.
Esmeralda, wanita berusia 25thn ini memiliki segalanya, dan bisa dikatakan hidupnya sangat sempurna.
Kekayaan berlimpah, karir baik, wajah dan tubuh yang elok rupawan, keluarga yang harmonis, sahabat yang sangat menyayanginya, kekasih yang mapan dan tampan.
Sempurna, bukan? Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Hidupnya sudah terjamin!
Tapi, apa jadinya jika semua kesempurnaan itu dirampas begitu saja, hanya dalam waktu kurang dari satu hari, oleh orang-orang yang paling ia percayai.
Hari dimana, ia akan melaksanakan pernikahannya, itulah hari dimana harapan, kepercayaan dan kehancuran menancap begitu dalam dihidupnya.
Awalnya, perjalanan hidup dan cinta Esmeralda sangat sempurna, bahkan bisa dibilang betul-betul sempurna.
Siapa sangka kekasih yang akan menikahinya mengkhianatinya.
Perselingkuhan itu mulai terkuak, saat beberapa hari lagi ia akan menjadi istri dari Leomord, yang kini adalah Presdir Mord Grup salah satu perusahaan besar di Indonesia.
Ternyata, selingkuhan suaminya itu adalah orang terdekatnya. Dan, bukan hanya suaminya yang mengkhianatinya, melainkan sahabat dan keluarganya pun ikut serta membantu menyembunyikan perselingkuhan itu darinya.
Keputusan apa yang harus ia ambil. Tetap menikah dengannya? Atau pergi, hilang dan melupakannya?
.
.
.
.
Lima tahun yang lalu.
SMAN Terpopuler di Jakarta Selatan, 2014.
Siang itu cuaca begitu terik. Panasnya menusuk kulit.
Nampak, seorang wanita yang tengah duduk, berteduh di bawah pohon besar merebahkan badannya di atas rumput-rumput hijau. Wajahnya tertutup buku.
Wanita itu bernama Esmeralda.
Murid kelas XII-A yang akan segera lulus. Gadis pintar yang populer, dari kalangan berada. Ia memiliki sahabat lelaki sedari kecil, tapi saat ini statusnya sudah berubah menjadi kekasihnya.
Nampak dari jauh. Seorang lelaki tampan yang memakai seragam sekolah menghampirinya.
Lelaki itu adalah Leomord. Ya, sahabat masa kecil sekaligus kekasihnya saat ini.
Leomord dan Esmeralda tumbuh bersama sejak kecil. Dan, baru satu bulan ini mereka menjalin kasih. Padahal, pernyataan cinta Leomord sudah diungkapkannya beberapa bulan yang lalu saat hari kasih sayang. Kala itu, wajahnya memerah dan begitu menggemaskan saat ia menyatakan cinta pada Esme.
Leomord memang berwajah tampan, tapi ia tak sepopuler kekasihnya disekolah.
"Esme!" Lelaki itu mengambil buku yang menutupi wajah kekasihnya. "Kita ... kita lulus. Lihat!" Ia menyodorkan lembaran kertas kelulusan padanya dengan wajah yang riang gembira.
Esme mengambilnya untuk memeriksanya. Ternyata, ia mendapatkan nilai tertinggi di sekolah dan Esmeralda pun mendapatkan beasiswa dari sekolahannya.
..
Satu hari telah berlalu.
Pagi itu cuacanya mendung beserta rincikan hujan.
Esme yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah dihampiri oleh Leo. Ia memayungi tubuh Esme dengan payung yang ia keluarkan dari tasnya.
Leo rela, bahu kirinya basah terkena air hujan demi memayungi seluruh tubuh kekasihnya.
"Leo! Bajumu basah," ucap Esme,
cemas.
"Tidak apa-apa. Akukan lelaki," jawabnya, dengan senyuman yang merekah di wajahnya.
Saat itu, sekolah sedang bebas. Hanya melakukan beberapa permainan, guru bersama para murid.
Esme menarik tangan Leo, membawanya ke tepi danau yang berada di belakang sekolah. Itu tempat favorit mereka.
Esme dan Leo duduk di kursi panjang yang berada disitu, sambil menatap ke arah danau. Sesekali, Leo melempar batu ke danau itu.
"Bagaimana jika kau ikut pergi denganku?" ucap Esme, yang saat ini menatap wajahnya dari samping.
Leo pun menoleh, sambil menatapnya lembut. Raut wajah Leo terlihat begitu santai bagaikan air danau yang juga terlihat tenang.
