NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikah Dengan Anak Kiai

1. Ayahku Sekarat

Perkenalan namaku Amira Usmanova, aku anak tunggal dari pasangan Sudrajat dan Andini. Saat usiaku lima tahun, Mamahku meninggal dunia. Aku dan ayah hidup hanya berdua saja. Ayahku cukup tampan, banyak sebenarnya yang ingin menikah dengan ayahku, yang sudah menduda di usia 30 tahun. Ayah bekerja sebagai seorang guru mengaji dan juga ustadz di kampungku.

Walaupun aku anak seorang ustadz, tapi aku termasuk anak gadis yang urakan, sampai selalu membuat ayahku pusing kepala dengan kelakuan ku yang absurd. Aku tidak berhijab, dan kadang suka berpakaian seksi. Tapi aku tidak merokok ataupun menggunakan narkoba. Aku juga masih perawan, karena aku anti dengan free ***. Catat itu! Senakal-nakalnya aku, aku hanya tidak mau menggunakan hijab, belum siap lahir bathin. Aku gak mau dipaksa siapapun untuk hal satu itu. Termasuk ayahku. Aku ingin menggunakan hijab atas kemauanku sendiri, atas hidayah Allah.

Saat ini aku sedang sibuk mengantri untuk mendaftarkan diriku ikut ujian masuk universitas. Aku ingin menjadi seorang bisnis women. Makanya aku sekarang berniat ambil kuliah jurusan manajemen bisnis di salah satu universitas negeri di kotaku.

"Amira, semoga kita berdua di terima ya, aku harap kita tidak berpisah. Aku gak bisa hidup tanpa kamu, Amira!" ucap sahabatku Sulis.

"Ih, najis! Gue masih doyan laki ganteng ya!" cicitku dengan ucapan lebay Sulis.

"Gue juga masih doyan laki kali!" ucap Sulis kesal.

"Gue juga bercanda kali!" ucapku jahil sambil noyor kepala Sulis yang berhijab.

"Gue heran deh, loe anak ustadz, tapi kagak mau pakai hijab. Gua kasihan ama bapak loe, ceramah nyuruh orang buat nutup aurat, Eh, elo anaknya sendiri malah ga berhijab, umbar aurat kemana-mana. Insaf Ukhti!" cerocos Sulis cerewet seperti biasanya. Tapi sulis adalah satu-satunya sahabat sejak SD yang tahu segalanya tentangku.

"Lah, elo aja ukhti setelah Kunti. Enak aja loe main ceramahin gue!" protesku sewot.

Saat kami asyik mengobrol, tiba-tiba ponselku berdering, nomor baru. Sebenarnya malas mau angkat, tapi ko perasaanku gak enak ya.

"Assalamualaikum, siapa ya?" jawabku was-was.

"Waalaikum salam, maaf ini Mba Almira Usmanova bukan ya? Putrinya Pak Sudrajat." tanya seorang wanita di sebrang sana.

"Iya, ini siapa ya? Tahu dari mana nomor saya?"

"Saya dari rumah sakit, Mba! Ini ayahnya masuk ICU, kondisinya sangat kritis. Beliau dibawa ke sini oleh temannya yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah beliau. Bisa Mba datang ke rumah sakit sekarang? Ayah Anda mencari Anda terus." aku seketika lemas, dadaku sesak.

"Ayah di rawat di rumah sakit mana?" tanyaku gemetaran. Air mata sudah jatuh di pelupuk mata.

"Ayah Anda di rawat di rumah sakit xxxxxx ! Cepat kesini ya Mba! Saya khawatir kalau tidak sempat lagi!" demi Alex! Saat ini hatiku sangat kalut,mendengar ucapan orang di sebelah sana, aku sudah tidak sanggup lagi.

"Amira, loe kenapa? Ko pucat banget muka loe?" Sulis membimbing ku untuk duduk di salah satu kursi di tempat antrian.

"Ayahku lagi kritis, aku harus segera kesana!" ucapku hilang akal, dengan air mata sudah mengucur tanpa henti. Ayah satu-satunya keluarga yang aku punya saat ini. Kalau ayah ga ada, aku sama siapa? Pikiranku sudah gak karuan.

"Ayo gue anter pakai mobil gue aja. Muka loe pucat banget bestie. Dimana ayah kamu di rawat?" tanya Sulis. Aku menyebutkan nama rumah sakit jantung di kota ini.

