Di sebuah kamar dengan nuansa merah muda yang hanya terdiri dari kasur ukuran 160x200 cm, meja belajar dan lemari baju. Kamar yang sederhana namun rapih, seorang gadis termenung sembari menatap langit-langit kamarnya. Kamar yang ditinggalinya selama setahun ini menjadi teman kisah renungan masa lalu yang sampai saat ini belum dapat dilupakan.
“Tidak salah, berharap pada manusia memang harus siap untuk dikecewakan. Tapi, kenapa harus kamu?” Begitulah monolog lirih dari gadis mungil berusia 18 tahun. Usia yang cukup muda bagi mahasiswa semester 3.
Gadis itu adalah Nadira Arsyakayla atau yang sering disapa Dira. Saat ini, Dira sedang pulang kampung setelah selama setahun ini dia mondok dan meneruskan pendidikannya di Universitas Negeri di Kota Satria. Kekecewaan, kesedihan, rasa bersalah dari kisah masa lalu membuat Dira berkali-kali mengucap istighfar.
Nadira paham, bahwa belum saatnya dia memikirkan tentang cinta dari lawan jenis. Yang harus dipikirkan sekarang adalah pendidikan dan fokus membahagiakan keluarga. Namun, Dira adalah gadis biasa yang punya rasa cinta terhadap lawan jenis, normal. Bagi sebagian orang menyebutkan bahwa cinta yang Dira rasakan saat ini hanyalah cinta monyet, tapi tidak bagi Dira. Dia merasa cintanya nyata, walaupun dia tahu betul hal itu tidak diperbolehkan, sebelum menjadi mahramnya.
“Astaghfirullah, kenapa aku harus membuang waktu untuk memikirkannya. Ayolah Dira, lupakan! lupakan! move on move on, kamu pasti bisa! Bukan kamu banget.” ucap Dira berusaha menyemangati dirinya.
Cukup sulit, karena biar bagaimanapun masa lalunyalah yang membuat Dira memiliki semangat lebih. Mengenangnya saja membuatnya tersenyum bodoh yang ujung-ujungnya kembali merasa terluka akan keadaan.
Karena rasa lelahnya membuat gadis itu tertidur. Cukup lama dia tertidur, hingga suara keras dan ketukan pintu dari sang ibu membuat Dira terbangun.
Tok
Tok
Tok
“Dira, bangun! Sudah Ashar. Pamali! sudah sore masih tidur, bisa bikin gila! Emang mau jadi orang gila, hah. Bangunnnn!”, seru Ibu Yasi-Mamanya Dira setelah berkali-kali menggedor kamar anak gadis keduanya itu.
“Ck, bocah kie masih pada bae. Angel tenan nek kon tangi (Anak ini masih sama saja. Susah banget kalau disuruh bangun).” Ibu Yasi berdecak kesal dengan Dira yang masih saja sulit untuk dibangunkan.
Sejak dulu Dira memang anak yang sedikit badung, namun masih tetap dibatas wajar. Selain susah dibangunkan, Dira juga anak yang cukup keras kepala. Selain itu, sering kali melanggar aturan orang tua, seperti pacaran misalnya. Beruntung, Dira anak yang cerdas dan mudah bergaul, sehingga tidak menghalangi pendidikannya.
Dira adalah anak ke dua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Kakaknya sendiri sudah menikah, memiliki 2 putri dan sudah punya rumah sendiri. Sedangkan adik Dira masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar.
Dira yang sempat kaget langsung terbangun dan terduduk.
"Mama ya ampun, kenapa harus teriak-teriak sii, huh Astaghfirullah, tenang-tenang,"
“Huamm, sudah ashar rupanya. Pantas saja Mama berteriak, pasti beliau akan jengkel dengan kebiasanku ini. Tapi biarlah hehe itung-itung nyaur turu, jarang-jarang bisa tidur siang. Maafkan anakmu Mama.” Gumamnya, sambil mengikat rambutnya.
