William Smith
"Enyah dari hadapanku !!" titah seorang pria pada wanita yang sedang berjongkok di hadapannya itu.
"Tapi tuan, kita belum melakukan apapun." sang wanita nampak enggan beranjak, kapan lagi ia bisa memuaskan napsu seorang William pria tampan yang terkenal sebagai seorang konglomerat itu.
"Saya bilang enyah atau peluru ini akan menembus isi kepalamu !!" William mengarahkan senjatanya tepat di pelipis wanita bayaran yang nampak polos tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya.
"Ampun tuan, saya akan segera pergi." wanita itu langsung memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai lalu segera memakainya kembali, setelah itu bergegas pergi meninggalkan hotel mewah tersebut.
"Dasar j4l4ng tak berguna." gumam William seraya beranjak dari duduknya dan tak berapa lama seorang pria masuk kedalam kamarnya setelah sebelumnya mengetuk pintunya.
Asisten William itu nampak mengerutkan dahinya saat melihat tuannya berpakaian lengkap tidak seperti sedang selesai bercinta dengan wanita bayaran tadi.
"Tuan, apa perlu saya carikan wanita lain lagi ?" ucap James sang asisten, ia berpikir jika tuannya tidak minat dengan wanita tadi.
Namun William yang sedang berdiri menatap jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota di bawahnya itu langsung menolak dengan mengangkat sebelah tangannya.
"Apa ada informasi penting ?" tanyanya kemudian.
"Sore ini kita akan melakukan transaksi di yacth yang akan bersandar di dermaga, tuan." sahut James.
"Itu saja ?" tanya William lagi yang nampak masih membelakangi sang asisten.
"Benar tuan." James mengangguk kecil meski tuannya tak melihatnya.
"Apa para bajingan itu tidak berulah lagi ?" tanya William seraya menyalakan sebatang rokok di tangannya.
"Tidak tuan, sepertinya ancaman tuan waktu itu membuat mereka jera." sahut James, mengingat beberapa hari lalu tuannya itu mengancam akan menghabisi seluruh keluarga rival bisnisnya jika masih berani mengusiknya.
"Bagus." William nampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
...----------------...
Merry Martin
Sementara itu di tempat lain nampak seorang gadis sedang berjalan beriringan dengan seorang pemuda keluar dari sekolahnya.
Wajah gadis cantik itu terlihat cemberut, sedangkan sang pemuda berusaha menghiburnya.
"Sudahlah Mer kan masih ada aku, mungkin Daddy dan Mommy mu sedang ada urusan lain." bujuk pemuda tersebut seraya mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu di bangku taman yang ada di area sekolahnya.
"Tapi ini hari kelulusanku, hari kelulusanku asal kamu tahu." gadis itu nampak tak terima dengan ucapan pemuda itu.
"Harusnya mereka hadir dan menyaksikan putri satu-satunya lulus." imbuhnya lagi dengan berapi-api, mengingat hingga acara selesai kedua orang tuanya belum juga kelihatan batang hidungnya di sekolahnya.
"Aku punya ide agar kamu tidak sedih lagi." pemuda yang bernama Henry itu mencoba menghibur yang langsung membuat Merry gadis cantik itu berhenti cemburut.
"Apa ?" tanya Merry penasaran.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke Mall saja ?" ajak Henry, namun bukannya membuat Merry senang tapi justru membuat gadis belia itu kembali cemberut.
"Bodyguard ku pasti akan melarangku." ucapnya dengan mencebikkan bibirnya, bodyguard yang ia maksud nampak mengawasinya tak jauh dari sana.
"Aku punya ide." ucap Henry, kemudian ia segera beranjak dari duduknya.
"Saat aku berbicara dengan bodyguardmu, kamu segera pergi ke belakang. Di sana ada sopirku yang akan menunggumu." perintah Henry seraya mengetik beberapa pesan di ponselnya, sepertinya pemuda itu sedang mengirim pesan pada sopirnya.
"Baiklah." Merry langsung setuju, untuk pertama kalinya ia melanggar aturan orang tuanya untuk pergi sendiri tanpa para bodyguardnya.
