...Hiduplah seperti Mentari yang selalu bersinar menerangi Alam Semesta....
......................
Di pagi hari yang cerah seorang gadis bernama Mentari sedang terlihat bersenandung sambil mengumpulkan barang bekas yang sudah di kumpulkan oleh kedua orangtuanya.
Mentari adalah anak kedua dari dua bersaudara, dia mempunyai seorang Kakak perempuan yang bernama Jingga.
Mentari dan Jingga mempunyai watak yang berbeda.
Mentari sangat baik dan berhati lembut serta tutur kata yang santun, sedangkan Jingga mempunyai perangai yang buruk sehingga dia selalu memaksa kedua orangtuanya untuk memenuhi semua keinginan dia, padahal Jingga jelas tau jika kedua orangtua mereka hidup serba kekurangan, bahkan rela membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dengan membuka warung kecil-kecilan serta menjadi pemulung rongsokan.
"Bu kapan sih kita menjadi orang kaya seperti dulu lagi kalau kalian kerjanya hanya menjadi pemulung?" ujar Jingga ketika mereka sekeluarga sedang melakukan sarapan.
"Aku bosen setiap hari makan sama ikan asin terus," sambung Jingga lagi.
"Kak Jingga harusnya bersyukur, kasihan kan Ibu sama Bapak yang sudah membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari," ujar Mentari.
"Kamu gak usah ceramahin aku Mentari, kamu itu cuma anak kecil, sebaiknya kamu diam saja gak perlu banyak bicara !" teriak Jingga dengan membantingkan piring bekas dia makan.
Prang
Kini terdengar suara piring yang pecah, sehingga pecahannya berserakan di lantai yang masih beralaskan tanah, kemudian Jingga langsung berangkat ke Sekolah tanpa pamitan terlebih dahulu kepada kedua orangtuanya.
Mentari bergegas memungut satu persatu pecahan piring tersebut supaya tidak ada yang terluka karena menginjaknya, dan kedua orangtuanya kini hanya bisa menangis melihat kelakuan Jingga anak sulung mereka.
"Mentari sayang, maafin Kakak kamu ya Nak," ujar Bu Rima ( Ibunya Mentari ).
"Iya gak apa-apa Bu, mungkin Kakak lagi banyak tugas di Sekolah jadi Kakak pusing, apalagi Mentari dengar Sekolah SMA itu sulit Bu," ujar Mentari dengan tersenyum kepada kedua orangtuanya.
"Ini semua kesalahan Bapak Nak, karena kami dulu sangat memanjakan Jingga ketika Bapak masih mempunyai perusahaan," ujar Pak Hasan ( Bapaknya Mentari ).
Dulu Pak Hasan adalah orang yang kaya raya, tapi semenjak dia kena tipu oleh temannya sendiri, Pak Hasan kehilangan semua hartanya, bahkan Pak Hasan sampai terkena Stroke.
Ketika perusahaannya hancur akhirnya Pak Hasan memilih untuk pindah ke kampung halamannya yang berada di daerah Bogor, karena beliau berpikir tidak mungkin bisa bertahan hidup di Jakarta dengan kondisinya yang Stroke serta pengangguran.
Pada saat itu Jingga berusia 10 tahun dan duduk di kelas 4 SD, sedangkan Mentari berusia 8 tahun dan masih kelas 2 SD, karena Mentari dan Jingga hanya selisih dua tahun saja. Akhirnya Pak Hasan dan Istrinya memilih untuk membuka warung kecil-kecilan di kampung serta memulung rongsokan untuk membiayai Sekolah Anak-anaknya dan menyambung hidup mereka.
Mentari hanya sekolah sampai SMP karena dia kasihan kepada kedua orangtuanya, sedangkan Jingga bersikukuh dengan pendiriannya yang ingin melanjutkan ke jenjang SMA, sehingga mau tidak mau Pak Hasan dan Bu Rima menuruti kemauan Jingga yang selalu seenaknya.
"Bu, Pak, Mentari berangkat kerja dulu ya," ujar Mentari dengan mencium punggung tangan kedua orangtuanya lalu mengucapkan Salam.
Mentari saat ini berumur 16 tahun, semenjak dia keluar SMP mentari membantu mencari uang dengan menjadi pelayan di salah satu rumah makan yang tidak jauh dari rumahnya, sehingga dia selalu berjalan kaki untuk menghemat ongkos.
Beberapa menit kemudian Mentari pun sampai di tempat kerjanya.
