NovelToon NovelToon

Kerinduan Terpendam Sang Pengacara

1. PERAMPOKAN

Qian melakukan perjalanan seorang diri untuk menemui kliennya yang sedang menuntut keadilan atas tanah warisan orang tuanya yang telah diambil alih oleh sang paman.

Kliennya yang tinggal di desa itu menghubungi Qian agar melihat sendiri keadaan tanah yang menjadi lahan sengketa itu.

Karena waktu yang bisa di ambil Qian hanya malam hari, membuat lelaki itu nekat membawa mobilnya dari Jakarta menuju daerah Banyuwangi tanpa ditemani oleh asisten dan rekan pengacara lainnya.

Ditengah perjalanan, dua mobil menyerempet mobil milik Qian hingga ia tidak bisa melaju dengan cepat, ditambah lagi kurangnya pencahayaan di jalan desa membuat dirinya merinding sedari tadi dan saat melihat dua mobil di belakangnya, ia merasa sangat nyaman, namun bukan kenyamanan yang ia dapatkan malah petaka yang sedang menantinya.

Satu mobil menghalangi jalannya dan satu mobil lagi menghalangi jalan di belakangnya.

Jendela kaca mobil milik Qian di gedor kencang, namun pria tampan ini tidak bergeming saat melihat empat orang preman menghampiri mobilnya sambil mengarahkan senter mereka ke wajahnya.

"Sial!"

Qian mengambil ponselnya untuk menghubungi asistennya.

"Hallo Fian!" Tolong aku sepertinya aku di rampok."

"Anda di mana tuan?"

"Aku berada di jalan masuk desa ...?"

Prankkk!"

Kaca jendela di samping jok mobil milik Qian dipecahkan oleh sang perampok dengan linggis yang di pegang mereka.

Perampok itu membuka pintu mobil itu dan menarik tubuh Qian lalu menusuk perut pria tampan itu.

"Ayo!" Angkat lelaki itu kita buang dia di jalan yang tak terlihat oleh orang agar pria ini cepat mati." Ucap penjahat itu lalu mengangkat tubuh Qian yang sudah pingsan ke dalam mobilnya sendiri

Qian di lempar tidak dari kebun warga. Ponselnya di buang oleh mereka hingga berantakan.

Tidak lama, kemudian terdengar suara pedal sepeda yang mengayuh dengan cepat menuju rumah sang pemilik sepeda itu, namun ia mendengar rintihan kesakitan dari seseorang yang minta tolong kepadanya.

Awalnya Khansa begitu takut karena daerah itu terkenal angker tapi suara itu terus mengikutinya dan memaksanya untuk berhenti.

Ia mundur beberapa langkah dengan mengandalkan penerangan rembulan.

"Astagfirullah!" Ada orang di sini. Khansa mengambil ponselnya dan mengarahkan ke tubuh lelaki itu.

Dengan cepat Khansa memeriksa nadi lelaki itu yang sudah cukup lemah untuk bertahan.

"Apakah kamu korban perampokan tuan?" Tanya Khansa namun lelaki itu pingsan lagi.

"Tunggu sebentar di sini, aku akan mencari ramuan herbal yang bisa membantu menghentikan darahmu.

"Ya Allah aku tidak mungkin membangun warga untuk menolong lelaki ini.

Khansa mencari obat herbal yang di tanam di kebun itu. Dengan cepat ia membalur luka tikaman itu dan mengikat dengan jilbab pashmina miliknya yang ia lilit ke perut lelaki itu.

"Tuan!" Aku tidak bisa menunggumu di sini, semoga ada yang menemukanmu secepatnya.

Obat ini akan bertahan sampai besok pagi." Ucap Khansa lalu hendak melangkah pergi, namun kakinya dipegang oleh Qian namun Khanza berusaha melepaskannya karena ia juga takut di pergoki oleh warga.

"Maafkan saya Tuan!"

Khansa buru-buru meninggalkan Qian yang terlihat sangat lemah.

🌷🌷🌷🌷

Dua hari kemudian, Qian sudah berada di rumah sakit yang ada di kota. Ia nampak tertidur pulas dengan oksigen terpasang di hidungnya.

Tidak berapa lama ia mengerjapkan matanya dan melihat asistennya Fian sedang duduk di tepi ranjang sambil tertidur.