Sepertinya Merry sangat marah pada kedua orang tuanya karena di hari kelulusannya itu mereka tak hadir mendampingi.
Setelah melihat sahabatnya itu sedang berbicara dengan bodyguardnya, Merry segera berlalu ke belakang sekolah. Di sana sudah ada sopir sahabatnya itu yang nampak sedang membujuk security yang berjaga di gerbang belakang.
"Nona Merry silakan masuk ke dalam mobil, karena kita sudah tidak mempunyai waktu lagi." perintah sopir tersebut.
"Tapi bagaimana dengan Henry ?" Merry nampak khawatir mengingat sahabatnya belum kunjung menyusulnya.
"Tuan muda Henry pasti akan baik-baik saja, anda jangan khawatir." sang sopir menenangkan seraya melajukan mobilnya dengan kencang meninggalkan area sekolahnya.
Beberapa saat kemudian mobil tersebut berhenti di sebuah pusat perbelanjaan elit yang berada di tengah kota.
"Ini hal gila pertama yang ku lakukan." Merry merasa takjub dengan perbuatan nekatnya tersebut, gadis yang baru menginjak 18 tahun itu nampak terkekeh tak percaya.
Sedari kecil kedua orang tuanya selalu bersikap protektif padanya, ia boleh keluar dari rumahnya hanya untuk bersekolah itupun harus ada para bodyguard yang setiap saat selalu mengawasinya.
Entah apa pekerjaan ayahnya hingga mempekerjakan banyak bodyguard di rumahnya, setahu dia ayahnya bukan seorang pejabat atau polisi tapi hanya seorang pebisnis biasa.
Kadang ia merasa ayahnya seperti seorang mafia yang pernah ia lihat di sebuah film tapi ia tak percaya itu.
Karena ayahnya adalah sosok pria yang sangat penyayang jika di rumah, ayahnya tidak pernah berbicara keras atau bahkan marah pada dirinya, sang ibu dan juga kelima kakak angkatnya.
"Aku jadi merindukan kalian." gumam Merry saat mengingat kelima kakak angkatnya yang kini bersekolah di luar negeri.
Kini gadis itu terus melangkahkan kakinya mengelilingi pusat perbelanjaan yang sebelumnya memang pernah ia datangi bersama kedua orang tuanya.
Ia tak tahu apa yang akan di lakukan di tempat itu, sebelumnya ia tidak pernah berada di luar rumah seorang diri.
Bahkan uang pun ia tidak punya saat ini, karena semua yang ia butuhkan sudah di siapkan oleh bodyguardnya.
Kruk
Kruk
Tiba-tiba perut Merry berbunyi nyaring dan gadis itu baru menyadari jika telah melewatkan makan siangnya.
"Bagaimana aku bisa makan jika uang pun tak punya ?" Merry jadi menyesal kenapa tidak pernah membawa uang saku, padahal sang ibu sering memberikannya tapi selalu ia tolak karena apapun yang ia mau para bodyguardnya langsung menyediakan untuknya.
"Apa aku jual saja itu ?" gumamnya seraya melirik sesuatu di dalam tasnya.
"Ah tidak-tidak." imbuhnya lagi seraya menggeleng cepat, untuk masuk ke dalam mall ini saja ia harus lewat pintu belakang untuk menghindari pemeriksaan oleh petugas keamanan.
Apalagi jika menjualnya, bisa-bisa ia akan mendapatkan masalah besar.
"Aku yakin Henry pasti akan datang sebentar lagi, jadi lebih baik aku memesan makanan duluan." imbuhnya lagi dengan senang karena sudah memikirkan ide yang menurutnya brilian.
Saking senangnya ia sampai tak melihat jalan dengan benar hingga menabrak seseorang.
Brukk
Merry nampak menabrak dada seseorang yang mengakibatkan kepalanya sakit seketika.
"Ini dada apa batu sih." karena kesal Merry memukul dada milik seseorang itu, namun saat mendongakkan kepalanya menatap si pemilik dada yang terasa liat itu ia nampak menelan salivanya.