"Aku tidak bisa pergi. Amerika, diluar jangkauanku. Kau kan tahu, keadaan ekonomi keluargaku. Tidak cukup uang, untuk membiayaiku pergi kesana." Leo mengambil bunga yang baru saja terjatuh dari pohon dan membelai rambut Esme, lalu menyelipkan bunga itu di sela telinganya.
"Jika kau tidak pergi, maka aku pun tidak akan pergi!" ancam Esme, dengan raut wajah sebal.
"Esmeralda !" Leo meraih wajahnya, hingga membuat tatapan mereka beradu. "Jangan melepaskan kesempatan emas ini. Sukseslah ! Mau seberapa lama kau disana, aku akan tetap setia menunggumu disini." Leo tersenyum ke arahnya. Senyuman itu seperti menyiratkan kekuatan atas kepercayaan di dalam hubungannya. Hingga membuat kegigihan Esme dalam mencapai cita-citanya, kembali bergejolak di dalam dirinya.
..
Saat hari dimana keberangkatan Esme ke Amerika.
Ia menangis terisak-isak di depan pintu masuk bandara Soekarno-Hatta, ditemani dengan kedua orang tuanya, sekaligus kakak dan adiknya.
Esme menyimpan rasa sesak di dasar hatinya, baru saja ia menjalin hubungan kasih dengan sahabat masa kecilnya. Hari ini, ia sudah harus berjauhan dengan Leo.
Kekokohan cinta mereka, akan diuji oleh jarak.
Kemudian, saat Esme sedang mengantre untuk pengecekan. Tiba-tiba tanpa di duga, Leo berlari kencang ke arahnya dan langsung memeluk Esme dengan sangat erat.
"Esme ! Besok, kau akan selangkah lebih jauh dariku, tapi sejauh apapun kau melangkah. Hatiku tetap akan bersanding disebelahmu. Tak usah bersedih. Kita hanya terpisah jarak, bukan terpisah selamanya." Itulah ucapan terakhir dan tatapan terakhir yang Esme rasakan.
Esme mendekapnya, ia merasakan kenyamanan disitu.
Berat hati, untuk melangkah meninggalkan Leo. Lelaki yang begitu ia cintai.
Setiap saat selalu bersama, dan entah bagaimana hari-harinya nanti di Amerika, tanpa Leo.
Setelah Esme melewati pengecekan, Esme menoleh lagi ke belakang. Leo yang masih berdiri tegak disana, dengan tatapan penuh cinta menggerakkan tangannya, menyiratkan padanya untuk terus semangat.
Leo tersenyum lebar.
Esme langsung merogoh kantung dibajunya, mengambil ponsel miliknya. Lalu ia membuka kamera, dan memotret senyum indah yang terlukis di wajah lelakinya itu.
Lalu, Esme menatap penuh cinta hasil foto yang telah ia potret itu. Berharap, foto senyum lelakinya ini bisa menjadi penyemangatnya menjalani hidup di Amerika.
.
********
2015
Hampir satu tahun telah Esme lewati tanpa adanya sosok Leo yang menemani disisinya.
Ia sudah hampir membiasakan hal itu.
Untuk terus menjalin komunikasi yang baik, Esme hanya bisa mengirimi pesan dan meneleponnya, menceritakan kesehariannya di Amerika kepada Leo.
Rindunya kian menggebu.
Esme ingin sekali melihat wajah lelakinya itu.
Dua hari yang lalu, dengan tak pikir panjang Esme membeli ponsel yang berasal dari Negeri Sakura dengan fitur video call. Tapi sayangnya, fitur itu tak berguna, karena Leo disana tidak memiliki ponsel dengan fitur seperti itu.
Kling .. 🎶
Pesan masuk dari my future priest (calon imamku)
Hey, pacar ! Apakah lagit disana cerah? Bagaimana keseharianmu? (Leo)
Keseharianku, seperti biasa. Belajar dan belajar. Disini sedang badai salju! (Balas Esme)
Jika nanti kau pulang ke Indonesia. Bawakan oleh-oleh salju untukku. Bentuk salju itu menyerupai olaf di film frozen, ya :D (Balas Leo)
Esme tersenyum lebar, sambil meneteskan air matanya dengan menatap lemah pesan itu.
Setiap selesai berkomunikasi dengan Leo, pasti Esme selalu menangis dan menyendiri di ruang sepi.
Menurutnya, semakin sering mereka berkomunikasi, semakin menjerit pula rasa rindu yang membelenggu di dasar hatinya.
********
Beberapa musim-pun telah berlalu.
Esme sangat fokus menjalankan kuliahnya itu.
