Zaki, putra sulung ayah Yusuf dan bunda Fatima yang baru saja mengikuti wisuda di kampus, membulatkan tekadnya untuk menerima tantangan dari orang tua gadis yang dia cintai.
Gadis berhijab adik tingkat Zaki yang bernama Delia, yang berasal dari negara sang ibunda, Indonesia. Gadis cantik dan cerdas, yang sudah sangat lama di incar oleh sulung dari keluarga Yusuf tersebut.
"Ayah, Bunda, boleh ya Zaki belajar di pesantren dahulu barang setahun? Setelah selesai dari pesantren, Zaki janji akan melanjutkan kuliah sesuai anjuran Ayah dan Bunda." Pinta Zaki memelas, kala sang ayah nampak kurang setuju dengan permintaan orang tua Delia yang menuntut sesuatu, yang dirasa ayah Yusuf memberatkan sang putra.
"Biar sajalah Ayah, Bang Zaki biar belajar di pesantren dulu dan membuktikan pada ayah gadis itu, bahwa Abang mampu menjadi pendamping yang baik untuk Delia." Bujuk bunda Fatima, yang tidak tega melihat sang putra terlihat bersedih.
"Tapi Bun, syarat dari beliau itu sangat berat lho? Apalagi sebelumnya, Abang kan belum memiliki dasar tentang ilmu nahwu dan shorof sama sekali!" Tegas ayah Yusuf.
"Ayah lupa ya? Dulu kan tantangan dari papa juga sangat berat buat Ayah? Tapi Ayah Yusuf yang ganteng dan hebat, mampu membuktikan pada papa Sultan kalau Ayah pantas untuk bersanding bersama Bunda kan?" Bunda Fatima mengingatkan perjuangan sang suami kala itu, sambil melancarkan rayuan maut.
Ayah Yusuf tersenyum lebar, tapi sedetik kemudian kembali serius. Ayah tiga anak itu menghela nafas panjang, "tapi kan beda Bun, tantangan dari papa dulu itu sesuai dengan bidang yang Ayah tekuni? Nah, kalau Bang Zaki kan enggak Bun?" Ayah Yusuf masih nampak keberatan.
"Bukan apa-apa Bang Zaki, Ayah cuma enggak mau kamu jadi frustasi jika ternyata nanti Abang tidak bisa menyelesaikan tantangan dari kyai Hasan." Tutur ayah Yusuf, menatap sang putra dengan penuh kasih.
Zaki menggeleng, "Zaki akan berusaha semampu Zaki saja Ayah dan jika ternyata Zaki kurang beruntung, insyaAllah Zaki ikhlas menerimanya," ucap Zaki dengan yakin.
"Ya sudah lah, terserah Bang Zaki saja. Ayah dan Bunda cuma bisa mendoakan yang terbaik untuk Bang Zaki." Pungkas ayah Yusuf yang akhirnya mengijinkan sang putra, yang hendak menuntut ilmu di pesantren.
"Memangnya, Abang sudah punya referensi mau mondok di pesantren mana?" Bunda Fatima menatap sang putra seraya mengernyitkan dahi.
Zaki menggeleng, "belum Bun," balas Zaki, "nanti Zaki tanya dulu sama Delia," lanjutnya.
"Jangan, nanti biar Bunda telepon kakek Ilyas. Beliau pasti tahu, pesantren mana yang baik untuk Abang. Kalau Bunda enggak salah dengar, teman-teman kakek Ilyas banyak yang memiliki pesantren," terang bunda Fatima.
"Ya, terserah Bunda saja deh. Zaki ikut apa kata Bunda," balas Zaki patuh.
*****
Sehari sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Singapura, Zaki menyempatkan diri untuk menemui gadis berhijab yang merupakan putri dari kyai pengasuh pondok pesantren di daerah pantura Jawa Tengah.
Zaki tak datang sendiri, tapi mengajak serta sang adik, Fira, untuk menemani dirinya. Karena sang pujaan hati, tak pernah mau menemui Zaki jika tidak ada teman wanita diantara mereka berdua. Ya, Delia Zahwa begitu ketat menjaga pergaulan diri sesuai dengan nasehat sang abi dan sang umi.