"Fian!" Lirih Qian.

"Iya Tuan!"

"Aku ada di mana?"

"Di rumah sakit Tuan!"

Tok...tok..

Seorang dokter masuk ke kamar inap Qian di dampingi oleh seorang suster.

"Selamat pagi Tuan Qian!" Apakah anda sudah merasa lebih baik?" Tanya Dokter Rudi.

Qian hanya mengangguk lemah.

"Beruntunglah!" Pendarahan pada lukamu berhenti dengan cepat oleh obat tradisional yang menempel di perutmu itu.

Jika tidak diobati dengan ramuan itu, mungkin kamu sudah kehilangan nyawamu.

"Sepertinya dia seorang gadis berhijab yang menolongmu karena hijabnya yang melilit area luka di perutmu. Dan gadis itu terlihat sangat apik membalur lukamu yang tidak langsung mengenai kulit luka yang terkoyak tapi dia meletakkan di kain itu melipatnya sekali lalu membalurkan di tempat luka setelah itu di lilit dengan kuat untuk menghentikan pendarahan." Ucap dokter Rudi yang mencoba menebak dengan argumen yang ada di pikirannya.

"Apakah anda mengetahuinya?"

"Aku hanya melihatnya sebentar tapi keadaan sangat gelap dan ia memakai jilbab tapi aku tahu saat dia membuka hijabnya untuk membalut luka ku, namun wajahnya tertutup oleh rambutnya setelah itu, aku tidak ingat lagi." Ucap Qian lirih.

"Baiklah tuan!" Karena masalah ini sedang ditangani oleh polisi, sebaiknya kita tidak bisa membiarkan berita ini tersebar hingga polisi menemukan perampok yang mengambil mobil tuan. Kalau begitu saya permisi!" Ucap dokter Rudi.

"Maaf dokter!" Apakah saya boleh di rawat di rumah sakit di Jakarta?"

"Sesaat lagi mobil ambulans akan mengantar anda ke bandara agar anda bisa di bawa ke rumah sakit Jakarta." Ucap dokter Rudi lalu meninggalkan kamar inap milik Qian.

"Tuan!" Maafkan saya terlambat menemukan anda. Malam itu saya langsung menghubungi kline anda.Klina anda yang menemukan anda dengan bantuan warga malam itu.

"Benarkah?" Tapi apa kamu menyimpan jilbab gadis itu?"

"Maaf tuan, sepertinya dokter langsung menggunting jilbab gadis itu untuk menolong tuan.

Tapi ada sesuatu yang ada di genggaman tangan anda yang langsung disimpan oleh kline anda saat anda di masukkan ke mobil ambulans." Ucap asisten Fian.

"Apa itu Fian?"

"Sepertinya itu gelang kaki tuan!"

"Tolong tunjukkan gelang itu padaku, Fian!"

Asisten Fian mengeluarkan gelang kaki itu dari kantong jasnya dan memberikan kepada Qian. Gelang emas berbentuk Doble side cinta jantung.

"Aku harus menemukan gadis pemilik gelang kaki ini untuk menikahinya sebagai bentuk terimakasih ku tidak peduli kasta antara kami berdua.

Tolong cari gadis itu yang memiliki gelang yang sama dengan yang kita pegang saat ini." Pinta Qian pada asistennya.

"Baik Tuan!"

Beberapa lama kemudian, Qian diantar ke bandara untuk dipindahkan ke rumah sakit Jakarta.

Sementara Khanza saat ini sedang sibuk mencari gelang kaki miliknya yang hilang entah ke mana. Wajahnya terlihat cemas dan sangat takut jika gelang kaki itu hilang, maka neneknya akan memarahinya. Satu-satunya gelang itu yang akan mempertemukan dirinya dengan ibu kandungnya yang telah meninggalkan dirinya saat masih bayi bersama seorang nenek yang saat itu sedang menunggu kereta.

Di sinilah Khansa tinggal bersama nenek angkatnya yang telah membesarkannya selama ini.

"Khansa!" Kamu sedang apa nak?"

Khanza merengut kesal karena seharian sudah mencari gelang kakinya tidak ditemukan juga.

"Ada apa sayang?"

