“Apa kau tahu di mana persediaan alat pengaman untuk kita bercinta?” tanya Marvel seraya membuka setiap laci meja di dalam kamarnya. Ia mencari kotak bertuliskan durex ataupun fiesta yang setiap hari selalu menjaga agar tidak membuat istrinya sampai hamil.
Marvel sudah menyetok alat pengaman sebanyak mungkin agar tak perlu bolak balik ke apotik untuk membeli benda tersebut setiap kali akan bercinta. Tapi, malam ini ia tak bisa menemukan satu pun. Padahal, yakin betul kalau tak pernah dipindahkan.
“Aku membagikan itu pada orang-orang,” jawab Deavenny. Dia sudah memakai lingerie yang begitu seksi. Memang sengaja mengosongkan persediaan suaminya agar malam ini Marvel membuahi sel telurnya.
Deavenny memeluk Marvel yang sudah tiga tahun resmi menjadi suaminya. Dia mengusap dada bidang kesukaannya, dengan kepala disandarkan pada punggung sang pria. “Mari berhenti memakai itu, kita harus mulai merencanakan untuk memiliki anak,” pintanya dengan suara sangat lembut.
Ini bukanlah kali pertama Deavenny meminta. Sebagai seorang wanita, ia ingin mengandung seperti yang lain. Tapi, suaminya selalu saja mengatakan hal yang sama.
Marvel memutar tubuh hingga berhadapan dengan Deavenny. Memegang kedua pundak wanitanya dan menatap begitu intens. “Sayang, aku belum siap.”
Ya, penolakan. Deavenny selalu mendapatkan penolakan dari Marvel setiap meminta prianya mempertimbangkan memiliki anak. Dan selalu air matanya mendadak menetes begitu saja. “Kenapa? Apa kau tudak mencintaiku lagi?”
Deavenny menyeka jejak basah tersebut, menyingkirkan tangan Marvel dan berjalan menjauh dari suaminya. Tentu saja ia sedih dan merasa kalau pernikahannya tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak.
Marvel menghela napas berat. Dalam lubuk hatinya sangat ingin memiliki keturunan. Tapi, ia sudah berjanji pada mertuanya untuk tidak menghamili Deavenny karena kondisi wanita itu dianggap sangat istimewa bagi keluarga besar Dominique.
“Aku ingin menikmati kemesraan denganmu, hanya berdua, Sayang.” Marvel berusaha membujuk Deavenny agar berhenti menangis. Dia tidak pernah mengatakan alasan yang sesungguhnya pada sang istri karena tak ingin membuat hubungan ayah dan anak menjadi retak.
Deavenny duduk di ujung ranjang, menatap nanar ke arah tembok. Air mata terus membanjiri pipi. “Apa kurang mesra selama tiga tahun ini?”
Marvel ikut duduk di samping sang istri, memeluk wanitanya dengan perasaan yang sama-sama sedih. “Kita adopsi saja, ya? Ingat kesehatanmu,” bujuknya memberikan opsi lain.
“Hanya memiliki ginjal satu? Kau tidak mempercayaiku kalau kuat dan bisa mengandung meskipun kondisiku sudah tak memiliki organ dalam yang utuh lagi?” Deavenny menyindir suaminya yang terlihat kalau tak mempercayai dirinya.
“Ya, aku tak ingin menyakitimu, hamil bukanlah perkara yang mudah untuk dilewati. Sembilan bulan kau harus mengandung. Sudah cukup kau berkorban satu kali untukku.” Marvel menyibakkan pakaian sang istri, mengusap bekas jahitan yang ada di perut. “Hatiku sakit tiap kali mengingat kau diam-diam mendonorkan satu ginjalmu untukku. Kenapa kau tak membiarkan aku mati saja saat itu?”
Deavenny menggigit bibir bawah yang terus bergetar. “Aku sangat mencintaimu, tak ingin kehilangan dan melihatmu sakit.”
Kedua tangan Marvel memutar tubuh Deavenny, meraih dagu sang wanita untuk didongakkan ke atas. “Begitupun aku yang mencintaimu. Tak ingin melihatmu kesulitan lagi. Sudah cukup kau mengorbankan ginjalmu.”
Marvel memeluk Deavenny dengan penuh rasa kasih. Sudah tiga tahun mereka menikah, tapi tak kunjung memiliki momongan. Bukan karena mandul, tapi memang Marvel sengaja melakukan itu demi menepati janji pada Tuan Dominique yang tak lain adalah orang tua Deavenny.
