NovelToon NovelToon

Pengantin Palsu Sang Mafia

Bab 1: Awal Pertemuan

Udara malam ini jauh lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Seperti biasa, Nara pulang sambil menenteng sebuah bingkisan di kedua tangannya. Bukan sesuatu yang berharga apalagi barang-barang mewah dengan nilai yang fantastik. Hanya sesuatu yang bisa mengganjal perutnya ketika lapar.

Pulang hampir larut malam sudah menjadi rutinitasnya selama beberapa hari ini. Gadis cantik berdarah campuran itu merupakan seorang dokter magang di sebuah rumah sakit besar di kota Seoul.

Nara sebut saja namanya. Nara bukanlah gadis yang berasal dari keluarga sederhana apalagi keluarga kurang mampu. Karena pada kenyataannya, dia adalah seorang Nona besar dari sebuah keluarga ternama. Keluarganya merupakan seorang konglomerat yang masuk dalam 10 besar orang terkaya se-Asia.

Meskipun terlahir sebagai keluarga yang kaya raya, akan tetapi Nara tak pernah merasa bangga apalagi menyombongkan semua yang dia punya. Gadis cantik itu lebih menyukai hidup mandiri dan berbaur dengan orang-orang dari kalangan menengah kebawah.

Tak ada larangan dari keluarganya ketika Nara memutuskan untuk hidup mandiri dengan uang dari hasil jerih payahnya, ayahnya justru merasa bangga dengan putri bungsunya tersebut. Karena dia memiliki pemikiran yang begitu luas dan rasa tanggung jawab yang besar dibanding dengan kakak-kakaknya.

"Omo!!"

Nyaris saja Nara jatuh tersungkur saat tanpa sengaja kakinya menabrak sesuatu. Kedua matanya sontak membelalak saat melihat seorang pemuda terkapar dalam keadaan bersimbah darah di depan pagar rumahnya.

"Kkyyyaaa... Mayat!!" Gadis itu berteriak histeris.

Baru saja Nara hendak berlari ke dalam, namun suara rintihan kesakitan orang itu membuatnya tersadar, jika sebenarnya orang itu masih hidup dan belum mati.

Nara menyalahkan senter pada ponselnya guna memastikan keadaan orang tersebut. Dan benar saja, dia masih bernapas meskipun nafasnya lemah dan terputus-putus. Tanpa membuang banyak waktu, ia pun segera memapah pria asing tersebut masuk ke dalam rumahnya.

Setibanya di dalam. Nara langsung membaringkan orang itu di tempat tidur di kamar tamu. Luka hampir di sekujur tubuhnya, dan yang paling parah adalah luka pada perut sebelah kirinya yang terlihat seperti luka tembak. Tidak terlihat seperti apa parasnya, karena sebagian wajahnya tertutup darah.

Dan pertama-tama yang Nara lakukan adalah mengeluarkan peluru di perut kirinya sebelum menyentuh luka yang lain karena memang itu adalah yang terparah. Pria ini bisa kehilangan nyawa jika peluru itu tidak dikeluarkan dan pendarahan diperutnya tidak segera dihentikan.

"Uhhh..."

Rintihan kesakitan kembali terdengar dari sela-sela bibirnya yang terkatup. Sesekali Nara membersihkan keringat di keningnya, dari rintihannya terlihat jelas dia sangat menderita. Dan sebisa mungkin Nara berusaha untuk menyelamatkan nyawanya.

Hampir tiga puluh menit. Akhirnya peluru tersebut berhasil Nara keluarkan dari perut lelaki tersebut. Pendarahannya juga berhasil dihentikan, lukanya juga sudah tutup dengan perban.

Lalu dia beralih pada luka di wajah, bahu dan lengannya. Nara tidak tau, apa yang terjadi pada pemuda ini sampai-sampai dia bisa terluka sangat parah. Dan Nara akui jika dia memiliki daya tahan tubuh yang kuat, jika orang biasa, mungkin sudah tiada dengan keadaan luka seperti ini.

"SENIOR?!" dan Nara memekik sekencang-kencangnya setelah wajah tampan itu telah bersih dari noda darah. Nara sangat mengenal betul wajah itu, dia adalah senior pembimbingnya di rumah sakit.

Setelah membersihkan luka-lukanya. Lalu Nara menutupnya dengan perban. Lilitan perban tampak melingkari kepalanya, perban lain menutup cidera pada mata kirinya, pipi, bahu dan lengannya.

