Menikah dan membangun rumah tangga yang harmonis adalah harapan setiap pasangan. Menikah berarti ingin hidup bersama dan menua bersama. Tentunya dalam pernikahan, pasti ada pahit manisnya dan lika liku perjuangan untuk bisa tetap bertahan dalam mahligai rumah tangga itu sendiri. Dan menikah itu adalah ibadah seumur hidup bagi kedua pasangan suami istri.
Setiap pernikahan pasti memiliki ujian mereka masing masing. Ada yang menikah, punya anak tapi perekonomian mereka sangat sulit. Ada juga yang menikah, ekonomi lancar, tapi belum kunjung dikaruniai seorang anak. Dan ada juga yang menikah, ekonomi baik, anak pun ada maka ujiannya adalah kesetiaan dari masing masing pasangan.
Sebagai seorang perempuan yang pernah mengikuti pelatihan pra nikah, Rania paham betul tentang hal hal buruk yang mungkin akan terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Menjalani rumah tangga hampir tujuh tahun, sama sekali belum tergoncang masalah apapun. Rania dan Dimas suaminya, tidak pernah beradu pendapat sama sekali dalam enam tahun setengah menjalani biduk rumah tangga.
Perekonomian memang tidak terlalu baik, tapi mereka bisa mengatasi itu dengan dewasa. Rania tidak pernah meminta lebih dari apa yang bisa diberikan suaminya. Begitu pun sang suami, dia tidak pernah melarang Rania untuk membeli apapun yang dia suka selama uangnya cukup.
Begitu harmonis, keluarga itu. Meski begitu, tetap akan ada ujian untuk mereka. Dan benar saja, sampai saat ini mereka belum juga di karunia anak. Rania memiliki rahim dan hormon yang sehat menurut pengamatan medis, begitu juga sebaliknya, Dimas pun sehat dan memiliki benih yang bagus.
Tapi, yang namanya anak adalah titipan dari Allah kepada pasangan yang menikah. Jika belum diberi, berarti ada rencana lain dari-Nya untuk pasangan itu sendiri. Maka harus terus berusaha dan berdoa adalah kuncinya. Serta harus saling menerima dan tidak menyalahkan satu sama lain.
Rania dan Dimas pun begitu. Mereka tidak pernah menyalahkan satu sama lain atas keterlambatan mereka memiliki buah cinta mereka.
"Sayang!" Suara itu terdengar oleh Rania yang sedang bersiap untuk masak di dapur.
"Sayang, sayang… mas punya berita bagus."
Rania menoleh kearah sumber suara. Dilihatnya Dimas berlari ke arahnya dengan raut wajah yang tampak gembira.
"Sangking bahagianya sampai lupa ucapkan salam."
"O iya. Assalamualaikum istriku." Dimas mengucapkan itu sambil memberikan tangannya untuk dicium oleh Rania.
"Waalaikumsalam, mas."
"Mas senang banget sayaaang…" Memeluk erat tubuh Rania.
"Kamu tahu, doa doa kamu terkabul."
"Doa yang mana, mas?" Tanya Ranian yang masih belum mengerti mengapa suaminya sangat gembira.
"Doa supaya mas diberikan pekerjaan yang mapan dan gaji yang banyak."
"Mas naik jabatan?" Rania melepas pelukan suaminya agar bisa menatap wajah bahagia itu.
Dimas mengangguk senang, lalu memberi kecupan di kening dan seluruh wajah Rania.
"Alhamdulillah, mas. Memang jabatan apa?"
"Mas diangkat sebagai manejer keuangan, sayang."
"Tabarokallah, mas. Alhamdulillah." Rania ikut bahagia mendengar berita itu.
"Sayang nggak usah masak untuk makan malam. Kita akan makan malam romantis di restoran mahal malam ini."
"Memangnya mas ada uang?"
