NovelToon NovelToon

Rumah Petaka

Memerangi Maut

Suasana dimalam hari ini begitu mencekam, daun kering berguguran menutupi jalan perumahan disana.

Semua rumah terlihat gelap dan senyap, namun salah satu rumah di sana terlihat mulai bercahaya.

Seorang kakek bernama Kim He Nim terus berjalan menaiki tangga kayu rumah lalu membuka pintu berwarna abu-abu di sana, mata tuanya memandang kesenyapan di ruang kamar itu.

“Kau sudah tidur?”

Dengan bahasa asing yang kental He Nim berkata, seketika selimut berwarna kuning itu tersingkap dan menampilkan sesosok anak kecil yang menatap pria tua itu sendu.

“Kakek, Dia tidak mau berhenti bermain.” protes anak kecil itu sambil menunjuk udara di sampingnya. He Nim tersenyum lalu memasuki kamar.

“Apa karna itu Kau segera mematikan lampunya saat kakek akan menemuimu? Heuh anak ini!” kata He Nim sambil mengusap kepala atas bocah lelaki itu.

Suara langkah kaki yang terdengar menghentakkan kakinya kesal terdengar mendekati kamar anak tirinya, Hyeon Chul.

Dengan wajah marahnya berteriak kepada Hyeon Chul dan mertuanya itu.

“Hyeon Chul! Tidurlah! Kenapa Kau membuatnya masih terjaga?” teriak Ibu tiri Hyeon Chul dengan gamblangnya menyalahi mertuanya yang sudah sepuh itu.

“Aku ini ingin membuat Hyeon Chul tidur, Yeon.” bantah He Nim itu dengan dengan suara yang begitu lembut.

Brak! Brak! Brak!

Sebuah pukulan keras dari pintu utama rumah ini membuat semua menjadi terkejut, walaupun takut tapi dengan penasaran Ibu Hyeon Chul segera berbalik dan melangkah turun dari tangga.

Kakek itu menoleh menatap cucunya yang sedang memeluk erat dirinya ketakutan, dengan gerakan perlahan ia berdiri dan mulai melangkah meninggalkan cucunya menuju ke kamar sebelah milik anaknya dan menantunya.

Dengan dorongan yang hati-hati untuk membuka pintu kamar itu, seketika matanya melebar mengetahui pria yang terbaring di ranjang sana terlihat sudah tak bernyawa lagi dengan secara beraturan terus mengeluarkan darah dari perut dan mulutnya.

Kakek itu menutup mulutnya yang dengan tak sengaja terbuka karna melihat dengan jelas bagaimana anaknya yang kejang-kejang dan terus mengeluarkan darahnya.

Kakek itu membanting pintu itu dan mencoba mengatur napasnya lalu menyeka air matanya yang jatuh ke pipinya sangat sedih akan kematian tragis anaknya.

Kakek itu lalu berbalik menuju ruang tamu karena ingin memberi kabar kematian anaknya pada menantunya, ia melangkah tanpa mengetahui mayat menantunya yang tergantung di atas lampu besar ruang tamu karna pergerakannya yang terlalu cepat dan tatapannya yang terus menunduk ia tak tahu jika wanita yang berteriak padanya tadi juga telah meninggal menemui suaminya.

Sampai di sana, He Nim tak menemukan menantunya dan dengan pergerakan awas ia menelusuri setiap ruangan di sana.

Langkahnya terhenti saat setitik buliran darah jatuh tepat di kemejanya yang berwarna coklat muda, He Nim mendongak menatap lampu besar di tengah atas ruang tamu.

“Kakek?! Aaa!” teriak Hyeon Chul yang masih berada di dalam kamarnya, hanya Hyeon Chul sekarang yang hidup, ia tak ingin ada yang menjadi korbannya lagi.

“Hyeon Chul?” teriak He Nim setelah dirinya membuka pintu kamar cucunya namun tak ada Hyeon Chul di sana.