Hingga tak terasa, komunikasi di antara Leo dan dirinya menyusut, tidak sesering bulan lalu.
Pacar, kau sedang apa? (Esme mengirim pesan pada Leo)
Lima menit telah berlalu. Esme hanya memokuskan pandangannya ke arah ponselnya, sambil menggigit jarinya dengan perasaan berharap.
Tapi, balasan dari Leo tak kunjung ada.
Apa kau sedang sibuk? (Esme mengirim pesan lagi)
Pluk..
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Esme sedikit terkejut, lalu ia pun menoleh.
"Esmeralda! Are you okay?" tanya teman kuliahnya.
Esme memaksakan tersenyum, ia menjawabnya dengan menganggukan kepalanya.
Perasaannya menjadi hampa saat itu.
Lalu, Esme menarik tasnya dan berlalu meninggalkan temannya itu begitu saja.
Teman lelakinya itu menatap cemas ke arahnya. Punggung Esme kian menjauh dari pandangan lelaki itu.
Hay, hay, mampir ke chat story aku ya, judulnya 'Menjanda'.
..
Jangan lupa LIKE, KOMEN, VOTE & FAVORITKAN ❤
.
Beberapa bulan telah dilewatinya. Esme semakin berteman sepi, Leo yang semakin hari semakin jarang menghubunginya, membuat Esme tidak tahan lagi berada di Amerika. Esme berontak pada orang tuanya di telepon, ia menjadi sosok yang berbicara kasar. Ia hanya ingin pulang sebentar ke Indonesia.
Tapi, orang tuanya bersikekeh dengan melarangnya terus menerus.
"Ayah, bisakah ayah memberi tahu aku tentang bagaimana kabar Leo disana? Akhir-akhir ini, Leo jarang mengabariku," pintanya di telepon, dengan suara lirih.
"Jangan mengganggunya, nak. Ayah lihat, dia sedang berusaha mencapai kesuksesan," ucap ayahnya di telepon.
Esme mengernyitkan dahinya. Entah mengapa, ucapan kata 'jangan mengganggunya' dari mulut ayahnya itu terdengar begitu menyayat hati.
Esme berniat menutup panggilannya, dengan perasaan hampa. Tapi tiba-tiba, ayahnya berbicara. Mengatakan bahwa setelah Esme lulus kuliah dan menjadi sarjana dengan nilai tinggi, keluarga Leo akan datang untuk mempersuntingnya.
Sontak saja, kabar itu menjadi suatu hal yang begitu menggembirakan untuknya.
"Makanya, kamu fokuskan saja belajarnya disitu. Tidak usah memikirkan Leo. Leo disini sedang berjuang untuk bisa menjadi setara dengan keluarga kita. Jangan mengecewakan kami," ucap ayahnya, dengan langsung menutup panggilan itu, begitu saja.
Teg!!
Apakah yang berbicara denganku di telepon ini adalah ayahku? Kenapa bicara ayah menjadi seperti itu? (Batinnya, terheran dengan sedikit kecewa di benaknya)
"Ah, sudahlah. Mungkin ayah hanya mengkhawatirkan aku," gumamnya. "Leo akan mempersuntingku, setelah aku lulus? Berarti tersisa dua tahun lagi aku belajar disini ! Aku akan belajar dengan baik di Amerika, lalu pulang membawa prestasi dan menikah dengan Leo." Esme terus saja bergumam dengan wajah yang berseringai.
..
Waktu berjalan begitu cepat, hingga dua tahun yang berlalu ini tidak terasa bagi Esme.
Hari ini adalah hari dimana kepulangan Esme dari Amerika. Ia pulang membawa prestasi dengan nilai yang cukup tinggi. Tak sia-sia, selama dua tahun ia menekuni pelajaran dengan berusaha tidak memikirkan Leo.
Saat Esme tiba di Indonesia, ia sudah menjadi wanita dewasa yang begitu mempesona.
Ia berjalan sangat anggun, dengan kaca mata hitam yang ia kenakan.
Kedua orang tuanya, beserta adik dan kakaknya menyambut hangat kedatangan Esme di bandara.
Keluarganya di buat takjub dengan penampilan Esme yang kian menawan.
Benar-benar tidak sia-sia mereka merawat dan mengirimkannya ke luar Negeri.
"Ayah! Ibu." Esme langsung memeluk kedua orang tuanya, mendekapnya sangat erat. Memecahkan rindu yang membeku bertahun-tahun.
"Kaka, kau menjadi orang bule sungguhan semenjak tinggal lama di Amerika," ucap Lolyta, adik satu-satunya Esmeralda. Mereka begitu dekat satu sama lain.