Di lihatnya seorang pria dewasa nan tampan sedang menatapnya dingin, mata pria itu begitu tajam seperti hunusan pedang yang siap menusuknya.
Meski terbesit rasa takut tapi ia mengingat perkataan sang ayah agar selalu menegakkan kepala kepada siapapun, karena jika dirinya menampakkan ketakutannya maka mudah baginya untuk di tindas siapapun.
"Ini dada apa batu sih." karena kesal Merry memukul dada milik seseorang yang di tabraknya itu, namun saat mendongakkan kepalanya menatap si pemilik dada yang terasa liat itu ia langsung menelan salivanya.
Bagaimana tidak, pria asing itu nampak menatapnya dingin dan sorot matanya begitu tajam hingga membuat siapapun enggan untuk menatapnya.
Namun Merry merasa seperti tak asing dengan sorot mata pria itu, tapi gadis itu segera menepis pikirannya.
Kemudian Merry bergegas menjauhkan dirinya dengan wajah sedikit memerah karena baru kali ini ia bersentuhan langsung dengan pria selain ayahnya sendiri.
"Maaf paman, aku tidak sengaja. Lagipula paman juga kenapa jalan tidak melihat-lihat sampai menabrakku juga." ucapnya kemudian tanpa memperlihatkan rasa takutnya, kepalanya tegak menatap pria asing yang ia perkirakan berusia tiga puluh tahunan itu.
"Nona, anda telah berlaku tidak sopan pada tuan kami. Segera minta maaflah !!" tegur James saat gadis belia di hadapannya itu dengan lantang menuduh tuannya.
Namun sang tuan segera mengangkat tangannya agar asistennya itu diam.
"Jadi kamu menuduh saya tidak melihat jalan ?" ucap Pria itu dengan suara baritonnya, tatapannya dingin ke arah gadis yang nampak sama sekali tak terlihat takut padanya dan itu membuatnya mulai tertarik.
"Begitulah, jika paman melihat jalan pasti akan segera menghindar saat melihatku akan menabrakmu." sahut Merry berkelit, pantang baginya untuk di salahkan jika masih ada celah untuk membela diri.
"Bocah licik." gumam William seraya menaikkan sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis dan hampir tak terlihat.
"Jadi kita berdua tidak ada yang salah, okey deal ya." imbuh Merry memutuskan tanpa menunggu persetujuan pria di hadapannya itu, bahkan ia nampak menjabat paksa tangan pria itu.
"Wow tangan paman besar sekali." ucap Merry saat tangannya yang tak seberapa itu menggenggam tangan besar William.
"Nona, jaga sikapmu !!" tegur James, pria itu nampak geram saat melihat bagaimana gadis belia itu memperlakukan tuannya dengan kurang ajar.
"Iya paman, iya. Cerewet sekali." gerutu Merry seraya menatap James, kemudian ia menghentakkan kakinya pergi meninggalkan dua pria asing itu.
"Tuan, jika anda tidak keberatan saya akan menghabisi bocah kurang ajar itu." mohon James kemudian, namun tuannya langsung mengangkat tangannya.
"Tidak perlu." sahut William yang langsung membuat James nampak termangu, karena tak biasanya tuannya itu memberikan ampun kepada siapapun yang berani menyinggungnya.
"Tapi tuan....." James masih tak terima.
"Apa saya terlihat tua ?" tanya William tiba-tiba yang sontak membuat James melebarkan matanya, apa tuannya sedang kerasukan pikirnya.
"Tentu saja tidak, tuan." sahut James jujur, meski tuannya itu sudah berusia kepala tiga tapi nampak sangat berkharisma.
"Tapi kenapa gadis itu memanggilku paman ?" William nampak tak mengerti, namun itu sontak membuat sang asisten termangu.
"Apa tuan sedang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis itu? tidak-tidak, tuan sudah mempunyai nyonya besar dan juga nona Natalia yang lebih cantik." gumamnya dalam hati.