"Gelang kaki Khanza hilang nenek." Ucap Khanza sedih.

"Hahh?"

2. Tidak Saling Kenal

Dua tahun berlalu sejak peristiwa perampokan itu, Qian masih memikirkan gadis pemilik gelang kaki itu. Ia meminta asistennya untuk mencari gadis pemilik gelang kaki yang merasa kehilangan gelang kakinya.

Ia juga meminta agar menyelidiki jenis gelang kaki dengan model klasik itu di internet.

"Bos gelang kaki itu di rancang khusus untuk para gadis bangsawan di jamannya. Mungkin itu adalah warisan yang ditinggalkan untuk seorang ibu pada anaknya. Jadi tidak ada lagi model gelang kaki itu di buat seperti itu di dunia ini." Ucap asisten Fian.

"Apakah yang menolongku seorang putri turunan bangsawan?" Tanya Qian.

"Mungkin saja bos, karena barang langkah itu tidak bisa di dapatkan di pasar gelap sekalipun. Jika di jual nilainya sangat fantastis." Ucap Fian.

Qian tersenyum mendengar penuturan asistennya, jika benar gadis itu seorang bangsawan berarti dirinya sangat beruntung menikahi seorang putri.

"Aku makin penasaran denganmu, sayang. Seperti apa wujud mu, pasti kamu sangat cantik. Semoga Allah mempertemukan kita, sayang. Walaupun saat ini kita belum bertemu lagi, tapi aku sudah jatuh cinta padamu." Batin Qian sambil tersenyum.

Sementara itu, Khanza yang merupakan mahasiswa kedokteran yang baru memulai perkuliahannya selama beberapa bulan ini di sebuah universitas negeri Jakarta.

Khanza yang tinggal dengan bibirnya yang merupakan seorang tukang kue dan roti sering mengirimkan kue dan roti buatannya di cafe di salah satu kantin kantor pengacara itu.

Pagi itu ia mengantar kue di kantin langganan bibinya.

"Assalamualaikum bibi Lea!" Sapa Khanza santun.

"Waalaikumuslam Khanza. Alhamdulillah, kebetulan sekali sayang kamu datang. Tolong antarkan pesanan kue ini untuk pengacara tuan Qian!" Karena Pelayan bibi belum datang satu pun." Ucap bibi Lea.

"Baik bibi!" Lantai berapa?"

"Lantai dua puluh."

Khansa mengantar kue dan roti serta kopi hitam untuk sang pengacara. Ia masuk ke lift namun sedikit sulit untuk menekan angka lantai 20. Ia melihat sesosok lelaki tampan dengan perawakan gagah berdiri di sampingnya dengan tampang datar. Mau tidak mau ia meminta tolong kepada tuan itu.

"Permisi Tuan!" Bisakah anda menekan angka 20?" Pinta Khanza pada pria tampan yang terlihat angkuh itu.

"Apakah kamu sedang bicara dengan saya, nona?"

"Tentu saja tuan!" Emang ada jin yang sedang bersama kita di sini. Bukankah hanya kita saja berdua di dalam kotak berjalan ini." Gerutu Khanza membuat Qian ingin ngakak, namun ia tetap menjaga wibawanya.

"Untuk siapa makanan itu?" Apakah kamu karyawan baru di sini?"

"Tidak!" aku hanya pengantar kue."

Pria tampan itu berhenti dilantai lima belas sementara Khanza harus menuju ke lantai 20.

"Selamat pagi!" Sapa Khanza pada seorang karyawan perempuan paru baya.

"Cari siapa?"

"Di mana ruangan pengacara tuan Qian?"

"Jalan lagi dua blok dari sini. Ada tulisan ruang CEO, nah itu ruangan tuan Qian.

"Apa..?" Dia seorang CEO?" Aku akan bertemu dengan orang penting di gedung ini. Ah! pasti tampangnya sangat tua dan gendut." Ucap Khanza lirih.

"Mas tolong ketuk pintu ini, tanganku tidak bisa melakukannya." Pinta Khanza pada seorang OB.

"Masuk!"

Terdengar suara bariton dari dalam. OB itu membuka pintu untuk Khanza dan gadis ini masuk ke ruangan itu dan melihat Pengacara itu sedang menelepon seseorang sambil membalikkan kursinya ke arah tembok kaca bening yang menyatu dengan alam luas.