"Assalamu'alaikum Bu," ucap Mentari kepada pemilik rumah makan tersebut.
"Wa'alaikumsalam Tari, kamu pagi-pagi begini kok sudah datang, padahal masih ada waktu satu jam lagi lho buat buka Restorannya," ujar Bu Asih, pemilik Rumah makan tempat Mentari bekerja.
"Mentari mau ngumpulin botol-botol plastik bekas pengunjung kemarin Bu, gak apa-apa kan?" tanya Mentari sehingga membuat Bu Asih merasa terharu.
"Iya tidak apa-apa sayang, Mentari memang anak yang berbakti, seandainya Ibu adalah orangtua kamu, pasti Ibu bakalan bangga mempunyai Anak baik sepertimu," ujar Bu Asih dengan merangkul tubuh Mentari.
"Tidak banyak yang bisa Mentari lakukan untuk meringankan beban kedua orangtua yang sudah membesarkan serta menyayangi Mentari dengan penuh kasih sayang, hanya sebait do'a dalam sujud Mentari yang selalu dipanjatkan semoga kelak Mentari bisa memberikan kebahagiaan untuk mereka," ujar Mentari.
"Semoga niat baik Mentari Allah SWT berikan kelancaran ya sayang," ujar Bu Asih.
"Iya Amin, makasih ya Bu sebaiknya Mentari bergegas mengumpulkan botolnya sekarang sebelum Restoran kita buka biar semuanya sudah bersih juga," ujar Mentari yang selalu semangat dalam bekerja.
"Bismillah...Semoga Allah SWT selalu memberikan kelancaran untuk semua pekerjaanku dan semoga semua yang Mentari lakukan menjadi amal Ibadah," do'a Mentari sebelum melakukan pekerjaan dan dia selalu berdo'a seperti itu setiap hari.
......................
Jam makan siang pun telah tiba, Rumah makan tempat kerja Mentari kini sudah ramai oleh Karyawan yang selalu makan siang di Rumah makan tersebut.
Semenjak Mentari bekerja di sana tidak sedikit laki-laki yang berusaha mendekatinya, tapi Mentari selalu sadar diri jika dirinya tidak pantas bersanding dengan pegawai kantoran karena dia hanyalah tamatan SMP.
Salah satunya adalah Angga Prawira yang berkedudukan sebagai Manager Keuangan. Angga begitu terobsesi untuk memiliki Mentari karena paras nya yang sangat cantik, sehingga siapa pun yang melihatnya pasti akan mengagumi kecantikan Mentari.
"Mentari cantik gimana jawaban pernyataan cinta Abang yang ke sepuluh kali, diterima gak?" tanya Angga.
"Maaf mas Angga seperti jawaban Mentari sebelumnya, Mentari gak pantas untuk Abang, lagian Mentari juga masih kecil Bang," jawab Mentari.
"Abang akan tetap menunggu Mentari membuka hati untuk Abang," ujar Angga dengan memberikan sebuah paper bag.
"Maaf Bang Mentari tidak dapat menerimanya, pasti isinya barang mahal lagi kan?" tanya Mentari.
"Mentari boleh menolak cinta Abang untuk sekarang ini, tapi tolong terima pemberian Abang ya cantik," ujar Angga yang terlihat memohon, sehingga Mentari akhirnya menerimanya.
Angga sering sekali memberikan barang-barang yang mahal untuk Mentari, dan Mentari pun selalu menolaknya, tapi Angga selalu memaksanya sehingga Mentari merasa tidak enak hati.
Barang pemberian Angga untuk Mentari pun selalu direbut oleh Jingga, tapi Mentari tidak pernah mempermasalahkannya, yang penting Jingga merasa senang itu sudah membuat Mentari bahagia.
Sepulang dari tempat kerja, Mentari memanggul karung yang isinya botol plastik hasil mulung di tempat kerja, meskipun banyak yang menertawakannya karena membawa rongsokan tapi Mentari tidak pernah malu.
"Mentari emang kamu gak malu apa, memanggul rongsokan kayak gitu? semua orang lihatin kamu lho," tanya Ira salah satu teman kerja Mentari yang kebetulan pulang kerja bersama Mentari.
"Kenapa aku harus malu Ra, yang penting aku kan tidak mencuri dan aku mendapatkannya dengan cara halal, aku malah lebih malu jika sampai aku meminta-minta padahal kita masih mempunyai tangan dan kaki untuk berusaha," jawab Mentari yang selalu bijak.
