NovelToon NovelToon

Bukan Salah Cinta

Bab 1. MENEMUKANMU

Seorang pria terlihat begitu kacau dengan penampilannya penuh dengan darah. Pria tersebut terus saja menangis seraya mendorong brankar yang di mana seorang wanita bersimbah darah tergulai kaku.

Air matanya tidak berhenti luruh, mulutnya tidak hentinya merancau memanggil nama wanita di atas brankar itu.

“Arini, istriku bangun sayang. Jangan tinggalkan aku. Hiks ... hiks ... Arini! Kau dengarkan? Aku mohon bangun!”

Percuma! Teriakannya tidak membuat wanita yang ia panggil Arini itu bangun. Matanya masih saja terpejam dengan rapat.

Hingga tubuh pria itu ditahan agar tidak masuk ke dalam ruangan IGD. Ini membuat dirinya semakin berteriak histeris layaknya seorang yang kehilangan akalnya.

“Arini! Arini! Jangan tinggalkan aku Arini!”

"Tidak!!"

Yuda terbangun dari tidurnya. Napasnya begitu terengah-engah turun-naik. Bahkan keringat begitu membasahi sekujur tubuhnya. Lagi-lagi Yuda bermimpi kejadian itu. Kejadian yang sampai saat ini masih membekas di hati dan ingatannya.

Mimpi buruk itu selalu saja menghantui di setiap tidurnya. Seolah-olah mimpi itu sengaja ingin mengingatkan dirinya. Seolah-olah mimpi itu melarang dirinya untuk hidup normal seperti dulu.

Yudatama adalah seorang duda beranak satu sekaligus pengusaha terkenal di bidangnya. Sekitar empat tahun lalu ia harus kehilangan istrinya Arini.

Kecelakaan yang ia dan istrinya alami membuat Yuda berada di dua pilihan yang membalut ia dilema. Pilihan pertama ia memilih istrinya berarti ia harus kehilangan anaknya. Pilihan kedua ia memilih anaknya itu berarti ia harus rela kehilangan istrinya.

Bagi Yuda ini bukanlah pilihan, karena keduanya sama-sama sangat ia cintai. Namun permintaan Arini membuat Yuda harus memilih menyelamatkan anaknya dan merelakan istrinya meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.

Tidak ingin larut dalam mimpi buruknya itu, Yuda memutuskan untuk beranjak secepatnya memulai beraktivitas kerjanya setidaknya, itu mampu mengalihkan pikirannya.

Saat dirinya sudah rapi dengan setelan kerjanya ia segera ke bawah menuju meja makan. Dari anak tangga ia bisa melihat anak perempuannya yang sudah berusia empat tahun tengah duduk dan tersenyum ke arahnya.

“Good morning, Dad.”

“Good morning, Tuan Putri,” balas Yuda lalu mengecup kening Rena dengan hangat.

Tidak banyak obrolan di antara ayah dan anak itu. Ini selalu sukses membuat Rena kesepian ia merindukan sosok Mommy-nya. Mommy yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya.

Tiba di kantor bukannya pikirannya teralihkan ini justru membuat pikirannya semakin kacau. Apalagi sekretarisnya sudah dua hari ini mulai ambil cuti melahirkan. Terpaksa sebagai gantinya Boy sang asisten merangkap dua pekerjaan dan ini membuat tidak efesien.

Semua jadwalnya berbenturan bahkan bisa dibilang kacau.

“Boy, buat iklan lowongan kerja. Sepertinya aku membutuhkan sekretaris baru. Kamu sudah mulai tidak becus! Semua jadwalku berantakan.”

“Maafkan saya Tuan. Saya akan buat iklan sekarang juga mengenai lowongan kerja.”

“Bagus! Sekarang pergilah! Aku ingin sendiri.”

Tanpa berkata-kata Boy langsung pergi meninggalkan Yuda. Ia merutuki dirinya karena merasa gagal tidak bisa jadi asisten yang bisa diandalkan oleh tuannya itu.

Sementara di dalam ruangan Yuda kembali teringat mendiang istrinya. Ia membuka laci lalu mengambil sesuatu dari dalam laci. Sebuah foto berukuran 10 x 20 centimeter menunjukkan sebuah foto wanita yang sedang tersenyum. Terlihat cantik dan anggun. Ya, foto itu adalah mendiang istrinya Arini.