Sebelum mereka menikah, Marvel pernah mengalami masalah pada ginjal hingga membutuhkan pendonor. Sulit sekali mendapatkan yang cocok untuk pria itu, dan secara diam-diam, Deavenny melakukan tes apakah ia bisa menjadi pendonor untuk Marvel atau tidak. Ternyata, cocok, dan demi rasa cinta, Deavenny rela mengorbankan satu organnya untuk sang pria. Hidup dengan satu ginjal tidak menjadi ketakutan Deavenny karena ia lebih takut jika tak bisa melihat orang yang sangat dicintai.
“Tapi sejauh ini aku bisa hidup dengan normal meskipun dengan satu ginjal. Aku juga sudah berkonsultasi dengan dokter, mereka mengizinkan jika aku hamil asalkan terus dikontrol kesehatannya. Tidak ada masalah lagi yang perlu dicemaskan.” Deavenny menggenggam kedua tangan Marvel untuk meyakinkan suaminya. “Mari kita coba.”
Marvel tetap menggelengkan kepala. “Pertimbangkan bagaimana risiko yang akan terjadi dikemudian hari, Sayang.” Ia mengusap pipi Deavenny, menyatukan kening dengan sang istri agar wanitanya merasakan kerisauannya.
Deavanny menghela napas, mendorong dada Marvel agar sang pria menjauh. Ia berjalan meninggalkan suaminya. Menyambar mantel tebal untuk menutupi tubuh.
“Sayang, kau mau ke mana?” tanya Marvel saat melihat Deavenny keluar dari kamar dan mengambil kunci mobil.
“Menjernihkan pikiran.” Padahal malam ini Deavenny sudah mempersiapkan diri untuk bercinta dengan suaminya, tapi semua hasrat mendadak hilang karena Marvel tetap tidak mau membuahinya. Lebih tepatnya ia kecewa dengan keputusan sang suami yang tidak percaya kalau dirinya mampu dan siap menghadapi apa pun yang akan terjadi jika hamil, meskipun dengan satu ginjal.
“Ini sudah malam.” Marvel segera menyusul Deavenny. Tapi ia tersadar kalau tidak memakai busana apa pun. “Shitt!” umpatnya kemudian.
Tidak mungkin Marvel mengejar Deavenny dengan kondisi tubuh yang polos seperti itu. Bisa-bisa dinilai gila oleh orang-orang yang melihat.
Secepat mungkin Marvel menyambar pakaian. Apa pun yang mudah dikenakan. Dia bahkan tak memakai dalaman agar lebih cepat. Cukup menggunakan celana boxer dan jaket, ia berlari keluar dari penthouse.
Masa bodo dengan sesuatu yang terombang ambing di bawah sana. Dia tetap berlari mengejar Deavenny yang sudah tak terlihat lagi di lorong.
Berhenti di depan lift, Marvel yakin kalau Deavenny sudah sampai di basement. Ia segera menyusul. Namun, sayang sekali, tepat saat kaki berhenti di sana, mobil Deavenny sudah berjalan keluar.
Marvel mengacak-acak rambut. Selalu saja berakhir dengan pertengkaran seperti ini jika sudah membicarakan masalah keturunan. Dia paham mengapa Deavenny sangat ingin hamil, ia pun mau juga memiliki anak dari wanita yang sangat dicintai.
Tapi, kehamilan untuk seseorang dengan satu ginjal pasti memiliki risiko yang perlu dihadapi. Sebab, fungsi organ itu bekerja lebih keras daripada orang normal.
Marvel sudah mencari tahu apa saja yang akan terjadi seandainya Deavenny hamil. Hipertensi gestasional, preeklampsia, dan eklampsia. Semua itu adalah kemungkinan risiko yang akan terjadi.
Marvel lebih sayang dan takut Deavenny kesakitan daripada memaksakan diri memiliki keturunan dengan membiarkan sang istri mengandung. Ia segera melajukan mobil untuk menyusul wanitanya.
Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan Deavenny di sepanjang jalan, ia berusaha menelepon nomor sang istri. Tapi, Deavenny keluar tanpa membawa ponsel.
Sedangkan orang yang dicari, ternyata pergi ke taman kota untuk menyegarkan pikiran. Tapi, ia justru menangis tersedu-sedu di sana.
Suara sesegukan Deavenny membuat seorang pria yang sedang duduk melamun di bawah pohon rindang pun menjadi penasaran. Mendekati sumber suara yang membuat telinganya sedikit terganggu.
“Deavenny?”