Dira bangun dan berjalan ke luar kamarnya. Jika di dalam rumah, Dira memang tidak memakai jilbabnya, terkecuali jika ada tamu. Karena bagi Dira, semua penghuni rumahnya saat ini adalah mahramnya, jadi tidak masalah kalau tidak menggunakan hijab.
Dira sudah menggunakan hijab sejak dirinya memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama. Dimana waktu itu Bapak Dira menyarankan Dira untuk masuk Madrasah Tsanawiyah yang mewajibkan untuk menggunakan hijab. Awalnya, dia hanya akan memakai hijab ketika sekolah dan mengaji saja. Namun, karena merasa nyaman dan sering kali mendapat tausiah mauoin pelajaran dari guru ngajinya tentang kewajiban menggunakan hijab, maka sejak saat itu Dira selalu memakainnya kemanapun Dira pergi, kecuali di dalam rumah.
Selepas lulus MTs (Madrasah Tsanawiyah), Bapak dan Mama Dira ingin Dira masuk pesantren sekaligus melanjutkan Madrasah Aliyah. Namun karena keterbatasan ekonomi dan kebetulan Syifa, adik Dira masuk SD membuat Dira harus masuk SMA Negeri. Dimanapun Dira sekolah, bagi Dira sama saja, yang terpenting belajar dan dapat meraih cita-cita.
Setelah nyawanya dirasa terkumpul, Dira bergegas pergi ke Kamar Mandi untuk membersihkan diri sekaligus mengambil wudhu. Kamar mandi di rumah Dira memang sebelahan dengan dapur. Hal tersebut membuat Dira yang ingin ke kamar mandi menghentikan langkahnya sejenak, kala melihat ibunya sedang melakukan sesuatu di dapur.
“Mama lagi apa? Ada yang bisa Dira bantu?” tanya Dira pada mamanya yang terkesan basa basi. Kalau boleh jujur, Dira memang kurang pandai memasak. Membuat kopi saja, Dira belum bisa dengan takaran yang pas.
“Mama mau masaklah Dir, bukannya kamu lihat kalau Mama sedang mengiris bawang. Kamu ini kuliah ya mondok, bukannya nambah pinter malah jadi aneh gini, terus kebiasaan lamamu juga belum berubah. Ck.” omel Mama Yasi sedikit kesal dengan Dira.
“Hehe, ya kan hanya basa-basi Mamaku. Mama ini kenapa, bukannya sudah panen? kenapa sensi mulu sama Dira? Padahal Dira baru pulang lho Ma, setahun ngga ketemu malah Mama kaya ngga suka Dira pulang, hu hu hu Dira sedih nih.” ucap Dira mendramastis suasana memasang wajah sedih yang hanya ditanggapi dengan dengusan nafas kasar oleh mamanya
Sebenarnya Dira tahu kalau Mamanya hanya mencandainnya, walau sedikit kesal padanya. Nadira berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan dan membasuh wajahnya, setelah itu mendekati Mama Yasi.
“Mama itu jangan marah-marah terus, nanti darah tinggi mama kumat lho. Nanti kalau Dira sudah nikah-...“ Dira menghentikan ucapannya, kembali teringat tentangnya.
"Ah ya ampun keceplosan, mama Ngeh ngga ya? Duh." panik Dira salam hati.
“Em, ada yang bisa Dira bantu ngga Ma? kalau tidak ada, Dira mau mandi terus asharan dulu. Ingat ya Mama ngga boleh marah-marah lagi,” sambung Dira mengalihkan pembicaraan dan langsung masuk ke kamar mandi.
Mama Dira yang mendengar, sedikit bingung. Namun ketika melihat raut wajah panik dan tindakan Dira, Mama Yasi curiga jika ada yang tengah mengganggu pikiran anaknya itu. Sebagai seorang Ibu, Mama Yasi yakin jika putrinya sedang ada masalah. Biasanya feeling seorang ibu memang tidak pernah salah, dan apa yang dipikirkan Mama Yasi memang benar adanya.
