...Halo Readers, ini novel terbaru othor. Novel yang akan berbeda dari novel novel othor yang lain. Wkwkwk...
...Semoga bisa di nikmati yaaa.. Jangan lupa masukkin Fav, like dan coment yang banyak....
.
'Raya, pergunakan waktumu sebaik mungkin! Kalau kau begini terus, bisa bisa pihak kampus mencabut beasiswa mu.'
Ucapan rektor pagi tadi masih jelas terdengar dalam benak Raya. Tapi, dia juga tidak punya pilihan selain mengambil part time di kafe. Dia harus membiayai ibunya yang sudah sakit-sakitan di kampung, dia juga membutuhkan uang untuk bertahan hidup di kota, mulai dari biaya rumah yang dia sewa, dan kebutuhan makan sehari harinya.
'Motormu tidak bisa menyala, kau harus segera mengganti spearpart kalau tidak ingin motormu turun mesin, dan biayanya akan berkali lipat.'
Kali ini ucapan abang montir langganannya perihal motor butut pemberian sang ayah sebelum tiada kembali terngiang di telinganya.
Langkahnya gontai menyusuri jalanan yang di penuhi semak belukar. Entah apa yang dipikirkan Raya saat ini, masalah demi masalah datang bersamaan dan membuatnya pusing, dan yang pasti dia hanya ingin pulang lalu tidur, berharap besok akan lebih baik.
Raya berjalan sendirian, memikirkan banyak hal terutama beban hidupnya yang semakin berat. Gadis berusia 20 tahun itu menendang kaleng bekas minuman kosong seraya mengembuskan napas beratnya.
Pluk!
Kaleng minuman itu mengenai sepatu seseorang yang terlihat menonjol ke luar dari semak belukar, Raya mengernyit, mengedarkan pandangan ke segala arah. Perlahan dia mendekatinya dan terbelalak saat melihat sosok pria tak sadarkan diri.
"Astaga!"
Dengan cepat Raya menghampiri dan memeriksa napasnya dengan kedua tangan yang dia dekatkan ke lubang hidungnya.
"Masih hidup ternyata!" Raya panik, berteriak minta tolong namun tidak ada siapa siapa ditempat itu.
Namun karena daerah itu cukup sepi, tidak ada orang yang datang untuk menolongnya. Dia pun sempat terdiam, berjalan menjauh dan membiarkan pria itu.
"Kalau aku tidak tolong, dia bisa saja mati! Dan aku akan bersalah seumur hidup, tapi kalau aku tolongin, aku juga tidak bisa apa-apa. Mana ada duit buat ke rumah sakit," gumam Raya sambil yang bimbang harus menolongnya atau tidak.
Dalam keadaan bingung itu, Raya memutuskan kembali menghampiri pria yang masih tergeletak tidak sadar. Walaupun Raya kesulitan membawanya dan tidak memiliki uang.
Raya membawanya pulang ke rumah petak yang disewanya, jaraknya cukup lumayan dari jalan yang dia lalui saat ini. Raya harus memapahnya dengan beberapa kali berhenti karena kelelahan. Hingga akhirnya mereka telah sampai di rumah.
"Huh! Berat banget sih dia!" ujarnya dengan memijat lengannya sendiri.
Setelah membaringkannya di kasur, Raya keluar kamar dan mengambil air kompres dan obat luka yang dia punya.
"Buat sementara pakai ini saja dulu," ujarnya kembali masuk ke dalam kamar untuk membersihkan luka-luka.
"Kasian banget! Apa dia korban kecelakaan atau apa ya?" gumam Raya membersihkan wajah pria itu. Membalut luka dengan obat luka dan perban seadanya.
Dia juga sambil mencari kartu identitas atau apapun itu, namun tidak menemukannnya, bahkan dompetnya saja tidak ada.
"Apa dia korban perampokan? Tidak ada dompet, tidak ada identitas."
Setelah merawat luka luka yang ada di kepalanya, Raya keluar dan menghempaskan tubuh lelahnya di kursi panjang di ruang tamu. Menarik selimut dan bersiap untuk tidur.
"Raya ... setelah ini kau mau ngapain, tidak ada uang malah nolong orang!" gumam Raya menepuk jidatnya.