Nara menatap pemuda itu dengan miris. Ia benar-benar tidak tau apa yang sebenarnya menimpa seniornya sehingga dia bisa sampai terluka parah. Dan luka-luka itu tentu membutuhkan waktu untuk sembuh total. Terutama luka diperutnya dan cidera pada mata kirinya. Nara sendiri tidak tau, luka itu bisa berakibat fatal pada penglihatannya atau tidak.

Membiarkan pemuda itu beristirahat. Nara melangkah keluar meninggalkan ruangan tersebut. Dia lapar karena melewatkan makan malamnya selama beberapa jam.

Dan sebelum menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, Nara memutuskan untuk mandi terlebih dulu. Sekujur tubuhnya terasa lengket dan tidak nyaman.

-

-

"Bagaimana, apa kalian sudah menemukannya?" Tanya seorang pria pada beberapa pria yang sedang menyeka keringat di kening dan lehernya.

Salah satu dari ketiga pria itu menggeleng frustasi. "Belum, hanya mobilnya yang hangus terbakar saja. Tapi kami tidak menemukan jasad Tuan Muda di dalam mobil tersebut. Jadi kami tidak tau apakah Tuan Muda masih hidup atau justru sudah meninggal."

"Oh, jadi kau mendoakan sepupuku mati?!" bentak lelaki itu penuh emosi.

"Bukan!! Aku hanya mengatakan jika kami tidak menemukan jasadnya di sana, jadi kami sendiri tidak tau apakah dia masih hidup atau sudah mati!!"

Pria itu mengacak rambut hitamnya dengan frustasi. Jika saja dia tidak membiarkannya pergi sendirian. Pasti musibah semacam ini tidak akan terjadi. "Zian Lu, dimana kau sebenarnya?!" Ucap pria itu setengah bergumam.

"Kenapa kalian masih disini?! Cari lagi sampai ketemu!!"

"Ba..Baik, Tuan."

"Dasar bodoh kalian semua, kenapa punya anak buah malah tidak ada yang berguna!!" Pria itu mengeram kesal.

Setelah mereka bertiga pergi. Pria itu masuk ke dalam mobilnya. Dan mobil sedan mewah itu mulai melaju meninggalkan lokasi tempat ditemukannya mobil Zian yang terbakar hangus. Dalam hatinya dia berharap, semoga sepupunya itu masih hidup dan baik-baik saja.

-

-

Kabar menghilangnya Zian telah sampai ke telinga Devan. Pria muda yang berprofesi sebagai dokter itu tentu menjadi sangat cemas. Devan takut jika hal buruk sampai menimpa Zian apalagi dia tau jika sang adik memiliki banyak musuh yang tersebar dimana-mana.

Devan mengangkat kepalanya mendengar derap langkah seseorang yang datang. Seorang pria berjas putih sama sepertinya berdiri di depannya. "Kenapa belum pulang? Lembur lagi?" Tegur lelaki itu.

Devan mengangguk. "Malam ini Dokter Wang absen karena kurang enak badan, dan aku disini untuk menggantikannya."

"Lalu kenapa kau terlihat gusar? Apa sesuatu telah terjadi?" Tanya lelaki itu memastikan.

Devan mengangguk. Kemudian ia menceritakan perihal Zian yang tiba-tiba menghilang pada teman baiknya itu.

Dia menyarankan supaya Devan melapor ke polisi, tapi dia menolaknya. Karena Devan tau jika Zian sangat benci pada polisi, dan Zian bisa semakin membencinya jika tau ia telah melibatkan polisi dalam permasalahannya. Jadi Devan memutuskan untuk tidak melibatkan polisi dalam menghilangnya Zian.

Dan Zian akan mempercayakan masalah ini pada Alex dan anak buahnya. Karena dia tau jika kakak sepupunya itu selalu bisa diandalkan. Dan Alex tidak mungkin tinggal diam mengingat betapa dia sangat menyayangi Zian.

"Sebaiknya kau banyak-banyak berdoa saja supaya adikmu baik-baik saja. Aku pulang dulu, jika kau lelah sebaiknya minta dokter lain untuk menggantikan-mu," lelaki itu menepuk bahu Devan dan pergi begitu saja.

Devan adalah seorang workaholic, jadi wajar jika dia tidak menolak ketika seseorang memintanya untuk menggantikan jadwal piketnya. Apalagi Devan sangat mencintai profesinya itu.

-

-

Bersambung.