Tok.. tok.. tok..
"Assalamu'alaikum," ucap salam Zaki, setelah mengetuk pintu apartemen tipe studio dimana gadis yang ditaksir putra sulung ayah Yusuf itu tinggal.
Ceklek,,,
Tak berapa lama, pintu pun dibuka dari dalam. Seorang gadis berhijab dengan kulit putih bersih dan berhidung mancung, tersenyum lebar menyambut kedatangan Zaki dan Fira.
"Wa'alaikumsalam," balas Delia dengan membuka pintu lebar-lebar.
"Bang Zaki, Fira,, ayo silahkan masuk," ajaknya dengan ramah, mereka bertiga pun kemudian masuk kedalam apartemen berukuran kecil tersebut dan langsung menuju balkon.
Delia merasa lebih nyaman jika menjamu tamunya di balkon, daripada duduk di sofa yang berada di ruangan yang sama dengan ranjang tidur dan tanpa sekat.
Hanya Zaki, satu-satunya laki-laki yang pernah masuk kedalam apartemen milik Delia. Itupun bersama Fira, yang merupakan adik tingkat sekaligus sahabat dekat Delia sejak dua tahun yang lalu, ketika Fira baru masuk kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan gadis pujaan Zaki tersebut.
"Sebentar ya, aku ambilkan minum dulu. Bang Zaki, mau aku buatkan kopi?" Delia menatap Zaki dengan tersenyum manis, sebelum melangkah meninggalkan balkon.
Zaki mengangguk dan membalas senyum Delia dengan hangat, "boleh Dik, gulanya jangan banyak-banyak ya?" Pinta pemuda tampan itu.
Fira mengernyitkan dahi, "memangnya kenapa Bang? Bang Zaki kan, enggak suka sama kopi pahit?" Fira merasa heran.
"Karena yang membuat kopi sudah manis, Dik." Balas Zaki seraya melirik Delia, yang langsung beranjak masuk kedalam dengan wajah merona merah.
"Cie,, yang lagi kasmaran," goda Fira seraya tersenyum mengejek.
"Halah Dik, kayak kamu enggak aja. Kamu aja kalau dapat chat dari Dion senyum-senyum sendiri kan?" Balas Zaki, sambil menyentil pelan hidung mancung sang adik.
"Aw, Abang,,, sakit tau?" Protes Fira, sambil mengusap hidungnya yang kena sentilan sang abang.
"Kalian ini akrab banget ya? Kalau yang enggak tahu bahwa kalian kakak-beradik, pasti akan menyangka kalau kalian adalah sepasang kekasih." Ucap Delia, yang baru muncul sambil membawa baki berisi tiga gelas kopi dan toples berisi camilan ringan.
Zaki dan Fira hanya tersenyum karena memang benar apa yang diucapkan oleh Delia, bahwa mereka berdua sering di anggap sebagai sepasang kekasih. Usia keduanya yang terpaut hanya dua tahun, membuat kedekatan Zaki dan Fira bukan hanya selayaknya kakak-beradik tapi juga seperti sahabat.
"Silahkan di minum Bang, Fir," ucap Delia, sambil ikut duduk di salah satu kursi dan mengambil jarak agak jauh dari Zaki.
"Makasih Del," balas Fira, yang langsung membuka toples dan memakan isinya tanpa sungkan. Karena Fira sudah terbiasa main di apartemen kakak tingkatnya itu, tanpa Zaki.
"Dik Lia, kedatanganku kemari untuk pamitan sama kamu," ucap Zaki, sesaat setelah menyeruput kopinya yang terasa nikmat. Entah kopi itu yang benar-benar enak, atau suasana hati Zaki yang sedang berbunga-bunga karena berdekatan dengan sang pujaan hati hingga membuat apapun yang masuk kedalam mulutnya terasa nikmat.
"Bang Zaki serius?" Delia menatap Zaki dengan tatapan menyelidik, "Delia takut, Bang Zaki akan kecewa nantinya jika ternyata apa yang Bang Zaki harapkan tidak sesuai dengan kenyataan," lanjut gadis berhijab itu.