"Permisi Tuan Qian!" Ini pesanan anda." Ucap Khanza seraya meletakkan piring yang berisi kue dan roti serta secangkir kopi hangat untuk Pengacara Qian.

Pengacara Qian mengakhiri teleponnya dan membalikkan kursi kebesarannya ke arah semula.

Deg....

"Kau..!" Bukannya tadi tuan keluar di lantai 15 dan sekarang tiba-tiba ada di sini?" Ucap Khanza lirih hampir tidak terdengar oleh tuan Qian.

"Maaf Tuan!" Permisi!" Ucap Khanza lalu meninggalkan ruang kerja Pengacara Qian.

"Tunggu!"

Siapa namamu dan kenapa buru-buru pergi?" Apakah kamu bisa mengambil air putih di galon itu untukku?" Titah Pengacara Qian.

"Maaf Tuan! Aku sudah terlambat masuk kuliah. Dosen akan mengusirku jika aku telat." Ucap Khanza.

"Aku tadi menolong kamu bukan?" Nah, sekarang gantian kamu yang menolong aku. Tolong ambilkan air putih untukku di dispenser itu!" Titah Qian membuat gadis ini merotasi mata malas.

"Kamu sangat menyusahkan aku Tuan!" Ucap Khanza seraya meletakkan segelas air putih untuk Pengacara Qian.

"Terimakasih."

Khanza langsung kabur dari ruang kerja Pengacara Qian untuk mengambil tas ranselnya. Ia mencari bajai untuk bisa ke kampus, namun tidak ada satupun yang lewat.

Tidak lama Pengacara Qian sudah menarik tangannya untuk naik ke atas motor miliknya.

"Naik!" Titah Pengacara Qian.

"Tuan!" Tapi, ..?"

"Naik!" Aku akan mengantarmu ke kampus. Bukankah kamu takut telat?"

"Iya, tapi..?"

Baiklah, aku naik sekarang." Ucap Khanza lalu mengambil helm dari tangan Pengacara Qian.

"Di mana kampusmu?"

"Salemba."

Dalam sekejap motor besar itu bergerak dengan lincah, menyusuri jalanan ibukota dan menyalip beberapa kendaraan lain yang ada di samping mereka.

"Kenapa kamu sangat ngebut?" Omel Khanza yang merasa sangat ketakutan.

Pengacara Qian tidak menjawabnya sama sekali hingga motor itu masuk ke area kampusnya.

"Tidak tekat kan?" Dalam waktu sepuluh menit, kamu tiba di kelas mu. Belajarlah yang rajin!" Ucap Pengacara Qian tanpa ada senyum di wajahnya.

"Terimakasih untuk tumpangannya!"

Khansa mengembalikan helm Pengacara Qian lalu segera

berlari menuju kelasnya. Baru saja menghenyakkan bokongnya, dosennya sudah masuk ke kelasnya.

"Alhamdulillah!" Untung Tuan pengacara itu baik hati. Selamat deh aku," ucapnya seraya mendengarkan perkuliahan dosennya.

Di kantor pengacara, Pengacara Qian merasa ada kedekatan antara dirinya dan Khanza sejak melihat Khanza pertama kali saat mereka hendak masuk ke lift.

"Gadis itu sangat cantik, walaupun penampilannya terlihat sederhana. Tapi, tunggu!" Jika dia kuliah di universitas negeri daerah Salemba berarti dia adalah mahasiswa kedokteran?" Ternyata gadis itu memiliki otak jenius.

Tapi, tidak!" Aku sudah janji pada diriku untuk menemukan gadis pemilik gelang kaki itu, yang menyelamatkan hidupku.

"Tapi dengan Khanza, mengapa aku merasa jantungku berdebar saat melihat wajahnya. Ada apa denganku?" Keluh Pengacara Qian lalu meneguk air putih yang disediakan Khanza untuknya yang belum sempat ia minum.

Tok...tok..

Cek lek..

"Bos, ada kline yang ingin bertemu dengan anda." Ucap Fian.

"Apa kasusnya?"

"Sengketa lahan warisan dari kedua nenek mereka."