Bab 2: Salah Orang

Lelaki itu mengernyitkan dahi saat merasakan denyutan nyeri di perut dan kepalanya yang terasa seperti terhantam batu besar. Dan refleks memegangi kepalanya yang terasa berat, mata kanannya terbuka perlahan dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang asing.

Tubuhnya berbaring di atas tempat tidur disebuah ruangan yang seluruh dindingnya di dominasi warna putih, ada pula selimut yang menutupi sebagai tubuhnya.

Penciumannya mengendus bau harum masakan yang menguar di udara. Dengan menahan sakit yang luar biasa diperut dan kepalanya, lelaki berusia 25 tahun itu bangkit dari posisi berbaringnya lalu melenggang keluar.

Dan sesampainya diluar kamar. Tak terlihat seorang pun berseliweran di rumah yang memiliki dua lantai tersebut. Dengan langkah tenang, ia berjalan kearah dapur yang sepertinya berada di lantai satu rumah itu.

Dan benar saja, sesampainya di sana. Ia melihat seorang gadis berdiri coklat panjang berdiri membelakanginya, gadis itu sibuk memasak dengan sebuah ponsel menempel di telinganya.

"Terus masukan apa lagi setelah bumbu tumis dan dagingnya? Garam, gula dan penyedap rasa seberapa banyak yang perlu dimasukkan? Lalu kecap asin atau manis yang harus digunakan, lalu apa perlu tambahkan saos tiram juga atau tidak?!"

"KAU ITU SUDAH DEWASA, TETAPI KENAPA PAYAH SEKALI DALAM HAL MEMASAK?!" bentak seseorang diseberang sana. Hingga membuat Nara terlonjak kaget.

"Ma, apa kau sengaja ingin membuat putrimu yang cantik ini sampai terkena serangan jantung dadakan, hah!!" Nara tak mau kalah. Ibunya benar-benar menyebalkan. "Sudahlah, sebaiknya aku memesan makanan dari luar saja!!"

Nara memutuskan sambungan telfonnya begitu saja lalu berbalik dan... "Omo!!" Dia dikejutkan untuk kedua kalinya. Kali ini oleh kemunculan pemuda yang ditolongnya semalam. "Senior, kau sudah sadar? Duduklah dulu, aku akan segera memesan makan dari luar untuk sarapan." Pinta Nara pada pemuda tersebut.

"Senior?" Mata lelaki itu memicing dan menatap Nara penuh tanya. "Apa aku mengenalmu? Sepertinya kau salah mengenali orang," ucapnya dingin.

"Hah?! Apa yang kau katakan, salah mengenali orang bagaimana? Jelas-jelas kau adalah seniorku di rumah sakit masih mau pura-pura tidak mengenaliku segala. Senior!! Sungguh, bercandamu tidak lucu!!"

"Bercanda?! Memangnya siapa yang bercanda, aku memang tidak mengenalmu, Nona!!" Lelaki itu menegaskan.

"Sstt, jangan berisik. Seniorku menelfon, pasti dia akan mengomeliku." Ucap Nara tanpa sadar. Tiba-tiba matanya membulat. "Tunggu dulu," lalu pandangannya bergulir pada ponsel dan lelaki yang sedang menatapnya itu. "Ini senior menghubungiku, jika kau bukan senior, lalu kau siapa?! Dan kenapa wajahmu sama persis dengan senior?!" Nara menatapnya penuh tanya.

Lelaki itu mendengus. "Bukankah sudah aku bilang, aku bukan seniromu. Kau salah orang, namaku Zian, dan mungkin saja yang kau maksud itu adalah Devan. Saudara kembarku!!" Jelas pemuda itu yang ternyata bernama Zian.

Nara mengangguk paham. "Oh, jadi kalian berdua kembar." Matanya tiba-tiba membulat sempurna saat menyadari satu hal. "WHAT?! KALIAN BERDUA KEMBAR?!" pekiknya tak percaya.

Dan pekikan keras itu sampai ke telinga orang yang sedang menghubunginya, yang pastinya adalah Devan. "Nara, apakah di rumahmu ada seorang pemuda yang wajahnya mirip denganku?" Tanya Devan memastikan.

"Benar, semalam aku menemukannya terkapar di depan pagar rumah dalam keadaan terluka parah. Dan sekarang orang itu berdiri dihadapanku dengan tatapan membunuh!!" Jawab Nara.

"Tahan dia tetap di-sana, aku akan segera kerumahmu."

"Tapi~"

Tut... Tut... Tut..

Sambungan telfon itu diputus begitu saja oleh Devan. Padahal Nara belum selesai bicara, gadis itu mendengus berat. Lalu ia menatap Zian yang juga menatapnya.