Sepandai-pandainya Dira ataupun anak yang lainnya menyembunyikan sesuatu, Mama Dira adalah orang yang paling peka. Walaupun Dira lebih dekat dengan Bapaknya, namun tetap saja dia tidak bisa bohong pada mamanya.
Sedangkan di kamar mandi, Dira tengah mengumpat kebodohannya yang hampir saja keceplosan.
“Untung saja mulutku masih bisa ku rem. Kalau sampai licin, aduh bisa kena introgasi 7 hari 7 malam. Huh aman-aman, semoga Mama yang super peka itu ngga curiga denganku tadi.” gerutu Dira yang hanya didengar oleh dirinya sendiri.
Setelah selesai mandi dan bersiap, Dira langsung menjalankan ibadah salat ashar karena waktunya yang hampir habis. Sambil menunggu waktu maghrib, Dira menyempatkan diri untuk membaca kitab suci Al-qur’an.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam harinya, setelah shalat isya berjama’ah, keluarga kecil Dira melanjutkan kegiatan bersama dengan makan malam. Tidak ada makan malam seperti kebanyakan orang yang duduk melingkar di meja makan dengan menu yang tersaji di meja makan pula. Keluarga sederhana tersebut tidak memiliki meja makan, lebih tepatnya meja makannya ada, tapi kursinya yang tidak ada. Oleh kerena itu, mereka biasa makan sambil menonton TV di ruang tengah.
Pak Khadir-Bapak Dira hanyalah petani biasa. Namun hebatnya, Beliau bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan modal sawah yang dimiliki dan menjadi buruh tani biasa. Saat ini musim panen, membuat Bapak Dira juga bekerja memanen padi milik petani lain atau yang sering disebut dengan istilah mbawon.
Bapak Dira merupakan pekerja keras. Walaupun hanya petani, namun baginya pendidikan anak adalah hal yang penting. Dengan kegigihannya, Beliau mampu membungkam mulut para tetangga yang mengaggap dia tak mampu menyekolahkan anaknya. Buktinya anak pertamanya bisa lulus sampai SMA karena waktu itu bisa dihitung jari yang sampai SMA di desa tempat tinggal Dira. Ketambahan Dira yang saat ini sedang menempuh pendidikan kuliah. Pada intinya, jangan remehkan petani!
Pernah suatu ketika ada saudara dari Bapak yang cukup kaya namun sombong yang begitu meremehkan usaha Bapak, bahkan menghinanya dengan kata-kata yang menyakitkan.
“Tukang macul mana bisa menyekolahkan tinggi anaknya, mentok paling jadi babu.” Inilah kalimat yang dilontarkan saudaranya pada Pak khadir, yang tanpa sepengetahuan Beliau juga didengar oleh Dira. Beruntung Bapak Dira orang yang cukup sabar dan paham akan agama, jadi tidak ada dendam dalam hati. Justru menjadi motivasi dan semangat untuk memperjuangkan pendidikan anaknya.
Beruntung, Nadira merupakan anak yang cerdas, sehingga dia dapat kuliah karena jalur prestasi dan beasiswa. Dengan begitu, Bapak dan Mama Nadira tidak merasa berat untuk biaya semester kuliah Nadira, hanya tinggal memikirkan biaya hidup Nadira sehari-hari. Nadira juga anak yang hemat, dia tidak seperti remaja pada umumnya, dia lebih memilih tidur di pondok daripada nongkrong di café seperti kebanyakan remaja saat ini.
“Dira, bagaimana ngaji dan kuliahnya di sana, Nduk?” tanya Pak Khadir memulai pembicaraan setelah makan malam.