"Mungkin gadis tadi menganggap dirinya sendiri masih anak-anak, tuan." terang James.
"Begitu ya." William nampak mengangguk-anggukkan kepalanya setuju.
"Jadi kita langsung ke dermaga saja, tuan ?" tanya James setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Tidak, kita ikuti saja gadis itu." ajak William yang langsung membuat James lagi-lagi melebarkan matanya.
"Apa tuan benar-benar sudah tidak waras ?" gumam James seraya mengikuti langkah tuannya itu, ia tidak habis pikir bagaimana bisa pria itu peduli dengan orang asing apalagi hanya seorang gadis belia yang masih berseragam sekolah sama sekali tak menarik menurutnya.
Sementara itu Merry yang baru masuk ke dalam sebuah restoran nampak memesan beberapa makanan.
"Kabur kan juga butuh tenaga." gumamnya di sela mengunyah makanannya.
"Marah juga butuh tenaga." imbuhnya lagi sembari terkekeh.
Meski saat ini sedang tak memegang uang, Marry sama sekali tak khawatir. Gadis itu yakin, Henry sahabatnya sebentar lagi pasti akan datang menemuinya.
"Tuan, anda yakin mau makan lagi ?" James nampak mengerutkan dahinya ketika tuannya memesan beberapa menu makanan ringan saat baru masuk ke dalam restoran yang di masuki oleh gadis belia tadi, padahal sebelumnya tuannya itu baru saja selesai makan di restoran yang sama.
"Tentu saja, kamu tidak pesan ?" sahut William balik tanya.
"Saya sudah kenyang, tuan." tolak James.
"Kalau begitu kamu awasi saja gadis itu jangan sampai menghilang !!" perintah William seraya menatap Merry yang sedang asyik makan seorang diri.
"Badannya saja yang kecil tapi kenapa rakus begitu." gumam William saat melirik ke arah Merry yang nampak makan dengan lahap, beberapa piring di atas meja gadis itu terlihat sudah kosong.
"Ya tuan, anda butuh sesuatu ?" tanya James saat tuannya itu menggerutu tak jelas.
"Tidak ada." William langsung mengalihkan pandangannya.
Beberapa saat kemudian, Merry yang sudah hampir tiga puluh menit menunggu sahabatnya nampak mulai panik.
"Bagaimana ini, siapa yang akan membayar ini semua ?" gerutunya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Nona ada yang bisa saya bantu ?" sapa seorang pelayan yang kebetulan lewat di depannya.
"Tidak, saya hanya kekenyangan." sahut Merry yang mencoba berbicara senormal mungkin, padahal hatinya mulai panik karena makanan yang ia pesan tidaklah murah.
Pelayan tersebut nampak menggeleng kecil saat melihat piring-piring kosong di hadapan meja Merry.
"Nona bisa menunggu di sini dulu sampai merasa lebih baik dan saya juga ingin menginformasikan jika makanan yang nona pesan semua sudah di bayar oleh tuan William." terang sang pelayan yang langsung membuat Merry membulatkan matanya.
"Apa ?" ucapnya tak percaya, namun dalam hati juga bersyukur karena ia tidak akan mencuci piring di restoran tersebut sebagai ganti biaya makanan yang telah ia makan.
"Benar nona, semua makanan yang anda pesan sudah di bayar oleh tuan William." ulang pelayan tersebut.
"Tuan William siapa ?" tanya Merry kemudian, ia berjanji setelah sampai rumah akan mengganti uang pria baik hati itu.
"Beliau duduk di sana...." pelayan tersebut menunjuk sebuah meja kosong yang berada di paling ujung.
"Mungkin tuan William sudah pergi nona." imbuh pelayan itu lagi saat tak melihat keberadaan tuan William.
"Iya nggak apa-apa, terima kasih." ucap Merry kemudian.
"Semoga nanti bisa bertemu lagi." imbuhnya dalam hati.
"Mer, apa kamu baik-baik saja? maaf aku terlambat datang." teriak Henry tiba-tiba, sepertinya pemuda itu baru datang
"Aku hampir mencuci piring asal kamu tahu." cebik Merry menatap sahabat dekatnya itu.