“Kakek?!” teriak Hyeon Chul lagi dan kali ini suaranya terdengar di balkon kamar Hyeon Chul, He Nim segera menuju ke balkon kamar Hyeon Chul namun sesuatu menahannya.

Gorden putih itu dengan sendirinya melayang—membentang menarik tubuh He Nim untuk kembali ke dalam hingga tubuh itu jatuh terbentur dinding.

“Biarkan aku menyelamatkan cucuku!” pinta Kakek itu disertai dengan batuk yang mengeluarkan darah lalu ia segera berlari tertatih-tatih menolong Hyeon Chul yang bergantung di perbatasan balkon, antara udara yang akan menjatuhkannya tepat di depan rumahnya.

“Hyeon Chul!” teriak He Nim sembari memegang kedua telapak tangan Hyeon Chul lalu menariknya kembali masuk ke balkon.

Angin mendadak menjadi kencang, semua benda mulai berjatuhan hingga sebuah lampu melayang dan mulai menghantam punggung Kakek Hyeon Chul hingga terjatuh dan melepaskan genggaman tangan Hyeon Chul.

Empat kaca kamar Hyeon Chul pecah dan berhamburan mengenai Hyeon Chul dan pria tua itu.

“Apa yang Kau inginkan? Kau sudah mengambil orang tua dari anak ini! Bukankah aku hanya pinta Kau untuk menemani Hyeon Chul saja?!” bentak He Nim mulai tersulut emosinya.

Hyeon Chul terus menangis sambil menggoyangkan lengan He Nim.

Namun sepertinya alam semakin nampak marah, dengan sendirinya tubuh kakek renta itu terseret dengan cepatnya hingga sampai kepalanya membentur dinding kamar Hyeon Chul lalu terseret lagi menuju balkon hingga kayu pembatas balkon itu hancur karena dorongan kuat dari tubuh He Nim, otomatis tubuh kakek Hyeon Chul terjatuh dari paling atas kamar dirumah ini.

“Haraboeji!” seru Hyeon Chul memanggil kakeknya dengan tangannya yang seolah ingin menahan terjatuhnya pria yang paling ia sayangi itu.

Suara sirine mobil polisi terdengar dan berhenti di depan pagar rumah besar ini, tangis Hyeon Chul semakin pecah karna ia merasa benar-benar sendirian.

Sambil memeluk kakinya yang ia tekuk, bocah kecil kisaran berumur 6 tahun itu menangis sejadi-jadinya hingga polisi itu datang menemui Hyeon Chul yang sendirian dan para warga disana terus membicarakan topik itu sampai hilang 5 tahun kemudian.

Keluarga Baru

“Oh, ya! Aku sudah di rumah.”

“Bagaimana? Kau suka rumahnya, kan?”

“Emm, rumahnya sedikit lebih tua dari yang di gambar.”

Pembicaraan lewat telepon itu terus tersambung sampai pria itu dan keluarganya memasuki rumah yang sekarang ini menjadi miliknya.

“Ibu! Kamarku yang ini, ya?” pinta seorang perempuan kecil sambil memegang bonekanya.

Wanita berpakaian dress berwarna biru muda menoleh ke arah anaknya dan tersenyum menyetujui setelah itu ia kembali mengeluarkan barang-barang yang di dalam kardus untuk ia tempatkan di rumah barunya. Sedangkan pria dari suami wanita itu duduk sejenak merasakan ketenangan sementara.

“Kau baik-baik saja? Mau aku buatkan teh?” tanya wanita itu sambil mendekati suaminya dan mengelus ujung rambut suaminya.

Dennis Mahendra Putra, anak campuran dari negeri Belanda dan Indonesia juga bekerja sebagai Direktur Pemasaran yang sedang memenuhi tugas di negeri Ginseng, Korea Selatan.

“Ehh, tidak perlu. Lihat saja kelakuan anakmu.” tolak Dennis halus sambil mengurut dahinya yang pening.