Zaki menggeleng, "setidaknya, aku telah berusaha untuk memperjuangkan kamu Dik." Balas Zaki meyakinkan.
Delia hanya bisa mengangguk pasrah, "silahkan, terserah bagaimana baiknya menurut Bang Zaki," ucap Delia lirih. Putri kyai Hasanuddin itu merasa kurang yakin bahwa Zaki akan berhasil menyelesaikan tantangan dari sang ayah dalam waktu satu tahun, atau hingga dirinya selesai kuliah dan di wisuda.
"Kenapa Dik? Kamu enggak yakin dengan kemampuanku?" Zaki yang bisa menangkap keraguan di mata Delia bertanya, "percayalah Dik, Aku akan berusaha semampuku agar kita bisa mendapatkan restu dari abi dan juga eyang kamu," lanjut Zaki sungguh-sungguh.
Delia menggeleng pelan, "bukan itu Bang, Delia yakin Bang Zaki insyaAllah bisa menyelesaikan dengan baik dan tepat waktu. Tapi alangkah lebih baik, jika kita tetap menyandarkan semua kepada Allah semata bukan?" Delia menatap Zaki dengan tatapan gamang, ada keraguan yang mengusik relung hati gadis itu. Namun gadis berhijab dan berkulit putih bersih itu, tak tahu apa penyebabnya.
"Ya, kamu benar Dik. Tapi aku tetap memiliki keyakinan, bahwa kita akan bisa bersama," balas Zaki yang tetap yakin, yang diaminkan oleh Fira dan juga Delia dalam hati.
"Aamiin,,,"
"Kapan, Bang Zaki akan berangkat?" Delia kembali menatap laki-laki yang selama ini berusaha untuk mendekati dirinya itu.
"InsyaAllah besok menuju Jakarta, dan lusa baru ke pesantren." Balas Zaki mantap
"Pesantren mana Bang?" Delia kembali bertanya.
Zaki menggeleng pelan, sambil tersenyum. "Belum tahu Dik, kakek yang akan mengantar aku ke sana. Kata kakek, pesantren itu milik temannya sewaktu masih kuliah di Yogya dulu," balas Zaki.
Delia mengangguk-angguk, "berangkatlah Bang, semoga Allah memudahkan segala urusan Bang Zaki," do'a Delia dengan tulus, meski keraguan masih menyelimuti hati gadis berhijab itu.
🌸🌸🌸🌸🌸 bersambung 🌸🌸🌸🌸🌸
Makasih yang sudah hadir di karya ke_enamku ini 🙏🙏
Jika kalian suka dengan kisah bang Zaki, jangan lupa berikan rating bintang lima dan tuliskanlah sesuatu untuk menyemangatiku 😊😊
Berikan juga dukungan kalian, dengan cara like, komen, vote dan kasih hadiah yang banyak ya bestie... dan klik juga tombol hati/ masukkan favorit, karena aku menulis kisah ini dengan sepenuh hati 🥰🥰
Tapi sebelumnya, aku sarankan untuk membaca novel "All About KEVIN" terlebih dahulu,,, biar nyambung dengan kisah bang Zaki 😉😉
Happy Reading bestie,,, 🤗😘
Keesokan harinya, Zaki yang akan berangkat ke Jakarta hanya ditemani oleh Fira, berpamitan pada ayah dan bunda serta opa Sultan dan oma Sekar.
Tadinya sang ibunda hendak ikut menemani ke Jakarta, karena ayah Yusuf juga tidak bisa mengantarkan putra sulungnya tersebut sebab hari ini ada tamu dari Arab Saudi yang akan berkunjung ke perusahaan.
Namun si bungsu, Annas, mendadak demam sehingga bunda Fatima tidak tega jika meninggalkan putranya di rumah hanya dengan opa Sultan dan oma Sekar.
"Bang, hati-hati ya Abang di sana. Jaga diri Abang baik-baik," lirih bunda Fatima, seraya memeluk putra sulungnya. Sungguh, bunda yang masih terlihat sangat cantik dan awet muda di usia yang menjelang setengah abad itu sejujurnya sangat berat melepas kepergian sang putra.