“Baik Pak, lancar juga. Tapi Dira belum tertarik aktif di kegiatan kampus, paling kadang ikut kegiatan komunitas penerima beasiswa karena wajib aktif. Selebihnya ya di pondok Pak, makan tidur hehe makanya badan Dira sedikit melarkan, Pak?” jawab Dira panjang dan antusias sedikit bercanda.
“Melar bagaimana? Perasaan Mama sama saja, tetep kurusan. Lagian kamu tuh mondok buat ngaji bukan numpang tidur Ra.” bukan Pak Khadir yang menjawab, melainkan Mama Yasi dengan sedikit penekanan dan kekehan setelahnya.
“Ih Mama, Dira lebih berisi tahu, ngga kaya layangan lagi nih, ya maksudnya kalau ngga ada kegiatan ngaji ih mama.” Dira menyaut sambil berdiri dan memutar-mutarkan badanya sedikit kesal. Mamanya emang pandai bikin kesal, kaya lagu "Tiba-tiba" aja hehe.
“Memang ngga kaya layangan, tapi kaya triplek dapur kita. Iyakan, Pak?” Ledek Mama Dira kembali. Bapak Dira hanya terkekeh mendengar perdebatan mereka.
“Bapak kenapa tertawa, Dira sekarang naik lho timbangannya.” Sewot Dira
Melihat Mama Yasi hendak menjawab, buru-buru Pak Khadir memotongnya, sebab jika tidak maka akan menjadi perdebatan yang panjang. Pusing kepala Bapak kalau dengar keduanya sedang berdebat, padahal masalah sepele. Huh.
“Sudah-sudah, Iya Diranya Bapak sekarang sudah makin besar. Dan yang penting Nduk, ingat pesan Bapak ya! Jangan pernah tinggalkan salat lima waktu, sertakan Allah dalam setiap langkah kamu. Bapak dan Mama tidak bisa mengawasi dan menjaga kamu di sana, kami hanya percaya bahwa Allah SWT akan senantiasa menjaga anak-anak kami. Jaga tingkah laku, karena yang paling utama adalah akhlak yan baik. Percuma kalau berilmu tapi akhlaknya buruk. Kamu juga hidup di lingkungan orang asing, jadi harus bisa membawa diri. Fokus sama ngajinya, kuliahnya, patuh sama guru dan tetap jaga marwah kamu sebagai perempuan ya, Nduk!” Nasehat Bapak dengan nada yang halus namun penuh penegasan.
“Walaupun kita orang kecil, namun harga diri dan nama baik harus tetap terjaga. Mama ingin anak-anak Mama selalu menjadi pribadi yang santun, lemah lembut, tidak sombong dan tetap rendah hati. Tidak hanya dapat sukses di dunia tapi juga harus sukses di akhirat. Nanti kalau Mama atau Bapak udah ngga ada di dunia, ada anak shalehahnya Mama dan Bapak yang bisa mendo’akan Kami.” sambung Mama turut menasehati Dira dengan suara yang sedikit parau.
Tanpa permisi, air mata Dira mengalir dengan sendirinya. Dira mendekat dan bersimpuh meletakan kepalanya di lutut mamanya.
“Ma, Pak, maafin Dira yang belum bisa menjadi anak yang baik. Dira akan berusaha untuk terus memperbaiki diri. Dira akan membuat Mama dan Bapak serta keluarga bangga dengan Dira. Do’ain Dira dan Syifa dapat menjaga kepercayaan Mama dan Bapak ya.” Ucap Dira sambil terisak. Pilu rasanya mengingat diri sendiri yang dirasa belum bisa membahagiakan orang tua.
“Iya Nduk, Bapak dan Mama selalu mendo’akan kebahagiaan kalian. Semoga Kami masih bisa mendampingi tumbuh kembang kalian. Syukur-syukur dapat melihat cucu kami dari kamu maupun Syifa nanti." Jawab Mama Dira kembali.
Syifa yang belum mengerti apa-apa hanya mengangguk dan kembali menonton TV.
