🌻
🌻
🌻
🌻
🌻
Demir adalah seorang anak yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarganya sejak kecil, sehingga mengakibatkan Demir tumbuh menjadi anak yang tertutup dan tidak percaya akan cinta.
Mamanya meninggalkan Demir di saat Demir terlahir di dunia ini, entah apa alasan Mamanya dengan tega meninggalkan Demir, dia sungguh tidak tahu.
Di dunia ini hanya Papanya yang menyayangi Demir, bahkan Kakek dan Neneknya pun sangat membenci Demir. Kakek dan Neneknya sangat membenci Mama Demir jadi mereka pun ikut membenci Demir, Demir selalu saja dimarahi walaupun Demir tidak melakukan kesalahan.
Di usia Demir yang menginjak 5 tahun, tiba-tiba Mama Demir datang kembali. Dia ingin mengambil Demir dari Papanya, tapi Demir tidak mau dan akhirnya terjadi insiden yang mengakibatkan Mama Demir dengan tidak sengaja membunuh Papanya Demir.
Mamanya Demir akhirnya di penjara karena harus menebus dosa yang sudah dia lakukan tapi sayang, baru saja beberapa hari di penjara, Mama Demir mengalami defresi dan harus dibawa ke rumah sakit jiwa.
Flash back on...
Beberapa puluh tahun yang lalu...
Demir terlihat berjongkok di sudut terminal kereta api dan tidak lama kemudian, terdengar suara kereta api datang. Semua penumpang yang menunggu, langsung bangkit dari duduknya dan berdiri.
“Demir, ayo cepat bangun!” sentak Nenek Demir.
Demir masih tidak bergeming, sehingga membuat Neneknya kesal dan dengan emosinya menarik tangan mungil itu untuk ikut bersamanya.
Demir sama sekali tidak berkata apa-apa, sungguh Demir saat ini menjadi sosok anak yang pendiam dan dingin.
Nenek dan Kakeknya memutuskan untuk membawa Demir pindah ke Semarang tempat kelahiran Kakeknya.
Selama tinggal bersama Nenek dan Kakeknya, Demir sama sekali tidak mendapatkan kasih sayang, hanya bentakan dan siksaan yang Demir dapatkan.
“Kamu hanya menyusahkan saja, wajah kamu hanya mengingatkan Nenek kepada wajah Mamamu. Mamamu sudah membunuh anakku satu-satunya dan sampai kapan pun Nenek tidak bisa menerima itu!” bentak Nenek Demir.
Demir hanya terdiam di pojokan kamarnya, Demir tidak pernah melawan kepada Nenek dan Kakeknya, justru dia selalu diam saat mendapat perlakuan kasar dari mereka.
Nenek dan Kakeknya tidak tahu kalau mental Demir sedikit demi sedikit sudah terganggu. Demir di usia 5 tahun sudah mendapatkan perlakuan kasar dan itu membuat jiwa kecil Demir terguncang.
Tidak terasa, Demir saat ini sudah masuk SMP. Demir berubah menjadi anak yang pembangkang, bahkan di sekolahnya Demir selalu berkelahi dan memukul temannya. Seperti saat ini, Kakeknya di panggil ke sekolah karena Demir memukul temannya karena sudah mengganggu Demir.
“Demir, kenapa kamu selalu saja membuat Kakek dan Nenek malu, dasar anak tidak berguna, tidak tahu di untung!” bentak Kakek Demir.
Demir hanya tersenyum sinis, dan tanpa mendengarkan ocehan Kakeknya, Demir pun keluar dari ruangan guru.
“Dasar anak itu.”
Kakek Demir pun menyusul Demir dan dengan emosi yang memuncak, Demir pun di seret untuk masuk ke dalam mobilnya.
Tidak ada penolakan dari Demir, dia hanya mengikuti sang Kakek. Sesampainya di rumah, Kakeknya mengambil kayu yang biasa ia pakai untuk memukul Demir.
Dengan emosi yang memuncak, Kakeknya memukul Demir. Demir hanya terdiam merasakan perihnya kayu menghujam punggungnya.
“Apa kamu sudah menyesal?”
“Tidak.”
Buk..buk..buk..
Kayu itu kembali dipukulkan ke kaki Demir.
“Kenapa kamu suka sekali membuat masalah, kamu memang anak yang tidak tahu diri, Kakek dan Nenekmu sudah mengurusmu dengan sangat baik tapi apa balasan darimu? Kamu hanya membuat kami malu!” teriak Kakek Demir.
Demir mengambil kayu itu dan bangkit, kemudian menatap tajam ke arah Kakeknya itu.