Putra pertama yang selama ini tak pernah jauh dari sisinya dan hidup berkecukupan bahkan bergelimang harta. Tetapi demi menggapai asa, sang putra sejenak harus menepi dari dunia hingar bingar yang penuh dengan kesenangan fatamorgana ini.
Meski orang tuanya mampu menggaji seorang ustadz untuk mengajari Zaki mengaji di rumah, namun putra sulung keluarga Yusuf itu menolak dan dia memilih jalan hidupnya sendiri.
Pemuda berbadan atletis itu menyanggupi tantangan dari ayahnya Delia Zahwa, dengan menuntut ilmu di pesantren yang penuh dengan kesederhanaan. Makan dan tidur dengan seadanya, dan berpakaian pun juga dengan cara yang sederhana.
"Iya Bunda, Zaki insyaAllah bisa jaga diri dengan baik. Bunda jangan sedih gini dong, Zaki kan udah dewasa Bun?" Protes Zaki, seraya melerai pelukan sang bunda.
Pemuda yang wajahnya mirip sang ayah itu, kemudian mengusap air mata ibunda tercinta dengan ibu jarinya, "tapi meskipun Bunda nangis, Bunda tetap yang paling cantik," puji Zaki dan kembali memeluk sang ibunda, yang membuat bunda Fatima berhenti menangis dan kemudian tersenyum.
"Wanita cantik itu istri ku Bang, jangan merayunya," tegur ayah Yusuf yang berdiri tepat di belakang Zaki, hingga membuat semua yang berada di sana tertawa.
"Dih, Ayah. Sama anak sendiri saja, cemburu?" Protes Fira, sambil memeluk sang ayah. "Ayah sama Fira saja Yah," lanjut Fira, seraya tersenyum.
"Enggak, enggak. Ayah enggak mau di tonjok sama Dion," canda ayah Yusuf, tapi tetap dengan membalas pelukan sang putri dan mencium puncak kepala Fira dengan penuh kasih. Mereka semua pun kembali tertawa, termasuk opa Sultan dan oma Sekar yang berbahagia melihat keharmonisan rumah tangga putri sulungnya.
"Udah Bang, lepasin istri Ayah," pinta ayah Yusuf, "ayo, Ayah akan antar kalian sampai ke bandara," lanjut ayah tiga anak itu.
Setelah melepaskan pelukan dengan sang ibunda, Zaki kemudian berpamitan pada opa Sultan dan oma Sekar.
Oma Sekar hanya memeluk cucu pertamanya dengan erat tanpa mampu berkata-kata, hanya air mata yang mewakili perasaan wanita yang sudah berusia senja tersebut.
Sedangkan opa Sultan terlihat lebih tegar, "Opa akan kehilangan lawan bermain catur," tutur opa berwajah bule itu seraya memeluk sang cucu.
"Bukan kehilangan Opa, Zaki pergi hanya sepuluh purnama kok. Zaki janji, begitu pulang nanti.. Zaki akan membawakan Opa cucu menantu yang sangat cantik. Orang Jawa asli Opa, yang kecantikannya sama seperti Oma," balas Zaki yang kembali berkata manis dan kali ini ditujukan kepada oma Sekar, seraya tersenyum melirik sang oma yang juga tengah tersenyum kepada dirinya.
"Aamiin,,," dan semua mengaminkan do'a Zaki tersebut kecuali ayah Yusuf yang nampak sedang berfikir.
"Sebaiknya luruskan niat Bang Zaki, niatkan saja untuk menuntut ilmu. Jika keinginan Abang terkabul, anggap itu sebagai hadiah dari Allah karena Bang Zaki telah belajar dengan sungguh-sungguh. Dan jikalau apa yang Bang Zaki inginkan belum dapat terwujud, insyaAllah Abang tidak akan larut dalam kekecewaan dan kesedihan," nasehat ayah Yusuf pada sang putra, seraya menepuk punggung kokoh Zaki.