...Janganlah pernah membalas kejahatan dengan kejahatan juga, lebih baik diam karena diam adalah emas....
......................
Sesampainya di rumah, Mentari langsung menaruh karung hasil mulungnya di belakang rumah.
Jingga yang melihat Mentari memanggul karung rongsokan pun langsung menertawakannya.
"Loe emang pantes jadi pemulung Mentari, baju kamu aja udah lusuh begitu, mana bau keringat lagi," ledek Jingga.
Mentari sebenarnya tersulut emosi mendengar ejekan dari Jingga, tapi dia berusaha untuk menahan nya, karena dia tidak mau membuat kedua orang tuanya sedih.
Astagfirulloh, berikan kesabaran kepada hamba Ya Allah, Mentari gak mau membuat Bapak dan Ibu sedih jika mendengar Mentari dan Kak Jingga ribut, ucap Mentari dalam hati.
Sehingga akhirnya Mentari menjawab ejekan Jingga dengan senyuman.
"Ngapain kamu malah senyum? dasar manusia aneh," ujar Jingga dengan berlalu masuk ke dalam kamar karena merasa tidak dihiraukan oleh Mentari.
Tuh kan benar, kalau kita sabar dan tidak membalas kejahatan seseorang, orang itu pasti bakalan malu sendiri, bener kata pribahasa jika diam adalah emas, siapa tau kalau aku diam terus lama-lama menjadi berlian, batin Mentari mencoba untuk menghibur diri sendiri.
"Mentari ternyata sudah pulang ya? kasihan kamu pasti cape ya sayang harus seharian kerja banting tulang demi membantu ekonomi keluarga, maafkan Ibu ya Nak, karena sebagai orangtua kami belum bisa membahagiakan Mentari," ujar Bu Rima dengan meneteskan airmata.
"Ibu jangan bicara seperti itu, Mentari ikhlas kok melakukan semuanya, selagi Mentari mampu, Mentari akan terus berjuang untuk keluarga ini," ujar Mentari dengan memeluk tubuh Ibunya.
"Ibu sangat bangga mempunyai anak sebaik Mentari, sebaiknya Mentari gak usah mulung juga ya, Ibu kasihan kalau mendengar Mentari menjadi bahan ejekan, apalagi tadi Ibu sempat mendengar Jingga juga mengejek Mentari," ujar Bu Rima.
"Gak apa-apa Bu, meskipun banyak yang mengejek Mentari yang penting mentari tidak merugikan mereka, dan Mentari juga gak minta makan sama mereka juga kan, sayang aja Bu kalau botol bekasnya di buang, mending kita daur ulang, lumayan juga kan buat nambah-nambah penghasilan," jawab Mentari.
"Iya sayang makasih banyak ya atas semua pengorbanan Mentari," ucap Bu Rima.
"Ibu gak usah bilang terimakasih terus, kan memang kewajiban seorang anak membantu orangtuanya, Mentari bisa menjadi seperti ini juga berkat Ibu dan Bapak, jadi seharusnya Mentari yang mengucapkan terimakasih, karena jasa Ibu dan Bapak tidak akan pernah bisa terbalaskan oleh apa pun juga, walau Mentari memberikan seluruh isi Dunia ini," ujar Mentari dengan tersenyum.
Seandainya Jingga juga mempunyai hati yang baik serta pikiran yang dewasa seperti Mentari, Ibu pasti akan merasa lebih bahagia, batin Bu Rima.
"Kok Ibu malah bengong sih, yuk kita masuk, Ibu sudah makan belum? kebetulan tadi Mentari bawa sisa makanan dari Restoran," ujar Mentari yang merangkul bahu Ibunya untuk masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikum Pak," ucap Mentari ketika melihat Ayahnya yang sedang memperbaiki kursi roda, kemudian Mentari langsung mencium punggung tangan Bapaknya tersebut.
"Wa'alaikumsalam sayang, kamu sudah pulang Nak," ucap Pak Hasan.
"Iya Pak, kenapa Pak dengan kursi roda nya, kok bisa sampai rusak?" tanya Mentari.
"Tadi Bapak tidak hati-hati ketika mencari rongsokan di tempat pembuangan sampah, makanya rodanya jadi bengkok," ujar Pak Hasan berbohong kepada Mentari.
