang baru saja selesai dikerjakannya. Finish!
“Aska, Pak Edgar mau bicara dengan mu,” Ela menerobos masuk ke ruangan bos-nya dengan wajah panik, deadline dari beberapa pekerjaan yang semakin dekat membuat semua karyawan mulai kehilangan akal.
Aska mendesah kesal. Ia baru saja berniat istirahat tapi begitu melihat Ela muncul dari balik pintu, seketika kata istirahat yang sangat diinginkannya menguap di telan kabar buruk.
“Ada masalah?”
Ela mengangkat bahunya sebagai pertanda tidak tahu. "Dia tidak mengatakan apapun."
"Ah ya, dia menunggu jawaban mu di line tiga," tunjuk Ela ke telepon diatas meja kerja Aska.
“Baiklah," putus Aska dengan berat hati. "La tolong panggil anak kreatif ke sini. Ada yang harus aku diskusikan dengan mereka," perintahnya sebelum Ela menghilang dibalik pintu.
Aska menarik napas dalam lalu menghembuskan perlahan. Ia butuh persiapan untuk menghadapi Edgar yang terkenal sebagai klien paling sulit diatasi.
“Selamat siang Pak,”
Aska mengerutkan keningnya. Sial! Batinnya kesal. Begitu mendengar suara Aska, laki-laki bawel itu langsung melancarkan berbagai keluhan.
“Baiklah. Saya akan mengirimkan petugas terbaik untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.” Aska mengatur nada suaranya agar tetap terdengar tenang. Dia mencengkeram erat gagang telepon ditangannya hingga benda berlapis plastik itu nyaris retak.
Aska menutup telepon dengan kasar. Kalau bukan karena proyek besar, aku pasti segera memutuskan kontrak dengan laki-laki bawel itu, rutuknya kesal. Suara ketukan pintu menyadarkan Aska dari segala umpatan yang bergumam dalam otaknya. "Masuk.”
“Siang bos, Ela mengatakan anda memanggil saya.”
Aska memperhatikan Rudi, salah satu karyawan kepercayaannya, “ya, duduklah.”
“Pak Edgar mengajukan beberapa komplain tentang hasil dekorasi. Kamu harus menanganinya langsung, jangan mengirimkan junior," tutur Aska.
Rudi mengangguk cepat.
“Lalu yang ingin aku bicarakan adalah proyek Singapore Park. Kamu bisa langsung memulai kerja sama dengan para konsultan. Tapi ingat, ini project besar. Pastikan semuanya berjalan lancar.”
Rudi mengangguk lagi. Dia cukup tahu reputasi bos-nya sebagai perfeksionis dalam menangani setiap pekerjaan.
“Kalau ada masalah, segera laporkan padaku. Kamu boleh pergi.” Aska menutup diskusi sepihak-nya dan beralih kembali menatap laptop. Barisan pekerjaan masih mengantri untuk segera diselesaikan.
Rudi mengangguk pelan dan segera beranjak, langkahnya setengah berlari saat menyusuri lantai dan dengan cepat menutup pintu ruangan bertuliskan CEO.
INFINITY Design and Décor dibangun di tahun ketiga setelah Aska menetap di Singapura. Diawal karirnya Aska memilih untuk mengejar pengalaman di salah satu perusahaan kontruksi terbesar di negara ini. Saat di berada di puncak karir, Aska tersadar bahwa dia tidak bisa meneruskan pekerjaan yang bertentangan dengan jalur minatnya. Keputusan untuk resign dan membangun sebuah biro konsultan arsitektur dari nol jelas menjadi bahan cemoohan di kalangan para arsitek sukses lainnya.
Aska dianggap terlalu bangga diri dan ceroboh. Menurut mereka tidak semua orang bisa membangun perusahaan dan menjadi sukses. Sayangnya apa yang mereka pikirkan salah. Jalan Aska menuju kesuksesan terbilang cukup mulus. Reputasinya yang telah dibangun sejak awal sebagai arsitek berbakat ditambah latar belakang pendidikan dan nama besar sang Ayah yang notabene merupakan pemilik perusahaan konstruksi besar di Indonesia membuat Infinity bergerak cukup cepat menguasai pasar design interior.