Yuda mengelus foto itu dengan perasaan yang tidak bisa dideskripsikan lagi. Rindu, hancur dan terpuruk menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan sampai detik ini. Rasa cintanya terlalu besar kehilangan istri yang paling dicintai membuat gairah hidupnya hilang. Seolah-olah terkubur dengan jasad sang istri.

“Sayang. Apakah di sana kau merindukanku? Sama seperti yang aku rasakan? Di sana kau melihat betapa terpuruknya aku. Rena... dia selalu menanyakan kamu, ia selalu bilang ingin bertemu denganmu. Aku harus bagaimana sekarang?”

Yuda menghela napas berat. Ia sadar istrinya sudah tiada dan tidak mungkin bisa hidup kembali dan hidup bersama dengan dirinya juga dengan Rena anaknya. Saking belum bisa menerima kepergian Arini, Yuda tidak pernah mengatakan pada Rena jika Mommy-nya sebenarnya sudah tiada. Sudah berbeda kehidupan dengan mereka. Sungguh ia sama sekali tidak memiliki keberanian.

***

“Aaah,” teriak histeris seorang gadis dan sukses membuat temannya yang sedang merangkai bunga terkejut.

“Rania! Bisa gak kamu gak teriak! Suaramu masuk semua ke gendang telingaku,” keluh sang teman Fitri namanya. Tidak lupa Fitri mengusap-ngusap telinganya yang terasa tuli beberapa detik.

“Sorry, Fit. Habis aku senang Banget,” jawabnya dengan terus tersenyum.

“Apaan, sih. Seneng kenapa kamu? Gak Biasanya!” ujar Fitri lalu kembali melanjutkan merangkai bunga pesanan costumer.

Rania yang saat itu dalam posisi berdiri ia langsung saja duduk di sebelah Fitri lalu memperlihatkan sebuah iklan lowongan kerja.

“Lihatlah! Ada lowongan Kerja dan ini sangat cocok untukku.”

Rania meskipun orang tidak punya tapi ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan lulusan terbaik. IPK 4,00. Dan salah satu cita-citanya ia ingin bekerja di perusahaan besar dan tentunya layak bagi seorang lulusan dengan IPK sempurna itu.

Meksipun ia tahu IPK tinggi tidak menjamin dirinya diterima. Terbukti ia melamar di lima perusahaan besar ia ditolak mentah-mentah dengan alasan penampilannya tidak menarik.

Rania marah tiap kali mendapatkan penolakan kerja. Ia marah karena justru penampilan yang dinomor satukan sedangkan otak dinomor sekiankan. Apakah berpenampilan baik tanpa otak yang cerdas bisa memajukan sebuah perusahaan? Padahal menurut Rania yang terpenting itu otak yang bisa diajak kerja.

“Belum nyerah? Nanti kalau ditolak uring-uringan lagi. Aku pula jadi sasarannya.”

Bukan tanpa alasan Fitria berkata seperti itu karena memang setiap Rania ditolak ia pasti selalu membawa kekesalannya sampai ke toko bunga dan Fitri yang dapat sasaran empuk kekesalan Rania.

“Jangan buat aku pesimis duluan, dong. Doain kek, kali ini berhasil,” ujar Rania dengan sedikit cemberut.

“Gitu aja ngambek! Iya aku doain kali ini kamu berhasil biar aku gak kena kekesalan kamu lagi.”

Rania pun tersenyum mendengar ucapan Fitri dan memeluknya dengan sayang. Setelah keduanya selesai merangkai bunga pesanan, Rania yang bertugas mengirim bunga pun segera berangkat. Tidak lupa map yang berisi CV lamaran miliknya akan ia kirim ke alamat perusahaan mataplace terkenal itu.

Karena rumah customer jaraknya lebih jauh dari perusahaan mataplace membuat Rania memilih untuk singgah di perusahaan terlebih dahulu. Baru setelahnya ke rumah customer.

Seperti biasa ia akan menitipkan pada satpam atau resepsionis yang bertugas.

Rania merasa lega karena ia sudah menyerahkan CV lamaran kerjanya. Ia berharap esok bisa mendengar berita baik sehingga memutuskan usahanya untuk terus dan terus mengirim CV lamaran kerja.