Lolyta adalah adik yang ramah dan lembut, ia selalu menghormati kakak-kakaknya.
"Apa kau tidak rindu padaku?" Balmond melentangkan kedua tangan besarnya. Ia adalah kakak gendutnya Esmeralda. Ia sangat penuh kasih pada adik-adiknya. Meskipun sangat gemar makan, tapi jika adiknya merengek meminta camilan, ia akan langsung memberikannya tanpa berdecak.
Esme beralih memeluk Balmond. "Aku sangat rindu ratusan camilan yang kau simpan di bawah ranjang, agar tidak ketahuan ayah dan ibu. Hahahaa...." Esme tertawa riang di pelukannya.
...
Setelah melepas rindu, kemudian ayahnya mengambil alih barang-barang yang Esme bawa selama tinggal di Amerika. Ia memasukannya kedalam bagasi mobil.
Esme dan keluargapun pulang, menuju rumahnya.
"Loly, Esme! Apa kalian lapar?" tanya Tn.Harits, yang sedang mengendarai mobil.
Tn.Harits adalah ayah dari Esmeralda.
"Ya, aku lapar!" jawab serentak Esme dan Lolyta.
"Ayah, selalu mengabaikan aku," decak Balmond, yang duduk di kursi paling belakang sendirian. Nampaknya, Balmond begitu pengap dengan tubuh besarnya.
"Kalau kau, tidak perlu ditanya lagi. Kau selalu saja kelaparan tiap detiknya," tutur Ny.Hilda dengan senyum di wajahnya.
Ny.Hilda adalah ibu dari Esmeralda.
Lalu, Tn.Harits melirik kekiri dan kekanan jalan, mencari restoran yang sudah buka. Karena suasananya masih pagi.
Setelah menemukan restoran yang sepertinya nyaman dan menunya sangat pas dilidah mereka. Tn.Harits menggiring keluarganya masuk ke dalam restoran.
Sambil memeriahkan kedatangan Esme ke Indonesia. Tn.Harits memesan seluruh menu yang ada di daftar menu itu.
Sontak saja, itu membuat kedua mata Balmond berbinar. Ia sesekali mengecap-ecap bibirnya, karena sudah tak tahan dengan godaan harumnya masakan yang menusuk hidungnya.
"Ayah, apa tidak terlalu berlebihan memesan semua masakan disini?" bisik Esme.
"Jika tidak habis, kita bisa membagikannya ke pengemis atau siapapun yang membutuhkan makanan ini," jawab Tn.Harits.
Dan memang benar, semua makanan yang tersaji di atas meja tidak habis. Balmond yang gemar makanpun, melambaikan tangannya. Perutnya, sudah benar-benar hampir meletus.
Kemudian, Esme dan keluarganya pulang dengan membungkus semua makanan yang tidak habis itu.
Di perjalanan pulang, Esme, Lolyta dan Balmond memberikan makanan itu pada beberapa gelandangan.
Ny.Hilda dan Tn.Harits tersenyum di dalam mobil, melihat tingkah baik ketiga anak-anaknya itu yang sedang mengulurkan tangan kepada orang-orang yang membutuhkan.
..
Sampailah mereka di rumah mewahnya.
Bi Inah dan Pak Lampir membuka pintu gerbang, sambil menyambut hangat kedatangan mereka.
Bi Inah dan Pak Lampir adalah suami istri yang bekerja di rumah Esme, mereka sudah bekerja saat Esme masih kecil.
Saat Esme membuka pintu mobil. Bi Inah dan Pak Lampir langsung mengerumuninya. Mereka betul-betul rindu padanya. Mereka pun melontarkan ribuan pertanyaan pada Esme tanpa ada jeda sedikitpun.
Tn.Harits dan Ny.Hilda langsung menepis pertanyaan yang bertubi-tubi itu, dengan membawa Esme masuk kedalam rumah.
Bi Inah dan Pak Lampir begitu antusias, wajahnya berseri-seri saat mengikuti langkah majikannya masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah.
Esme mengedarkan pandangannya. Melihat kesekeliling rumahnya. Ada sedikit yang berbeda, mungkin selama bertahun-tahun meninggalkan rumahnya, ada tambahan barang-barang dengan posisi yang berbeda.
"Esme, segeralah beristirahat ke kamarmu!" ucap Tn.Harits, sambil duduk di sofa ruang tamu.
Esme langsung berjalan menaiki anak tangga, menuju kamar tercintanya.
Lalu ia membuka pintu kamarnya.