"Kamu tenang ya, insyaallah semua baik-baik aja. Kamu harus berdoa buat ayah kamu." aku dan Sulis langsung menuju rumah sakit di mana ayahku di rawat. Sulis memang sahabat terbaikku. Dia selalu ada di saat apapun dalam hidupku.

Setelah sampai, kami langsung menuju ke meja resepsionis, menanyakan keberadaan ayahku. Setelah tahu dimana beliau, Sulis memapahku dengan penuh perhatian.

"Sabar, bestie. Yakin kalau ayah kamu baik-baik aja!" Sulis terus menghibur diriku yang saat ini sangat kalut pikirannya.

"Itu katanya ruang ICU deh, tapi ko di sana ramai orang ya?" tanya Sulis heran.

"Semoga ayah gak kenapa-napa!" tangisku.

"Ayo kita ke sana!" kami pun pergi ke ruangan yang ramai orang tersebut.

"Kamu anaknya Pak Sudrajat?" tiba-tiba ada seorang pria berumur sekitar 60 atau 65 tahun, beliau bersorban, berkopiah putih, wajahnya sungguh sejuk sekali. Beliau mendekati ku dan menatapku dengan lekat.

"Iya, Pak Kiai siapa, ya?" hanya tebakan saja, bahwa beliau seorang Kiai, aku lihat dari penampilan beliau yang sangat berbau Kiai.

"Saya Kiai Jamaludin, saya Kiai ayah kamu saat dulu dia masih muda. Kami baru bertemu tadi siang, tapi tiba-tiba beliau kena serangan Jantung, saat kami mengobrol tentang masa lalu kami." ucap beliau memperkenalkan dirinya kepadaku. Dan menceritakan hubungan beliau dengan ayah.

"Apa Pak Kiai yang membawa ayah saya ke sini?" tanyaku mulai tenang. Ayah sudah ditangani pihak dokter, jadi hatiku mulai lega.

"Ya, saya bersama putra saya, Fathu. Itu, yang berdiri di sana, anak saya." tunjuk beliau pada seorang pemuda Sholeh yang terus mendudukkan kepalanya. Tidak terlihat wajahnya sama sekali. Aku hanya melirik sekilas. Tidak tertarik dengan pria itu. Pikiranku sedang kalut rasanya.

Pikiranku saat ini hanya ingin tahu bagaimana keadaan ayahku saat ini. "Maafkan saya Pak Kiai, bagaimana keadaan ayah saya?" tanyaku.

"Alhamdulillah ayahmu sekarang sedang di lakukan operasi oleh dokter spesialis. Nyawa beliau harus segera di selamatkan. Maaf ya, kalau saya lancang mengambil keputusan." ucap beliau sungkan denganku.

"Tidak apa-apa Pak Kiai, saya sangat bersyukur bahwa Pak Kiai sudah berbaik hati kepada Ayah saya. Terima kasih." ucapku bersyukur.

"Sebagai sesama manusia kita harus saling tolong menolong. Jangan sungkan, ya?" Beliau lalu duduk di dekat anaknya.

"Aby, kayanya Fathu lebih baik pulang dulu ya, Fathu masih ada kegiatan yang harus dilakukan. Aby gak apa-apa di tinggal disinu?" ucap pria itu. Aku hanya mendengarkan saja.

"Fathu, santri terbaik Aby saat ini kritis, kita tidak tahu bagaimana keadaan beliau saat ini. Aby ingin disini dulu, memastikan semuanya baik-baik saja. Aby gak tega sama putrinya, kalau kenapa-kenapa nanti siapa yang akan menolong?" aku sangat terharu dengan kebaikan hati Pak Kiai ayahku.

Padahal ayah sudah lama meninggalkan pondoknya, tapi Pak Kiai masih begitu perhatian pada ayahku. Semoga Allah membalas kebaikan beliau dengan kemuliaan dunia dan akhirat.

"Pak Kiai, tidak apa-apa kalau mau istirahat dan pulang dulu." ucapku sungkan dengan beliau.

Subhanallah, ternyata anak Pak Kiai sangat tampan, matanya yang teduh begitu menyejukkan mata. Ya Allah, jantungku berdetak sangat kencang. 'Ya Allah, tolong hambamu! Jangan sampai hamba jatuh cinta pada mahlukmu yang maha sempurna itu!' Rintihku dalam hati.