"Selalu saja warisan. Apa mereka tidak punya kerjaan lain, selain merebut tanah warisan moyangnya. Dasar manusia pemalas!" Umpat Pengacara Qian lalu keluar menemui kliennya.

"Silakan sampaikan keluhan anda, Tuan!" Ucap Pengacara Qian.

"Aku memiliki dua orang nenek kakak beradik. Warisan nenek aku yang pertama untuk ayahku. Tapi milik adiknya sudah ia jual semua kepada nenekku.

Tapi saat anaknya kehilangan rumahnya di Jakarta, ia pulang kampung dan meminjam sebidang tanah sekitar tiga ratus meter untuk dibangun rumah semi permanen.

Nenekku tidak tega dan memberikannya, tapi selalu ditegaskan kalau itu hanya dibangun sementara bukan permanen karena hanya tanah pinjaman. Tapi, setelah mereka mulai kaya, mereka mengklaim tanah dan bangunan itu milik mereka karena merupakan tanah warisan adiknya nenekku. Dan sialnya adik nenekku malah sekarang pikun." Ucap pak Ginanjar yang merasa sedih karena bagian warisan ayahnya direbut oleh pamannya.

"Baiklah!" Aku akan mengurusnya, aku akan serahkan masalah anda pada tim pengacaraku." Ucap Pengacara Qian lalu bersalaman dengan kline nya.

"Mengapa aku jadi kangen sama gadis itu, apa aku menjemputnya saja Khanza pulang kuliah?" Batin Pengacara Qian lalu mengambil kunci mobilnya.

3. Aku Mau Dia

Pengacara Qian sudah berada di depan kampus Khanza. Ia menunggu di depan mobilnya sambil memperhatikan satu persatu wajah mahasiswa yang sedang melintas di depannya.

Sudah hampir satu jam, Pengacara Qian menunggu gadis itu, namun Khanza belum juga muncul.

"Sial!" Kemana gadis itu?" Tanya Pengacara Qian sambil memegangi lehernya yang terasa sudah mulai tegang nan kaku.

Iapun menghubungi asistennya Fian untuk menanyakan nomor ponselnya Khanza pada pemilik cafe yang ada dalam gedung Firma hukum miliknya.

"Fian tolong hubungi bibi Lea dan minta ia untuk mengirim nomor kontak milik Khanza!" Titah Pengacara Qian.

"Maaf Tuan!" Siapa Khanza?" Tanya asisten Fian yang baru mendengarkan nama itu.

"Lakukan saja perintahku!" Tidak usah banyak tanya." Ucap Pengacara Qian.

"Baik Tuan!"

Dalam lima menit nomor kontak milik Khanza sudah tertera di notifikasi pesan di dalam ponselnya. Pengacara Qian segera menghubungi gadis itu untuk menanyakan keberadaannya.

Pengacara Qian langsung menghubungi nomor ponsel gadis itu, namun tidak aktif.

"Percuma aku meminta nomor kontaknya, ponselnya saja malah di matikan. Apakah dia sudah pulang?" Apakah kami selisih jalan?" Ah, ini sangat menyebalkan." Gerutu Pengacara Qian.

Pengacara Qian meninggalkan kampus negeri itu untuk kembali ke kantornya. Sementara itu Khanza baru muncul setelah mobil Pengacara Qian baru pergi.

Khanza tidak langsung pulang saat jam kuliahnya sudah selesai, ia malah mengunjungi perpustakaan kampus untuk meminjam beberapa buku yang berhubungan dengan ilmu kedokteran yang sedang di gandrungi saat ini.

"Ya ampun, kenapa ponselku malah mati." Keluh Khanza saat melihat daya ponselnya sudah melemah.

Ia pun mencegat bajai yang sedang melintas untuk mengantarnya pulang. Khanza memang membantu bibinya di toko kue dan roti tapi ia tidak ingin tinggal bersama dengan bibinya karena ingin fokus belajar di tempat kostnya.

Khanza memang tercatat sebagai mahasiswa berprestasi. Ia mendapatkan bea siswa penuh sehingga ia bisa membayar kost itu dari bea siswanya. Kalau untuk makan dan transportasi ia hanya bekerja paruh waktu ditempat bibinya.

Setibanya di kost, Khanza mencass ponselnya sambil menyalakan ponsel itu karena takut ada pesan WA group mahasiswa masuk.