“Bagaimana Dira, apa sudah ada calon? tidak masalah bukan nikah walau masih kuliah?” ucap Bapak Dira mencoba menggoda Dira.
Tentu saja ucapan tersebut membuat Dira yang awalnya menangis jadi tersipu.
“Boleh-boleh saja pak, asal udah ada calon. Sayangnya calon Dira belum kembali, masih diperjalanan hehe.” Canda Dira yang membuat Bapak dan Mama tersenyum.
“Do’ain Dira dan Adek dapat suami yang saleh, bertanggungjawab dan setia kaya Bapak ya.” sambung Dira kembali.
“Tidak boleh kaya Bapak. Tapi harus lebih baik dari Bapak, Ra!” Dira tersenyum dengan jawaban Bapak itu. Dira maksud dengan ucapan Bapaknya tersebut yang ingin dapat menantu yang lebih baik dari mereka.
“Aamiin Pak. Eh kenapa jadi membahas nikah Pak. Pokonya Dira mau menamatkan sarjana, kerja dulu baru mikirin soal itu. Biar bisa bahagiain dan banggain Bapak Mama.” Jawab Dira.
“Aamiin.” kompak mereka menjawab, termasuk Syifa.
Sebagi orang tua, membiarkan anak perempuan tidak dalam pengawasannya memang sangat khawatir, mengingat pergaulan anak sekarang yang sangat bebas. Oleh karena itu, pembekalan ilmu agama sangat penting agar anaknya memiliki iman yang kuat dan dapat menahan diri dari godaan setan.
Pak Khadir cukup lega, karena Dira memilih untuk tinggal di pondok pesantren diandingkan dengan Kos. Walaupun demikian, Beliau harus tetap mengingatkannya, karena setan sangat pandai dalam menggoda manusia.
“Ya sudah kalau begitu. Yang penting jaga diri ya *N*duk.” tegas Bapak kembali.
“Nggeh Pak, Ma, Dira akan selalu ingat pesan Bapak dan Mama.” jawab Dira dengan kepala yang menunduk mendengarkan nasihat orang tuannya.
......................
Setelah lama bercengkrama dan diselingin canda tawa, bahkan acara TV terasa tidak menarik dibanding candaan hangat keluarga tersebut, Dira pamit ke kamarnya. Syifa adik Dira bahkan sudah tertidur pulas di karpet dan hal itu membuat Bapak Dira harus menggendongnya ke kamar.
Namun sebelum ke kamar, Dira menyempatkan diri untuk bersih-bersih wajah sekaligus mengambil wudhu. Sudah jadi kebiasannya selama di Pondok, sebelum tidur menyempatkan diri membaca surat Al-Mulk yang fadhilah utamannya adalah sebagai pembela kita nanti apabila ditanya malaikat di dalam kubur. Sebaik-baiknya bacaan adalah Al-Qur’an, bacalah! walau hanya se-ayat.
Walaupun libur semester belum usai, namun jatah izin dari pondok hanya seminggu saja. Hal itu membuat Dira tidak bisa berlama-lama di rumah. Jika melebihi waktu izin, maka akan mendapatkan takziran (hukuman).
Malam ini, dia tengah membereskan pakaian dan barang bawaan yang hendak dibawa. Hanya beberapa helai pakaian yang Dira masukan ke dalam ransel hitam miliknya dan satu kardus sedang berisi cemilan. Ada roti tawar, susu dan juga mie instan. Itu saja Dira sudah mengelurkan beberapa, karena seperti biasa, Mamanya selalu membawakan berbagai makanan untuk Dira dan teman-temannya di pondok.
Dira mau saja untuk membawanya, tapi akan repot ketika di perjalanan. Sebab, Dira tidak mengendarai kendaraan sendiri maupun diantar, akan tetapi dia harus menggunakan kendaraan umum seperti angkot dan bus.
“Huh selesai,” lirih Dira setelah selesai mengikat tali rafia pada kardus yang akan dibawanya.