Kami hanya berharap mata beberapa detik, karena dia langsung mengalihkan pandangannya. Melihat kembali kepada Aby nya.

"Ya Allah, ternyata benar ya, dibalik musibah masih ada hikmah luar biasa!" bisik Sulis di telingaku. Aku heran dengan maksudnya.

"Ga paham!" ucapku.

"Ya, ayah loe kritis, dan ditolong sama pangeran ganteng yang dikirim dari surga." Ucap Sulis penuh damba terhadap putra Pak Kiai.

"Di saat kaya gini, sempat-sempatnya ya, loe mikirin cowok! Dasar teman ga ada akhlak!" ucapku misuh misuh. Padahal dalam hati aku cemburu, melihat Sulis begitu memuja Mas Fathu.

Ya Allah, ada dengan diriku!?

2. Cowok Nyebelin!

"Loe pulang aja deh, kalau mau nambahin stress gue!" ucapku jengkel.

"Maaf bestie. Jangan terlalu serius kenapa? Ayahmu sudah dioperasi di dalam, insyaallah baik-baik aja." ucap Sulis tanpa dosa.

"Yang jadi pertanyaan, siapa yang bayarin biaya operasi ayahku?" tanyaku heran.

"Kita tanya bagian administrasi gimana?" saran Sulis. Aku setuju lalu segera pergi ke bagian administrasi rumah sakit bersama Sulis.

"Nanti gue bantu bayar, jangan khawatir. Gue minta bokap gue suruh bayarin dulu." ucap Sulis.

"Maaf sus, mau tanya atas pasien dengan nama Sudrajat, berapa biaya operasi nya?" tanyaku harap-harap cemas.

"Sebentar ya, Mba, saya cek dulu." ucap Suster.

Aku menunggu, saat mataku mengalihkan pandanganku, aku melihat Mas Fathu berjalan dengan buru-buru.

"Mau kemana dia?" tanyaku heran.

"Siapa maksudnya?" tanya Sulis. Aku nunjuk arah kepergian Mas Fathu.

"Udah, nanti loe naksir lagi kalau dilihatin terus!" ucap Sulis sambil mengalihkan pandangan ku.

"Tagihan atas nama Sudrajat sudah di bayar lunas, Mba! Sebelum di laksanakan operasi sudah lunas di bayar oleh orang yang membawa ayah Anda kemari!" ucap Suster. Aku terkejut mendengar hal itu. Begitu juga Sulis.

"Wah, Kiai Jamal baik banget ya!" puji Sulis.

"Terima kasih infonya, Suster!" ucapku lalu menarik Sulis buat kembali ke ruangan operasi ayahku. Disana Kiai Jamal masih setia menunggu ayahku. Aku sungguh sangat tidak enak dengan kebaikan beliau yang sudah bertumpuk-tumpuk.

"Pak Kiai, barusan saya ke bagian administrasi, katanya biaya operasi ayah sudah di bayar sama Pak Kiai?" tanyaku hati-hati.

"Iya, Maaf ya, kalau Bapak lancang. Melakukannya tanpa diskusi dengan kamu." ucap beliau sungkan.

"Tidak apa-apa, Pak Kiai. Saya justru merasa sangat malu. Sudah banyak merepotkan Pak Kiai!" Saat aku serius bicara dengan Pak Kiai, dari kejauhan aku melihat putra beliau datang dengan dua kantong kresek di tangannya.

"Aby, ayo makan dulu. Sejak tadi Aby belum makan siang, ini sudah hampir mo Maghrib. Ini Mba, ada makanan buat Mba sama temannya." Dia menyodorkan satu kantong plastik kepadaku.

"Terima kasih, Mas! Jadi malu, merepotkan terus jadinya!" ucapku sungkan dan juga grogi.

Siapa yang tidak akan grogi coba? Di depan mataku ada laki-laki super tampan yang menyejukkan mata ini. Menatap sekilas wajah dia saja, sudah membuat hati ini adem dan nyes...

"Tidak apa-apa, makanlah. Wajah kamu pucat, jangan sampai sakit. Ayah kamu saat ini butuh kamu untuk kuat dan sehat." ucapnya lembut.

'Ya Allah, tolong selamatkan hatiku!' rintihku dalam hati, senyum dia sungguh mempesona.

"Mba, kamu baik-baik saja? Ko malah melamun?" tanyanya heran. Saat Sulis menepuk bahuku, aku baru tersadar, 'Ya Allah sungguh memalukan! Tenggelamkan saja aku di laut, malu banget!'