Iapun melihat nomor panggilan yang tidak dikenalnya. Khanza segera menghubungi nomor itu lagi, siapa tahu ada yang penting yang ingin disampaikan orang itu.

Pengacara Qian begitu kaget melihat nama pemilik kontak yang saat ini sedang memanggilnya.

"Khanza!" Matanya berbinar cerah lalu menempelkan benda pipih itu ke telinganya.

"Hallo, assalamualaikum!" Maaf ini siapa?" Tanya Khanza sambil menanti jawaban dari si pemilik kontak.

Pengacara Qian tidak langsung menjawab karena saat ini ia begitu gugup untuk bicara apa pada Khanza. Iapun mengatur nafasnya dan mulai berdehem untuk mewakili balasan pertanyaan Khanza.

"Ehmmm!"

"Apakah namamu Ehhhmm?" Tanya Khanza yang tidak suka lawan bicaranya terlalu lama menjawab pertanyaannya.

"Kau..!" Gerutu Pengacara Qian.

"Makanya kalau ditanya jawab?" Dari tadi diam aja, kalau merasa gagu jangan telepon." Semprot Khanza kesal.

Pengacara Qian yang tadi gugup malah terpancing dengan ocehan Khanza yang terus mengomelinya.

"Ternyata kamu cerewet sekali!" Ini aku Pengacara Qian!" Sudah kenal?" Omel Pengacara Qian dari seberang telepon.

"Hahh?" Tuan!" Sejak kapan kita berdua punya urusan?" Bukankah aku pagi tadi hanya menggantikan posisi pelayan bibi Lea untuk mengantarkan sarapan pagi anda?" Kenapa sekarang jadi berkelanjutan?" Naksir ya sama aku?" Tebak Khanza membuat Pengacara Qian makin keki dibuat oleh gadis ceriwis ini.

"Cih, percaya diri sekali kamu." Ucap Pengacara Qian pura-pura jual mahal.

Tut..Tut..Tut..!" Sambungan dimatikan secara sepihak oleh Khanza membuat Pengacara Qian gregetan karena ulah gadis cerewet itu.

"Kalau nggak naksir, lantas apa namanya cari-cari alasan menghubungiku?" Kesal Khanza lalu kembali fokus kepada buku tebalnya dengan berbagai macam informasi ilmu kedokteran di dalamnya.

"Hah!" Kenapa malah di matikan?" Apakah perkataan ku salah telah menyinggung perasaannya?"

"Ah, sial!" Pengacara Qian menutup ponselnya lalu kembali fokus pada pekerjaannya untuk menangani kasus perkara Kline nya.

Saat tim pengacara lain sedang membahas kasus yang saat ini sedang mereka hadapi, pengacara Qian terlihat sedang melamun memikirkan Khansa.

Ia tidak menyangka, pertemuannya kemarin pagi dengan gadis itu sudah mulai menumbuhkan benih-benih cinta di dalam hatinya.

"Apakah aku jatuh cinta pada gadis itu?" Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana?" Pengacara Qian menarik nafas panjang lalu menghembusnya dengan lembut.

"Pengacara Qian!" Kline kita kali ini sedikit agak keras kepala karena ia tidak ingin memenangkan kasus ini."

"Kalau tidak ingin memenangkan kasus ini, kenapa keluarganya ngotot untuk menggunakan jasa kita menangani kasusnya.

"Sebenarnya gadis itu tidak diperkosa tuan. Dia memang gadis penyandang cacat disabilitas. Katanya dia melakukannya suka sama suka dan tidak ingin kekasihnya itu dipenjara.

"Lantas masalah apa?"

"Sepertinya dia mengalami tekanan dari ibunya yang menuduh putrinya sudah diperkosa dan mengambil uang gaji gadis itu sesuka hatinya."

"Maksudmu, gadis itu memberikan kartu atm-nya untuk lelaki itu karena merasa saling mencintai?"

"Iya benar Tuan Pengacara Qian."

"Baiklah." Kalau begitu biarkan aku menemui gadis itu untuk mencari tahu mengapa dia tidak ingin memenangkan kasus ini." Ucap Pengacara Qian.