Aska melirik ponselnya yang kembali berdering, sepanjang hari ini beberapa panggilan masuk terus-menerus menganggu pekerjannya. Begitu melihat nama "Tante Nirmala" di layar, Aska memilih melanjutkan pekerjaan. Dia yakin, ibu tirinya hanya akan menanyakan jadwal kepulangannya ke Indonesia dalam rangka persiapan pernikahan Aldi - saudara tirinya. Semenjak menetap di Singapura, Aska jarang pulang ke rumah orangtuanya di Indonesia. Terakhir kali dia menginjakkan kakinya di rumah satu tahun yang lalu, itupun terpaksa karena Papa mengancam akan menyeretnya pulang kalau tidak melihat batang hidungnya di momen ulang tahunnya.
Panggilan masuk disusul pemberitahuan lowbat kembali menghiasi layar, sepertinya smartphone itu mulai lelah berkedip dan bergetar memberitahukan pemiliknya agar mengangkat panggilan masuk. Kali ini Aska mengalah, dia melepaskan pekerjaan dan meraih ponselnya.
“Aska, akhirnya kamu jawab juga. Kamu harus cepat pulang," seru Nirmala cepat begitu Aska menerima panggilan.
Aska mendesah malas. “Tan, aku masih banyak pekerjaan. Lagipula bulan depan aku pulang,”
“Aska, Bima meninggal! Kamu harus pulang sekarang," potong Nirmala, kali ini dia mengeraskan nada suaranya bersama isak pelan diantara kalimatnya.
Aska terdiam. Otaknya sedang memproses setiap kata yang baru saja didengarnya.
Bima? Meninggal?
“Tante tidak bercanda kan?” tanyanya ragu. Ia sangat berharap kali ini Nirmala hanya bercanda sebagai alasan untuk memaksanya pulang lebih cepat.
“Cepat pulang Aska, kami menunggu mu sebelum pemakaman Bima.”
Nirmala menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban Aska. Nirmala yakin, Aska akan segera pulang. Nama Bima jauh lebih berharga bagi Aska dibandingkan orang lain di dunia ini.
Tubuh Aska bergetar, dia menekan angka satu berkali-kali di layar ponselnya, panggilan cepat yang disambungkan langsung ke nomor ponsel Bima, beberapakali mencoba tidak satupun tersambung. Aska terdiam sesaat sebelum mengangkat gagang telepon di mejanya.
"La pesan tiket ke Jakarta sekarang juga," perintahnya tanpa menunggu jawaban dari balik telepon.
Ela setengah berlari masuk ke ruangan CEO. “Kenapa?” tanyanya panik begitu melihat wajah pucat Aska.
“Kamu handle semua pekerjaan. Aku harus segera ke Indonesia," Aska membereskan barangnya tanpa tahu apa saja yang masuk ke dalam tasnya.
“Ada apa?” Ela semakin panik melihat tangan Aska yang bergetar. Apalagi melihat wanita itu tanpa sengaja menumpahkan kopi diatas kertas gambar yang baru diselesaikannya.
“Aska! Tenangkan dirimu. Apa yang terjadi?” Ela menarik lengan Aska, mengiringnya duduk di sofa terdekat. “Coba tenanglah, ceritakan padaku.” Ela kaget melihat bulir airmata mengalir dikedua pipi Aska, dia tidak pernah melihat wanita itu menangis.
“Bima, Bima,” gumam Aska dengan suara bergetar. “Bima meninggal.”
“Ya tuhan!” Ela tercekat. Kini dia tahu apa yang menyebabkan Aska begitu panik.
“Bima, dia meninggalkanku," gumam Aska lagi disela isak.
Ela menatapnya sedih, dia tahu betapa dekatnya hubungan antara Aska dan sahabat kecilnya Bima. Mereka tumbuh bersama layaknya saudara kembar yang tidak terpisahkan. Bila Aska bersedih, Bima akan ikut bersedih. Begitu pula sebaliknya.
“Aku akan carikan penerbangan sore ini. Lebih baik kamu istirahat sebentar sebelum ke bandara," ujarnya sebelum meninggalkan Aska.
...****************...