Maafin Bapak Mentari karena sudah berbohong, sebenarnya ini adalah ulah Kakakmu karena Bapak tidak dapat memenuhi keinginannya untuk membeli baju baru, makanya Jingga mendorong Bapak sampai kursi rodanya menabrak tembok, batin Pak Hasan.
"Mentari kan sudah bilang Pak, kalau Bapak diem aja di rumah jangan mencari rongsokan ke tempat pembuangan sampah lagi, Mentari gak mau kalau Bapak sampai celaka," ujar Mentari dengan memeluk tubuh Pak Hasan.
"Iya Nak besok Bapak gak bakalan cari rongsokan ke sana lagi, paling Bapak bantuin Ibu jagain warung aja," ujar Pak Hasan.
"Ya sudah kalau begitu kita makan dulu ya Pak, kebetulan Mentari tadi bawa makanan sisa dari Restoran," ujar Mentari dengan membantu membopong tubuh Pak Hasan karena kursi roda nya belum selesai diperbaiki.
Jingga kini keluar dari kamarnya dengan uring-uringan karena dia belum memiliki gaun pesta untuk acara perpisahan di Sekolahnya.
"Aku nyesel karena terlahir menjadi anak orang miskin seperti kalian ! teriak Jingga.
"Kak Jingga, tidak seharusnya Kakak berbicara seperti itu, harusnya Kakak bersyukur karena masih mempunyai orangtua yang begitu menyayangi Anak-anaknya," ujar Mentari dengan menahan emosi dalam dadanya.
"Apa kamu bilang? aku harus bersyukur? kamu pikir aku bahagia punya orangtua yang ca*cat dan tukang mulung seperti mereka !" bentak Jingga.
"Memangnya apa yang Kakak mau saat ini sehingga dengan teganya Kakak melukai perasaan Ibu dan Bapak?" tanya Mentari.
"Aku ingin gaun pesta untuk acara perpisahan Sekolahku nanti, apa kamu mampu membelikanku gaun bagus dan mahal?" tanya Jingga.
"Jadi hanya karena sebuah gaun pesta Kakak sampai tega berbicara seperti itu kepada orangtua yang sudah membesarkan kita? baik kalau begitu tunggu sebentar aku akan mengabulkan keinginan Kakak," ujar Mentari yang kini mengambil paper bag pemberian Angga.
"Ini Kakak ambil, tapi aku harap ini yang terakhir kali Kakak menyakiti hati Ibu dan Bapak," ujar Mentari dengan memberikan Paper bag yang berisi gaun pesta pemberian dari Angga.
Jingga pun mengambil lalu membuka paper bag tersebut.
"Wah bagus sekali gaunnya, coba aja dari tadi kamu ngasih gaun ini, pasti aku gak bakalan dorong Bapak sampai kursi rodanya rusak karena nabrak tembok, kamu dapat darimana? ini bukan hasil men*curi atau jual di*ri kan?" tanya Jingga yang sudah berbicara seenaknya.
PLAK
Kini satu tamparan dari tangan Mentari mendarat di pipi Jingga.
"Jaga bicara Kakak, aku tidak serendah itu, dan jangan berani-beraninya Kakak melukai Ibu atau Bapak lagi, karena kalau sampai aku mendengar atau melihat Kakak melakukannya lagi, maka aku tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih nekad lagi !" ujar Mentari yang kini sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya.
"Bu lihat anak kesayangan kalian, dia sudah berani menampar pipi Jingga yang mulus ini," ujar Jingga.
"Kamu memang pantas mendapatkannya Jingga, selama ini kamu sudah bersikap semena-mena terhadap kami," ujar Bu Rima.
"Kenapa sih kalian tidak pernah membelaku? apa kalian tidak menyayangiku?" teriak Jingga.
"Kakak bilang kami tidak menyayangi Kakak? Kakak coba pikir, kalau Ibu atau Bapak tidak menyayangi Kakak mereka tidak akan mati-matian banting tulang mencari rezeki untuk menghidupi kita, dan mereka juga tidak akan menuruti keinginan Kakak yang bersikeras untuk melanjutkan Sekolah ke SMA padahal biayanya sangat mahal, Kakak tau sendiri kan untuk makan sehari-hari saja kita kekurangan? harusnya Kakak bersikap dewasa !" ujar Mentari.
"Kalian tenang saja, setelah aku mendapatkan ijazah, aku akan pergi ke Jakarta untuk bekerja, dan aku akan membayar semua yang telah kalian keluarkan untuk menghidupiku !" teriak Jingga dengan masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu dengan keras.