"Tapi kita butuh orang lain seperti dokter pribadinya yang bisa menjadi penghubung antara kita dan dirinya saat ngobrol karena gadis itu tidak suka diintrogasi oleh kami tuan." Ucap pengacara Very.

"Harusnya bukan kamu yang menanyakan hal yang sensitif ini padanya. Sebaiknya pengacara Lisa yang melakukan itu karena itu urusan wanita." Ucap Pengacara Qian.

"Maafkan saya Pengacara Qian. Lain kali saya akan lebih memperhatikan Kline kita berdasarkan gender."

"Biarkan aku saja menemui gadis itu. Berikan alamat kerja gadis itu padaku!" Pengacara Qian meninggalkan ruang rapat itu dan kembali ke ruang kerjanya.

...----------------...

Keesokan paginya, Pengacara Qian datang lebih awal waktu dan langsung menuju kantin.

"Selamat pagi bibi Lea!"

"Eh, Tuan!" Apakah anda mau pesan sesuatu?"

"Aku mau pesan kue dan roti yang seperti kemarin dan tolong antarkan ke ruangan ku!" Tapi aku ingin gadis itu yang mengantarkannya. Aku tidak mau yang lain kecuali dia tidak ada.

Aku mau dia yang anterin ke ruangan ku." Titah Pengacara Qian membuat bibi Lea hanya melongo tidak mengerti siapa gadis yang Pengacara Qian maksud.

"Maaf Tuan!" Gadis yang mana?" Tanya bibi Lea.

"Gadis yang sama yang bibi Lea suruh yaitu Khanza!" Jelas Pengacara Qian membuat mata bibi Lea tambah mendelik.

"Kenapa harus dia Tuan!" Dia tidak bekerja denganku. Kemarin pelayanku belum pada datang jadi aku memintanya untuk mengantarnya untuk anda karena anda memesannya terlalu pagi." Bibi Lea memberi alasan yang logis agar Pengacara Qian memahami keadaannya.

"Baiklah. Mungkin dia bukan karyawan bibi Lea, tapi mulai sekarang dia adalah karyawan untuk aku, yang khusus mengantarkan pesanan untukku setiap paginya dan aku akan membayar gaji untuknya, sesuai dengan gaji karyawanku." Ucap Pengacara Qian tidak main-main.

"Hahh?" Ini orang lagi kasmaran sama nak Khanza?" Batin bibi Lea sambil mengulum senyumnya.

"Itu saja!" Aku tunggu pesanannya dan juga gadis itu!" Balas Pengacara Qian.

"Baik Tuan Pengacara Qian." Bibi Lea mengerti perasaan tuan pengacara yang mungkin saat ini sedang dilanda asmara.

Pengacara Qian sudah masuk ke lift bersamaan Khanza yang baru datang membawa roti dan kue untuk dititipkan di kafe bibi Lea.

"Assalamualaikum bibi Lea!"

Semuanya jumlahnya masing-masing dua ratus, besok aku tidak antar kuenya karena ada ujian bibi mungkin lusa. Aku permisi dulu bibi Lea." Ucap Khanza hendak meninggalkan kafe itu.

"Khanza! tunggu sayang!" Bibi mohon tolong bantu bibi lagi karena pelayan bibi belum datang. Tolong antarkan pesanan Pengacara Qian!" Pinta bibi Lea.

"Tapi bibi Lea, kenapa tidak suruh menunggu saja sampai pelayan bibi datang. Aku tidak mau terlambat kuliah ." Ucap Khanza menolak halus bibi Lea karena tidak ingin bertemu dengan Pengacara Qian setelah kemarin ia menyemprot lelaki tampan itu.

"Masalahnya dia sendiri yang meminta kamu yang mengantarkan pesanannya ke atas."

"Emangnya aku karyawannya apa..suruh-suruh seenak jidatnya. Kaya mau dibayar saja." Sungut Lea dengan wajah masam.

"Justru itu, dia ingin menjadikan kamu karyawannya dengan bayaran yang sama sesuai dengan gaji karyawan di sini, cukup dengan mengantarkan sarapan pagi untuknya sebelum kamu berangkat kuliah." Ucap bibi Lea mengundang reaksi Khanza yang langsung melebarkan matanya tidak percaya dengan perkataan bibi Lea barusan padanya.

"Apa...?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!