Pantas saja Nara merasa ada yang aneh dan janggal dengan lelaki di depannya ini. Karena seingatnya seniornya adalah orang yang hangat dan sopan. Tapi lelaki yang berdiri dihadapannya ini dingin dan bermulut tajam, bahkan cara dia menatap orang lain saja seperti seekor singa yang hendak menerkam mangsanya.

Nara menggaruk tengkuknya. "Maaf, aku sudah salah mengenalimu. Aku pikir kau adalah senior karena wajah kalian yang sama persis. Duduklah dulu, dan sebaiknya jangan terlalu banyak bergerak. Luka di perutmu bisa mengalami pendarahan lagi." Tutur Nara menjelaskan.

"Kenapa kau menolongku? Apa kau tidak takut jika aku adalah seorang penjahat ataupun buronan yang sedang di kejar oleh polisi?"

Nara menggeleng. "Takut sih ada, tapi bagaimana pun juga aku adalah seorang dokter. Dan tugasku adalah menyelamatkan nyawa manusia, tanpa pandang bulu. Baik itu orang biasa maupun penjahat sekalipun. Jika perlu pertolongan, aku pasti akan menolongnya selama itu berhubungan dengan nyawa manusia." Jelas Nara. Kemudian gadis itu beranjak dari hadapan Zian dan pergi begitu saja.

Zian tertegun mendengar ucapan gadis itu. Baru kali ini dia bertemu dengan seorang gadis yang tidak menunjukkan ketertarikannya sama sekali.

Gadis itu bersikap biasa saja, tidak seperti kebanyakan gadis yang pernah ia temui sebelumnya. Yang selalu berlomba-lomba untuk mendekatinya, bahkan tak sedikit dari mereka ada yang sampai rela membuka kedua kakinya secara lebar-lebar dan cuma-cuma.

"Zian..."

Perhatian pemuda itu terlaihkan. Seorang menghampirinya dengan raut wajah cemas penuh kekhawatiran. Namun dia juga tampak lega saat melihat adiknya baik-baik saja meskipun tubuhnya penuh luka.

"Syukurlah kau baik-baik saja. Apa kau tau bagaimana panik dan cemasnya aku saat mendengar kau menghilang sementara mobilmu hangus terbakar. Papa sampai tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan mu." Ujar pemuda itu yang pastinya adalah Devan.

Zian menyeringai sinis mendengar apa yang Devan katakan. "Mencemaskanku? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah anak dia hanya kau saja, aku ini hanya sampah, jadi untuk apa mencemaskan bajingan sepertiku?!" Ujar Zian dengan tatapan sinisnya.

"ZIAN CUKUP!! Kau salah paham, selama ini papa sangat menyayangimu, hanya kau saja yang tidak pernah bisa merasakan kasih sayangnya!!"

Zian menatap Devan dengan pandangan meremehkan. "Aku tidak bodoh, Devan Lu. Sejak kapan dia memikirkan ku, bukankah anaknya hanya kau saja?! Selama ini dia hanya menganggap diriku sebagai anak pembawa sial!!"

Plakkk...

Devan menampar pipi Zian dengan keras. Membuat mata Nara yang tidak sengaja melihatnya membulat terkejut. Pasalnya ini pertama kalinya dia melihat seniornya tersebut emosi. Dan sementara itu, Devan langsung menyesali perbuatannya yang sudah menampar Zian.

"Zian, maaf. Aku~"

"Kau memang brengsek. Aku membencimu!!" Zian beranjak dari hadapannya dan pergi begitu saja.

Nara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Suasana macam apa ini? Kenapa dua saudara yang sepertinya tidak akur itu harus bertengkar di rumahnya?! Membuat Nara pusing saja. Dan jika dilihat dari sikap mereka barusan, sepertinya hubungan Zian dan Devan sangat tidak baik. Meskipun penasaran, tetapi Nara tidak akan melewati batasannya.

-

-

Bersambung.

Bab 3: Aku Tidak Sudi

Nara mengetuk pintu kamar tamu yang di tempati oleh Zian sejak semalam. Kemudian gadis itu masuk ke dalam dan mendapati Zian yang sedang berdiri di depan jendela kamar yang terbuka. Nara meletakkan nampan berisi makanan diatas meja kecil samping tempat tidur lalu menghampiri lelaki itu.

"Makanlah dulu, sejak pagi perutmu belum terisi makanan apapun. Kau masih sakit dan dalam masa pemulihan."