Di saat semua orang mengirim secara online, hanya Rania yang langsung mengirim CV lamarannya ke perusahaan tersebut. Hampir saja satpam yang tadi diamanahkan menyerahkan CV lamaran Rania membuang ke tong sampah. Yuda menahannya.

“Apa yang kau buang, Sep?” tanya Yuda dengan nada suara dinginnya.

Satpam itu terkejut Saat mendengar suara atasnya itu. Dengan tergugup-gugup Satpam itu menyerahkan map cv lamaran.

“I-ini su-surat lamaran kerja, Tuan.”

"Kenapa kamu buang?"

Pertanyaan Yuda tidak dijawab, hanya gerak tubuh satpam itu yang menjawab dan saat ini satpam sangat takut ia takut kena marah dan kelakuan dirinya selama ini as ju akan terbongkar. Selalu membuang CV lamaran kerja yang dititipkan padanya.

Dengan sinisnya, Yuda mengambil map itu lalu meminta pada Boy agar melihat isi CV itu.

Boy membelakakn matanya saat kedua matanya melihat sesuatu yang membuat ia syok. Untuk memastikan Boy mengucek kedua matanya namun tetap sama jika yang ia lihat itu sungguhan. Selepas itu Boy menyerahkan pada Yuda untuk melihatnya.

“Tuan lihatlah ini!” titah Boy seraya memperlihat apa yang Boy lihat.

Yuda pun tak kalah terkejutnya saat melihat isi CV tersebut. Hingga didetik berikutnya Yuda meminta pada Boy untuk memasukkan ke dalam list calon sekretaris yang akan di interview.

Senyum yang hampir empat tahun lamanya hilang kini mulai sedikit terlihat dan itu berkat sebuah CV lamaran kerja.

“Aku menemukanmu!”

Bab 2. NYATA

Rania senang bukan kepalang saat dirinya baru saja pulang kerja sudah disuguhkan berita yang bisa membuat ia jingkrak-jingkrak kegirangan. Tentu saja tingkah Rania mendapatkan perhatian dari ibunya—Sari yang merasa aneh Dengan tingkah anak perempuan satu-satunya ini.

Bukannya mengucapkan salam, Rania malah memilih berteriak histeris seraya memegangi tangan ibunya dan mengajak sang mama berputar-putar. Sari yang mulai merasa pusing karena diajak berputar-putar secepatnya meminta Rania untuk menghentikan aktivitas berputar-putarnya.

“Rania, stop! Mama pusing,” keluh Sari seraya memanjakan matanya saking pusing.

Rania yang menyadari keteledorannya langsung meminta maaf dan mengakhiri berputar-putar rianya.

“Maaf, Mama,” sesal Rania lalu membawa Sari agar duduk di kursi.

“Masih pusing?” tanya Rania dengan perasaan khawatir. Ia melupakan sesuatu jika mamanya memiliki penyakit migren angkut. Dan dengan sembrononya ia malah mengajak sang mama berputar-putar.

Sari yang masih memejamkan mata dan memijat kepalanya menggeleng pelan. Menandakan jika dirinya baik-baik saja. Namun Rania tidak percaya sebab sang mama selalu pintar menyembunyikan sesuatu.

“Jangan bohong, Ma. Kita ke rumah sakit saja, ya.”

“Tidak perlu. Mama baik-baik saja. Sungguh.”

Kali ini Sari berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Ia memilih untuk menahan rasa sakit di kepalanya ketimbang membuat anak satu-satunya ini merasa khawatir.

Dengan tersenyum Sari bertanya pada Rania apa gerangan yang membuat Rania begitu senang. Sampai-sampai ia pulang lupa tidak mengucapkan salam.

“Ada apa, sih, pulang-pulang udah histeris kegirangan gitu,” tanya Sari yang memang sedari awal merasa penasaran.

"Ma, besok aku mau interview. Rania harap kali ini berhasil, doain Rania, ya, Ma."

"Mama selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu, Rania. Tanpa kamu minta pun."

Bagi Rania, Sari adalah sosok Mama idaman. Dari mamanya ia belajar menjadi seorang wanita mandiri. Meskipun hidup mereka tidak bersama sosok ayah karena ayahnya lebih memilih tinggal bersama dengan wanita selingkuhannya yang kaya raya.

Kadang Sari pun heran kenapa wanita selingkuhan suaminya itu lebih memilih suaminya yang notabene tidak memiliki apa-apa.