"Ada dong. Mas dapat gaji tambahan bulan ini sebagai hadiah diangkatnya mas jadi menejer keuangan." Memperlihatkan layar handhonenya yang disana terdapat laporan uang masuk ke rekeningnya hari ini.
"Mas sudah gajian hari ini?" Tanya Rania bingung. Dia lupa bahwa ini adalah hari gajian suaminya.
"Iya sayang. Ini tanggal satu loh, masak kamu lupa tanggal gajian suamimu."
"Hari ini sudah tanggal satu ya, mas?" Memeriksa layar handphone suaminya yang masih dipegangnya.
"Mmh, istriku keseringan dirumah aja jadi lupa deh sekarang tanggal berapa." Mencubit mesra puncak hidung Rania yang mancung.
"Hehe, maaf ya mas aku sering lupa tangga akhir akhir ini."
"Lupakan tentang itu. Sekarang, kita mandi, siap siap dandan yang cantik dan rapi." Menggendong tubuh Rania menuju latai atas dimana kamar mereka berada.
"Mas aku bisa jalan sendiri kok. Lagian mas kan masih capek, masak langsung gendong aku." Protesnya.
"Rasa capekku hilang seketika melihat wajah cantikmu, sayangku." Bisiknya menggoda Rania.
Tidak ada kebahagiaan yang lebih indah, selain kebahagiaan saat suami istri mampu menjaga rasa cinta kasih mereka untuk waktu yang lama. Dan selalu bercanda tawa bersama dan bersikap mesra pada pasangan adalah kunci keharmonisan pasangan suami istri.
Rania dan Dimas kini dalam perjalanan menuju restoran yang telah dipesan oleh Dimas tadi sore.
"Kamu cantik sekali malam ini, sayang."
"Mas juga tampil berbeda malam ini, tampilan seperti ini mengingatkan aku saat pertama kita bertemu dulu, mas." Rania melingkarkan tangannya di pergelangan tangan suaminya.
"I love you my wife." Dimas mencium puncak kepala Rania yang berlapis jilbab.
Rania semakin mengeratkan lingkaran tangannya di pergelangan tangan Dimas yang siaga mengendalikan setir mobil. Meski begitu, Dimas sama sekali tidak merasa terganggu oleh istri cantiknya itu.
Mobil mereka terus melaju berpacu dijalan raya. Mereka mengobrol dan sesekali melempar candaan agar perjalanan menuju restoran terasa menyenangkan.
"Berarti, puasa tahun ini kita bisa mudik dong, mas." Rania teringat mama mertua dan saudara saudara di kampung kelahiran suaminya.
"Iya sayang, mas juga rencananya memang harus bisa mudik lebaran tahun ini. Sudah tiga tahun nggak ketemu ibu rasanya kangen banget."
"Bicara lewat sambungan video call membuatku semakin merindukan ibu, mas." Sambung Rania.
"Kamu menelpon ibu hari ini?"
"Iya. Tadi tiba tiba saja teringat sama ibu, rupanya ibu juga rindu sama aku katanya."
"Ibu sehat sehat saja kan, sayang?"
"Alhamdulillah ibu sehat, mas. Ibu juga titip salam sayang penuh rindu buat anaknya Dimas Prasetio."
"Mas jadi semakin nggak sabar mau segera bertemu ibu." Raut wajah Dimas tampak sedih.
Rania membelai wajah suaminya untuk menenangkan rasa sedih bercampur kerinduan pada ibu yang tiga tahun tidak ditemuinya. Bukan tidak mau pulang kampung, tapi pekerjaan dan juga keuangan yang tidak mendukung untuk pulang kampung menjenguk ibunya.
Sementara, Rania sudah tidak punya kedua orang tua sejak lama. Ayahnya meninggal saat dia masih berusia empat belas tahun, lalu tujuh tahun lalu ibunya meninggal tepat sehari setelah pernikahannya dengan Dimas.