"Tidak apa-apa, terima kasih makanannya." ucapku gugup lalu memberikan Sulis makanan yang tadi dia berikan kepadaku.

Setelah selesai makan, kami berempat lalu memutuskan untuk sholat ashar di musholla rumah sakit. Agak terlambat memang, kami semua khawatir dengan keadaan ayahku.

Pak Kiai menjadi imam kami, ya Allah, rasanya bahagia hati ini. Sholat bersama di satu ruangan dengan Mas Fathu yang tampannya gak terkira.

"Eh.. udah terpesona nya! Entar loe jatuh cinta MA noh laki, baru nyaoho loe!" protes Sulis padaku.

"Apaan sih?" ucapku lalu keluar duluan dari sana. Pak Kiai dan Mas Fathu terlihat berzikir dan membaca Alquran. Ya Allah, suaranya sungguh merdu sekali. Apa kabar hatiku, Hayati? Dia gak baik-baik saja di sana!

"Gue balik dulu, ya! Ini bokap nelpon terus dari tadi. Ntar lepas Isya gue balik lagi sama bokap gue. Ok bestie?" Sulis berpamitan padaku.

"Hati-hati di jalan. Terima kasih banget untuk hari ini. Loe emang the best ever! I love you so much!" ucapku sambil mencium pipi Sulis.

Saat aku menoleh, aku lihat Mas Fathu berdiri di belakang ku dan menatap aneh kepadaku. Aku jadi salah tingkah. Lalu melepaskan pelukanku pada Sulis. Sulis langsung pulang karena ayahnya nelpon terus dari tadi.

"Gue masih normal, Ok!" ucapku sinis.

'Apaan! Dia menatap aneh padaku. Apa dia pikir aku lesbi? OMG! Mati aku! Dasar Amira ceroboh!' Rutukku dalam hati.

"Saya gak bilang apa-apa, kok!" ucapnya cuek.

"Tapi mata kamu, bilang kalau aku lesbi!" tuduhku.

"Itu perasaan kamu aja. Gak boleh berburuk sangka pada orang lain, dosa tahu!" ucapnya rese. Dan berlalu gitu aja dari hadapanku.

'Ih, nih orang kalau diam keren banget, kenapa setelah bicara nyebelin gini ya?' nyesel tadi aku sempat terpesona dengan dia.

Pak Kiai sudah selesai dan kembali menunggu ayahku operasi. Aku ko jadi khawatir gini ya, sudah hampir 5 jam ayah di dalam sana. Tapi belum ada kabar apapun.

Saat aku sudah hampir putus asa, tiba-tiba lampu kamar operasi padam, sebuah ranjang keluar dari sana, aku lihat ayahku masih belum sadarkan diri.

"Alhamdulillah operasi berjalan lancar, kita masih harus observasi keadaan pasien. Yang sabar ya, terus berdoa untuk kesembuhan beliau." ucap dokter lalu pergi ke ruangannya.

"Mba, ayahnya akan kami masukkan ke ruang observasi dulu. Nanti setelah pengaruh biusnya habis, akan kami pindahkan ke ruang perawatan." aku hanya menggaruk saja. Hatiku lega, operasi ayahku sukses.

'Alhamdulillah ya Allah!' syukurku dalam hati.

"Terima kasih, Pak Kiai atas pertolongannya, semoga Allah membalas semua kebaikan Pak Kiai!" ucapku tulus.

"Sudah gak usah di bahas. Yang penting ayahmu sudah baik-baik saja. Kami pulang dulu, ya. Besok pagi insyaallah kami kembali untuk menjenguk ayahmu. Oh ya, apa kira-kira yang kamu butuhkan untuk menunggu ayah kamu di sinu?" tanya Pak Kiai penuh perhatian.

"Tidak usah, Pak Kiai. Nanti lepas Isya, Sulis akan ke sini dengan ayahnya. Nanti dia akan membawa semua yang saya butuhkan. Terima kasih sekali atas kebaikan kalian berdua." ucapku takzim.

"Baiklah, kami permisi. Jangan lupa makan dan istirahatlah. Jangan sampai sakit, ok?" ucap Mas Fathu sok perhatian.

Aku hanya mengangguk saja. Hatiku jadi sebal sama dia karena tadi dia mikir aku seorang lesbi. 'Cowok Nyebelin!' Rutukku dalam hati.