Keesokan harinya.

Tidak ingin mendapatkan kesan bad looking, membuat Rania berinisiatif untuk sedikit merias wajahnya. Ya, meskipun ia tahu dirinya sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang melukis wajah dengan aneka mekap sama seperti yang selalu Fitri--temannya lakukan. Namun mencoba tidak masalah bukan?

Di tengah aktivitas Rania yang berusaha menyulap wajahnya jadi lebih baik datanglah Sari. Awalnya biasa baru saat Rania membalikkan tubuhnya lalu memperlihatkan mahakaryanya sungguh membuat Sari Syok berat.

"Ma, lihat, deh, bagus 'kan? Aku terlihat cantik kan?"

Sari menoleh karena panggilan Rania padahal niat awalnya hanya ingin mengambil cucian di kamar putrinya itu.

"Astaghfirullah," pekik Sari bahkan tubuhnya sampai terjatuh beruntung jatuhnya di atas ranjang Rania.

Rania yang melihat mamanya terjatuh langsung saja beranjak dan menghampiri Sari.

"Mama kenapa? Mama baik-baik saja 'kan?" tanya Rania yang khawatir berat.

Sari memegangi dadanya, jantungnya masih berdegup dengan kencang saking terkejutnya. Setelah dirasa detak jantungnya normal kembali Sari langsung menatap Rania dengan tatapan tak percaya.

"Kamu kenapa, Rania? Apa pula itu yang kamu tempelkan di wajahmu? Hapus!"

Rania refleks memegangi wajahnya. Dia belum 'ngeh' maksud dari perkataan Sari.

"Memang kenapa dengan wajah Rania, Mama?"

"Kamu kaya badut, kaya ondel-ondel. Hapus!"

Rania yang paham arah pembicaraan Sari langsung protes. Karena bagi Rania ini bagus. Bibirnya dipakaikan warna merah cabai, belum lagi bedaknya super tebal. Huh, Rania, Rania.

"Ini bagus, Ma. Kali aja Rania lolos karena udah berpenampilan good looking kaya gini," bangga Rania dengan percaya diri.

Sari hanya bisa menepuk jidatnya sendiri merasa heran dengan tingkah anaknya ini. Kapan anaknya bersikap dewasa? Pantes saja meskipun usianya sudah dua puluh lima tahun belum pernah sekalipun pacaran.

Boro-boro pacaran baru ada yang mau PDKT alias pendekatan saja langsung lari terbirit-birit. Ampun!

"Kalau penampilan kamu kaya gini, baru buka pintu ruangan saja kamu langsung diusir dan ditolak!"

Rania cemberut, akhirnya ia pun memilih mendengarkan perkataan Sari. Dengan bantuan Sari, Rania pun menghapus Mekap di wajahnya itu.

Beberapa menit kemudian penampilan Rania sudah seperti biasanya. Lalu ia pun pamit, Rania ingin datang on time setidaknya kesan pegawai rajin eh ralat calon pegawai rajin akan ia sandang.

Rania berangkat menggunakan motor miliknya, motor yang sudah menemaninya selama kurang lebih lima tahun terkahir ini. Meskipun sudah jadul tetap sangat berguna bagi Rania.

Tiba di perusahaan Mataplace YT group, Rania secepatnya memarkirkan motornya secara sembarang. Satpam yang melihatnya memanggil Rania agar membenarkan posisi motornya. Demi apa? Rania berpura-pura tidak mendengar teriakkan satpam. Ampun deh!

Dengan napas terengah-engah karena dari tempat parkir sampai ke tempat resepsionis ia berlari. Alasannya karena jika ia tidak lari pasti akan tertangkap oleh satpam lalu akan menyita waktunya.

"Maaf, Mbak. Aku mau tanya ruang untuk interview di mana, ya?" tanya Rania.

Resepsionis itu menatap penampilan Rania dari atas sampai bawah. Merasa ditatap sampai sedemikian rupa membuat Rania tidak suka.

"Mbak, Mbak gak dengar, ya? Ruangan untuk interview di mana? Aku kemarin di telepon dan diminta datang untuk melakukan interview."

Meskipun tatapan wajah resepsionis itu sedikit terlihat tidak menyangka. Mungkin saja karena penampilan sederhana Rania mereka heran ia bisa langsung diinterview.