“Kamu mau apa, Demir? Apa kamu mau memukul Kakekmu ini?” sentaknya dengan nada gugup.
“Sejak kapan kalian mengurus dan memperlakukanku dengan baik? Sejak kecil kalian selalu memarahi dan menyiksaku, mungkin kalau aku mati baru kalian akan merasa puas!” bentak Demir.
Demir melempar kayu itu mengenai kaca jendela membuat jendela rumah itu pecah, tanpa memperdulikan Kakeknya lagi, Demir pun menyeret kakinya menuju kamar pribadinya.
“Demir, mau ke mana kamu? Dasar anak kurang ajar!” teriak Kakek Demir.
Demir pun masuk ke dalam kamarnya, kedua tangannya dia kepalkan. Kalau Demir tidak memikirkan surat wasiat dari Papanya, sudah sejak dulu Demir meninggalkan rumah yang bagai neraka itu.
Tapi almarhum Papanya, ingin Demir tetap berada di rumah itu sebelum usia dia 21 tahun karena perusahaan Papanya diwariskan kepada Demir.
Demir tidak mau perusahaan itu jatuh ke tangan Kakek dan Neneknya, karena itu adalah satu-satunya peninggalan Papanya.
Demir membuka seragam sekolahnya, Demir tampak meringis karena punggungnya penuh dengan luka pukulan bahkan ada yang berdarah. Demir pun duduk di balkon kamarnya, dia pun mengeluarkan sebatang rokok yang dia sembunyikan di kantong celananya.
Demir mulai menghisap rokok itu, tapi airmata Demir tidak bisa ditahan mengalir dengan sendirinya.
“Pa, kenapa Papa secepat itu meninggalkan Demir, Demir rindu Papa,” batin Demir.
Demir menundukan kepalanya dengan airmata yang terus mengalir tanpa henti, rasa sakit di punggungnya tidak seberapa dengan rasa sakit hati yang dia rasakan.
🌻
🌻
🌻
🌻
🌻
Mana nih suaranya yang menunggu kisah Demir, yuk jangan lupa ramaikan lagi ya guys😘😘
🌻
🌻
🌻
🌻
🌻
Waktu pun berjalan dengan sangat cepat, saat ini Demir mulai masuk sekolah menengah atas. Walaupun Demir urakan dan badung, tapi Demir merupakan anak yang cerdas jadi dia tetap lulus dengan nilai yang memuaskan.
Menginjak usia yang labil, kelakukan Demir semakin menjadi-jadi, Demir sering sekali terlibat tawuran antar sekolah karena menurut Demir dengan ikut tawuran itu, membuat jiwa dan hati Demir senang.
“Mir, buruan teman-teman kita sudah menunggu di ujung jalan sana!” teriak salah satu teman Demir.
“Kamu duluan, nanti aku nyusul,” sahut Demir.
Akhirnya teman Demir itu pun pergi ke belakang sekolah dan kabur dari sekolah dengan melompati dinding sekolah itu.
Demir tampak celingukan, dia mengambil tasnya dan berjalan mengendap-ngendap, hari ini dia dan teman-temannya berencana akan melakukan tawuran.
Demir pun melangkahkan kakinya menuju belakang sekolah, dia pun akan melakukan hal yang sama dengan temannya tadi akan melompati dinding sekolah.
Sementara itu, di jalan belakang sekolah itu ada seorang gadis cantik yang berjalan sendirian dengan membawa tas dan buku di tangannya.
Brukkk...
Demir melempar tasnya dan mendarat tepat di kaki si gadis itu, gadis cantik itu pun menghentikan langkahnya dan tidak lama kemudian, Demir pun melompat dan segera mengambil tasnya.
Demir hendak pergi tapi sebelum pergi, Demir melihat seorang gadis cantik hanya berdiri dan terdiam.
“Kamu ngapain malah diam? Kamu mau laporin aku ya, awas saja kalau kamu sampai laporin aku, aku akan mencarimu,” ketus Demir.
Demir pun dengan cepat berlari dan menyusul teman-temannya, sedangkan si gadis itu kembali melangkahkan kakinya. Gadis itu berjalan dengan perlahan, serta tatapannya lurus ke depan.
Di ujung jalan, terlihat wanita paruh baya menunggu gadis itu, wanita paruh baya itu tersenyum kala melihat anaknya sudah pulang sekolah.
Setelah mendekat, wanita paruh baya itu menyentuh tangannya.
“Mama.”
“Bagaimana sekolahnya hari ini? Apa menyenangkan?”
“Lumayan menyenangkan, Ma.”