Berkat koneksi Ela, Aska berhasil duduk di pesawat tepat jam empat sore untuk terbang ke Indonesia. Didalam pesawat, Aska tidak bisa berhenti memikirkan sahabatnya. Dalam video call terakhir, Bima terlihat baik-baik saja, masih ceria dan bawel seperti biasanya. Durasi dua jam pembicaraan mereka di isi dengan celoteh Bima tentang kehidupan sekolah dimana dia mengajar, deretan surat cinta yang diterimanya, ditambah berbagai petuah agar Aska sering pulang ke rumah untuk mengunjungi orangtuanya, dan tak lupa peringatan untuk mengurangi konsumsi kafein dan alkohol.
Satu-satunya yang membuat Aska terusik hanya hubungan Bima dengan wanita bernama Angel. Untuk beberapa alasan Aska tidak menyukai wanita yang telah dipacari Bima selama dua tahun belakangan ini. Aska merasa wanita itu palsu, wanita itu hanya bersikap manis didepan Bima dan orang sekitar. Saat bersama Aska, Angel cenderung menunjukkan sifat aslinya. Arogan dan murahan, Itu yang bisa dipikirkan Aska tiap kali mendengar nama Angel dari mulut Bima.
Begitu pesawat take off, Aska mencoba memejamkan matanya. Penerbangan ke Indonesia memakan waktu sekitar tiga jam, tidur adalah satu-satunya cara menenangkan dirinya sejenak. Perlahan kantuk membawa Aska ke alam mimpi, dimana pertemuan pertamanya dengan Bima.
“Hei bocah, berikan kami uang," perintah Gery, bocah laki-laki bertubuh tambun. Wajahnya sengaja menggerut, dibuat agar tampak se-kejam mungkin untuk menakuti mangsanya.
Bersama dua temannya, Gery memaksa bocah kurus memakai kacamata tebal untuk menyerahkan uang jajannya. Sebagai senior kelas enam yang terkenal kejam, Gery ditakuti oleh seluruh juniornya di sekolah.
Anak laki-laki yang menjadi target Gery mengerang pelan, cekalan tangan Gery di kerah seragam putih merah membuatnya susah bernapas. “Jangan,” mohonnya dengan suara tercekat.
“Cepat!” sentak Gery mulai tidak sabar. Dia mencubiti perut bocah dalam cekalannya.
Bocah itu meringis kesakitan. Ketiga pelaku yang menawannya tertawa, mereka merasa diatas angin. Bocah malang itu tidak pernah menyangka, dihari pertamanya menginjakkan kaki di sekolah baru ia harus mengalami tindakan bully.
“Hoi, ngapain kalian?!” suara nyaring melengking mengalihkan perhatian ketiga bocah nakal itu.
Ditengah ketakutannya, bocah kurus turut memandang kearah datangnya suara. Dia tidak menyangka seorang gadis seumurannya berdiri dengan wajah sangar menantang para seniornya.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya seiring dengan teriakan keras dan panjang.
“Bu Guru! Gery menganggu murid lain," pekiknya.
Nyaris memekakkan telinga keempat bocah laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya.
Begitu mendengar suara langkah orang dewasa mendekat, seketika ketiga anak nakal melepaskan sandera-nya dan lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Gadis berambut pendek mendekati bocah malang yang duduk sambil meringis kesakitan.
"Hei, kamu baik-baik saja?”
Bocah itu mengangkat wajahnya memandang gadis manis dengan lesung di pipi kirinya tengah menatapnya menunggu jawaban. Dia mengangguk pelan.
“Te-terima kasih," ucapnya ragu. Entah mengapa ia merasa aura gadis ini lebih menyeramkan dibandingkan bocah-bocah nakal yang merudungnya.
“Namaku Aska, kamu?” gadis itu meraih tangan bocah dihadapannya sambil memasang senyum semanis mungkin.
“Bi, Bima," sahut Bima terbata-bata. Ia menunduk takut.
“Oke Bima. Mulai sekarang kita sahabat. Tenang saja, aku akan selalu melindungi mu," Aska tersenyum riang sambil menggoyang jemari yang saling bertautan.
Begitu keluar dari gate kedatangan, Aska mengedarkan pandangannya ke segala arah. Mencari sosok Raka yang datang untuk menjemputnya. Raka adalah salah satu teman yang dekat dengan Bima. Keduanya kuliah di jurusan yang sama dan mengajar di sekolah yang sama pula. Bima sering memaksa Aska untuk berkumpul bersama teman-temannya setiap kali Aska pulang ke Indonesia. Bima tidak memperdulikan protes Aska maupun sikap canggung teman-temannya akan kehadiran Aska yang pada dasarnya sulit untuk bergaul dengan orang lain.