Wanita bernama lengkap Mira Jen itu tersenyum lalu melangkah menaiki tangga dan memasuki kamar anak gadisnya tadi.

“Sayang? Turun nak, ibu akan membersihkan debu di kamarmu.” perintah Mira tak ditanggapi oleh anaknya, ia hanya terus menatap ke bawah balkon kamarnya.

“Jennie? Apa yang Kau lihat?” panggil Mira dengan nama anaknya itu.

Mira mendekati Jennie dan memeluk pinggang anaknya sambil bertanya kembali.

“Hey, ada apa?” tanya Mira kembali membuat Jennie tersadar.

“Ibu, Dia siapa?” tanya Jennie dengan suara imutnya sambil menunjuk seorang bocah yang terus menatap rumahnya.

Mira tanpa sengaja mengerutkan dahinya melihat ada saja anak kecil berpakaian lusuh memasuki kompleks ini.

“Apa itu anak dari tetangga sebelah?” tanya Jennie lagi dan kali ini berbalik menatap wajah ibunya.

“Emh? A-mungkin seperti itu.” jawab Mira ragu.

Jennie tersenyum senang lalu segera berlari akan keluar dari kamarnya.

“Kau mau ke mana?” tanya Mira menghentikan langkah Jennie.

“Aku mau berteman dengan Dia.”

“Kau belum makan siang kan? Ayo makan dulu, Kau pasti lapar.” ajak Mira mencoba mengalihkan perhatian Jennie.

*_*

Tak ada yang memulai pembicaraan, hanya suara garpu dan sendok yang beradu di meja makan ini.

Jennie dengan lahapnya memakan semua sajian yang ada di piringnya hingga ia tersedak lalu meminum air putih yang ada di depannya, Mira menghentikan makannya dan menoleh menatap Jennie khawatir.

“Tak apa? Jika makan pelan-pelan, sayang.” nasihat Mira sambil mengelus ujung kepala anaknya.

Tok! Tok! Tok!

Satu keluarga di sana menoleh ke arah suara itu sampai akhirnya Mira berinisiatif berdiri dari duduknya untuk membuka pintu.

“Ya?” tanya Mira setelah membuka pintu tersebut.

Mira terkejut setelah mengetahui jika seseorang yang mendatangi rumahnya adalah anak kecil lusuh itu.

“Apa sekarang Kau pemilik rumah ini?” tanya bocah laki-laki itu mendongak menatap Mira.

Mira hanya diam tanpa menjawab sekecil apapun karna anak kecil ini berbicara dengan bahasa Korea yang hanya dimengerti oleh suami dan mungkin anaknya.

Dennis yang ingin melihat keadaan di luar, berdiri dan melangkah menuju istrinya sedangkan Jennie hanya menoleh melihat ayahnya yang berlalu pergi.

“Hei, anak kecil! Kenapa kau disini? Dimana rumah mu, eoh?” tanya Dennis sebelum ia benar-benar memperlihatkan tubuhnya pada anak itu.

“Nama ku Hyeon Chul, paman.” terang bocah itu sambil meletakkan tangannya didepan dada.

Dennis tersenyum lalu berjongkok mengusap cukup kasar rambut bocah bernama Hyeon Chul itu.

“Lalu katakan sekarang, di mana rumahmu, nak?” tanya Dennis lagi dengan bahasa asing tersebut.

“Ini rumahku.” jawab Hyeon Chul sambil menatap langit-langit rumah itu.

“Kenapa ini rumahmu? Ini rumahku dan orang tuaku.” sela Jennie yang

beberapa jarak dari Dennis sambil memegang knop pintu rumahnya.

Hari Pertama

Program televisi dari Korea itu tak dapat mengalihkan pikiran kedua pasangan pasutri ini, mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Heuh. Aku tidak dapat mengalihkan pikiranku dari cerita bocah itu, ini terlalu menyeramkan.” gumam Mira sebelum menuangkan teko berisi teh pada cangkirnya dan suaminya.