Setelah hampir tengah malam, pria itu perlahan mengerjapkan matanya, meringis dengan memegang kepalanya yang berdarah.
"Di mana aku?" gumamnya dengan bingung dia juga mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang tidaklah besar itu, dengan satu lemari kayu dan juga meja kayu di sampingnya. Entah apa yang dia cari.
Pria itu berusaha bangkit, namun rasa sakit di kepalanya membuatnya kembali membaringkan diri.
"Argh!"
Teriakannya membangunkan Raya yang baru saja terlelap, gadis itu terperanjat kaget dan berlari masuk ke dalam kamar.
"Akhirnya, kau sadar juga, Tuan!"
"Di mana aku?"
"Kau ada di rumahku sekarang, tadi aku menemukanmu tidak sadarkan diri di sana, dan aku tidak punya uang untuk membawamu ke rumah sakit."
Tidak sadarkan diri?
Rumah Sakit
"Siapa kau?"
"Aku Raya, Tuan sendiri?"
Pria itu meraba-raba saku celananya juga saku yang terletak di jas bagian dalam dengan wajah panik.
"Kau mencari apa, Tuan?"
"Dompet! Kau lihat dompetku?"
Raya menggelengkan kepala dan tidak menemukan apa-apa selain dirinya dan jas yang dipakainya.
"Aku tidak menemukan dompetmu! Justru itu aku bertanya padamu."
Pria tanpa identitas itu tidak menjawabnya lagi wajahnya sangat khawatir dan juga sangat terlihat lelah.
"Tuan tidak apa-apa? Istirahatlah dulu, aku akan membantu mencari nanti." Raya mendekatinya dan menyuruhnya kembali berbaring, dan pria itu menurutinya.
"Mungkin Tuan meninggalkannya di suatu tempat, atau di mana rumah Tuan? Biar besok aku menghubungi keluarga tuan.
"A—aku tidak ingat apa pun!"
Raya tersentak kaget, "Kau benar benar tidak ingat apa pun? Bahkan namamu?" Raya berdecih, "Jangan bercanda, Tuan,"
Pria itu mengangguk lirih, "Ya ... aku tidak ingat siapa namaku sendiri."
Pria itu menatap langit langit kamar, mencoba mengingat sesuatu, namun dia justru merasa kepalanya semakin sakit. "Argh!"
"Tuan!"
Pria itu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, membuat Raya yang pada awalnya ragu dan takut ditipu, merasa iba.
"Ya ... aku tidak ingat apa-apa, aku juga tidak ingat siapa namaku." Pria itu menepuk nepuk dahinya sendiri.
"Tuan, sudahlah! Lebih baik Tuan istirahat. Mungkin Tuan masih shock karena kecelakaan yang bikin Tuan sampai begini."
Raya memberinya sebutir obat pereda nyeri, beserta segelas air, setelahnya pria itu mencoba memejamkan matanya, dan itu benar benar berhasil, nyeri di kepalanya sedikit berkurang dan dia bisa kembali tidur.
Hingga keesokan paginya, Raya terbangun dan melihat pria itu telah duduk di kursi. Menatap dirinya.
"Tuan sudah bangun?"
Pria itu mengangguk, "Aku sangat lapar."
Raya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Aku akan membuat sarapan untukmu."
"Terima kasih! Aku akan membalas semua kebaikanmu, Raya," ujarnya dengan kedua manik hitam mengikuti langkah Raya.
Raya mengangguk, lalu dia pergi ke dapur dan membuat nasi goreng. Tak lama dia keluar dari dapur dan meletakkan sepiring nasi goreng di depan pria yang tidak dia ketahui namanya itu.
"Aku akan berangkat kerja! Tuan bisa istirahat di sini, nanti siang aku juga pulang dan akan membawa obat untuk Tuan."
Pria yang terus menatap Raya itu mengangguk, "Sepertinya usia kita hanya berjarak beberapa tahun saja."
Raya terkekeh, "Kau bisa lihat dari mana? Kau saja tidak pernah melihat identitasku."
"Entahlah ... perasaanku mengatakan hal itu."