Bagi Rania ibu mertuanya adalah ibunya sendiri. Kasih sayangnya sangat banyak untuk ibu mertua yang juga sangat menyayanginya. Ibu mertua dan saudara saudara Dimas tidak pernah memojokkan Rania karena belum juga dikaruniai anak. Mereka bahkan mengatakan pada Rania bahwa mereka akan tetap mencintai Rania meski pada akhrinya Rania tidak bisa mempunyai anak.
Sungguh Rania merasa terharu dengan kasih sayang orang orang baik itu. Untuk membalas kebaikan itu, Rania selalu berusaha dan belajar menjadi istri yang terbaik dan patuh untuk Dimas. Dia mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar suaminya, dan dia akan memberikan suaminya cinta sebanyak dan bahkan jauh lebih banyak dari yang diterimanya.
Tidak terasa mobil mereka sudah tiba di depan restoran mewah itu. Mata Rania melotot melihat nama restoran yang terpampang besar di depan mereka.
"Sayang, kita sudah sampai. Kok malah bengong?" Dimas membantu melepas sitbelt dari tubuh Rania.
"Mas ini restoran mahal. Kenapa kita kesini, mending kita makan di restoran biasa saja."
"Kok gitu, kenapa memangnya kalau kita makan di sini?"
"Terlalu mewah dan mahal, mas. Nggak cocok dengan keuangan kita."
"Sayang, apa kamu lupa suamimu ini sekarang bukan karayawan biasa dengan gaji rendah." Ucapnya sedikit menyombongkan diri untuk membuat Rania percaya diri masuk ke restoran berkelas itu.
"Tapi, mas…" Belum selesai Rania berucap, Dimas sudah turun dari mobil. Lalu dia membukakan pintu mobil untuk Rania.
"Ini hadiah yang bisa mas berikan untuk hari ulang tahun sayang." Bisik Dimas ditelinga Rania.
Sekali lagi Rania melupakan hari lahirnya yang bertepatan tanggal satu bulan ini. Dia benar benar lupa karena itu setahun sekali. Dan selalu setiap tahunnya selama menjadi suami, Dimas akan mengucapkan selamat hari lahir pada Rania.
Perlahan Rania turun dari mobil. Tangannya menggandeng erat pergelangan tangan suaminya. Dia menarik napas dalam dalam, kemudian melepaskannya dan barulah dia merasa yakin untuk memasuki restoran berkelas itu.
Langkah mereka tampak serasi saat memasuki restoran. Seorang waiters langsung menghampiri mereka.
"Selamat malam, tuan dan nyonya. Ada yang bisa kami bantu?" Sapanya ramah pada setiap pelanggan yang datang.
"Saya sudah memesan meja, atas nama Dimas Prasetio." Jawab Dimas sambil tersenyum.
"Mari ikut saya, tuan, nyonya." Menuntun langkah Dimas dan Rania menuju lantai atas dimana meja yang dipesan Dimas berada.
Lantai atas beratapkan kaca dan berdinding kaca. Semua dinding dan atap full kaca, sehingga pemandangan itu terlihat begitu indahnya.
"Silahkan tuan, nyonya." Mempersilahkan Rania dan Dimas untuk duduk di meja yang menghadap langsung ke jalan raya.
Bukan hanya mereka yang ada di lantai atas, ada beberapa pasangan lainnya yang juga sedang menikmati makan malam romantis.
"Ini buku menunya, tuan, nyonya."
Dimas dan Rania langsung memesan makanan dan minuman. Rania menggeleng memberi kode pada suaminya bahwa dirinya tidak mengerti harus memesan makanan apa. Karena ini memang pertama kalinya makan direstoran semewah ini.
Dimas hanya tersenyum menanggapi itu. Lalu dia memesan makanan dan minuman yang dia rasa Rania pun akan menyukai makanan itu.
Waiters itu pun pergi meninggalkan Rania dan Dimas setelah pesanan mereka dicatatnya.