"Baiklah aku minta maaf, bagaimana kalau kita ke wahana bermain saja ?" bujuk Henry.
Merry menggelengkan kepalanya. "Aku ingin pulang." sahutnya.
"Ayolah Mer, kita sudah melakukan sejauh ini masa kamu tiba-tiba ingin pulang saja." Henry nampak kecewa, karena ia sudah berusaha semaksimal mungkin membantu sahabatnya itu kabur.
"Aku tiba-tiba ingin pulang." keukeh Merry, entah kenapa perasaannya tiba-tiba tidak tenang.
"Oke, baiklah kita pulang." Henry yang mengenal Merry sedari kecil, sangat paham dengan watak gadis itu yang sangat keras kepala.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah mansion mewah yang di kelilingi oleh tembok yang berdiri kokoh.
"Tidak biasanya rumahmu banyak tamu Mer ?" tanya Henry saat melihat beberapa mobil terparkir di depan gerbang rumah Merry.
"Mungki tamunya Daddy." sahut Merry meski belum yakin dengan ucapannya, karena selama ini sang ayah tidak pernah membawa tamu masuk kedalam rumahnya.
"Kamu yakin masuk sendirian? bagaimana kalau Daddy mu marah ?" Henry nampak khawatir.
"Aku akan baik-baik saja." Merry meyakinkan.
Setelah memastikan Henry berlalu pergi, gadis itu segera masuk ke dalam gerbangnya.
Biasanya ia akan di sambut oleh beberapa bodyguard yang menjaga rumahnya, namun kali ini pos penjagaan yang ada di gerbang tersebut nampak sepi.
"Apa yang sebenarnya terjadi ?" gumamnya dengan waspada.
Saat kakinya melangkah masuk gerbang tiba-tiba ia terkejut saat melihat para bodyguardnya nampak terkapar di halaman rumahnya dengan luka tembakkan.
"Paman, apa kamu baik-baik saja ?" Merry langsung berjongkok saat melihat bodyguard yang ia tinggal di sekolahnya tadi nampak bersimba darah terkapar di atas lantai.
Di sisa napasnya, pria itu nampak mengangkat tangannya lalu menunjuk ke dalam rumah majikannya tersebut.
"Paman apa yang sebenarnya terjadi, apa Daddy dan Mommy ada di dalam sana ?" Merry nampak histeris, dari kecil dirinya sudah hidup berdampingan dengan para bodyguardnya tersebut dan menganggap mereka sudah seperti keluarganya sendiri.
"Paman, tolong bangunlah." Merry nampak memeluk tubuh kaku pria yang selalu melindunginya di manapun berada.
Kemudian ia segera melangkahkan kakinya mendekat ke arah pintu rumahnya, namun sebelum itu ia nampak mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Kini dengan senjata api di tangannya, gadis belia itu nampak berjalan waspada masuk ke dalam rumahnya.
Merry yang sedang memegang senjata api terus saja melangkah menaiki beberapa anak tangga menuju teras rumahnya, gadis itu nampak waspada dengan melirik ke kanan dan kirinya.
Baru menginjakkan kakinya di terasnya Merry langsung terkejut saat melihat beberapa mayat tak di kenal sudah terkapar di sana.
"A-apa yang sebenarnya terjadi ?" Merry mulai berkeringat dingin, sepanjang hidupnya baru kali ini ia melihat peristiwa mengerikan seperti ini.
Meski sebelumnya ayahnya selalu mengingatkan tentang sebuah bahaya, tapi ia tak menyangka akan secepat ini dan bahkan di rumahnya sendiri.
Karena khawatir dengan kedua orang tuanya, Merry langsung melangkahi beberapa mayat yang menghalangi jalannya dan sesampainya di ambang pintu ia melihat kedua orang tuanya sedang di tawan oleh beberapa orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Mereka semua nampak mengangkat senjatanya tepat ke arah kedua orangtuanya yang berada di tengah-tengah mereka.