"Mungkin saja, kita bisa lihat nanti setelah identitasmu ketemu atau kau ingat sesuatu, oke!" ujar Raya dengan senyuman mengembang di bibirnya.
"Jadi kau tidak harus terus memanggilku Tuan!"
"Itu karena aku belum tahu namamu Tuan, atau kau mau aku panggil Mr. Amnesia?"
Celotehan Raya tentu saja membuat pria amnesia itu tertawa, dan cukup menghibur untuknya.
"Makanlah Mr. Amnesia, bukankah kau lapar?"
"Sekali lagi terima kasih."
***
Beberapa hari berlalu, setiap pagi Raya akan membuat sarapan untuk pria yang sampai hari ini tidak ingat apa-apa, bahkan namanya sekalipun. Dan sebagai gantinya, pria yang kondisinya cukup membaik itu akan membantu Raya membersihkan rumah.
Dengan cekatan dia membersihkan seluruh ruangan, bahkan menggosok kaca jendela hingga kinclong, sementara Raya akan pulang membawa makan siang yang diberikan rekannya dari bagian dapur untuk dibawa pulang.
"Mr. Amnesia aku pulang!" teriaknya saat sampai di depan rumah.
Tidak ada jawaban dari dalam rumah, hingga dia masuk ke dalam dan meletakkan makanan di atas meja. Mencari pria bertubuh tinggi tegap itu di dalam kamar namun tidak ada. Hanya ada suara gemericik air dari belakang.
Raya pun berjalan menuju dapur dan sontak kaget saat melihat pria yang masih tidak ingat apa-apa itu keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada, memperlihatkan otot otot perut yang berjejer bak roti sobek serta otot lengan miliknya.
Glek!
Raya menelan saliva, bak baru pertama kali dia melihat pria beserta otot di tubuhnya.
"Raya kau sudah pulang?"
"Ah iya ... aku baru pulang! Kau baru mandi?"
"Tidak ... aku mandi untuk kedua kalinya, tadi membersihkan kaca jendela dan badanku penuh debu. Kau pasti sangat jarang membersihkan rumahmu ini."
Raya berdecih, "Eh, mana ada waktu aku membersihkan rumah, aku sibuk mencari uang, bekerja, lalu pergi kuliah."
Pria itu mengulum senyuman. "Kau pasti sangat lelah, ditambah ada aku yang merepotkan."
"Tidak, sama sekali tidak merepotkan, kau juga berguna kan di sini, rumahku jadi bersih dan juga rapi. Sepertinya kau orang yang rajin. Atau kau orang kaya yang mandiri dan selalu merawat diri. Bahkan kau mandi dua kali."
"Entahlah aku masih tidak ingat apa pun!"
"Tidak usah dipikirkan, setelah mendapatkan uang aku akan membawamu ke rumah sakit! Kau harus diperiksa dokter," ujar Raya menarik kursi meja makan.
Pria itu pun tersenyum, menatap Raya dari samping.
Kau memang baik hati, Raya, aku beruntung bertemu denganmu yang menolongku dengan tulus, setelah aku mengingat semuanya, aku akan membalas semua kebaikanmu, Raya.
"Hei, Mr. Amnesia! Ayo makan, setelah ini aku harus pergi ke kampus, aku ada kelas hari ini! Ayo cepat makan."
Setelah makan siang, Raya bersiap siap untuk pergi ke kampus, tidak lupa dia juga menyampirkan tas selendang di bahunya.
"Raya, aku ikut denganmu."
Raya yang berada di kamar menoleh, "Kau kan masih belum sembuh total,"
"Tidak apa apa, mungkin aku akan ingat sesuatu di jalan atau bahkan menemukan dompetku yang hilang."
"Baiklah kalau begitu! Tapi kau yakin bisa pulang sendiri nanti, tidak akan tersesat?" goda Raya dengan terkekeh.
"Tentu saja tidak! Aku akan menghapal jalan dengan baik!"
Raya mengangguk, "Baiklah kalau begitu!"
Keduanya berjalan bersisian, dengan Raya yang terus berceloteh sepanjang berjalanan.
Pria tersebut hanya mengulum senyuman saat mendengarkan ocehan dari Raya.