Wanita paruh baya itu pun menggandeng tangan anaknya, ternyata gadis cantik itu buta tidak bisa melihat, maka dari itu Mamanya selalu menunggu anaknya pulang sekolah di ujung jalan.
Sesampainya di rumah, Mamanya langsung mengambilkan makan siang untuk anaknya.
“Kamu makan siang dulu, Nak.”
“Fira bisa ambil sendiri, Ma, jadi Mama tidak usah mengambilkannya karena Fira tidak mau sampai merepotkan Mama.”
“Tidak Nak, kamu tidak pernah merepotkan Mama.”
Gadis cantik itu bernama Safira, Safira sudah mengalami kebutaan sejak lahir karena Mama Safira mengalami infeksi saat mengandung Safira sehingga Safira harus lahir tanpa bisa melihat dunia yang indah ini.
“Nak, Mama pergi bekerja dulu ya, kunci saja rumahnya karena Mama bawa kunci cadangan.”
“Iya Ma.”
“Dan ingat, jangan buka pintu untuk siapa pun.”
“Iya.”
Mama Safira pun mencium kening anaknya itu dan pergi untuk bekerja. Mama Safira, bekerja menjadi ART di sebuah keluarga orang kaya.
Setelah selesai makan, Safira pun membereskan bekas makannya. Safira memang diajarkan mandiri oleh Mamanya, awalnya memang sulit tapi karena sudah terbiasa akhirnya Safira pun tahu di mana letak dapur, kamar mandi, kamarnya, bahkan sekolahannya.
Mama Safira sangat sabar mengajari Safira, Mamanya mengajarkan Safira dengan langkah kakinya. Seperti jarak dari ruang tamu ke dapur itu 10 langkah dan begitu seterusnya.
Sedangkan di sebuah gang, Demir dan teman-temannya sedang melakukan tawuran antar sekolah. Mereka semua membawa senjata tajam masing-masing hingga suara mobil polisi pun datang.
Semua anak-anak berlarian berhamburan karena takut tertangkap oleh polisi, begitu pun dengan Demir, dia langsung berlari ke dalam gang rumah penduduk.
Safira yang baru saja keluar hendak menjemur pakaian, ditabrak oleh Demir sampai pakaiannya berserakan di jalan.
“Astaga, kenapa kamu menghalangi jalanku!” sentak Demir.
“Sepertinya kamu yang salah, sudah tahu jalanan sempit malah lari-lari,” sahut Safira.
Tiba-tiba dari kejauhan, Demir melihat polisi datang, Safira langsung bersembunyi masuk ke dalam rumah Safira.
“Kamu harus diam, jangan bilang kalau aku ada di sini,” bisik Demir.
Safira tidak memperdulikan Demir, dia hanya berusaha memunguti pakaiannya yang berserakan.
“Maaf Dek, apa kamu melihat anak-anak pakai seragam SMA berlarian ke sini?” tanya polisi.
“Tidak Pak.”
“Baiklah, terima kasih, Dek.”
Polisi itu pun akhirnya pergi, Demir bisa bernafas lega dan Demir mulai memperhatikan rumah sederhana milik Safira.
Di dinding rumah itu terdapat banyak tanda yang Mama Safira tempelkan untuk mempermudah Safira menemukan hal yang dia inginkan.
“Kenapa rumahnya aneh sekali, banyak dipasang stiker timbul seperti ini,” gumam Demir.
Hingga akhirnya Demir tersentak saat Safira masuk ke rumah dan meraba-raba stiker itu, kemudian masuk ke dapur dan mengambil gelas kemudian mengisinya dengan air putih.
Demir hanya bisa memperhatikannya dengan bingung, Safira menghampiri Demir dan menyodorkan gelas itu kepada Demir, tapi bukan ke hadapan Demir melainkan ke sisi yang berlawanan.
Demir melambaikan tangannya ke wajah Safira tapi tidak ada respon sama sekali.
“Maaf, kamu buta?” tanya Demir.
Safira tersenyum dan menganggukan kepalanya, darah Demir langsung berdesir saat melihat senyuman Safira dan itu untuk pertama kalinya hati Demir menghangat.
Demir segera mengambil gelas berisi air putih itu dan meneguknya sampai tandas.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Kalau begitu aku pergi dulu.”
“Iya.”
Demir pun mulai meninggalkan rumah Safira, tapi Demir terus saja menengok ke belakang melihat Safira yang sedang melanjutkan menjemur pakaian.
Demir kembali tersenyum, lalu dengan cepat Demir pun meninggalkan tempat itu.