Padahal tidak ada yang salah dengan Rania, dia cantik dan pintar. Ya, jika masalah berpakaian ia memang sangatlah sederhana.

"Ada di lantai sepuluh. Setelah sampai lurus terus belok kanan. Di sana tempat interviewnya."

"Makasih, Mbak."

Setelah mendapatkan tempatnya Rania langsung berlari. Sebab saat di telepon jam delapan harus sudah ada di tempat. Padahal tadi ia berangkat pagi-pagi sekali, sayangnya kebiasaan mogok motornya itu membuat Rania terlambat.

Dengan terburu-buru karena mengejar waktu Rania tidak memperhatikan jalan. Hingga tanpa tahu dari arah mana datangnya tiba-tiba saja Rania bertabrakan dengan seseorang hingga tubuhnya terpental dan terjatuh ke lantai.

"Aww, sakit!"

"Jalan pakai mata, dong!"

Setelah memaki seperti itu, orang yang tidak sengaja Rania tabrak pergi begitu saja tanpa sedikitpun menolongnya. Iya, Rania akui dirinya yang salah. Tapi... setidaknya tunjukkan rasa empatinya karena melihat dirinya terjatuh bukan malah memakinya.

"Sombong! Huh. Siapa, sih dia? Sayang sekali aku gak bisa lihat wajahnya. Kalau lihat wajahnya aku kasih tanda biar kalau aku lolos interview dan kerja di sini aku kasih dia pelajaran."

Dengan rasa sakit dan jengkel melebur jadi satu. Rania pun kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai sepuluh. Setelah kejadian ini sudah dipastikan dirinya tidak akan datang on time.

Sementara itu orang yang tadi bertabrakan dengan Rania malah terlihat tersenyum-senyum sendiri. Senyum itu terlihat oleh orang yang sedari tadi berada di sampingnya.

"Kau lihat bukan? Ini nyata, aku bisa melihatnya kembali."

Bab. 3

Rania sampai di lantai sepuluh. Pandangannya langsung mengarah pada empat wanita yang berpenampilan cantik berbanding terbalik dengan dirinya yang berpenampilan biasa saja. Hal ini malah sukses membuat Rania tidak percaya diri.

Harapannya untuk bisa diterima menjadi seorang sekretaris pupus sudah jika saingannya seperti ini. Rania menganggukkan kepalanya sebagai tanda menyapa tidak lupa senyum manisnya ia sunggingkan di bibir tipisnya.

Sayang, dari keempat orang itu tidak ada yang meresponnya. Rania pun memilih duduk menjauh daripada harus berdekatan tapi kehadirannya dianggap gaib.

Baru beberapa detik Rania duduk seseorang keluar dari ruangan interview. Orang itu memberikan instruksi agar para calon sekretaris yang akan diinterview untuk segera bersiap-siap.

Sementara itu, Yuda yang sudah berada di ruangan interview sudah siap sedia. Padahal ia seharusnya tidak perlu terjun langsung untuk menginterview , namun demi memastikan penglihatannya mengenai seorang wanita yang begitu mirip dengan mendiang istrinya --Arini. Ia rela melakukannya.

Yuda terduduk dengan penuh wibawanya. Aura dingin dan arogan begitu terasa di ruangan itu. Membuat siapa saja yang berada di satu ruangan yang sama dengan Yuda serasa seperti seorang tahanan yang hendak diadili.

Namun, meskipun aura ruangan teramat menegangkan. Tidak dengan perasaan Yuda. Yang ada saat ini ia sedang ada dalam mode tak sabar ingin sesegera mungkin ingin melihat orang yang begitu mirip dengan istrinya itu.

"Boy, cepatlah! Aku sudah tidak sabar," ujar Yuda dengan menyunggingkan senyum langkanya.

"Baik, Tuan." Boy pun memerintahkan pada ketua HRD untuk memanggil terlebih dahulu seseorang yang memang sedang ditunggu oleh Yuda.

"Interview akan dimulai. Tolong panggil satu-satu dan kamu harus panggil orang ini dulu." Boy menyerahkan sebuah kertas yang bertuliskan nama salah satu calon sekretaris.

"Baik, Pak. Akan saya lakukan!"

Ketua HRD pun berlalu ia hendak memanggil satu nama yang sudah dipesankan oleh asisten Yuda--Boy.