"Mas, indah banget ya." Mata Rania mendongak ke atas. Dia bisa melihat bintang dan bulan di langit malam.
"Iya sayang. Kalau hujan, pasti akan lebih indah. Bisa melihat air hujan turun." Lanjut Dimas.
"Aku bahagia banget malam ini, mas." Menatap serius wajah suaminya.
"Aku juga sangat bahagia sekali malam ini sayang."
Mereka saling menggenggam tangan satu sama lain sambil terus saling menatap. Dimas menatap wajah cantik Rania yang tidak berkurang sama sekali dari waktu ke waktu. Dia selalu jatuh hati setiap menatap wajah itu. Rania pun begitu, selalu dibuat terpesona oleh wajah rupawan pria aneh yang tiba tiba datang memeluknya sambil memanggilnya dengan sebutan sayang dan berakhir menjadi suaminya saat ini.
"Sayang tutup mata dulu." Dimas meminta Rania menutup mata saat mereka sudah selesai menyantap makan malam.
"Mas mau ngasih surprise!"
"Iih sayang kok malah udah tau, jadi nggak seru kan?" Rutuk Dimas agak kesal.
"Ya kan memang begitu biasanya di sinetron atau drama, kalau disuruh tutup mata, pasti mau ngasih sesuatu." Lanjut Rania.
"Iya deh iya. Tapi tutup mata dulu ya."
"Baiklah."
Rania memejamkan matanya dan menutupnya menggunakan ujung jilbabnya. Dimas menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Rania, tapi Rania tidak merespon, itu tandanya Rania benar benar menutup matanya.
Dimas mengeluarkan sesuatu dari saku jas yang dipakainya. Box kecil persegi panjang berwarna merah. Diletakkannya box itu di depan Rania.
"Udah, buka matanya." Ucap Dimas.
Perlahan Rania membuka matanya, lalu dia menatap pada Dimas yang hanya tersenyum padanya. Ditangan Dimas tidak ada apa apa hingga membuat raut wajah Rania tampak sendu.
"Kenapa, sayang?" Tanya Dimas masih tetap tersenyum gemas karena dia berhasil membuat Rania merasa tertipu.
"Ngak apa apa kok mas." Menundukkan kepalanya. Matanya membola saat melihat box navy yang ternyata ada didepannya.
Senyum bahagiapun kembali menghiasi wajahnya. Segera diambilnya box itu dan dibukanya.
"Mas ini benaran buat aku?"
"Iya sayang. Apa sayang tidak suka?"
Rania menggelang, matanyanya sudah berkaca kaca. Dia sangat menyukai kalung berliontin hutuf R. Kalung seperti ini pernah dimilikinya saat Ayahnya masih hidup.
"Makasih banyak ya mas. Aku suka banget kalung ini, apa lagi liontinnya. Dulu aku pernah punya kalung seperti ini." Tuturnya.
"Sini mas bantu pakaikan."
Dimas mendekat pada Rania. Diambilnya kalung itu dan dipakaikan di leher Rania yang masih tertutup jilbabnya.
"Cantik banget mas, kakung ini benar benar mirip dengan kalung pemberian Ayah." Rania memegangi liontin kalung itu.
Rasa kerinduan kepada Ayahnya semakin besar saat melihat kalung berliontin R yang tidak lagi dimilikinya sejak Ayah meninggal. Dan kini kalung itu seakan kembali dimilikinya. Sungguh Rania merasa sangat bahagia dan terharu karena suaminya memberikan hadiah paling indah diulang tahunnya yang ke dua puluh delapan.
"Happy birth day to you my wife." Dimas berlutut dihadapan Rania.
"I love you so much." Mencium punggung tangan Rania.
"I love you to, mas. Aku sungguh bahagia malam ini." Rania memeluk kepala Dimas yang bersandar di pangkuannya.
Begitulah malam romantis pasangan harmonis itu. Mereka pun langsung bergerak untuk pulang dan melanjutkan keromantisan dan kemesraan mereka kembali di dalam kamar.