“Aska!” panggil Raka begitu melihat Aska. Dia melambai dari balik pagar pemisah.
Aska segera berlari mendekatinya. Tanpa banyak bicara keduanya langsung keluar dari bandara menuju parkiran. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya diam, berkutat dengan pikiran masing-masing.
...***...
Raka menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah sakit swasta. Aska mengernyit heran, namun dia mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut. Aska memilih tetap diam mengikuti langkah Raka masuk ke dalam rumah sakit menuju sebuah ruangan yang ternyata kamar mayat. Didepan ruangan Rena - ibu Bima duduk dengan wajah duka didampingi Nirmala.
“Ma,” sapa Aska begitu berdiri cukup dekat, ia memperhatikan wajah Mama Rena. Matanya sembab dan merah. Pasti wanita ini menangis sepanjang hari. “Mama Rena,” panggilnya lagi.
“Aska, Bima sudah pergi," rintih Rena. Entah ke berapa kalinya dalam sehari ini dia menyebut nama anaknya hingga suaranya berubah serak dan kasar.
Aska mengangguk. Perlahan airmata kembali mengalir dari sudut matanya. Aska cepat-cepat menghapusnya ketika menangkap kode dari Nirmala yang menggeleng meminta Aska untuk tidak menangis. Aska mengerti, saat ini yang harus dilakukannya adalah bersikap tegar didepan Mama Rena. Bagaimanapun dukungan dari orang-orang terdekat yang bisa menguatkan wanita itu.
“Ka, kamu mau masuk?” tanya Raka.
Laki-laki itu baru saja keluar dari kamar mayat. Pasti didalam sana dia menangis, terlihat jelas dari matanya yang sembab.
Aska mengangguk dan kembali mengikuti langkah Raka memasuki ruangan bersuhu dingin. Puluhan laci besi berukuran besar tersusun merapat ke dinding, mengelilingi sebuah ranjang yang juga terbuat dari besi yang diatasnya terdapat plastik hitam panjang, terbujur kaku.
Langkah Aska terasa berat seiring jarak yang semakin dekat dengan tempat jasad Bima terbaring. Dia terdiam sesaat, mencoba menguatkan hatinya lagi.
Aska kamu tidak boleh menangis! Bima paling tidak suka melihat airmata mu, jerit batinnya menguatkan diri.
Dengan bantuan Raka yang memapahnya, Aska berhasil berdiri didepan jasad hitam legam hingga wajahnya tidak dapat dikenali. Aska menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, dia menelan semua teriakkan yang berusaha keluar dari kerongkongannya.
Bima!
“Apa yang terjadi pada Bima?” gumamnya pelan.
Raka merangkul pundak Aska semakin erat. Dia tahu bagaimana terguncang wanita disampingnya. Hancur, sama seperti yang ia rasakan saat pertama kali melihat jasad Bima. “Bima mengalami kecelakaan. Mobilnya terbakar," sahutnya dengan susah payah.
Aska terisak, tidak mampu lagi menahan airmatanya. “Bima,” rintihnya. Ia meraih tangan sahabatnya. Menggenggam tangan penuh luka bakar yang terasa dingin. Tidak ada rasa takut ataupun jijik yang tampak di raut wajahnya, hanya kehilangan yang amat dalam hingga ia tidak mampu mengekspresikan perasaannya.
Tak lama, Aska merasa ada sesuatu yang berbeda saat menyentuh tangan ini. Dia menggenggamnya lebih erat, entah bagaimana menjelaskannya tapi Aska merasa asing. Ini bukan tangan yang selalu mengelus kepalanya dan memeluknya saat ia bersedih. Bukan tangan yang mengengam jemarinya saat menyeberangi jalan. Buka tangan yang menghapus air matanya.
Ini bukan Bima!
...****************...
Ini bukan Bima!
Aska melepaskan tangan dingin itu, ia berpaling untuk menatap Raka. Kemudian kembali memandang jasad dihadapannya, melihat lebih seksama. Kini dia semakin yakin, ini bukan tubuh Bima.
“Ini bukan Bima," desisnya.
Raka dan para petugas menatapnya keheranan.
“Raka, ini bukan Bima.”