Matanya menatap takjub, setelah melihat perubahan drastis kamarnya itu. Kamarnya kini, terkesan begitu anggun menurutnya.
Lalu, Esme membuka pintu balkon. Ia mengedarkan pandangannya, menatap beberapa atap rumah tetangganya.
Tiba-tiba, senyum di wajahnya menghilang. Esme langsung teringat pada Leo. Sudah dua tahun, ia tak berkomunikasi dengannya. Entah apa yang terjadi padanya.
Tak pikir panjang, Esme langsung berlari keluar kamar itu dan meninggalkan rumahnya.
Ny.Hilda yang baru saja keluar dari dapur, terhentak kaget setelah angin kencang berhembus tepat di wajahnya karena kecepatan Esme berlari.
"Esme ! Emeralda, mau kemana kau?" teriaknya, karena Esme sudah menghilang dari pandangannya.
Esme berjalan cepat disisi jalan. Menuju rumah Leo, yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya, hanya terhalang tiga rumah besar saja.
"Leo!!... Leomord!" panggilnya sambil menggoyang-goyangkan kunci gerbang, karena gerbangnya digembok.
Biasanya, ibunya selalu cepat menyahut. (Batin Esme terheran)
Esme memanggil-manggil lagi nama lelakinya itu di depan rumahnya. Hingga membuat tetangga sebelahnya keluar dari rumah, karena merasa terganggu.
"Oh, Nona Esme. Pasti cari Leo, ya?" tanya wanita paruh baya itu.
"Iya, nek. Apa nenek tahu keberadaan Leo?" tanyanya, penasaran.
"Sembarangan kau panggil aku nenek," Wanita paruh baya itu menyepretkan sapu lidi yang ia genggam ke pantat Esme. "Panggil aku, tante !" serunya.
"A-ah! Ya, maaf tante. Hehe... jadi apakah tante tahu keberadaan Leo?" Esme terpaksa bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
"Bukankah kau temannya? Masa kau tidak tahu, Leo dan keluarganya sudah lama pindah dari sini," jelas wanita paruh baya itu.
Hah?
"Pindah? Pindah kemana, nek? Ah! Maksudku pindah kemana tante?" Raut wajah Esme menjadi panik.
"Aku juga tidak tahu mereka pindah kemana. Saat di tanyapun, orang tuanya tidak ada yang mau menjawab," ucapnya.
Perasaan Esme menjadi semakin hampa, nafasnya pun sangat berat. Bendungan air dimatanya, perlahan muncul.
Lalu ia bertanya ke semua tetangga disitu, dan memang tidak ada yang mengetahui kemana pindahnya Leo.
Begitu sesak hatinya, sekian lama menopang rindu dengan tak bertemu, lalu dua tahun di campakan dengan tidak adanya kabar dari Leo.
Saat pulang dari Amerika ke Indonesia,
dan menghampiri rumahnya. Ternyata Leo sudah pindah, dengan teganya ia tak memberi tahu Esme.
Lantas, apa arti Esme dihidupnya? Dan, harus mencari kemana keberadaan Leo?
Lalu, bagaimana dengan pernikahannya?
Bukankah, Leo akan mempersuntingnya setelah ia lulus dan pulang ke Indonesia?
Tapi, Esme yakin, Leo tidak mungkin melakukan hal kejam ini padanya. Pasti ada sesuatu yang mengharuskannya begini.
Esme mencoba memahaminya, walau kenyataan itu belum pasti adanya. Ia hanya menggenggam harap, berharap pikiran positifnya itu memang benar.
...
BERSAMBUNG !!!
Jangan lupa di Favoritkan, siapa tahu epsd selanjutnya membuat kamu kesemsem sama cerita didalam novel ini 😁
.
Setelah beberapa minggu bersusah payah mencari keberada Leo, dengan tidak adanya titik temu. Akhirnya, Esme memutuskan untuk menyisihkan pikirannya, karena selama beberapa minggu itu pula kedua orang tuanya menyuruhnya untuk segera mencari pekerjaan.
Esme pun tidak tega melihat ijazah beserta gelar sarjana yang susah payah ia dapatkan, tergeletak begitu saja di dalam laci lemarinya.
Tapi tetap saja, masih ada yang terus mengganjal di dasar hatinya. Tak bisa dipungkiri, hati kecilnya terus mengkhawatirkan Leo.
Kemudian, Esme beranjak dari tidurnya, ia memutuskan lamunannya tentang Leo. Ia langsung beralih, duduk disofa dengan sebuah laptop di meja.
Esme mencari lowongan pekerjaan untuk direktur pemasaran, melalui internet.