Hingga tepat di pinggir jalan, sebuah sepeda motor yang kehilangan keseimbangan dan oleng menabrak raya dari belakang, membuat tubuh gadis itu terpelanting jauh.
Bruk!
"Akh!"
Kejadian itu sangat cepat, dalam hitungan detik saja dan motor yang di tumpangi seorang paruh baya pun ikut jatuh.
"Raya!"
Pria tanpa identitas itu berlari dan melihat kondisi Raya yang tergeletak dengan tangan yang bengkok.
"Akh! Aku tidak apa apa!" ujarnya dengan suara serak.
Raya hendak bangkit, namun pria bertubuh tegap itu mencegahnya, "Diam! Jangan bergerak! Tanganmu sepertinya patah."
Raya tersentak, dia yang belum merasakan apa apa di tangannya hanya mampu melihat pria itu mencari sesuatu di pinggir jalan yang bisa digunakan untuk menahan tangannya.
"Hei, kau mencari apa?"
Pria itu datang dengan membawa dua kayu yang dia temukan, walaupun ukurannya tidak sama. Lalu menempelkannya di bagian sisi lengan Raya. "Kau pegang dulu! Aku harus mencari tali."
Raya tentu saja terhenyak, apa yang di lakukan oleh pria itu adalah tindakan pertama pada kecelakaan, jika bukan tenaga ahli, orang orang yang tahu itu pasti adalah orang orang yang turut serta pelatihan khusus.
Pria itu tidak menemukan tali panjang, namun dia tidak kehilangan akal, dan menggunakan rumput ilalang yang dia sambung hingga menjadi kuat lalu mengikat kedua kayu yang dipasang di sisi kiri dan kanan.
"Kau tidak apa-apa, ‘kan? Kita ke rumah sakit sekarang juga."
"Tidak, jangan! Kita tidak punya biaya untuk ke rumah sakit."
Pria itu kembali terdiam, itu memang benar, dia saja tidak memiliki sepeser uang sama sekali. Hingga pria itu baru sadar, orang yang menabraknya masih ada dan terduduk saking kagetnya.
"Aku tahu! Kau tunggu di sini."
Pria tanpa identitas itu menghampiri penabrak dan entah apa yang dia katakan. Pria itu mau bertanggung jawab dan membiayai pengobatan Raya.
Hingga akhirnya Raya di bawa ke rumah sakit dan masuk ke dalam IGD, dan saat itu Raya merasakan luar biasa sakitnya dari lengannya yang patah.
"Akh! Ini sakit sekali!"
"Dokter, suster! Tolong. Pasien ini mengalami close fraktur," seru pria itu dengan menggendong Raya, membaringkannya di ranjang ruang IGD.
Seorang suster datang menghampirinya, "Maaf, silakan Tuan ke ruangan pendaftaran dulu, kita akan menanganinya setelah ini."
Namun pria bermanik hitam itu justru membentak suster dengan keras, hingga suster itu hampir ketakutan.
"Lakukan penyelamatan lebih dulu. Utamakan pasien dari pada data-data yang bisa diurus nanti. Kau mau tanggung jawab kalau pasien ada yang anfal dan meninggal gara gara harus mengurus data terlebih dahulu, hah?"
Raya yang menahan kesakitan itu tersentak kaget, melihat pria yang hampir dua minggu tinggal bersamanya itu marah besar pada suster. Hingga dokter datang dan menenangkannya.
"Tuan mohon tenang! Kami akan lakukan tindakan sebaik mungkin," ujarnya dengan menempelkan stetoskop pada Raya.
"Segera lakukan bone scan, kau tahu dia mengalami fraktur close, bukan? Dan beri dia ketamine intravena 0.3 Mg"
Dokter itu mengangguk, dia menyuruh suster membawa Raya ke ruangan rontgen untuk melihat kondisi tulang yang patah. Lalu menyuntikkan obat analgesik yang diminta pria yang terus memantau dengan serius di sampingnya.
Kenapa aku bisa tahu istilah-istilah kedokteran.
Begitu juga dengan Raya yang tengah diperiksa
"Apa Mr. Amnesia seorang dokter? Dia tahu istilah-istilah yang hanya dokter dan suster yang tahu."