Pak Kiai dan Mas Fathu sudah pulang, sekarang tinggal aku sendirian di sini. Ayah sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Tadinya aku minta ruang biasa saja. Tapi kata perawat, Kiai Jamal meminta agar ayahku di rawat di ruangan VIP, beliau katanya sudah membayar deposit buat perawatan ayahku di rumah sakit.

"Duh, Budi Kiai Jamal sudah bertumpuk begini, apa yang bisa aku lakukan untuk membalas Budi beliau ya?" tanyaku bermonolog sendiri.

Selepas isya, Sulis memenuhi janjinya bahwa dia akan datang bersama ayahnya. Ayah Sulis ini masih muda, sekitar 35 tahun. Katanya Sulis, dulu ayah sama mamahnya Sulis menikah muda, jadilah seusia itu sudah punya anak perawan bernama Sulistiawaty, alias Sulis.

3. Kunjungan Ayahnya Sulis Dan Mas Fathu

Pov Bayu Iswara

Namaku Bayu Iswara, aku seorang duda, dengan seorang putri berusia 18 tahun. Aku bercerai dengan istriku saat Putriku berusia 10 tahun, istriku ketakangkap basah berselingkuh dengan sekretarisku. Miris bukan nasibku? Seorang CEO di selingkuhi istrinya demi sekretarisku sendiri.

Bertahun-tahun aku tidak bisa membuat hatiku berdamai dengan masa laluku, bahkan sampai detik ini, aku masih membenci istriku dan selingkuhannya. Kabarnya mereka sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.

Hidup mereka bahagia, tapi hidupku kenapa penuh dengan duka? Mereka pendosa yang menodai janji suci pernikahan kami berdua, aku adalah korban disini, tapi kenapa aku tidak bahagia? Dunia sungguh tidak adil sekali kepada hidupku.

Hari ini, aku menerima kabar dari putriku bahwa ayah sahabatnya masuk rumah sakit, karena serangan jantung, aku merasa kasihan dan berniat membantu mereka. Selepas Isya, aku dan putriku menjenguk ayah Amira, sahabat putriku.

Kami membawakan segala kebutuhan Amira selama tinggal di rumah sakit. Aku tahu, Sulis dan Amira sangat dekat. Tapi aku baru pertama kali ini bertemu dengan Amira. Aneh ya? Aku seorang workaholic, hidupku hanya tahu kerja dan kerja. Mungkin itu juga yang menjadi alasan mantan istriku berselingkuh dahulu.

"Amira, bagaimana kabar ayahmu?" tanya putriku.

Amira gadis yang cantik dan energik. Juga humble dengan siapapun, aku tidak heran kenapa putriku yang tidak gampang bergaul dengan orang lain, bisa betah bersahabat dengan Amira.

"Ayah sudah membaik kondisinya." kami saat ini bicara di luar ruangan pasien. Agar tidak mengganggu ketenangan pasien.

"Perkenalan, ini ayahku. Namanya Bayu Iswara!" aku mengulurkan tanganku agar kami bisa berjabat tangan. Tangannya sangat halus.

"Amira Usmanova," ucapnya. Suaranya sangat merdu, aku suka. Walaupun dia tampak lecek dan lusuh, tapi dia terlihat sangat cantik di mataku.

Wajar dia terlihat begitu, dia merawat ayahnya di rumah sakit hanya sendirian. Pasti sangat berat untuknya, di usia muda sudah banyak tanggung jawab. Aku salut dengan Amira.

"Ini sudah malam, pulanglah, besok kamu bisa kesini lagi, seharian kamu sudah nemanin aku. Aku jadi gak enak sama Om Bayu." ucap Amira. Aku bisa membaca kelelahan dan kesedihan Amira, andai aku bisa menghilangkan itu dalam hati Amira, aku pasti bahagia.

"Tidak apa-apa Amira, kalau kamu mau Sulis buat nemenin kamu disini. Biar Om pulang dulu, besok baru dijemput lagi!" tapi Amira menolak tawaranku, apa boleh buat. Yang dikatakan oleh Amira juga ada benarnya. Sulis juga butuh istirahat. Sulis sudah bercerita kepadaku, bahwa tadi siang dirinya membatalkan mendaftar ke universitas karena harus menemani Amira di rumah sakit. Ayahnya operasi jantung tadi siang.