Melihat lemari yang masih terbuka, Dira pun bangkit dari duduknya dan menuju lemari berniat untuk menutupnya rapat, takut tikus masuk. Sebelum lemari tertutup sempurna, netranya menangkap sesuatu hal yang membuat Dira menghentikan aktivitasnya itu. Pandangannya tertuju pada sebuah jaket biru yang sempat menjadi kenangan terindahnya. Lebay? Tapi begitulah adanya. Tangannya bergerak dengan sendirinya untuk mengambil jaket tersebut dan mengeluarkannya dari lemari.
“Jaket pelindungku,” gumamnya sambil mendekap jaket tersebut, jangan lupa senyumnya yang merekah bak bunga Marigold, cerah.
Dira duduk di tepi kasur dengan terus mendekap jaket tersebut. Ingatannya kembali pada peristiwa yang tak akan pernah dilupakannya.
“Apa kamu tahu? Lihatlah, jaket ini masih aku simpan. Bahkan aku tak berani mencucinya, karena takut bekas wangi parfumemu berganti walaupun sekarang udah bau lemari si. Tapi aku janji, kalau nanti kamu kembali, Jaket ini akan aku cuci biar tidak bau lemari hehe.” ucap Dira seolah-olah pemilik jaket itu mendengarnya.
Pikirannya melayang jauh pada peristiwa tersebut. Sambil tiduran, Dira mulai merangkai kembali kejadian masa lalunya.
Flashback On
Pada saat itu, Dira yang merupakan Ketua Ranting Gerakan Pramuka Putri harus memimpin Upacara Api Unggun pada malam hari pramuka. Dia dan timnya yang berasal dari beberapa SMA/SMK/MA di kecamatannya, harus menjalankan tugas di perkemahan penggalang atau Jambore yang saat ini tengah dilaksanakan di lapangan Desa Sedayu.
Awalnya kegiatan berjalan biasa saja, namun pada saat obor untuk pengucapan Dasadarma yang dipegang masing-masing 10 anggota pramuka, ada beberapa obor yang ternyata menggunakan kain dari bahan sintesis. Hal itu membuat api berguguran jatuh sebab kain yang meleleh.
Dira dan timnya tidak mengetahui itu, karena semuanya sudah disiapkan oleh panitia penyelenggara. Demi kelancaran bersama dan belum sempat untuk mengganti kainnya, seorang pemandu upacara mempersilahkan untuk pembacaan Dasadarma dengan memutari kayu bakar yang akan menjadi api unggun.
Baru pada Darma ke 3, tiba-tiba dari obor anggota ada api yang menetes hingga kejadian tidak terduga pun tidak dapat dihindari. Dengan cepat api menjalar dan menimbulkan dentuman yang keras, membuat beberapa anggota terkena luka bakar karena posisinya yang sangat dekat dengan api unggun. Bahkan, Ohim yang merupakan adik kelas dan satu pangkalan dengan Dira, harus terkena luka bakar pada sebelah wajahnya.
Kejadian itu sontak membuat Dira dan peserta upacara lainnya menjerit.
“Aakhhh awas,” teriak mereka termasuk Dira.
Tanpa menunggu aba-aba, Dira sekuat tenaga dengan badan yang gemetar berlari menghampiri angotanya dan memastikan keadaannya. Dira sangat takut, khawatir, bingung dan berbagai praduga juga menyelinap dipikirannya. Dira melihat teman-temannya yang syok dan ada pula yang memangis, makin paniklah Dira.
“Yayan, bagaimana keadaan kamu dan teman-teman?” tanya Dira pada salah satu anggotanya yang bernama Yayan.
“Saya baik Kak, hanya rambut saya sedikit terbakar karena Baret saya juga terbakar ujungnya.” jawab Yayan dengan raut yang cukup khawatir sekaligus syok.