Keesokan pagi
Raya terbangun di ranjang rumah sakit, dokter telah melakukan operasi penyambungan kembali tulang lengannya, dan kini lengannya telah terpasang gips.
"Astaga, kalau aku di sini terus, aku tidak kerja dan kuliah, terus gimana caranya aku bayar perawatan di rumah sakit?" gumam Raya menatap langit langit kamar yang berwarna putih.
"Kau tenang saja, masalah biaya, pria yang menabrakmu yang bertanggung jawab," ujar pria amnesia menyibak gorden berwarna pink dan membawa segelas air. Dia menyimpannya di rak samping ranjang beserta obat milik Raya.
"Dan soal pekerjaan, aku yang akan menggantikanmu bekerja di kafe itu, aku sudah bicara pada bosmu dan mereka mengerti asal ada yang mau menggantikanmu."
"Benarkah? Kenapa bos baik hati padamu? Sedangkan padaku dia tidak."
Pria itu mengerdik, seraya mengangkat kepala Raya agar bersandar pada sandaran ranjang
"Mungkin karena aku tampan," kelakarnya lalu mengambil gelas beserta obatnya dan memberikannya pada Raya.
Raya mengulum senyuman, itu memang benar, pria itu memang tampan, postur tubuhnya juga sangat proporsional, dengan kedua manik meneduhkan.
"Kenapa? Kau mengakuinya, ‘kan?" ujarnya saat melihat Raya yang menatapnya tanpa berkedip.
"Ih, apaan! Percaya diri sekali kau Mr. Amnesia."
Dan di belahan sisi kota lain, berita hilangnya CEO muda rumah sakit mewah milik Healtystarr Grup, Dennis Atmajasalim, telah santer diberitakan, kepolisian sudah dikerahkan untuk mencarinya, dan beberapa orang sewaan yang di perintahkan keluarga Atmajasalim. Pemilik perusahaan farmasi terkemuka di tanah air, dan memiliki 20 mitra rumah sakit mewah yang tersebar di berbagai kota.
Bahkan menjadi pembicaraan hangat antara suster di rumah sakit di mana Raya terbaring.
“Andai saja aku tahu wajah dokter Dennis yang katanya seperti artis Korea.”
“Memangnya kalau kau tahu mau apa? Kau mau memeriksa setiap pasien kecelakaan bahkan yang sudah menjadi mayat sekalipun? Sudahlah ayo bekerja, urusan itu biar polisi yang menangani, lagi pula itu di Jakarta, mana mungkin Dennis berada di kota terpencil kayak di sini.”
Raya mendengar dengan jelas percakapan dua suster yang tengah berkeliling memeriksa pasien.
"Dennis Atmajasalim?" Raya menggelengkan kepalanya, benar apa yang dikatakan suster, "Tidak mungkin, ‘kan? Orang dia dokter di Jakarta, mana mungkin bisa kemari."
Sementara pria tanpa nama itu sudah pergi menggantikan Raya bekerja di sebuah kafe kecil di pesisian kota, kafe yang ramai oleh siswa siswa sekolah maupun anak anak kuliah, karena harganya cukup ramah di kantong mereka.
Pemilik kafe tentu saja senang, dari pertama kali dia datang dan memberitahu akan menggantikan Raya bekerja. Dia tahu jika pria tampan itu akan menarik perhatian para pengunjung dengan paras dan memiliki tubuh tinggi tegap.
Tak harus menunggu lama, hari ini juga dia bekerja paruh waktu dengan melakukan semua pekerjaan yang dilakukan oleh Raya. Mulai dari membersihkan meja, mencuci piring dan mengantarkan makanan.
"Ternyata begini pekerjaan Raya, cukup melelahkan. Ditambah dia juga harus berangkat kuliah setelahnya."
Perasaannya pun mulai berkembang, diam-diam dia mengagumi Raya yang pekerja keras dan baik hati. Juga mengkhawatirkannya saat Raya sakit dan kelelahan. Pria itu berdiri di depan mesin kasir dan memikirkan Raya.
"Apa yang kau pikirkan, heh?" tanya Ambar, pemilik kafe.
"Tidak, aku tidak memikirkan apa pun! Tapi apakah aku boleh minta tolong?"