Raka meraih tangan Aska untuk menenangkannya. “Aska, aku tahu kamu kaget. Kita semua belum bisa menerima kepergian Bima, tapi kita harus tabah," ujarnya.
Aska menggeleng cepat. “Raka, ini bukan Bima. Bima masih hidup. Kamu harus percaya sama aku.”
"Apa maksudmu?"
"Bima selalu memakai cincin yang sama. Dia tidak pernah melepasnya," tunjuk Aska pada cincin perak yang telah bertahun-tahun melingkar di jarinya. "Lihat ini, bahkan tidak ada tanda apapun di jari ini," alihnya pada jari di tubuh yang di identifikasi sebagai Bima. Tidak ada cincin ataupun jejak melingkar di jari itu.
Aska sempat menyarankan Bima untuk melepaskan cincin itu karena bentuk jari tengahnya yang tampak lebih kecil dibandingkan jari lainnya, efek tekanan dari cincin yang melingkar erat di jarinya. Lagipula sudah waktunya bagi mereka melepas cincin itu, mengingat sebentar lagi Bima dan Angel akan bertunangan.
Namun Bima menolak keras bahkan mendiamkan Aska selama sebulan. Bima marah karena menurutnya Aska melupakan arti dari cincin yang mereka kenakan. Cincin itu adalah hadiah Aska di hari ulang tahun ke tujuh belas Bima, saat itu mereka merayakan ulang tahun keduanya yang hanya berselang satu hari. Aska ditanggal 11 dan Bima 12. Bima menangis haru dan berjanji tidak akan pernah melepas cincin tanda persahabatan mereka. Jadi Aska sangat yakin, Bima tidak akan pernah melepaskan cincin itu.
Raka terdiam. Dia tahu apa yang di maksud Aska. Cincin perak dengan bingkai garis halus. Dibalik cincin terukir kalimat Aska & Bima selamanya. Beberapa hari yang lalu Bima sempat cerita, Angel memintanya untuk melepaskan cincin itu dan menggantinya dengan cincin yang telah dipersiapkan untuk pertunangan mereka.
"Mungkin Bima melepas-nya."
Aska menggeleng keras. "Bima tidak akan pernah melepas-nya. Itu janji yang akan selalu kami jaga," katanya yakin.
“Aska, kumohon tenangkan dirimu. Biarkan Bima pergi dengan tenang," Raka meninggikan suaranya, ia mulai kesal dengan tingkah Aska. Dia menganggap wanita itu terlalu terpukul hingga bersikap kekanak-kanakan.
Aska mengernyit. Pergi dengan tenang?! “
Bima masih hidup!” Sentaknya marah. Aska sangat yakin sahabatnya masih hidup. Dia orang yang paling mengenal Bima bahkan melebihi ibu yang melahirkan lelaki itu. Dia yakin 100% kalau jasad yang terbujur kaku itu bukanlah Bima.
“Aska," Rena masuk bersama Nirmala karena mendengar suara ribut dari dalam ruangan.
“Ma, Bima masih hidup," buru Aska mencari pembenaran, ia memegang lengan Rena untuk menyakinkannya. Tapi hanya raut wajah kosong dan kecewa yang ditampilkan wanita itu.
“Bima masih hidup!” teriak Aska. Dia mengacak rambutnya putus asa, bingung bagaimana cara menyakinkan orang-orang.
Raka dan beberapa orang petugas rumah sakit memegangi kedua tangan Aska menyeret tubuh wanita itu keluar dari ruangan. Sekuat tenaga Aska meronta sambil meminta Rena mendengarnya.
...***...
"Mama harus percaya sama Aska. Mayat itu bukan Bima. Aska yakin Ma. Tolong batalkan pemakaman ini. Mama Rena harus minta polisi buat otopsi," pinta Aska.
Berkali-kali dia mencoba untuk meyakinkan Rena kalau jasad yang sekarang terbaring diruang duka bukanlah Bima, anaknya. Meskipun tanpa bukti, Aska sangat yakin kalau mayat itu bukan sahabatnya.
"Cukup Aska!"
Agus menarik putrinya menjauh dari Rena. Wanita itu sudah cukup terpukul karena kepergian putranya. Sikap Aska hanya menambah kesedihannya. "Sudah cukup Aska, polisi sudah melakukan penyelidikan terhadap kasus ini dan mereka menyakinkan kalau itu benar jasad Bima," tegas Agus.