Semua yang berada di ruang keluarga itu mengangguk setuju, dengan apa yang di nasehat kan oleh ayah Yusuf tersebut, termasuk Zaki sendiri.
"Ya Ayah, terimakasih atas nasehat Ayah. InsyaAllah Zaki niatkan untuk menuntut ilmu, dan nanti di sana ponsel juga akan Zaki non aktifkan. Mungkin hanya di hari tertentu, Zaki baru akan mengaktifkan ponsel agar bisa fokus dalam belajar," balas Zaki, yang kembali membuat bunda Fatima bersedih.
"Kalau bunda kangen, enggak bisa telepon Abang sewaktu-waktu dong?" Protes bunda Fatima, dengan air mata yang kembali menetes.
"Bunda bisa peluk Ayah, kalau kangen sama Abang. Kami berdua kan mirip?" Tutur ayah Yusuf seraya tersenyum, dan langsung memeluk pundak sang istri.
"Kalau itu sih, modusnya Ayah," cibir Fira, yang dibenarkan oleh Zaki.
"Ayah kita kan, juaranya Dik kalau modus me-modus," timpal Zaki, dan semuanya kembali tertawa.
"Abang, kalau Anas udah sehat, boleh berkunjung ke pesantren Abang kan?" Tanya Anas, yang tiba-tiba keluar dari kamar dan menghentikan tawa mereka semua.
"Boleh dong, nanti sama Ayah sama Bunda. Kita sama-sama menyambangi Abang," balas bunda Fatima, dengan tersenyum hangat.
"Opa dan Oma juga ikut ya? Oma kan juga pengin lihat seperti apa pesantren tempat Abang belajar agama?" Pinta oma Sekar.
"Iya Oma, kita ramai-ramai ke sananya. Pasti bakalan seru," balas Anas dengan antusias.
"Makanya, Adik cepat sehat ya." Zaki memeluk adik bungsunya dengan penuh kasih, dan Anas mengangguk dalam pelukan abang sulungnya tersebut.
"Sudah belum acara pamitannya? Ayo berangkat," kembali ayah Yusuf mengajak putra dan putrinya, untuk segera berangkat ke bandara.
Dert,, dert,,
Getaran ponsel bunda Fatima yang menggelepar di atas meja, membuat perhatian bunda dengan tiga anak itu beralih pada benda pipih tersebut dan segera mengambil ponselnya.
Bunda Fatima mengernyitkan dahi, "bentar Yah, si Rey video call," ucap bunda Fatima, seraya menerima panggilan video dari adik laki-lakinya itu.
"Assalamu'alaikum Kak," ucap salam daddy Rehan, dengan senyumnya yang khas.
"Wa'alaikumsalam Rey," balas bunda Fatima dan semua yang berada di sana dengan kompak.
"Lho, kok Kak Fa belum siap-siap? Katanya, Zaki mau ke Jakarta sekarang?" Tanya daddy Rehan, yang nampak bingung melihat sang kakak masih mengenakan baju rumahan.
"Zaki berangkat cuma berdua sama Fira Rey, Kakak enggak jadi ikut karena Annas demam," balas bunda Fatima.
"Loh, Mama sama Papa juga enggak ikut?" Tanya daddy Rehan kembali.
Bunda Fatima menggeleng, dan kemudian mengarahkan kamera ponsel pada sang mama.
Oma Sekar tersenyum hangat menatap sang putra melalui layar ponsel, "Mama enggak ikut, lain kali saja kalau Annas sudah sehat kami ke Jakarta sekalian ke pesantren Zaki," tutur oma Sekar dengan lembut.
"Yah Mama, Rey kan kangen sama Mama?" Rajuk daddy Rehan seperti anak kecil.
"Ya ampun Rey, udah mau punya cucu juga masih kolokan saja kamu," cibir bunda Fatima, "lagian beberapa hari yang lalu, saat Zaki di wisuda kan udah ketemu?" Lanjut bunda Fatima.
"Yah Kak, namanya juga kangen. Mana ada orang kangen perhitungan soal waktu?" Balas Daddy Rehan, dengan mimik yang masih merajuk.