"Nanti saja, aku belum lapar." Jawabnya dingin.

"Belum lapar bagaimana?! Jelas-jelas dari pagi kau belum makan apapun, malah mengatakan jika belum lapar!!" Omel Nara mendengar jawaban lelaki di depannya.

Kemudian Zian berbalik badan dan menatap Nara dengan pandangan menusuk, membuat perempuan itu sampai menelan ludah.

Baru saja dengan mata kanannya, Nara sudah ergidik sendiri melihat tatapan lelaki itu yang mengintimidasi, lalu bagaimana jika mata kirinya sudah sembuh dan perbannya sudah di lepas. Bisa-bisa dia kencing berdiri. Dan ditatapan seperti itu rasanya seperti sedang menonton sebuah film horor yang mengerikan.

"Kalau tidak mau makan ya sudah, tapi tidak perlu menatapku seperti itu juga," Nara menggerutu seraya keluar dari kamar yang ditempati oleh Zian.

Lelaki itu menghela napas panjang. Gadis itu begitu berani padanya dan tidak ada takut-takutnya sama sekali. Dan baru kali ini Zian bertemu dengan seseorang yang berani menatap langsung ke dalam matanya dengan pandangan sebal.

"Tunggu!!" Seru Zian dan menghentikan langkah Nara.

Gadis itu lantas berhenti lalu berbalik badan. Zian berjalan menghampirinya. Zian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya lalu memberikannya pada Nara. "Apa ini?" Gadis itu memicingkan matanya.

"Aku yakin matamu tidak bermasalah sehingga tidak tau benda apa ini. Aku membutuhkan pakaian ganti selama disini, jadi bisakah kau keluar dan membelikanmu beberapa helai pakaian? Kau melarangku pulang, jadi bagaimana aku bisa memakai pakaian ini sepanjang waktu?!"

"Siapa yang melarangmu pulang?!" Nara menyela cepat. "Aku melarangmu karena kau masih dalam masa pemulihan, lukamu itu tidak ringan apalagi kau menolak pergi ke rumah sakit untuk melanjutkan perawatan. Jadi aku menahanmu disini karena kau belum sembuh total, jadi jangan salah paham!!"

Zian mendengus. "Sudah jangan bawel, cepat pergi dan sekalian beli buah-buahan untukku. Di dalam kartu itu ada sekitar 1 milyar won, terserah kau mau membeli apa pun juga untuk dirimu sendiri. Anggap saja sebagai kompensasi selama aku tinggal disini," terang Zian.

Mata Nara memicing. "Kau mengijinkan aku memakai uangmu di kartu ini? Bagaimana kalau aku malah menghabiskannya?!" Dia menatap lelaki itu penuh selidik.

"Tidak masalah, dan jika kau merasa tidak enak atau ingin menebusnya, kau bisa melemparkan dirimu padaku. Kebetulan aku kekurangan boneka mainan!!" Jelas Zian dan membuat Nara membelalakkan matanya.

"Aku tidak sudi!!" Ucapnya dan pergi begitu saja.

Zian juga hanya bercanda tidak serius dengan ucapannya. Lagipula Zian tidak mungkin menggunakan gadis baik-baik sebagai salah satu dari sekian banyak mainannya. Apalagi gadis itu adalah orang yang telah menyelamatkan nyawanya.

-

-

Devan menghentikan langkahnya saat merasakan ponsel di dalam saku celananya berdering. Nama Nara tertera dan menghiasi layar ponselnya yang menyala terang. Penasaran kenapa juniornya itu menghubunginya, Devan pun segera menerima panggilan tersebut.

"Senior, aku butuh bantuanmu."

"Bantuan apa? Apa ada masalah dengan Zian?"

"Bukan, bukan itu. Saat ini aku sedang berada di pusat perbelanjaan, adikmu memintaku membelikan pakaian untuknya. Tetapi aku tidak tau pakaian seperti apa yang dia sukai, model dan warna juga." Jelas Nara dari seberang sana.

"Adikku menyukai pakaian berwarna gelap terutama warna hitam, dia juga lebih suka pakaian lengan terbuka. Dan jika membelikan pakaian untuknya, jangan sampai ketinggalan untuk membeli singlet dan kaos polos tanpa lengan." Ujar Devan menerangkan.

"Lalu bagaimana dengan jas atau tuxedo? Apa perlu membelinya juga?"

"Hm, aku rasa tidak perlu. Dia biasanya memakai jas ketika ke kantor atau saat menghadiri acara-acara penting. Cukup kemeja lengan panjang dan Vest saja."