Dennis menoleh cukup lama pada Mira lalu kembali terfokus pada TV yang ia lihat namun tak ia perhatikan.

“Ayolah! Ia hanya anak kecil miskin yang kehilangan orang tuanya, lalu karna ia tahu ada warga baru di sini ia membuat lelucon yang sering ia ceritakan kepada temannya.” kata Dennis menenangkan Mira.

“Tapi aku percaya jika seorang bocah umur 11 tahun itu tidak akan berbohong. Menurutnya apa ia akan mendapatkan permen jika ia menceritakan hal aneh pada kita?” tanya Mira tergesa-gesa.

“Eum, mungkin saja.” balas Dennis seringan mungkin. Mira menatap tak suka pada Dennis karna menyepelekan urusan ini.

“Bagaimana lagi aku harus membuatmu tenang? Jujur dalam hatimu, apa Kau percaya pada anak sekarang yang suka membuat keributan? Jahil? Dan nakal?” tanya Dennis sesudah menoleh menatap istrinya yang lebih muda tujuh tahun darinya.

Mira mengalah karna ia pikir hal seperti ini akan membuat dirinya sendiri menjadi pusing, toh hanya anak kecil.

*Besoknya*

Mira terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bising disampingnya.

Dennis merasa istrinya terjaga dari tidurnya karna ia sibuk menggeledah beberapa baju yang ada di lemari pakaian, ia lalu menoleh melihat Mira yang sedang mengikat rambutnya lalu beranjak mendekati Dennis.

“Apa yang Kau cari?” tanya Mira dengan suara khas bangun tidurnya.

“Dasiku, yang berwarna biru.” jawab

Dennis sambil kembali mencari dasinya. Tanpa perintah, Mira mulai ikut mencari di bagian ujung lemari.

“Mungkin Kau lupa membawanya, pakailah yang lain.” nasihat Mira sambil menyodorkan lipatan dasi bercorak di genggaman.

“Ibu, ayah.” panggil Jennie dari luar kamar sambil mengetuk pintu kamar.

Mira segera berbalik dan melangkah mendekati pintu kamarnya setelah Dennis mengambil dengan berat hati dasi itu.

“Heum? Kau sudah bangun? Mau ibu buatkan sarapan?” ajak Mira sambil menggenggam tangan kecil Jennie menuju kedapur.

Mira dengan cepat mengambil beberapa roti lalu mengolesinya dengan selai coklat dan meletakan roti itu ke piringnya, Jennie dan Dennis.

Suara sepatu pentofel dari Dennis terdengar menuruni tangga dengan tergesa-gesa.

“Rapatnya tiga puluh menit lagi, aku harus segera ke sana sekarang.” jelas Dennis membenahi letak dasi dan jasnya.

Mira tersenyum tenang lalu membujuk Dennis untuk meminum susu yang ia buat walau hanya seteguk saja.

“Ayah tidak mau makan bersama?” tanya Jennie menatap sendu ayahnya.

Dennis segera menghentikan minumnya dan menghampiri Jennie lalu menangkup kedua pipi anaknya yang sedang berdiri di depannya.

“Bukannya ayah tidak mau, tapi atasan ayah menyuruh ayah untuk segera kekantor. Lain kali, ya?” pinta Dennis lembut lalu mengusap kedua pipi anaknya.

Jennie tersenyum kecil dan mengangguk mengerti tentang pekerjaan ayahnya.

“Kalau begitu, ayah pergi dulu!” kata Dennis mengakhiri pembicaraan kecilnya pagi ini.

Mira tersenyum bahagia karna walaupun suaminya secara tak langsung bekerja 24 jam namun kebersamaan antara keluarga tetap ada di sana.

Arnad Winata

Shafiyya Adila

Maulana Hakim

Baca Novel aku selanjutnya dengan judul Kekasih Ajarkan Agama 😉😄

Jangan lupa like, favorit dan komen 😘😚

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!