Opa Sultan memberi kode pada bunda Fatima agar layar ponselnya diarahkan pada beliau, dan putri sulung keluarga Alamsyah itu pun menurut.
"Hai, Rey... kenapa yang kamu kangenin itu yang cantik-cantik saja? Memangnya, kamu tidak kangen sama yang ganteng maksimal seperti Papa?" Protes opa Sultan, dengan mimik yang serius.
"Ya kangen lah Pa, tapi dikit. Sedikit saja ya Pa," balas daddy Rehan dengan menekankan pada kata sedikit, dan kemudian terkekeh.
"Hahaha,,," opa Sultan pun terkekeh pelan, "pilih kasih kamu Rey," balas opa Sultan masih dengan tawanya, dan oma Sekar pun ikut terkekeh.
Sedangkan yang lain tersenyum.
"Eh, Rey. Tolong besok kamu ikut antar Zaki ke pesantren ya? Karena Kakak dan Bang Yusuf enggak bisa mengantar," pinta bunda Fatima, setelah tawa mereka mereda.
"Iya Rey, Zaki kan anak Kamu juga," timpal ayah Yusuf.
"Mana bisa begitu Bang! Abang dan Kakak yang berbuat dan mengecap nikmat, masak aku yang harus bertanggung jawab?" Balas daddy Rehan dengan tergelak, yang langsung mendapatkan protes keras dari bunda Fatima dan ayah Yusuf.
"Rey! Ada bocil di sini!
🌸🌸🌸🌸🌸 bersambung 🌸🌸🌸🌸🌸
Hai bestie, pagi ini aku bawa karya dari temen.
Author : Enis Sudrajat.
Judul : CINTA DI ATAS PERJANJIAN
Zaki dan Fira telah tiba di bandara Internasional Soekarno-Hatta, dan mereka berdua di jemput oleh Kevin dan Dion.
"Bang Zaki mau langsung ke tempat kakek dan nenek, atau mau singgah dulu di tempat ku?" Tanya Kevin, sesaat setelah mobil yang dikendarainya melaju meninggalkan kawasan bandara.
"Langsung ke tempat kakek dan nenek aja Dik, ada banyak hal yang ingin aku tanyakan pada kakek," balas Zaki.
"Atau, kamu mau jemput istri kamu dulu Dik? Kalau mau jemput dik Salma dulu, enggak apa-apa kita ke tempat kamu dulu," lanjut Zaki, bertanya.
Kevin menggeleng, "enggak usah Bang, nanti malah muter-muter. Biar Salma nanti bareng sama Bayu dan Devi," balas Kevin.
Zaki menoleh ke belakang, dimana sang adik dan Dion duduk bersama. "Kok, pada diem-dieman? Katanya kangen?" Goda Zaki pada sang adik, hingga membuat pipi Fira merona merah seperti buah tomat.
"Ih Abang, apaan sih?" Protes Fira yang tersipu malu, sedangkan Dion tersenyum senang.
"Abang juga kangen Neng," bisik Dion, membuat jantung Fira berdegup kencang.
"Jangan dekat-dekat Bro," tegur Zaki seraya kembali menatap ke depan, kearah jalan raya.
Dion dan Fira saling pandang sesaat, dan kemudian tersenyum bersama.
Sementara Zaki kembali terlibat obrolan serius dengan Kevin mengenai banyak hal, hingga tanpa terasa mobil yang dikendarai Kevin berbelok menuju hunian keluarga Antonio yang halamannya sangat luas.
Zaki dan Fira segera turun, yang disusul oleh Kevin dan Dion. Kedatangan Zaki dan Fira, yang memang sudah di tunggu oleh keluarga besar Antonio tersebut disambut hangat oleh mereka semua di teras rumah megah itu.
"Bang Zaki, cuma bawa koper ini doang?" Tanya Malika, ketika Zaki berjalan menuju ke teras sambil menyeret travel bag berukuran sedang.
Zaki mengangguk, "iya, kenapa Dik?" Balas dan tanya Zaki, seraya memeluk adik sepupunya.