🌻
🌻
🌻
🌻
🌻
Demir pulang ke rumah dengan wajah yang sedikit lebam karena tadi Demir sempat terkena pukulan oleh lawan tawurannya.
Demir pun masuk ke dalam rumah dengan santainya, mengabaikan Kakek dan Neneknya yang dari tadi memperhatikan Demir.
“Demir, tunggu!” seru Kakek.
Demir yang hendak melangkahkan kakinya menaiki tangga, sehingga Demir terpaksa menghentikan langkahnya.
“Kamu semakin hari, semakin tidak sopan saja kepada kami!” sentak Nenek.
Demir membalikan tubuhnya dan menghampiri Kakek dan Neneknya.
“Sebenarnya apa mau kalian? Apa kalian tidak capek, setiap hari memarahi dan menyiksaku?” seru Demir dengan santainya.
Bughh...
Kakek Demir memukul Demir dengan kerasnya.
“Kamu memang anak yang tidak tahu diuntung, sejak kecil kami yang mengurusmu dan begini cara kamu membalas budi terhadap kami!” bentak Kakek.
“Balas budi? Balas budi apa? Memangnya kalian sudah melakukan apa kepadaku? Aku hidup memakai uang warisan dari Papa, dan kalian tidak pernah mengurusku dengan baik, bahkan kalian tidak pernah memperlakukanku layaknya seorang manusia,” seru Demir.
Kakek Demir hendak melayangkan pukulan lagi tapi tertahan karena Demir tersenyum sinis ke arah Kakeknya itu.
“Kenapa, Kakek mau pukul aku lagi? Silakan Kek, pilih mau bagian mana yang Kakek pukul,” seru Demir santai.
“Kamu memang anak tidak tahu di untung, Demir!” bentak Kakek Demir.
Demir tidak memperdulikan lagi bentakan dan teriakan Kakek beserta Neneknya, rasa hormat Demir sudah menguap begitu saja tanpa tersisa yang ada saat ini hanya rasa benci yang Demir rasakan.
Demir tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, dan Demir harus menjadi anak yang kuat dan tangguh.
Sesampainya di kamar, Demir membanting tas sekolahnya.
“Kalian akan menyesal karena sudah membuatku menderita, tunggu saatnya aku sudah dewasa dan mengambil alih perusahaan milik Papa,” gumam Demir dengan mengepalkan tangannya.
Selama ini Demir memang menahan dan menyimpan rasa sakitnya seorang diri, tidak ada sandaran buat Demir berkeluh kesah. Pemberontak, pembangkang, itulah sikap Demir saat ini.
Demir dibesarkan dengan siksaan dan kebencian jadi jangan salahkan Demir kalau saat ini Demir menjadi orang yang dingin dan bahkan hatinya beku terhadap apa pun.
***
Keesokan harinya...
Demir menuruni anak tangga dengan kedua tangannya dia masukan ke dalam saku celana, Demir melewati begitu saja Kakek dan Neneknya yang sedang sarapan.
“Demir, kamu mau ke mana? Sarapan dulu?” teriak Nenek Demir.
Demir menghentikan langkahnya, dan tersenyum sinis.
“Sejak kapan, Nenek perhatian seperti itu? Jangan sok perhatian kepadaku, karena itu hanya membuat aku muak,” seru Demir sinis.
Praaaannng....
Kakek Demir melemparkan gelas ke arah Demir, dan untung saja lemparannya meleset tidak mengenai tubuh Demir.
“Kamu semakin hari, semakin tidak sopan saja, Nenekmu sudah berbaik hati menawarkan sarapan supaya kamu tidak sakit, dasar anak sialan!” bentak Kakek Demir.
“Jangan urusin kehidupan aku, urus saja hidup kalian, toh kalau aku sakit juga, memangnya kalian akan peduli? Justru kalian mendo’akan aku biar cepat mati, kan?” sahut Demir sinis.
“Demir!” bentak Neneknya.
Demir pun memutuskan untuk melanjutkan langkahnya dan segera masuk ke dalam mobilnya. Demir melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, pagi ini Demir sangat emosi.
Hingga akhirnya Demir pun harus menghentikan mobilnya karena sedang lampu merah. Demir tidak sengaja melihat Safira yang berjalan dengan tongkatnya, Safira memang sekolah di sekolahan khusus untuk para penyandang tuna netra.
Setelah lampu merah berubah menjadi hijau, Demir menghentikan mobilnya dan menitipkannya di sebuah bengkel. Demir segera mengikuti langkah Safira.
Brruuukkk...
Buku Safira terjatuh karena beberapa anak yang berlarian menabraknya, Safira berjongkok dan meraba-raba mencari bukunya. Perlahan Demir mendekat ke arah Safira dan mengambilkan bukunya.