Disitu tertera, beberapa nama perusahaan, list pekerjaan, beserta gaji perbulannya.
Esme mengulik satu persatu informasi perusahaan-perusahaan itu dengan teliti, perusahaan mana yang baik dan lebih menguntungkan untuk dirinya.
Lalu, Esme memilih lima perusahaan yang terbaik dari sembilan perusahaan di daftar itu.
Sekarang, aku harus memilih satu di antara lima perusahaan ini. (Batinnya, dengan rasa dilema)
"Jika dibandingkan dengan ini dan itu. Menurutku, Grup Mord adalah yang terbaik," gumamnya, dengan sorotan mata yang tajam.
Esme menyeruput susu hangat yang telah Bi Inah suguhkan untuknya.
"Baiklah. Kalau begitu, aku pilih perusahaan ini saja!" seru Esme.
Kemudian, ia mulai mengisi data dirinya dan mengirimkan lamaran pekerjaan itu melalui email.
Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya Esme mendapat pesan panggilan untuk interview, besok.
Ia pun merasa sangat senang.
Tapi, Esme tidak memberitahu keluarganya, karena itu hanyalah panggilan interview saja.
.....
Pagi hari.
Nampak, Esme yang sedang memandang diri di hadapan cermin dengan memilih baju untuk interview hari ini. Tidak lupa juga, ia pun merias wajahnya. Setelah selesai, ia keluar dari kamarnya. Menuruni anak tangga, menuju ruang makan.
"Selamat pagi, putri tidur," sapa Balmond, dengan mulut penuh roti. Saat Balmond melirik wajah Esme, tiba-tiba pandangan matanya tersilaukan oleh kecantikan yang terpancar dari tubuh Esme, hampir saja roti di dalam mulutnya terjatuh karena ia menganga.
"Selamat pagi, tuan gendut," sapanya juga, dengan senyum yang merekah.
Ny.Hilda pun sedikit dibuat terkejut dengan penampilan Esme hari ini. Namun, ia hanya kagum tanpa suara.
Kemudian, Ny.Hilda mengambil roti dan mengoleskan selai di dalamnya, lalu ia taruh di atas piring Esme. "Sayang, apa kau sudah mencari pekerjaan?" tanyanya.
"Ya, aku sedang mencarinya," jawabnya singkat. "Apa ayah sudah pergi ke kantor, bu?" tanya Esme sambil mengunyah roti.
"Ayahmu sudah berangkat pagi sekali, katanya ada rapat penting!" ucap Ny.Hilda. "Em, Esme ! Bisakah kau panggilkan Loly? Sudah hampir jam delapan, kenapa dia masih belum keluar juga dari kamarnya?" Ny.Hilda sedikit mengomel.
Esme membelalakkan kedua bola matanya. "APA! Jam delapan?" Ia mengunyah panik dengan memasukkan semua roti yang tersisa di genggaman tangannya itu. Ia langsung beranjak, "Maaf, bu. Tapi, aku harus keluar sekarang juga." Esme mencium tangan dan kedua pipi Ny.Hilda, dengan perasaan panik. Lalu, ia menarik tasnya dan berjalan cepat keluar dari rumahnya.
Ny.Hilda dan Balmond membatu, dengan raut wajah yang terheran-heran melihat kepanikan Esme.
...
Esme terburu-buru, ia mengemudikan mobil dengan perasaan panik sambil terus saja melirik arloji di pergelangan tangannya. "Aduh !! Masih sempat tidak, ya?" gumamnya dengan tatapan cemas.
Setelah sampai di perusahaan, ia melihat kerumunan orang-orang yang sepertinya sedang mengantre untuk di interview. Kemudian, dengan cepat ia ikut bergabung dengan mereka. Esme mengatur nafasnya dan membusungkan sedikit dadanya, agar terlihat tenang dan anggun menurutnya.
Baru saja, ia akan duduk. Tiba-tiba,
Selanjutnya no.5! ... Nona Esmeralda no.5 apakah ada?
Esme terhentak kaget. "Saya ! Saya, Esmeralda," sahut Esme, cepat. Ia langsung berjalan masuk, dengan jantung yang masih berdebar.
Saat masuk kedalam ruangan interview, terlihat ada dua orang lelaki yang sedang duduk dengan tampang menunggu. Sepertinya, Esme akan di interview oleh mereka berdua.
"Nona Esmeralda, sepertinya kau terlambat! Apa aku benar?" ucap Roger, dengan nada sombongnya.
Roger adalah wakil direktur.