Deavenny langsung mengalihkan pandangan ke arah sumber suara yang memanggil namanya. Ketika melihat pria itu, ia reflek terkejut. Berdiri dari kursi agar mudah untuk segera berlari menghindar kalau orang itu berani macam-macam dengan dirinya.
“Le—lewis?” Deavenny sampai terbatah-batah saat mengucapkan nama itu. “Bagaimana kau bisa keluar dari penjara?” Ia kian melangkah mundur setiap kali pria itu berjalan mendekat.
“Sudah tiga tahun, hukumanku telah berakhir. Aku tidak dijatuhi hukuman seumur hidup, karena kejahatanku tidak termasuk kesalahan berat,” jelas Lewis. Dia menaikkan sebelah alis karena wanita yang dahulu pernah disukai itu terus menjauh. “Kenapa? Apa kau masih takut denganku?”
Deavenny mengangguk, hubungan di masa lalu dengan Lewis merupakan mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Diculik untuk dipaksa menikah dengan pria itu, namun untung ada Marvel yang menyelamatkan dirinya dan memasukkan Lewis ke dalam penjara. Tapi tak disangka, setelah tiga tahun lamanya, kini mereka kembali bertemu.
“Kau mengikutiku?” tuduh Deavenny.
Lewis masih menunjukkan sisi santainya. Mendaratkan pantat di kursi besi yang tadi diduduki oleh Deavenny. “Untuk apa aku mengikutimu? Aku tak ingin mencari masalah dengan keluargamu lagi.”
“Lalu, bagaimana kau bisa berada di sini?”
Lewis tertawa nyaring. “Taman ini adalah tempat umum, siapa saja boleh datang ke sini tanpa terkecuali.” Ia memiringkan cara duduk, meletakkan tangan pada sandaran kursi, dan menatap ke arah Deavenny. “Seharusnya aku yang bertanya padamu. Untuk apa tuan putri keluarga Dominique datang ke taman saat malam hari?”
“Bukan urusanmu,” jawab Deavenny dengan suara ketus.
“Tentu saja menjadi urusanku karena kau menganggu ketenanganku. Suara tangisanmu terdengar begitu memilukan. Apa hidup menjadi keluarga kaya tak membuatmu bahagia?” tebak Lewis, tapi lebih tepatnya seperti mengejek. Ia segera menggelengkan kepala, menjawab sendiri pertanyaannya. “Ah sepertinya tidak, bukan itu yang membuatmu bersedih. Ku dengar, kau sudah menikah dengan pria yang menjebloskan aku ke dalam penjara. Apa suamimu yang membuat menangis?”
“Jangan sok tahu!” Deavenny tidak ingin menghabiskan waktu dengan Lewis, masa lalu yang buruk dengan pria itu membuatnya tak yakin akan aman berada di sana. “Silahkan nikmati kesunyian taman ini, permisi.” Ia berbalik badan, segera melangkahkan kaki secepat mungkin menuju mobil.
Namun, mendadak Deavenny merasakan ada tangan yang mencekal pergelangannya. Otomatis ia tersentak kaget. “Lepas!”
Tapi, Lewis tetap tak mengendurkan cengkeraman tersebut, justru membalikkan tubuh Deavenny agar menatap ke arahnya. “Kau sudah mengganggu ketenanganku dengan suara tangismu yang nyaring itu. Maka, seharusnya bertanggung jawab, temani aku mengobrol di sini,” pintanya dengan sangat memaksa.
“Tidak mau!” tolak Deavenny secara tegas.
“Hanya mengobrol, aku tidak akan menyakiti atau menculikmu.”
“Apa ucapanmu bisa dipercaya? Mengingat masa lalu kita yang buruk?”
Lewis mengangkat tangan kanan, membentuk huruf v. “Kau bisa teriak jika aku macam-macam denganmu.”
“Tapi aku tetap tidak mau, biarkan aku pergi! Jika suamiku tahu, pasti dia akan marah dan menghajarmu seperti dulu lagi.” Deavenny mengibaskan tangan agar terlepas dari cengkeraman Lewis yang sangat erat.
Lewis justru menyeringai, mendekatkan wajah ke telinga Deavenny. “Bukankah itu sangat seru? Aku bisa membalas perbuatannya yang sudah menuntutku di pengadilan. Aku tahu kelemahannya, ginjalnya yang berfungsi hanya satu, sama seperti kau. Kira-kira, jika ku tinju perutnya, apa yang akan terjadi?”
...*****...
...Kenapa aku seneng banget muculin karakter yang gila-gila begitu wkwkwk kayanya emang jiwaku ni psikopat...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!