Saat suara pintu terdengar, semua yang tengah menunggu di luar secara bersamaan refleks menoleh ke sumber suara pintu itu. Muncul seorang pria sedikit gemuk dengan kumis tipis di bagian atas bibirnya, Toni namanya.

"Yang namanya Rania Putri yang mana?" tanya pria gemuk bernama Toni itu.

Rania celingukan sendiri hingga akhirnya ia pun membuka suaranya dengan tangan yang ia acungkan.

"Aku, Pak."

"Kamu dapat giliran pertama."

Dengan wajah bingung campur kaget karena dirinya yang harus mendapatkan nomor pertama diinterview. Rania pun menatap keempat orang yang sedari tadi menatap dirinya dengan tatapan meremehkan. Sekarang justru memberikan tatapan permusuhan. Namun, Rania tidak peduli ia tidak mengenali mereka pun ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun kepada mereka.

"Baik, Pak." Rania pun segera beranjak dengan perasaan gugup pastinya.

Biasanya ia selalu tampil percaya diri. Entah kenapa untuk sekarang rasa percaya dirinya hilang, malah berganti dengan rasa gugup. Alasan cukup simpel takut terulang kejadian beberapa waktu ke belakang saat dirinya harus gagal dan gagal lagi.

Pertama kali masuk hal pertama yang Rania lihat adalah seorang pria dengan setelan jas hitam yang terlihat begitu tampan. Hingga jiwa jomblonya meronta-ronta mengagumi sosok Mahakarya Tuhan.

'Ya Tuhan... hatiku rasanya meleleh. Pria itu ganteng banget. Tapi... kira-kira siapa?'

Rania terus saja membatin hingga ia tak sadar sudah berdiri tepat di hadapan pria yang ia kagumi. Sungguh matanya enggan untuk berpaling. Sepertinya ada magnet yang terus memaksa Rania untuk terus menatap pria di hadapannya itu.

Tak jauh berbeda dengan pria yang ditatap Rania, ia pun sedang berperang dengan batinnya sendiri menatap lekat wajah wanita yang selama ini sangat ia rindukan. Senyum tak hentinya terlukis di bibirnya, senyum yang menurut orang begitu sangat mahal, tapi sekarang diperlihatkan dengan begitu mudahnya. Ia adalah Yuda.

'Akhirnya, akhirnya... aku menemukanmu, Arini sayang.'

Rania tersadar dari kelancangannya yang sudah mengagumi seorang pria yang bukan mahramnya itu. Ia membaca istighfar secara refleks.

"Astaghfirullah."

Yuda yang sedang dalam mode mengagumi Rania seketika tersadar. Yuda langsung memasang wajah tak suka saat mendengar ucapan istighfar dari bibir Rania. Perkataan istighfar itu seperti habis melihat sesuatu yang menakutkan saja.

"Kenapa kamu mengucap istighfar? Kamu kira saya hantu?"

"Eh, gak, kok, bukan begitu maksud saya, Pak," Rania jadi serba salah sendiri. Padahal maksudnya itu ia sedang mengistigfarkan dirinya sendiri karena sudah menggagumi orang yang tidak halal untuk ia kagumi.

"Terus?"

"Eh, itu anu ...."

"Sudahlah! Sekarang lebih baik kamu duduk."

Rania pun mengikuti apa yang Yuda instruksikan. Kini ia pun duduk saling berhadapan, sejenak Rania memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya lalu ia mulai menyadari sesuatu. Jika di ruangan itu hanya ada dirinya dan pria yang ia kagumi itu.

Ia pun mulai merasa takut. Ia belum pernah berada di posisi seperti ini berdua dengan lawan jenis di tempat tertutup. Pikiran buruk pun mulai menghantui isi kepala Rania. Untuk menetralisir rasa takutnya itu ia tidak hentinya meremas kuat-kuat jari jemarinya dengan kepala yang ia tundukan.

Kemudian ia juga berusaha untuk tetap tenang, tidak boleh memperlihatkan rasa ketakutannya. Sebab hal itu justru akan membuat dirinya semakin terpojokkan.

Apalagi ia merasa sedang diperhatikan. Entahlah, interview kali ini ia merasa seperti tidak sedang diinterview melainkan sedang diadili karena ketahuan melakukan kejahatan.