Setelah berpamitan, kami pulang ke rumahku. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan Amira, apa aku mulai jatuh cinta lagi? Oh Tuhan, ada apa dengan diriku? Sungguh aneh sekali.

Bertahun-tahun banyak wanita yang mendekati namun tidak ada yang mampu menggerakkan hatiku, kenapa hatiku kebat kebit begini setelah bertemu dengan Amira?

"Amira anak tunggal?" tanyaku pada Sulis, sambil membunuh kesunyian di mobil.

"Iya, mamahnya meninggal saat kecil. Kasihan deh, Amira hanya hidup bersama ayahnya. Amira sungguh gadis yang kuat dan hebat. Dia tetap jadi gadis berprestasi walaupun agak urakan sedikit. Tapi aku sayang banget sama dia." ucap putriku begitu antusias.

"Ayah rasa, karena nasib kalian sama-sama tak berujung ibu, itu yang membuat kalian jadi dekat satu sama lain!" ucapku sambil mengelus puncak kepala putriku yang berhijab.

"Mungkin juga, Pah!" jawab putriku.

"Kamu dekat banget sama Amira?" tanyaku lagi.

"Papah kok dari tadi nanya Amira terus, apa papah naksir sama Amira?" putriku langsung melotot.

"Apa tidak boleh? Papah masih muda kalau kau tahu. 37 tahun loh!" ucapku sambil tersenyum.

"Usia ayah 2x lipat dari usianya Amira, kalau ayah mau tahu. Apa ayah gila? Papah nanti kena kasus pedofil loh, menikah dengan anak di bawah umur." ucap putriku tampak tidak setuju.

"Kamu sudah 18 tahun sayang, bukanlah Amira seumuran dengan kamu?" tanyaku lagi.

"Iya sih, tapi jangan Amira! Sulis ga mau Amira jadi Mamah tiriku. Ga boleh pokoknya!" Sulis ngotot. Ah, belum apa-apa sudah terbentang rintangan yang begitu besar. Nasib cintaku memang selalu gak mulus. Jadi sesak hatiku.

Pov Fathu Al Ghazali

Malam ini aku dan Aby rencananya mau membesuk lagi ayahnya Amira yang dahulu merupakan santri Abyku yang tadi siang kami tolong. Aby memang orang baik. Gak bisa lihat orang lain susah.

"Besok saja, Aby. Ga enak malam-malam ganggu. Mereka juga pasti butuh istirahat." ucapku.

"Fathu, Amira itu seorang gadis. Kalau dia sendiri di rumah sakit, kalau ada apa-apa nanti gak ada yang nolongin! Aby akan merasa berdosa kalau hal buruk terjadi kepada Ayahnya Amira!" ujar Aby.

"Baiklah, ayo Fathu temani Aby. Kita ijin dulu sama Umi, nanti nyariin kita loh," usulku yang langsung disetujui Aby. Setelah berpamitan, ternyata Umi juga ingin ikut dengan kami ke rumah sakit.

Setelah 30 menit perjalanan, kami sampai di rumah sakit. Saat kami akan masuk ke ruangan Papahnya Amira, aku lihat Amira tengah sibuk berbincang dengan Sulis dan seorang pria paruh baya. Aku perhatikan pria itu tampaknya ada hati kepada Amira, terlihat dari gesture dan bahasa tubuhnya. Aku tidak paham, kenapa rasanya hatiku tidak rela, saat melihat Amira begitu dekat dengan pria lain. Walaupun aku lihat Amira hanya biasa saja menanggapi pembicaraan pria itu.

Untungnya mereka segera pulang, sebelum kami sampai di depan ruangan ayahnya Amira, aku terkejut saat melihat Amira yang keluar dari ruangan ayahnya dengan panik dan berderai air mata. Aku dan keluargaku langsung menghampiri.

"Ada apa Amira?" tanyaku khawatir.

"Tiba-tiba keadaan ayahku drop. Aku harus panggil dokter dulu." Amira terlihat panik.

"Fathu, kamu panggilkan dokter. Amira, ayo kita temani ayahmu di dalam, kasihan kalau di tinggal sendiri." Aby dan Umi lalu membimbing Amira untuk masuk ke ruangan ayahnya.

"Ayah, jangan tinggalkan Amira. Hiks hiks!" tangis Amira semakin kencang.

Dokter sudah datang, lalu memeriksa keadaan ayahnya Amira, namun tampak raut wajahnya berubah sendu.