Demir tidak banyak bicara, dia menyerahkan buku itu ke tangan Safira.
“Ah, terima kasih Mas, Mbak, yang sudah membantu,” seru Safira dengan senyumannya.
Safira pun berdiri dan kembali melanjutkan langkahnya, sedangkan Demir masih saja mengikuti Safira dari belakang. Entah kenapa Demir ingin terus mengikuti gadis cantik itu, dan tidak lama kemudian, gadis cantik itu pun masuk ke sebuah sekolah yang khusus untuj penyandang tuna netra.
Demir menyunggingkan senyumannya, setelah dirasa Safira sampai di sekolah dengan selamat, Demir pun akhirnya meninggalkan sekolah itu dan pergi menuju mobilnya.
***
Pulang sekolah pun tiba...
Kali ini Demir mempunyai kegiatan lain, yaitu mengikuti Safira. Sejak pertama bertemu, Demir memang jatuh hati kepada gadis cantik yang tidak bisa melihat itu.
"Kenapa aku jadi orang konyol seperti ini sih? Aku selalu ingin mengikuti gadis itu," gumam Demir.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya gadis yang dia tunggu-tunggu pun keluar. Demir langsung mengikuti Safira dari belakang, Demir sangat kagum akan gadis di depannya itu. Walaupun dia tidak bisa melihat, tapi semangat sekolahnya sangat besar sedangkan dirinya yang diberikan tubuh yang sehat dan normal, sangat malas sekali untuk pergi ke sekolah.
Di saat Safira melewati terowongan, sekelompok anak sekolah lain menghalangi jalan Safira.
"Hallo cantik, mau ke mana nih? Buru-buru sekali?" seru salah satu anak sekolah itu.
Demir bersembunyi di balik pohon, melihat apa yang akan mereka lakukan kepada Safira.
"Jangan ganggu aku, minggir sana!" bentak Safira.
3 orang anak sekolah itu tertawa terbahak-bahak. "Gadis buta sepertimu memangnya bisa apa? Melihat kami saja tidak bisa, ayo ikut dengan kami."
Ketiga anak sekolahan itu menarik paksa tangan Safira.
"Lepaskan aku! Tolong...tolong..."
Safira berusaha berontak dan berteriak, tapi salah satu dari mereka membekap mulutnya dan kembali menarik tubuh Safira.
Ketiganya membawa Safira ke semak-semak, mereka berniat ingin memperkosa Safira. Safira sudah menangis, dia tidak tahu dibawa ke mana. Di saat ketiga anak itu hendak menyentuh Safira, Demir datang dan langsu g memukul ketiganya.
"Kelakuan kalian sangat menjijikan, memanfaatkan gadis buta!" bentak Demir.
"Siapa kamu? Kenapa kamu berani sekali mengganggu kesenangan kami, kalau kamu mau, nanti tunggu giliran."
Demir mengepalkan tangannya, darahnya seketika naik mendengar kata-kata anak itu. Demir pun dengan cepat melayangkan pukulannya kepada ketiganya, sehingga ketiga anak itu babak belur dan memilih kabur.
"Awas kamu, kami akan balas semua perlakuanmu ini."
"Aku tunggu," sahut Demir.
Setelah ketiga anak itu kabur, Demir pun membantu Safira berdiri tapi Safira menepis tangan Demir.
"Kamu laki-laki, yang kemarin masuk ke rumahku, kan?" tanya Safira.
"Kok kamu tahu?"
"Aku ingat dengan suaramu."
"Hebat sekali kamu, bisa mengenali aku dari suaraku."
"Terima kasih, sudah menolongku."
"Sama-sama."
Safira langsung meraba-raba dan perlahan melangkahkan kakinya, Demir masih khawatir dan mengikuti Safira dari belakang. Hingga akhirnya Mama Safira pun menghampiri Safira dan Demir memilih bersembunyi karena Demir tidak mau dipikir yang tidak-tidak karena sudah mengikuti Safira.
"Kamu ke mana saja Fira? Hari ini kamu telat 15 menit?" tanya Mama Safira khawatir.
"Maaf Ma, tadi Safira ada pelajaran tambahan," dusta Safira.
"Oh begitu, ya sudah ayo kita pulang, Mama sudah memasakan makanan kesukaanmu."
"Benarkah?"
"Iya."
Safira dan Mamanya pun akhirnya pergi, sedangkan Demir masih berdiri di tempatnya.
"Beruntung sekali kamu mempunyai Mama yang menyayangimu," gumam Demir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!