Jingga kini pergi ke pesta perpisahan yang di adakan oleh Sekolahnya dengan mengenakan gaun pesta yang diberikan oleh Mentari.
"Wah Nak, kamu terlihat sangat cantik sekali mengenakan gaun ini," ujar Bu Rima dengan hendak memeluk Jingga, tapi Jingga segera menepis tangan Ibunya.
"Jangan berani pegang-pegang gaun mahal ku Bu, nanti gaunnya jadi kotor, apalagi kalau Ibu sampai memelukku, bisa-bisa aku kena alergi karena tertular kuman dari tubuh Ibu," ujar Jingga, sehingga Bu Rima merasa sedih.
Jingga pun kini meminta uang kepada Bu Rima untuk ongkos serta pegangan buat nanti di pesta.
"Bu, Jingga minta duit donk," ujar Jingga.
"Tapi Nak, kemarin Ibu kan sudah kasih uang buat kamu pergi ke pesta," ujar Bu Rima
"Mana cukup Bu uang 200 ribu, sini Jingga minta lagi," ujar Jingga dengan menarik dompet yang sedang dipegang oleh Bu Rima.
"Jangan di ambil Nak, itu uang buat modal dagang Ibu besok," pinta Bu Rima tapi Jingga tidak menghiraukannya dan tega mengambil semua uang yang berada di dalam dompet Bu Rima.
"Sama Anak sendiri kok juga pelit, ini dompetnya," ujar Jingga dengan melemparkan dompet kosong kepada wajah Ibunya sendiri, lalu kemudian bergegas pergi ke pesta.
Jingga sebenarnya selalu di antar jemput oleh pacarnya dengan menggunakan mobil, bahkan pacarnya sering memberikan uang kepada Jingga. Tapi dia selalu meminta uang kepada orangtuanya untuk mentraktir teman-temannya, karena Jingga sudah berbohong kepada semua orang dengan mengaku-ngaku sebagai anak orang kaya, sehingga akhirnya Jingga selalu menunggu pacarnya di depan rumah mewah milik tetangganya yang dia akui sebagai rumahnya.
"Hai sayang, akhirnya kamu datang juga," ujar Jingga kepada Fahri pacarnya yang baru turun dari mobil.
"Maaf ya sayang, aku sudah telat jemput kamu, soalnya tadi aku bantu Ibu dulu untuk menutup Restoran karena Karyawannya banyak yang tidak masuk," ujar Fahri.
"Iya gak apa-apa honey, yang penting sekarang kamu sudah datang untuk menjemputku," ujar Jingga dengan bergelayut manja kepada Fahri.
"Kamu malam ini terlihat sangat cantik sayang," puji Fahri.
"Makasih sayang, Mommy aku sengaja membeli gaun ini dari luar negri lho sayang, khusus untuk pesta malam ini," ujar Jingga, lalu kemudian mereka berdua masuk ke dalam mobil.
Dari kejauhan Mentari melihat Jingga yang di jemput oleh Fahri pun merasakan sesak dalam dadanya.
"Kenapa hatiku terasa sakit ketika melihat Kak Jingga bersama mas Fahri, seharusnya aku ikut bahagia kalau Kak Jingga bahagia," ujar Mentari dengan meneteskan airmata.
Fahri adalah anak dari Bu Asih, pemilik Restoran tempat Mentari bekerja, sebenarnya Mentari sudah menyukai Fahri pada saat pertama kali mereka bertemu, karena selain tampan, Fahri juga baik hati dan tidak sombong.
Aku seharusnya sadar diri, aku bukan siapa-siapa, bagaimana mungkin mas Fahri bisa menyukaiku, dan sepertinya mas Fahri juga sangat mencintai Kak Jingga, batin Mentari.
Akhirnya Mentari memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
Betapa terkejutnya Mentari ketika masuk rumah, karena dia melihat Ibunya menangis dalam pelukan sang Ayah.
"Pak kenapa Ibu menangis?" tanya Mentari.
"Ibu tidak apa-apa Nak," jawab Bu Rani mencoba berbohong kepada Mentari.
"Ibu tidak bercerita pun Mentari tau betul jika penyebab Ibu menangis adalah Kak Jingga kan?" ujar Mentari.
"Iya Nak, Kakakmu tega mengambil semua uang yang Ibumu punya, padahal itu uang modal dan untuk belanja besok" ujar Pak Hasan.