Dan dalam hitungan detik kedua orang tuanya sudah terkapar di lantai, entah siapa yang menjadi pelaku penembakan tapi ia melihat jelas wajah satu orang yang mungkin akan ia ingat sepanjang hidupnya.
"Daddy, Mommy." Merry berteriak seraya mengarahkan senjata apinya, namun belum sempat melesatkan pelurunya tiba-tiba seseorang membekap gadis itu dari belakang dan setelah itu Merry tak sadarkan diri.
Malam harinya...
Merry nampak mengerjapkan matanya dan kepalanya sedikit pusing karena pengaruh obat bius yang di gunakan untuk melumpuhkannya tadi, seiring kesadarannya yang mulai kembali ia mulai mengingat serangkaian kejadian yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri.
"Daddy, Mommy." teriaknya saat mengingat bagaimana beberapa orang yang sama sekali tak ia kenal telah tega membantai kedua orang tuanya dengan sadis.
"Tidak, mereka tidak boleh meninggal." Merry mulai menangis histeris.
"Aku akan membalas dendam pada mereka semua." gumam Merry, ia mengingat ada sekitar tujuh orang yang mengarahkan senjatanya pada orang tuanya dan ia bertekad akan menghabisi mereka semua.
Setelah tangisnya reda gadis itu beranjak dari ranjangnya, matanya nampak waspada menatap sekelilingnya.
Sebuah kamar mewah yang sama sekali tidak ia kenal, namun ia tak peduli. Ia harus segera pergi dari sana dan memastikan bagaimana keadaan orang tuanya.
Jika mereka sudah meninggalkan maka ia ingin melihat jasadnya untuk terakhir kalinya.
Sementara itu di ruangan lain terlihat seorang pria sedang duduk dengan gagah di kursi kerja kebesarannya.
Pria itu nampak menembak beberapa kali foto seseorang yang terpatri di dinding depannya hingga hancur tak berbentuk.
"Tuan." sapa seseorang yang baru saja masuk, namun sang tuan terus saja melesatkan pelurunya hingga tak bersisa.
"Maaf tuan saya datang terlambat." James terlihat berantakan dengan kemeja penuh noda darah, matanya nampak menatap bingkai foto yang baru saja terjatuh setelah tuannya itu melesatkan peluru terakhirnya.
Di atas meja tuannya itu nampak beberapa senjata api tertata rapi di sana.
"Apa sudah kamu bereskan mayat-mayat mereka ?" William menoleh menatap asistennya itu.
"Sudah tuan dan saya pastikan pihak berwajib tidak akan bisa mengendus peristiwa tadi sore." sahut James meyakinkan.
"Bagus." William mengangguk-anggukkan kepalanya, segala sepak terjangnya selalu berhubungan dengan dunia hitam dan ia paling malas berurusan dengan polisi.
Tak berapa lama tiba-tiba pintu ruangan kerjanya di buka dengan kasar.
"Siapa kamu? Kenapa kamu menculikku ?" teriak Merry saat melihat William, gadis itu nampak melangkahkan kakinya mendekati pria itu.
"Nona, bersikaplah sopan pada tuan William !!" teriak James yang tak terima saat gadis belia itu berteriak pada tuannya.
Saat melihat James, Merry langsung menghentikan langkahnya.
"Kamu ?" hardiknya menatap James, gadis itu nampak tak percaya saat melihat pria itu.
"Bukankah kamu pria itu, kamu kan yang menembak Daddy dan Mommy ku ?" tuduh Merry, masih sangat jelas dalam ingatannya jika pria di hadapannya itu adalah salah satu dari mereka yang ia lihat telah menembak kedua orang tuanya tadi sore.
Mendengar ucapan gadis belia itu James dan William nampak saling melirik.
"Nona, anda....." James menjeda ucapannya saat Merry menyela perkataannya.
"Kalian adalah pembunuh." pekik Merry menatap James dan William bergantian.
Kemudian Merry melangkah mendekati meja William dan tanpa pria itu sangka gadis itu dengan cepat mengambil sebuah senjata api yang ada di atas meja lalu mengarahkan padanya.