"Siapa namamu?"

Kalimat pertama yang terucap dari bibir Yuda berhasil membuat Rania semakin gemetaran ketakutan.

"Saya... nama saya Rania Putri. Usia dua puluh lima tahun, lahir pada bulan Agustus hari Senin saya...,"

"Stop!" Yuda menyela perkataan Rania hingga akhirnya Rania langsung diam seketika.

"Aku hanya menanyakan nama kamu saja. Kenapa kamu malah nyerocos terus."

Bibir Rania benar-benar ia tutup dengan rapat. Ia juga merutuki dirinya sendiri kenapa bisa-bisanya ia keceplosan bicara. Ia lupa sedang berhadapan dengan siapa sekarang ini.

Setelah itu Yuda kembali menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan seorang sekretaris. Justru pertanyaan Yuda lebih mengarah pada hal pribadi Rania. Rania sebenarnya sudah mulai menyadari, tetapi dia bisa apa? Dia lebih memilih menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Yuda ketimbang tidak menjawab sama sekali.

"Sudah, sekarang kamu boleh keluar."

Rania melongo tidak percaya saat dengan tiba-tiba Yuda mengakhiri sesi interview tanpa sedikit pun menyinggung masalah pekerjaan yang berhubungan dengan seorang sekretaris.

Saking tidak percayanya, Rania terus membuka mulutnya jangan lupakan keningnya semakin mengerut.

"Kau dengarkan! Kau boleh keluar!" Yuda menggebrak meja karena Rania tidak kunjung beranjak. Ia malah terus diam dengan ekspresi tak percayanya.

"Ba-baik, Pak. Sa-saya keluar," ujar Rania seraya berdiri dan langsung terbecir keluar.

'Astagfirullah! Ganteng-ganteng kok aneh gitu. Aku jadi takut," gumam Rania dalam hati seraya terus saja bergidik ngeri.

Di dalam ruangan interview itu, Yuda terus tersenyum hingga Boy dan Toni kembali masuk ke dalam ruangan itu. Tadi Yuda sudah memerintahkan Boy maupun Toni untuk meninggalkan dirinya berdua saja dengan Rania. Wanita yang sangat mirip mendiang istrinya.

Dengan pertanyaan yang sudah ia berikan pada Rania, semakin yakinlah Yuda jika Rania memang Arini-nya. Istri yang sangat ia cintai sampai detik ini meskipun mereka sudah terpisah oleh maut.

"Toni, terima dia jadi sekretaris ku."

Toni yang masih bingung yang di maksud Yuda, menoleh ke arah Boy untuk meminta sebuah kejelasan. Bukannya memberikan penjelasan Boy hanya mengangkat sebelah bahunya sebagai tanda ia tidak tahu.

Terpaksa Toni pun memberanikan diri untuk bertanya, meminta penjelasan dari perkataannya.

"Anu Tuan, maksudnya gimana, ya?"

Yuda langsung menatap Toni dengan tatapan yang tajam bagaikan tatapan mata elang yang sedang memindai mangsanya.

Yuda paling benci saat memerintah sesuatu justru tidak dipahami oleh bawahannya.

Sungguh Yuda tidak mau tahu dan sungguh kejam.

Toni merasa kesulitan sendiri untuk menelan salivanya itu. Hingga pada akhirnya di situasi

mendesak otaknya bekerja dengan baik.

"Sa-saya mengerti Tuan. Saya akan terima wanita tadi jadi sekretaris Anda."

"Bagus."

"Lalu yang lainnya bagaimana? Mereka belum sempat di interview...."

"Terserah kamu! Pokoknya wanita tadi yang harus jadi sekretaris saya!"

"Ba-baik Tuan.''

Yuda pun meninggalkan ruangan interview sebab tujuannya sudah selesai. Ia pun berniat kembali ke ruangan pribadinya melalui pintu keluar khusus.

Yuda merasa takjub sendiri, sebab Rania memiliki kesamaan yang hampir seratus persen. Jika dibandingkan kemiripan keduanya ada di angka sembilan puluh persen. yang sepuluh persen itu adalah penampilan dan gaya hidup yang berbeda.

"Aku harus memilikimu bagaimanapun caranya, Rania."

Yuda tersenyum semirik hingga siapa saja yang melihatnya akan merasa aura ketakutan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!