"Tapi Pa, itu bukan Bima. Mereka pasti salah!" Jerit Aska.
Aska kehabisan cara untuk menyakinkan semua orang. Dia pun lelah, sedih dan putus asa. Aska mencoba sangat keras menerima kenyataan ini tapi hatinya tetap menyangkal.
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat bagi Aska dan Bima. Keduanya menghabiskan setiap detik dan menit bersama. Bagi Aska, Bima itu lebih dari sekedar teman, sahabat, bahkan keluarga. Bima lebih dari itu. Setiap hal tentang Bima terekam jelas di ingatan. Aska bisa membedakan derap langkah, suara, bahkan aroma tubuh sahabatnya.
"Cukup Aska. Lebih baik sekarang kamu pulang. Mama ngak mau liat kamu disini sekarang dan berhentilah bersikap kekanak-kanakan," usir Rena dengan suara bergetar.
Aska tercengang, dia tidak pernah melihat wajah Rena yang marah padanya. Bahkan saat Aska menyebabkan pergelangan kaki Bima patah, Rena tidak marah padanya. Wanita itu tetap tersenyum sambil mengelus rambutnya.
Aska mendesah lelah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Sekeras apapun Aska mencoba menyakinkan, mereka tetap pada pendiriannya. Dia menyeret langkahnya keluar dari rumah Bima. Tidak sedikitpun matanya menoleh untuk melihat jasad yang terbaring kaku diruang duka. Aska melewatinya diiringi tatapan heran dari para pelayat yang duduk mengelilingi jasad itu.
...***...
Aska mengurung diri didalam kamar, menenggelamkan tubuhnya dibalik selimut. Dia melewatkan acara pemakaman jasad yang diyakini orang-orang sebagai Bima. Nirmala dan Agus memaksanya hadir di pemakaman, tapi Aska menolak tegas. Sampai kapanpun Aska tidak akan pernah percaya bahwa yang terkubur dibawah pusara dengan nisan bertuliskan nama “Bima Ramadhan” adalah sahabatnya. Entah jasad siapa yang terbaring di sana diiringi tangisan kehilangan oleh orang-orang yang mencintai Bima.
Sederet pertanyaan terus muncul di benak Aska. Jika dia sangat yakin bahwa jasad itu bukanlah Bima. Kenapa jasad itu bisa ditemukan didalam mobil Bima dengan kondisi jasad yang rusak parah. Apa untuk menyulitkan polisi dalam mengindentifikasi identitas korban. Lalu, kenapa mereka dengan mudah menyimpulkannya sebagai Bima?
Aska bangkit dari ranjangnya, meraih ransel dan jaket. Dia mendesah pelan begitu melihat pantulan wajahnya di cermin, kusam dengan mata sembab akibat menangis sepanjang malam. Aska turun dari tangga dengan langkah terburu-buru tanpa menyadari Papa yang duduk diruang tamu tengah memperhatikan setiap gerakannya.
“Aska, mau kemana?”
Aska berpaling, kaget melihat Papa. “Keluar Pa, cari udara segar," sahutnya datar.
“Sini,” Papa melambai, meminta Aska menghampirinya. “Duduk. Papa mau ngobrol."
Dengan enggan Aska mendekat dan duduk di sofa yang letaknya paling jauh hingga memberikan jarak yang cukup untuk menghindari kontak mata langsung. Hubungannya dengan sang Ayah tidak terbilang harmonis meskipun keduanya berusaha keras membuat ikatan Ayah dan anak yang renggang ini tidak terlihat terlalu jelas dihadapan orang lain.
“Kamu baik-baik saja?” Agus mengamati perubahan ekspresi putri semata wayangnya.
Aska terdiam sesaat. “Baik,” gumamnya pelan.
“Lebih baik kamu istirahat di rumah saja sampai kondisi mu sehat.”
Aska mengernyit. “Papa tidak berpikir seperti orang lain, kalo Aska gila 'kan?” desisnya kecewa.
Agus sadar, dia baru saja menyinggung perasaan putrinya. “Bukan begitu sayang, Papa hanya mempertimbangkan kesehatan mu.”
Aska berdecak kesal. “Aska baik-baik saja, cukup waras hingga saat ini," sentaknya marah dan memilih pergi tanpa mau mendengar penjelasan apapun.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!