"Keluarga Pak Suganda, ayo masuk, kondisi pasien sangat kritis, beliau memanggil kalian semua ke dalam!" ucap Dokter.

Kami langsung masuk dan mendapati ayahnya Amira sudah susah bernafas. "Ayah! Jangan tinggalkan Amira!" Amira menangis pilu.

"Anakku, berjanji sama Ayah, kalau kamu akan menikah dengan Gus Fathu. Umur ayah mungkin sudah hampir tiba, berjanji pada ayah!" ucap Ayah Amira terbata-bata, aku terkejut dengan keinginan ayahnya. Aby dan Umy juga saling menatap, saling memberi kode.

"Kami berjanji akan menikahkan Amira dengan Fathu. Kamu cepat sembuh, ya!" ucap Aby sambil memegang tangan ayahnya Amira.

"Pak Kiai, tolong nikahkan mereka sekarang, saya merasa usia saya sudah hampir tiba. Tolonglah Pak Kiai! Saya ingin menikahkan Putri saya selama saya masih bernafas, tolonglah Pak Kiai! Saya mohon, Pak Kiai!" pinta ayahnya Amira dengan napas tersengal-sengal.

"Baiklah, saya akan menikahkan mereka, Fathu gegas kau bawa penghulu ke mari,cari juga seperangkat alat sholat untuk mahar kalian, untuk uang seadanya di dompet kamu saja. Jangan lama-lama, waktu kita tidak banyak." aku langsung mencari penghulu yang aku kenal, dua puluh menit kemudian, acara ijab Qabul akan di laksanakan.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Fathu Al Ghazali bin Kiai Jamaludin dengan Putri kandung saya bernama Amira Usmanova binti Suganda dengan Mas Kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar 1 juta rupiah, di bayar tunai!" ucap ayahnya Amira terbata-bata.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Amira Usmanova binti Suganda dengan Mas Kawin tersebut di bayar tunai!" ucapku dalam sekali tarikan nafas. Lega rasanya. Hatiku merasa bahagia. Entah kenapa.

" Bagaimana saksi, sah?" tanya penghulu.

"Sah!"

"Sah!"

Para dokter dan suster menjadi saksi pernikahan ku dengan Amira. Allahuakbar, pernikahan yang hanya dipersiapkan selama satu jam saja. Akhirnya sudah selesai dan berjalan lancar.

"Terima kasih, Pak Kiai, saya titipkan Amira kepadamu Gus Fathu. Bimbinglah Amira agar menjadi istri Sholehah." setelah mengatakan hal itu, tiba-tiba ayahnya Amira terkulai lemas.

Amira sudah histeris, dokter langsung mendekati dan memeriksa kondisi beliau.

"Innalilahi, beliau sudah meninggal!" ucap dokter.

"Ayah!!!" seketika tangis Amira pecah, hatiku ikut sedih melihat Amira yang histeris. Kenapa ayahnya harus meninggal di hari bahagia ini?

"Ayah, jangan tinggalin Amira. Hiks hiks!" Amira terus saja menangis. Umy merasa kasihan dengan Amira dan memeluk Amira, memberikan kekuatan dan penghiburan untuk Amira yang saat ini begitu rapuh dan berkabung.

"Fathu, segera urus administrasi dan kepulangan jenazah. Kita urus pemakaman mertuamu di pondok kita saja, agar gampang bagi kita mengurusnya. Amira apa kamu setuju dengan usul Aby?" tanya Aby pada Amira.

"Terserah Pak Kiai, saya percaya pengaturan Pak Kiai pasti yang terbaik." Ucap Amira dengan suara serak, Amira masih menangis dalam pelukan Umy. Umy tampaknya sudah sayang pada menantu dadakannya. Alhamdulillah!

Tadi sebelum meninggal, ayahnya Amira sudah menyerahkan Amira dalam tanggung jawabku. Menikahkan kami dalam kepayahannya menahan sakit dan sakaratul maut. Ayahnya meminta aku berjanji untuk menjaga Amira. Aku sendiri tidak paham, apakah rasa cinta itu sudah ada untuk Amira atau tidak, satu yang pasti, aku merasa kasihan dengan nasib Amira yang malang.

Di usianya yang baru 18 tahun sudah hidup tanpa ayah dan ibu, hatiku ikut sedih dengan nasib yang menimpa Amira. Semoga pernikahan kami akan dipenuhi dengan berkah. Sakinah mawadah dan warahmah. Amien.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!