"Baiklah senior, aku sudah paham. Terimakasih atas informasinya. Aku tutup dulu ya."

Devan menatap layar ponselnya dan mendengus berat. Begitulah Nara, suka mematikan sambungan telfonnya begitu saja. Lelaki berkacamata itu menggelengkan kepala lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang prakteknya.

-

-

Zian melenggang keluar meninggalkan kamar tamu yang sejak semalam dia tempati. Pemuda itu menuruni tangga menuju lantai dasar. Dia menghentikan langkahnya dan pandangannya menyapu kesegala penjuru arah.

Sebuah rumah minimalis yang memiliki dua lantai dan tiga kamar. Sebuah dapur, ruang makan, ruang tamu dan ruang keluarga. Rumah yang besarnya tak ada seperempat dari mansion miliknya.

Banyak lukisan yang terpajang di dinding rumah ini. Beberapa foto si pemilik rumah, tetapi Zian tidak menemukan adanya foto keluarga Nara.

Begitu bersih dan rapih, membuat Zian menjadi betah berlama-lama ditempat ini, apalagi suasana yang begitu tegang dan hening. Sungguh berbanding balik dengan suasana dikediamannya yang selalu ramai dan penuh kehebohan.

Zian membuka kulkas dan menemukan sebuah beer yang isinya hanya tinggal setengah dan beberapa kaleng minuman bersoda. Zian mengeluarkan satu kaleng minuman bersoda dan satu butir apel lalu melenggang ke taman belakang.

Mata Zian dimanjakan dengan berbagai bunga yang tumbuh di taman itu. Memang tidak terlalu besar seperti taman di kediamannya. Tetapi bunga-bunga tertata dan terawat dengan baik. Sedikitnya ada 5 jenis bunga berbeda yang tumbuh di sana.

Mulai dari Mawar, Daisy, Lilly, Tulip dan sedikitnya ada 10 pohon Azalea dengan warna bunga berbeda. Sedangkan di halaman depan tumbuh tanaman Hortensia dan Spirea.

Brakkk...

Bantingan keras pada pintu mengejutkannya. Zian bangkit dari duduknya dan melenggang meninggalkan taman. Terlihat Nara memasuki rumah sambil uring-uringan tidak jelas. Zian memicingkan mata kanannya dan menatap gadis itu dengan heran.

"Apa kau salah minum obat pagi ini?" Tegur Zian membuat perhatian Nara teralih padanya.

Gadis itu menatapnya tajam. "Diamlah, jangan banyak bertanya dan membuat moodku semakin buruk!! Ini barang-barangmu, dan ini kartumu. Bawa sendiri ke kamar tamu. Dan jangan menggangguku!!" Nara beranjak dari hadapan Zian dan pergi begitu saja.

Zian menatap kepergian Nara dengan sebelah alis terangkat naik. Dan masihkah gadis itu berani membentak apalagi berbicara kasar padanya setelah tau siapa ia sebenarnya?! Zian ingin melihat bagaimana reaksi Nara setelah tau jati dirinya yang sebenarnya.

.

.

Zian menutup mata kanannya saat jari-jarinya menarik plester yang merekatkan perban yang menutup luka ditembak diperutnya dengan perlahan dan hati-hati. Keringat tampak membahasi keningnya.

"Uhhh," rintihan kesakitan keluar dari sela-sela bibirnya. Raut wajahnya menunjukkan jika dia sedang kesakitan. Zian tak melanjutkan dan mengatur napasnya selama beberapa detik. Perban yang menempel pada lukanya membuat luka itu terasa amat sakit.

Disaat bersamaan, sepasang tangan bak porselen mengambil alih perkerjaannya. Wajah cantik itu mendongak membuat mata berbeda warna itu saling bersiborok selama beberapa saat.

"Seharusnya minta bantuanku, kenapa melakukannya sendiri?" Ucap gadis itu yang pastinya adalah Nara.

"Bukankah kau sendiri yang memintaku supaya tidak mengganggumu?!"

Skakmat!!

Nara langsung kehilangan kata-katanya setelah mendengar jawaban Zian. Gadis itu tak mengatakan apapun lagi, dia terus diam menyelesaikan pekerjaannya.

Dan setelah mengganti perban yang menutup luka-luka ditubuh Zian. Nara pun melenggang keluar dan meninggalkan pemuda itu sendiri di kamar tamu. Zian mendengus seraya menggelengkan kepala melihat tingkah gadis penolongnya itu.

-

-

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!