"Katakan di mana Mommy dan Daddy ku ?" teriak Merry seraya menarik pelatuk senjata apinya dan bersiap melepaskan pelurunya ke arah William.
William yang sedang duduk di kursinya nampak santai, pria itu seakan tak terancam saat sebuah senjata api siap menghabisinya kapan pun.
"Apa kamu melihat saya membunuh orang tuamu ?" ucap William dengan nada dingin, tatapannya tajam ke arah gadis belia yang sedang menodongkan senjata api ke arahnya itu.
"Aku tidak melihatmu tapi aku melihat dia menembak Daddy, pasti kamu yang sudah menyuruhnya kan ?" tuding Merry dengan berteriak menatap James dan William bergantian.
"Jauhkan senjatamu, karena itu hanya akan melukaimu." ucap William lagi-lagi dengan nada dingin namun itu justru membuat Merry semakin bersemangat untuk melepaskan tembakannya.
"Tidak akan, kamu harus mati di tanganku." Merry langsung melepaskan pelatuk senjata apinya dan bersamaan itu James juga melesatkan pelurunya hingga senjata yang Merry pegang terpental jauh.
"Tuan, anda baik-baik saja ?" James nampak khawatir saat lengan tuanya itu mengucur darah segar.
Sementara Merry langsung di tangkap oleh beberapa bodyguard yang baru masuk saat mendengar suara keributan di ruangan tuannya.
"Dasar bajingan, kenapa kau tidak mati saja." teriak Merry menatap tajam William.
"Bawa gadis itu ke kamarnya dan jangan biarkan berkeliaran !!" perintah William pada para bodyguardnya.
Setelah Merry di bawa pergi oleh anak buahnya, William nampak melepaskan kemejanya lalu mengikat lengannya yang terluka dengan kain.
"Beruntung peluru hanya sedikit mengenai kulit anda tuan, lagipula kenapa anda membiarkan gadis itu menembak anda ?" ucap James seraya mengikat kain di lengan tuannya itu.
"Aku sudah menghindar James, tapi aku juga ingin melihat seberapa ahli gadis itu menggunakan senjata." sahut William dengan wajah meringis saat merasakan nyeri di lengannya.
"Dan anda sudah tahu sekarang ?" James nampak geleng-geleng kepala.
"9 dari 10 dan mulai sekarang kamu harus lebih waspada lagi." ujar William sambil terkekeh.
"Anda seperti memelihara monster kecil, tuan." ucap James.
"Dan monster kecil itu akan menjadi nyonyamu." sahut William yang langsung membuat James yang sedang memungut peluru di lantai nampak melebarkan matanya.
"Jadi anda sudah memutuskannya ?" tanyanya dengan serius.
"Hm." William mengangguk pelan.
"Anda benar-benar memberikan saya pekerjaan tambahan." ucap James setengah menggerutu.
"Itu gunanya aku membayar mu mahal James dan mulai sekarang sterilkan tempat ini dari benda tajam, karena bisa saja monster kecil itu tiba-tiba akan memangsamu." imbuh William seraya beranjak dari duduknya lalu melangkahkan kakinya keluar meninggalkan asistennya itu.
Beberapa saat kemudian Merry nampak protes saat beberapa pelayan memakaikan gaun pengantin padanya.
"Tolong patuhlah nona, kalau tidak tuan bisa menghabisi kami." mohon seorang pelayan paruh baya saat Merry menolak mengenakan pakaian tersebut.
"Benar nona." ucap pelayan satunya lagi yang langsung di angguki oleh yang lain.
"Aku tidak mau menikah dengan bajingan itu." Merry bersikeras menolak.
Tak berapa lama kemudian William masuk ke dalam kamar tersebut dan berjalan mendekati gadis belia yang sepertinya baru usai membersihkan dirinya atau lebih tepatnya di paksa untuk membersihkan tubuhnya.
"Patuh atau mereka semua akan saya habisi di depanmu sekarang juga." lirih William tepat di telinga Merry yang sontak membuat gadis itu berbalik badan menatapnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!