Mobil Dimas dan Rania melaju kencang berpacu dijalan raya yang masih ramai meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih empat pulu, malam.
Saat sedang asyik berbincang mesra, handphone Rania berdering. Rupanya ada panggilan video call dari saudara kembarnya Riana yang kini sedang berada di Paris.
"Riana, happy birth day to you…" Teriak heboh Rania saat melihat wajah saudara kembarnya yang hampir tujuh tahun terakhir tidak pernah bertemu.
"Happy birth day to you too my sister." Riana pun mengucapkan ulang tahun untuk Rania.
"Disini masih terang benderang, dan disana sudah malam kah?" Tanya Riana.
"Iya disini sudah hampir jam sebelas malam."
"Kamu bersama suamimu?"
"Iya dong. Kami baru selesai makan malam romantis untuk merayakan ulang tahunku."
"Oh so sweet, aku juga ingin segera menikah!" Rengek Riana.
"Ya menikahlah, Ri. Apa kamu tidak bosan hidup sendirian di Negara asing itu?"
"Tentu bosan, beb."
"Kalau begitu menikahlah." Rania menyarankan agar Riana segera melepaskan masa lajangnya.
"Kamu tahu, aku sangat pemilih soal pria. Jadi sampai sekarang aku masih belum menemukan pria yang tepat untuk diajak menikah."
"Apa kamu menginginkan pria Indonesia?" Dimas ikut nimbrung.
"Tentu, Dim. Tapi, tidak ada pria yang sepertimu." Goda Riana.
"Masih banyak kok di Indonesia yang seperti mas Dimas, Ri. Makanya pulang ke Indonesia segera." Lanjut Rania.
"Aku memang punya rencana untuk pulang, beb. Tapi, aku harus mengurus banyak hal dulu disini."
"Pulanglah jika semuanya sudah beres, Ri. I miss you so much." Rengek Rania yang memang sudah sangat merindukan kembarannya itu.
"I miss you too beb. Aku mau pulang, tapi aku tidak punya tempat tinggal. Kamu tahu kan, rumah lama kita sudah dijual untuk biaya pengobatan ibu waktu itu."
"Rumahku dan mas Dimas lumayan besar loh, Ri. Ada banyak kamar juga. Kamu bisa tinggal sementara dengan kami."
"Aku tidak mau merepotkan kalian. Lagi pula belum tentu Dimas mengizinkan."
"Tentu dizinkan kok. Iya kan mas?" Tanya Rania pada suaminya.
"Ya, tidak masalah."
"Tuh dengar, Dimas ngizinin kamu tinggal bareng kita kok." Rengek Rania yang berharap saudarnya itu mau kembali ke Indonesia.
"Ok beb, aku akan pulang. Tapi, belum dalam waktu dekat."
"Kapan? Masih lama?"
"Ya sekitar dua atau tiga bulan lagi lah. Aku harus menyelesaikan kontrak kerjaku dulu, baru bisa pulang ke Indonesia." Jelasnya.
"Mmh, baiklah. Aku tunggu."
"Ok. Nikmati malam indah kalian. Byee…" Riana mengakhiri pembicaraan itu.
Ada raut kesedihan dimata Rania saat panggilan berakhir. Dia sangat merindukan Riana. Hanya Riana yang dia punya saat ini selain suaminya.
"Sayang, kamu baik baik saja kan?" Dimas mengelus pipi Rania.
"Aku harap Riana benaran akan pulang, mas. Aku sangat merindukannya." Imbuhnya.
"Dia pasti akan pulang, kok. Kamu jangan sedih lagi ya. Kan malam ini kita temanya harus bahagia." Membujuk Rania.
Senyumpun terlihat kembali di wajah menggemaskan Rania. Dia pun kembali menyenderkan kepalanya dibahu suami tercintanya yang ternyata menyimpan banyak rahasia darinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!