"Katanya, Abang mau satu tahun di pesantren?" Tanya Malika kembali, "masak cuma bawa baju satu koper?" Malika mengernyitkan kening dengan dalam, tanda tak mengerti.
Zaki tidak menjawab, tapi melanjutkan menyalami daddy Rehan.
"Bang Zaki kan mau belajar ngaji Kak Icha, bukan mau ikut fashion show? Ya, ngapain bawa baju banyak-banyak?" Balas om Ilham yang mewakili Zaki dengan asal, yang mengundang gelak tawa saudaranya yang lain.
"Kamu itu lho Ham, Icha kan belum tahu dunia pesantren itu seperti apa? Ya wajar sajalah, kalau Dia bingung kenapa Zaki cuma bawa baju segitu?" Bela daddy Rehan pada sang putri, setelah melepaskan pelukannya pada Zaki.
"Iye, iye,, belain aja terus Putri kesayangan," balas om Ilham dengan mencibir, seraya memeluk Zaki.
Zaki hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum, dan melanjutkan menyalami saudaranya yang lain. Begitupun dengan Fira, yang ikut menyalami satu persatu anggota keluarga Antonio.
"Ya masak iya harus bela kamu Ham? Pasti ogah Si Rey?" Sahut om Devan seraya terkekeh.
"Padahal dulu, Bang Rehan paling sayang lho Bang sama Ilham," adu om Ilham pada om Devan.
"Itu karena kamu dimanfaatin Ham, bukan karena di sayang?" Balas om Alex, "kamu disuruh momong Si Kevin tuh, agar Dia bisa senang-senang sama Mbak Billa," lanjut om Alex seraya menunjuk Kevin.
Om Alex kemudian tersenyum sambil geleng-geleng kepala, mengenang kembali bagaimana dulu mereka semua di buat pusing karena harus momong bocah yang cerdas seperti Kevin.
Opa Alvian dan om Devan yang juga pernah mendengar cerita dari om Alex tentang hal itu pun, terkekeh kecil.
"Iya, ya. Baru nyadar aku, kalau ternyata dimanfaatin," balas om Ilham seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "jadi dulu, Ilham sering dikasih uang jajan lebih tuh, karena Ilham udah sukses jadi baby sitternya Kevin kah?" Lanjut om Ilham bertanya seperti orang bodoh, hingga membuat semua yang di sana tertawa termasuk daddy Rehan.
"Kalau gitu, uang jajan buat Ilham kurang Bang," tagih om Ilham tanpa malu-malu, seperti biasa.
Bunda Jihan yang melihat kelakuan sang suami, hanya senyum-senyum. Wanita cantik dengan balutan busana yang selalu modis itu tahu pasti, bahwa suaminya tak benar-benar serius meminta tapi hanya bercanda.
Sedangkan kakek Ilyas dan nenek Lin geleng-geleng kepala dan kemudian segera mengajak Zaki dan Fira untuk masuk, yang diikuti oleh semua cucu-cucunya termasuk Kevin dan Dion yang nempel terus sama Fira semenjak datang tadi.
"Kalau gitu, kantor yang di Tangerang biar diambil alih sama Kevin saja. Nanti uang jajan kamu Abang tambah sepuluh kali lipat, gimana Ham?" Tantang daddy Rehan.
Opa Alvian, om Alex dan om Devan terkekeh seraya geleng-geleng kepala, mendengar tawaran daddy Rehan yang pasti akan ditolak oleh om Ilham tersebut.
Mereka kemudian masuk kedalam menyusul yang lain bersama istri-istrinya, bunda Jihan pun ikut masuk kedalam meninggalkan sang suami yang masih berdebat dengan daddy Rehan.
"Ih ogah! Meski Abang kasih tambahan uang jajan seratus kali lipat pun, Ilham tetap pilih kantor yang di Tangerang," balas om Ilham dengan mengerucutkan bibirnya.
"Tumben cerdas," cibir daddy Rehan.
"Udah, udah,, ribut terus kalau ketemu," mommy Billa menengahi perdebatan kecil antara suami dan adik bungsunya itu, "ayo Dad, yang lain sudah pada masuk tuh," lanjut mommy Billa mengajak sang suami untuk segera masuk kedalam, menyusul keluarganya yang lain.