“Kami tidak apa-apa Kak, hanya sedikit luka bakar. Yang paling parah adalah Ohim Kak, mukanya terbakar sebagian, karena dari obor dialah yang timbul api terlebih dahulu,” sambung Gina anggota sepangkalannya juga.
Dira berusaha untuk tetap tegar dan menahan air matanya, Dia harus tetap tenang agar dapat menguatkan anggotanya tersebut. Dira tidak mau memperlihatkan sisi lemahnya di hadapan anggotanya tersebut.
“Baik kalau begitu, kalian istirahat dan ke klinik untuk memeriksakan diri agar tidak ada yang terlalu dikhawatirkan. Terimakasih karena kalian sudah bertugas dengan sangat baik. Kita bicarakan masalah ini nanti, Kakak harus kembali dan menuntaskan tugas Kakak sebagai pemimpin upacara.” Ucap Dira pada anggotanya.
“Siap Kak!” kompak mereka menjawab ucapan Dira.
Dira kembali ke tempatnya dan menertibkan suasana yang kacau tersebut. Dengan suara yang lantang dan sedikit parau, Dira menertibkan peserta upacara. Hening sesaat, setelah kata sambutan dan permintaan maaf Pembina upacara, maka Dira membubarkan upacara tersebut. Acara pensi masih terus berlanjut, walau tidak sesuai ekspektasi.
Acara yang harusnya disertai dengan canda tawa kini penuh dengan rasa kekhawatiran para orang tua pada anaknya yang mengikuti acara kemah tersebut. Kabar kejadian ini juga telah sampai di telinga Pembina pangkalan Dira. Dengan cepat, Pak Riyan dan Bu Anggi menghampiri anak didiknya yang tengah bertugas dengan penuh kekhawatiran.
Mereka langsung menuju rumah kesehatan, terlebih mendapatkan informasi bahwa Ohim harus dirujuk ke rumah sakit besar. Pak Riyan juga sudah menghubungi orang tua Ohim atas kejadian tersebut. Dan ternyata, Ohim hanya memiliki Ibu, karena Bapaknya telah lama meninggal.
Sedangkan Dira, setelah pembubaran upacara dia masih berdiri di tempat yang sama. Pikirannya kosong, Dira khawatir dan takut, bagaimana menjelaskan kepada orang tua mereka yang terkena musibah ini? Biar bagaimana pun, mereka juga tanggungjawab Dira. Dira bingung, sangat bingung, kakinya tiba-tiba lemas dan dia merosot terduduk dengan badan yang gemetar dan tangis pun pecah tanpa suara.
Orang-orang tidak sadar akan keberadaan Dira, mereka sibuk dengan kekhawatirannya masing-masing. Duduk lemas dengan punggung yang bergetar, wajah yang menunduk dan suara tangis yang lirih membuat Dira sangat kacau saat ini.
Dira tidak memikirkan dirinya, yang ada dalam diri Dira saat ini adalah bagaimana menjalaskan kejadian ini pada orang tua mereka nanti. Apa dia akan disalahkan karena musibah ini. Dira yang biasanya tegar dan ceria, saat ini sangat rapuh. Hanya malam yang menjadi saksi tangis Dira. Menangis adalah cara untuk mengeluarkan sedikit beban pikirannya saat ini.
Tiba-tiba ada sebuah jaket disematkan oleh seseorang pada punggung Dira, seseorang tersebut kini duduk di depan Dira. Dira yang masih menangis dan memejamkan mata belum menyadari kehadiran seseorang karena pikirannya yang kacau.
Seseorang tersebut memegang kedua pundak Dira membuat Dira membuka mata dan mendongakan wajahnya. Cahaya yang kurang terang karena jauh dari tenda-tenda dan berada di tengah lapang, membuat Dira belum mengetahui siapa orang tersebut.
Namun alangkah terkejutnya Dira ketika sadar dan tahu orang yang saat ini ada di depannya.
“Kamu….”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!