"Apa? Apa yang kau butuhkan, Tampan?" Ambar mulai berani menggodanya.
"Bisakah kau meminjamiku uang? Aku membutuhkan uang untuk memperbaiki sesuatu."
Ambar terlihat berpikir, lalu dia tersenyum dan memberikan pinjaman.
"Karena kau sangat tampan dan rajin, aku akan memberimu pinjaman, tapi setelah pekerjaanmu selesai."
Pria bertubuh tegap itu mengulas senyuman yang membuat Ambar semakin semangat. Setelah pekerjaannya selesai, dia pun kembali menemui Ambar.
Ambar menepati janjinya dengan memberikan pinjaman padanya, dia juga memperbolehkannya bekerja sampai Raya sembuh total.
Hari berganti hari, Raya sudah diperbolehkan pulang dan pria itu tetap bekerja di kafe menggantikannya. Hubungan keduanya semakin akrab, terlebih pria tanpa nama itu menebus sepeda motor miliknya di bengkel menggunakan uang pinjaman dari Ambar.
"Benar-benar pilih kasih! Dia memberimu pinjaman sebanyak itu?" ujar Raya menyuapkan ayam crispy yang dibeli Mr. Amnesia. "Ambar itu terkenal pelit! Tapi dia bisa luluh padamu, Mr. Amnesia."
Pria itu tergelak, "Tapi dia menyuruhku bekerja full time, Raya, dan itu sangat menguntungkan bagi kita. Cepatlah sembuh! Agar kita bisa bekerja di tempat itu sama sama!" ujarnya mengacak pucuk rambut Raya.
Raya bergeming dengan perlakuan manisnya, dia mengulum senyum dan mengangguk.
"Aku pergi bekerja dulu ya," ujarnya dengan mencuil hidung Raya.
Lagi lagi Raya mengangguk, kali ini ada rona kemerahan dari pipinya karena pria itu semakin hangat saja.
Tak lama Mr. Amnesia pergi bekerja, dia juga menggunakan sepeda motor milik Raya agar bisa menghemat ongkos. Dan tidak membutuhkan waktu lama, dia telah sampai di kafe.
Pengunjung semakin banyak, bukan hanya anak anak sekolah dsn mahasiswa, namum juga teman teman Ambar yang sengaja ingin melihatnya.
Namun dia tentu saja tidak peduli, yang dia pikirkan sepanjang bekerja yaitu wajah manis Raya, yang tertawa renyah dan cemberut atau bahkan meringis saat tangannya yang sakit.
"Woi! Melamun mulu! Ini pesanan meja nomor 21," ujar Pak Deni mengagetkannya. "Mikirin Raya ya?" ujarnya lagi.
Pria itu hanya tersenyum, lalu mengambil nampan berisi kopi dan camilan untuk meja 21.
Langkahnya terhenti saat melihat sosok pria mengenakan setelan jas berwarna hitam yang tengah mengotak-atik ponsel, ada cincin berwarna hitam yang melingar di jarinya, dan sekelebat bayangan mobil menabrak pembatas jalan dan berguling-guling dengan cincin hitam yang terus berputar, lututnya tiba tiba melunglai dengan tangan bergetar sampai kopi di atas nampan itu hampir tumpah.
Pria yang tengah duduk itu mengenadahkan kepalanya, melihat ke arah kiri dan kanan lalu ke arahnya, sontak pria tanpa nama itu memutar tubuhnya ke belakang. Sampai kopi di atas nampan kembali tumbah.
"Kau tidak apa-apa?"
Kepalanya terasa berdenyut hebat, dia bahkan merasakan tubuhnya bergetar hebat dengan keringat yang bercucuran.
"Hei, kau tidak apa-apa?"
"Raya, bawa aku pergi dari sini! Aku mohon."
Raya yang sengaja datang untuk mengantarkan makan siang untuknya mengangguk, dan mengambil nampan dari tangannya, setelahnya dia membawa pria tanpa nama itu keluar dari kafe.
Pria yang duduk di kursi membulatkan mata saat sekilas melihat sepupunya yang hilang, dia segera bangkit dan mengejarnya.
"Dennis? Tidak mungkin."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!