"Tidak. Aku sampai tepat waktu!" seru Esme, yang juga tidak ingin kalah sombong darinya.
"Nona Esmeralda ! Diperusahaan kita, kedisiplinan itu sangat penting. Jika jadwal menentukan pukul 8, bukankah lebih baik jika kita datang sebelum pukul 8 tepat?" tutur Garry, dengan tatapan meledek.
Garry adalah direktur personalia.
Esme mengernyitkan dahinya, ia merasa tidak senang saat mendengar perkataan itu, apa lagi dengan nada yang sombong dan raut wajah yang meledek.
"Maaf! Sepertinya aku tidak cocok dengan pekerjaan ini," celetuk Esme dengan raut wajah nampak kesal. Ia langsung beranjak dan akan meninggalkan ruangan itu.
"Seperti inikah sikap doktoral dari Amerika?" ucap seseorang dari arah pintu dengan tiba-tiba.
Esme langsung menoleh ke sumber suara.
Deg ....
Leo?
Sekujur tubuhnya langsung gemetar. Esme menjadi tak bisa berkutik setelah melihat lelaki yang ia rindukan, kini berada di hadapannya dengan jas hitam berdasi. Beberapa tahun tak bertemu, Leo terlihat sudah menjadi lelaki dewasa dan semakin mempesona.
Air mata Esme pun mulai membendung.
"Perkenalkan, saya Presdir Mord Grup... Leomord!" ucapnya sambil tersenyum lebar. Lalu, Leo melentangkan kedua tangannya.
Esme hanya berdiri mematung, ia masih tak menyangka dengan kehadiran Leo dihadapannya itu.
Esme menatap tajam dari ujung kaki hingga ujung kepala lelakinya itu.
Benar ! Itu Leo.
Esme langsung berlari dan memeluknya begitu erat. Air matanya pecah, sudah tak bisa di bendung. Ia menangis terisak-isak. Rasa kekecewaan, rasa rindu, rasa cemas, rasa sesak dalam dada, terbayar lunas saat itu juga.
Roger dan Garry terhentak kaget. Karena dengan beraninya wanita itu memeluk atasannya. Mereka berniat ingin menarik tubuh Esme yang sedang menangis di pelukan Leo.
Tapi, Leo langsung menggerakkan tangannya, menyiratkan agar mereka tidak usah khawatir dan segera pergilah.
Kemudian, kedua lelaki itu pergi karena ini perintah dari atasannya, tak bisa dibantah. Lalu, mereka mencari ruangan yang lainnya untuk melanjutkan interview.
...
...
Beberapa menit telah berlalu.
Leo membawa Esme ke ruang kerjanya, karena tidak enak dilihat oleh para pelamar kerja. Esme masih menangis sesegukan, ia benar-benar menjadi sangat kesal. Sesekali ia mencubit bagian tubuh Leo, meluapkan kekesalannya selama ini yang menahan rindu tanpa kabar darinya.
"Minum tehnya selagi hangat. Itu akan menenangkan pikiran dan perasaanmu!" seru Leo, sambil meletakkan secangkir teh di atas meja.
Esme hanya menyapu ingus dan air matanya dengan tisu. Entah berapa tisu yang telah ia habiskan. Matanya pun memerah dan menjadi bengkak.
"Sudah, jangan berlarut-larut. Sekarang, aku sudah bersamamu, dan menjadi seseorang yang sukses. Harusnya kau bahagia dan memberiku ucapan selamat," tutur Leo. Ia langsung menghentikan tangan Esme yang masih saja menyapu air matanya.
"Sesibuk itukah kau? Sampai dua tahun tidak memberiku kabar sama sekali. Sesibuk-sibuknya manusia pasti ada diamnya. Apa kau tidak tahu seberapa khawatirnya aku?" ucap Esme dengan sedikit emosi, sambil menahan air matanya.
"Kemana kau pindah? Lalu, bagaimana bisa kau menjadi direktur utama dan membangun perusahaan besar dengan cepat? Apa kau tidak ingat sama sekali padaku? Sepertinya kau sangat menikmati hidup tanpa aku! Harusnya kau memberi tahu aku mengenai kesuksesanmu ini," nada bicara Esme menjadi tinggi, emosi kekesalannya membeludak.
"Esme, pelankan suaramu! Perusahaan ini adalah perusahaan paman Claude, dia sakit parah. Banyak hal yang terjadi selama dua tahun belakangan ini, kemudian paman Claude menyerahkan perusahaan ini padaku," jelasnya. "Aku tidak mengabarimu, karena saat itu ponselku hilang, dan aku kehilangan kontakmu! Aku akan menyempatkan waktu, membawamu kerumahku," sambung Leo.