"Mbak, kok Ilham enggak di ajak?" Rajuk om Ilham, yang hanya dibalas mommy Billa dengan melambaikan tangan. Adik bungsu mommy Billa itu kemudian berjalan cepat, menyusul langkah daddy Rehan dan mommy Billa yang sudah masuk terlebih dahulu.
Sementara Zaki langsung dibawa kakek Ilyas menepi ke teras paviliunnya, dan tak boleh ada yang mendekat. Nenek Lin juga ikut bersama suami dan cucu dari opa Sultan tersebut, yang kemudian di susul oleh mommy Billa.
Mereka berempat terlihat serius mengobrol, hingga tak ada satu pun yang berani mengganggu termasuk daddy Rehan yang memilih bergabung bersama geng tampan.
Opa Alvian tadi langsung mengajak sahabat-sahabatnya menuju gazebo, tempat favorit mereka untuk mengobrol. Bergabung juga di sana om Ilham, yang baru saja datang.
"Rey, kok Lu enggak ikut perundingan meja kotak?" Tanya opa Alvian sambil melihat kearah teras paviliun sang kakak, dimana kakak iparnya nampak tengah serius memberikan wejangan pada Zaki.
"Daddy Rehan menggeleng, "gue ngikut aja, gimana hasil rapat mereka nanti," balas daddy Rehan.
"Meja kotak? Mana ada perjanjian meja kotak? Yang ada meja bundar kali?" Protes om Devan.
"Lu liat deh Dev, yang di sana mejanya kotak apa bundar?" Tanya opa Alvian seraya menunjuk kearah teras paviliun sang kakak.
"Kotak," balas om Devan singkat.
"Terus, salah gue dimana?"
Om Devan menggeleng, "iya Bang, Lu benar. Meja kotak," balas om Devan, "orang tua tuh gitu ya, mau nya selalu benar," lanjutnya menggerutu.
"Maksud lu? Gue udah tua gitu?" Protes opa Alvian.
"Yah, diantara kita berempat kan, Bang Vian yang paling tua? Dah gitu, udah punya cucu banyak lagi? Masak enggak mau dibilang tua?" Balas om Devan pura-pura serius.
"Ya jangan tua juga kali Dev? Senior, begitu kan terdengar lebih merdu," balas opa Alvian seraya terkekeh, dan mendapat cibiran dari semuanya terutama om Ilham.
"Yah, om. Kalau tua, mah,, tua aja. Pakai senior-senioran segala?" Cibir om Ilham, hingga membuat mereka semua kemudian tertawa bersama.
"Lu besok jadi ikut ngantar Zaki ke pesantren Rey?" Tanya om Devan sesaat setelah tawa mereka mereda, seraya menatap sahabatnya itu.
Daddy Rehan mengangguk, "iya, tadi kak Fatima berpesan agar gue ikut dan memasrahkan Zaki pada pak kyai," balas daddy Rehan.
"Senengnya ya, kalau punya anak yang sholih macam Zaki?" Gumam om Devan, "andai ya Rey, Zaki itu anak gue sama kakak Lu.. pasti gue bahagia banget," lanjutnya seraya tersenyum, membayangkan hal yang sudah tidak mungkin terjadi.
"Woi, bangun! Istri Lu, si Lusi mau di kemanain?" Seru om Alex tepat di telinga om Devan, hingga membuat om Devan tersentak kaget.
Opa Alvian dan daddy Rehan yang menjadi saksi bagaimana dulu om Devan mengejar cinta bunda Fatima, geleng-geleng kepala.
"Astaghfirullah,,," ucap om Devan beristighfar, "gue kan cuma bercanda Lex, Lu teriaknya kenceng banget! Sampai pecah gendang telinga gue!" Protes om Devan, yang hanya dibalas om Alex dengan mengedikkan bahunya.
"Bercanda Lu, enggak lucu!" Balas om Alex, dan om Devan hanya tersenyum nyengir.
🌸🌸🌸🌸🌸 bersambung 🌸🌸🌸🌸🌸
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!