"Kak Jingga sudah keterlaluan, tega-teganya dia melakukan semua itu," ujar Mentari.
"Bapak juga gak habis pikir dengan kelakuan Jingga yang semakin hari semakin menjadi-jadi," ujar Pak Hasan dengan meneteskan airmata.
"Ibu jangan sedih ya, barusan Mentari habis gajihan, ini uangnya bisa Ibu pakai untuk modal," ujar Mentari dengan memberikan amplop gaji nya yang belum dia buka kepada Ibunya.
"Tapi Nak kasihan kamu jika semua gaji Mentari selalu diberikan kepada Ibu, Mentari juga kan harus punya pegangan," ujar Bu Rima yang merasa bersalah terhadap Mentari.
"Tidak apa-apa Bu, Mentari kan kerjanya juga dekat jadi bisa jalan kaki, terus Mentari dikasih makan juga di sana, jadi Mentari gak harus pegang uang," ujar Mentari.
"Sungguh mulia sekali hatimu Nak, maafkan kami yang selalu saja merepotkan," ujar Bu Rima dengan memeluk tubuh Mentari.
"Ibu jangan berkata seperti itu, karena Ibu dan Bapak adalah orang yang paling berharga untuk Mentari," ujar Mentari.
"Ya sudah sebaiknya Mentari istirahat dulu, makasih banyak ya Nak atas semuanya," ujar Bu Rima yang dibalas anggukan kepala dan senyuman oleh Mentari.
Akhirnya Mentari pun masuk ke dalam kamarnya, lalu dia menunaikan Shalat Isya dulu sebelum tidur.
Ya Allah berikanlah kelancaran kepada hamba dalam mencari rezeki, Mentari ingin sekali membuat Ibu dan Bapak bahagia, ujar Mentari di dalam do'anya.
Jingga baru pulang dari pesta hampir tengah malam, dan Fahri merasa tidak enak sehingga dia memutuskan untuk menemui orangtua Jingga terlebih dahulu karena ingin meminta maaf sebab mereka berdua pulang terlalu malam.
"Sayang, aku ingin bertemu dengan orangtuamu ya, aku mau minta maaf karena kita sudah pulang kemalaman," ujar Fahri.
Jingga nampak berpikir karena dia tidak ingin Fahri mengetahui kebohongannya.
Aku tidak mungkin membawa Fahri ke rumahku yang seperti gubuk itu, aku tidak mau kalau Fahri memutuskan hubungan kami karena aku anak orang miskin, batin Jingga.
"Lain kali aja ya sayang, sekarang orangtuaku lagi pergi keluar Negri, sebagai gantinya aku bersedia jika besok kamu mau mengenalkan aku kepada Ibumu," ujar Jingga.
"Oh gitu, ya sudah tapi lain kali kamu harus kenalin aku sama keluargamu ya, dan makasih banyak ya sayang karena kamu sudah bersedia untuk bertemu dengan Ibuku, dari dulu aku selalu ingin mengenalkan pujaan hatiku ini kepada Ibu, besok aku jemput ya," ujar Fahri dengan mengelus lembut rambut Jingga.
Akhirnya Jingga pun turun di depan rumah mewah yang selalu dia akui sebagai rumahnya, dan setelah Fahri pergi dari sana dia langsung bergegas menuju tempat tinggal yang sebenarnya.
Untung aja aku punya alasan untuk membohongi Fahri tentang kedua orangtuaku, kalau tidak aku bisa malu karena harus membawanya ke gubuk derita ini, batin Jingga.
Jingga pun masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan Salam, padahal dia melihat Ibunya yang masih setia menunggu kepulangannya.
"Kamu baru pulang Nak?" tanya Bu Rima.
"Gak usah basa basi deh Bu, Ibu kan lihat sendiri aku baru pulang jadi gak perlu nanya hal yang gak penting lagi !" bentak Jingga.
"Astagfirulloh Nak, Ibu khawatir sama kamu, makanya Ibu memutuskan untuk menunggu kamu sampai pulang," ujar Bu Rima dengan meneteskan airmata.
"Bisanya cuma nangis, kenapa sih semua orang di rumah ini selalu membuat aku muak? rasanya aku ingin segera pergi dari gubuk derita ini !" teriak Jingga dengan masuk ke dalam kamarnya.
Ya Allah ampunilah semua dosa Anak hamba, semoga saja Jingga segera berubah menjadi lebih baik lagi, batin Bu Rima dengan meneteskan airmata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!