"Tidak bisakah kau meminta kontakku pada orang tuaku? Pada Balmond atau Loly?" tanyanya dengan sorotan mata yang tajam.
"Esmeralda, kendalikan emosimu!" Leo langsung memeluk tubuhnya. "Sepertinya, beribu maaf pun tak akan cukup. Tapi, aku berjanji. Mulai hari ini, aku akan selalu ada untukmu. Aku mohon, jangan bersedih lagi dan jangan bersikap seperti ini padaku!" Pelukan dan ucapan Leo, perlahan membuat emosi Esme meluluh.
Mau sebesar apapun kemarahan Esme pada Leo, ia tak bisa membencinya. Kemarahannya pun tidak akan berlangsung lama.
"Apakah kau sudah merasa baik?" Tanya Leo. Esme menghela nafas panjang, lalu ia menganggukan kepalanya. "Bagaimana, jika kita lanjutkan lagi interviewnya?" sambung Leo.
"Tidak. Sikap kedua lelaki tadi seperti tidak menghargaiku. Mord Grup membuatku sangat kecewa. Jika melakukan interview ulang, itu hanya akan membuang waktuku. Sebaiknya aku pulang saja." Bicara Esme sambil tertunduk dan akan beranjak.
"Ya, aku melihatnya tadi. Aku meminta maaf atas nama mereka berdua. Tapi, kau jangan menilai perusahaanku hanya dari satu perkataan itu saja," ucap Leo sambil menghentikan Esme. "Ayolah. Beri perusahaanku kesempatan satu kali lagi untuk meng-interview mu!" Leo menatap lembut ke arahnya, dengan senyuman yang membuat Esme lagi-lagi luluh.
"Mm... baiklah!" ucapnya singkat.
Kemudian, Leo membawa Esme ke ruang interview. Disitu ada Roger dan juga Garry, Leo langsung memelototi mereka dan menggerakan kepalanya, menyiratkan agar mereka meminta maaf pada Esme.
"Emm, Nona Esmeralda. Kami meminta maaf atas ucapan perkenalan yang sepertinya tidak membuatmu nyaman," ucap Roger dengan sopan.
"Sejujurnya, kita tidak berniat untuk mengecewakanmu. Mungkin, hanya terjadi kesalah pahaman saja di antara kita," sambung Garry dengan raut wajah yang gugup.
"Ya, tidak apa," jawabnya singkat.
...
Tidak lama kemudian, mereka mulai melakukan proses tanya jawab.
"Bagaimana pendapatmu tentang esensi pemasaran?" tanya Roger, serius.
"Menurutku, pemasaran itu sebagai proses dimana perusahaan menciptakan suatu nilai bagi pelanggannya, lalu membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan untuk menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalannya," jawab Esme, singkat padat dan jelas.
"Ada beberapa tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam era industri. Pertanyaanku adalah, permasalahan utama apa yang akan dihadapi industri di Indonesia beberapa tahun kedepan?" tanya Garry. Semua yang ada disitu semakin dibuat serius.
"Tantangan yang paling utama adalah industri hulu upstream, dan antara midstream yang kurang berkembang, di tandai oleh bahan baku dan komponen kunci yang sangat tergantung dari impor. Salah satu contohnya adalah semua bagian penting dibidang elektronik dan otomotif," jawab Esme tegas, dengan jantung yang mulai berpacu.
Leo tersenyum, ia merasa puas dan bangga mendengar jawaban dari wanitanya itu.
Kemudian, saatnya Leo untuk bertanya.
"Melihat pasar yang sedang turun saat ini, mana yang lebih baik, berinvestasi secara bertahap atau sekaligus dalam jumlah besar?" tanya Leo dengan tatapan penuh cinta.
Esme malah tersenyum tipis melihat ekpresi menggoda lelakinya itu.
"Kita tidak bisa memprediksi sejauh apa penurunan ini akan terjadi, dengan kata lain harga bisa turun lebih rendah. Jadi, lebih disarankan dengan berinvestasi secara bertahap, sehingga bila pasar masih terjadi penurunan, kita berkesempatan mendapatkan rata-rata harga yang lebih murah," Esme membalas tatapan menggoda dan senyum manis dari Leo.
Roger dan Garry mengangkat halis kirinya, mereka terheran-heran dengan tingkah Esme dan Leo yang membuat bola mata mereka menjadi geli saat melihatnya.
..
BERSAMBUNG !!!!
jangan lupa Like, Komen & Vote ❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!